Jumat, 10 Februari 2012

Walhi Dukung Kepolisian Usut Perusakan Lingkungan

Walhi Dukung Kepolisian Usut Perusakan Lingkungan

Banda Aceh, 10/2 (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mendukung upaya kepolisian dalam hal ini Polres Aceh Barat Daya mengusut kasus perusakan lingkungan yang diduga dilakukan pejabat pemerintah setempat.
"Kami memberi apresiasi kepada kepolisian dan mengharapkan pengusutan kasus perusakan lingkung tidak berhenti di tengah jalan, tetapi dituntaskan hingga ke pengadilan," kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh T Muhammad Zulfikar di Banda Aceh, Jumat.
Sebelumnya, kata dia, kepolisian menetapkan tiga pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten Aceh Barat Daya sebagai tersangka dugaan perusakan lingkungan hidup.
Ketiganya, yakni MH, kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), YM, mantan sekretaris daerah, dan Z, kepala Dinas Pertanian dan Peternakan (Distannak). 
T Muhammad Zulfikar mengatakan MH dan YM menjadi tersangka dugaan perusakan lingkungan terkait pematangan lahan lokasi pembangunan pabrik kelapa sawit (PKS) di Gampong (desa) Gunung Samarinda Kecamatan Babahrot, Aceh Barat Daya.
Sedangkan Z, sebut dia, menjadi tersangka kasus pembangunan proyek kandang pembibitan ternak di hutan lindung di Gampong Ie Mirah, Kecamatan Babahrot. Areal ini masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
"Walhi Aceh memberi apresiasi kepada Polres Aceh Barat Daya karena mau mengusut dugaan perusakan lingkungan. Sebab, selama ini nyaris tidak ada kepolisian di Aceh yang mau memidanakan perusak lingkungan," ujarnya.
Yang menggembirakan, ungkap T Muhammad Zulfikar, kepolisian menjerat para tersangka UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Selain itu, kata dia, Walhi Aceh juga menduga ketiga tersangka melanggar UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana tata ruang wilayah nasional.
"Dalam kedua peraturan ini disebutkan bahwa KEL sebagai kawasan strategis nasional yang berfungsi lindung. Dan ini langkah progresif dari kepolisian. Kami berharap kepolisian di wilayah lain juga berani menggunakan undang-undang tersebut," ujarnya.

Walhi Aceh Dukung Polisi Periksa Bupati Abdya

Walhi Aceh Dukung Polisi Periksa Bupati Abdya
Firman Hidayat | The Globe Journal | Jum`at, 10 Februari 2012
Sumber: Theglobejournal

Banda Aceh — Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM. Zulfikar mengatakan selama ini memang telah menemukan indikasi keterlibatan banyak pejabat dalam memuluskan aksi perusakan hutan. 

“Pemerintah sering menjadi pemicu utama perusakan lingkungan melalui kolaborasi dengan pengusaha,”kata Direktur WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar, Jumat (10/2) di Banda Aceh.

Melalui rilis yang diterima The Globe Journal, malam tadi, WALHI Aceh memberi apresiasi kepada pihak kepolisian khususnya terhadap penyelidikan yang dilakukan oleh Polres Aceh Barat Daya (Abdya) terhadap para perusak lingkungan yang dilakukan pejabat Pemkab Abdya.

Tindakan ini perlu didukung penuh oleh berbagai pihak yang peduli lingkungan dan WALHI Aceh juga berharap penyidikan tidak berhenti di tengah jalan.

Tiga orang yang menjadi tersangka yaitu MH, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), YM, mantan Sekretaris Daerah (Sekda),  dan Z, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan (Distannak).

MH dan YM, menjadi tersangka kasus dugaan perusakan lingkungan terkait pematangan lahan lokasi pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Desa Gunung Samarinda Kecamatan Babahrot.

Sedangkan Z, menjadi tersangka kasus pembangunan proyek kandang pembibitan  ternak dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) atau hutan lindung di Desa Ie Mirah, Kecamatan Babahrot.

“Kita mengapresiasi Polres Abdya dalam hal ini. Selama ini nyaris tidak ada kepolisian di Aceh yang mau mempidanakan perusak lingkungan. Kita akan terus memantau kasus ini hingga tuntas,” kata T. Muhammad Zulfikar didampingi Kepala Advokasi WALHI, Muhammad Nizar.

Hal yang menggembirakan lagi, Polres Abdya sudah berani memakai UU No.32 tahun 2009 tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Ini langkah yang progressif, sebab kami sering menemui polisi ragu menggunakan UU ini.  Saya harap Polres wilayah lain juga berani menggunakannya,” kata T.M Zulfikar.

Selain melanggar UU tersebut, WALHI Aceh juga menduga bahwa ketiga tersangka telah melanggar UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. “Dalam kedua peraturan ini disebutkan bahwa KEL sebagai kawasan strategis nasional yang berfungsi lindung,” kata dia lagi.

Selain ketiga pembesar di atas, Polres Abdya juga berencana memeriksa Bupati Abdya yaitu Akmal Ibrahim. Polres Abdya mengajukan izin kepada Presiden Susilo Bambang Yudhono untuk memeriksa Akmal Ibrahim untuk tiga kasus.

Pemeriksaan Bupati sendiri terkait dengan kasus perusakan kawasan hutan lindung, penipuan dan perambahan hutan untuk pembangunan Pabrik Kelapa Sawit di lokasi awal berdasarkan arahan Bupati Akmal.

WALHI Aceh sendiri saat ini sedang berusaha keras membawa ke ranah hukum para perusak lingkungan. Diantaranya adalah kasus pembukaan hutan Leuser untuk jalan Ladia Galaska yang sedang tahap Peninjauan Kembali dan mem-PTUN-kan gubernur Aceh karena telah menerbitkan izin pembukaan perkebunan di hutan Rawa Tripa, yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser.[003]

Aceh Besar Akan Moratorium Pertambangan

Aceh Besar Akan Moratorium Pertambangan

(foto: wired.co.uk)
Link:http://atjehlink.com/aceh-besar akan-moratorium-pertambangan/
Banda Aceh – Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, melalui Wakil Bupati Aceh Besar, Anwar Ahmad, menyatakan menyetujui desakan masyarakat dan pegiat Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) untuk segera melaksanakan moratorium pertambangan di kawasan Aceh Besar.
Pernyataan tersebut diungkapkan dalam Focus Discusion Club (FDC) yang dilaksanakan oleh Komunitas Masyarakat Aceh Besar di Hotel Oasis, Banda Aceh, Kamis (9/2).
“Kita akan pertimbangkan hal itu, tapi yang pasti kita akan terima permintaan masyarakat. Tambang memang sudah harus jadi perhatian serius kita semua” ujarnya. Ia berjanji akan membahas persoalan moratorium tambang dengan menghadirkan stakeholder, termasuk legislatif yang berperan dalam tim evaluasi.
“Kita perlu membentuk tim evaluasi, makanya kita butuh peran dari legislatif agar tim ini nantinya bisa bekerja dengan efektif”, katanya.
Anwar berharap semua kalangan yang ada di Aceh Besar bisa bersatu. Baik bersatu baik masyarakat, mahasiswa, LSM maupun pemerintah.
“Kita komit untuk mengevaluasi tambang, tapi jangan juga nantinya pemeritah ditinggal sendiri jika ada serangan balik dari perusahaan yang dirugikan”, katanya. Pasalnya, perusahaan pemegang konsesi pertambangan pasti akan menempuh jalur hukum jika ditengah jalan izin konsesi kita cabut.
Sementara Asisten II Pemkab Aceh Besar, Zulkifli, mengatakan bahwa kerusakan lingkungan di Aceh Besar akibat pertambangan sudah sangat parah. “Kita bisa lihat bagaimana kerusakan di pegunungan Peukan Biluy dan juga Krueng Aceh akibat tambang Galian C. Jadi, kita tidak boleh diam lagi demi menyelamatkan Aceh Besar”, katanya.
Sebelumnya, TM Zulfikar, Direktur Walhi Aceh meminta kepada Wakil Bupati Aceh Besar untuk segera merealisasi moratorium tambang sebelum masa jabatannya berakhir.
“Saya harap Bapak Anwar Ahmad segera melaksanakan moratorium tambang di Aceh Besar. Sebagai Wakil Bupati Bapak harus membuktikan jika berpihak terhadap rakyat dan kelestarian lingkungan”, paparnya.
Forum diskusi ini diinisiasi oleh Forum Komunikasi Generasi Muda Aceh Rayeuk (FOKUS – GEMPAR) dan Pengurus Besar Ikatan Pemuda Aceh Besar (PB IPAR). Asisten II Pemkab Aceh Besar dan juga semua pihak mengharapkan agar diskusi ini bisa dilaksanakan secara continue kedepannya. (MP)

Moratorium Tambang Aceh Besar

Moratorium Tambang Aceh Besar
Firman Hidayat | The Globe Journal | Kamis, 09 Februari 2012
Sumber:http://www.theglobejournal.com/kategori/foto/moratorium-tambang-aceh-besar
Masyarakat Aceh Besar menggagas Forum Discussion Club (FDC) mengungkap masalah pertambangan Kabupaten Aceh Besar, di Hotel Oasis (09/2) pagi. Hadir Wakil Bupati Aceh Besar, Anwar Ahmad dan sejumlah kepala dinas dari SKPA terkait, Asisten II Setdakab Aceh Besar, pegiat LSM Lingkungan dan para aktifis serta tokoh masyarakat Lampanah. Acara itu merekomendasikan Moratorium Tambang di Aceh Besar melalui Peraturan Bupati setempat. 

WALHI Aceh Siapkan Saksi Ahli Hutan Rawa Tripa

WALHI Aceh Siapkan Saksi Ahli Hutan Rawa Tripa
Rabu, 08 Februari 2012
Sumber:http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/walhi-aceh-siapkan-saksi-ahli-hutan-rawa-tripa.php

Banda Aceh — Sidang gugatan WALHI Aceh terhadap Gubernur Aceh atas penerbitan surat izin pembukaan lahan di Rawa Tripa kembali bergulir, Rabu (8/2) di PTUN Banda Aceh. Dalam sidang kali ini pengacara WALHI Aceh menyampaikan dokumen bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan oleh Gubernur Aceh dan juga PT Kalista Alam selaku tergugat II Intervensi. WALHI Aceh sudah menyiapkan saksi ahli untuk persidangan berikutnya.

Pengacara WALHI Aceh yang terdiri dari Jehalim Bangun, SH, Syafruddin, SH dan  Nurul IkhSAN, SH, menyerahkan beberapa berkas dokumen kepada Majelis Hakim yang diketuai oleh Ketua PTUN Marbawi, SH. Dokumen tersebut terdiri dari photo copy Surat Izin Gubernur Nomor 525/BP2T/5322/2011 Tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya, photo copy Surat Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) Nomor 522.5/328/XI/2010 tentang Pertimbangan teknis kepada Kepala Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Provinsi Aceh, photo copy Petisi Masyarakat 21 Gampong Dalam Kemukiman Tripa Bawah Dan Seuneuam, photo copy Surat Kantor Lingkungan Hidup dan Kebersihan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya No. 660/116/LHK/2009 tentang Persetujuan Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dan Photo copy dokumen  Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL dan UPL) Kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit PT. KALLISTA ALAM, photo copy Surat BADAN SERSE KRIMINAL  MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA  Nomor B/4472/Ops/XI/2011/Basreskrim tertanggal 25 November 2011 perihal Pelimpahan Laporan Polisi, untuk membuktikan bahwa terhadap Surat Izin Gubernur Nomor: 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budi Daya Kepada PT. Kallista Alam dengan lahan seluas  1.605 Ha, photo copy Surat Badan Pelayanan Perizinan Terpadu(BP2T) No. 525/BP2T/1295.2/2011 kepada Direktur PT. Kallista Alam perihal Penghentian Kegiatan Sementara tertanggal 25 November 2011 dan berbagai dokumen lainnya.

Syafruddin sedikit menjelaskan bahwa berdasarkan dokumen UKL dan UPL milik PT Kalista Alam untuk perkebunan sawit jelas-jelas dicantumkan bahwa kedalaman gambut pada lahan objek perkara adalah 2,7 meter hingga  3 meter lebih. “Bahwa gambut dengan kedalaman sedemikian oleh peraturan perundang-undangan dijadikan kawasan yang berfungsi lindung. Bukti ini juga membuktikan kebohongan dari  Tergugat I dan Tergugat II yang mendalilkan bahwa kedalaman gambut di lahan lahan yang diizinkan oleh objek perkara hanya sedalam 0, 5-1 meter,”jelas Syafruddin.

Selain itu dalam UKL dan UPL disebutkan pada lahan objek perkara masih terdapat satwa-satwa yang dilindungi seperti orang hutan dan lain-lain.

Syafruddin SH, menyebutkan bahwa bukti-bukti tersebut akan digunakan untuk memperkuat gugatan WALHI Aceh. “Selain bukti-bukti dokumen, kami juga telah mempersiapkan saksi ahli dan saksi dari masyarakat,”ujar Syafruddin, SH.

Saksi ahli yang disiapkan adalah para pakar hutan gambut yang telah melakukan penelitian di hutan Rawa Tripa. “Secara akademis dan pengalaman, mereka telah terbukti, sehingga layak untuk jadi saksi ahli,”sambungnya.

Sayangnya dalam sidang hari ini, pihat tergugat I (Gubernur Aceh) baru menyerahkan duplik tanpa menyerahkan dokumen-dokumen pembuktian. Sedangkan pengacara tergugat II Intervensi (PT Kalista Alam) menyerahkan bukti-bukti berupa dokumen. Akibatnya untuk sidang Rabu depan (15/2) masih diagendakan pemeriksaan bukti-bukti dokumen.[rel]

30 Ribu Ha Kawasan Lindung Hutan Gambut Rawa Tripa Rusak Parah

Sumatera
30 Ribu Ha Kawasan Lindung Hutan Gambut Rawa Tripa Rusak Parah
Sumber:http://www.mediaindonesia.com/read/2012/02/05/296288/126/101/30-Ribu-Ha-Kawasan-Lindung-Hutan-Gambut-Rawa-Tripa-Rusak-Parah
Penulis : Amiruddin Abdullah Reubee
Minggu, 05 Februari 2012 10:45 WIB     
Komentar: 0
30 Ribu Ha Kawasan Lindung Hutan Gambut Rawa Tripa Rusak Parah
ANTARA/Septianda Pedana/ip
NAGAN RAYA--MICOM: Kerusakan kawasan lindung hutan gambut Rawa Tripa di kawasan Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya semakin parah.

Pasalnya sejak tiga tahun terakhir di kawasan yang termasuk ekosistem taman nasional itu terjadi perambahan besar besaran.

Pantauan Media Indonesia, melalui pesawat udara pada Sabtu (4/2) terlihat sebagian kawasan hutan gambut yang menghasilkan karbon dan emisi itu konsidinya sangat prihatin. Sebagian di antaranya berubah fungsi menjadi lahan perkebunan sawit milik beberapa perusahaan besar. Bahkan ada sebagian yang sedang dirambah dengan cara menebang pepohonan rimbun dan
hutan semak di areal tersebut.

Sesuai data diperoleh dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Aceh, dari jumlah luas hutan gambut Rawa Tripa 60.8000 hektare (ha), sebanyak 30.000 ha diantaranya telah rusak atau beralih fungsi menjadi kebun sawit dan lainnya.

"Dari jumlah seluruhnya 60.8000 ha itu, sebanyak 60% masuk wilayah Kabupaten Nagan Raya, sedangkan 40% lagi dalam
kawasan Aceh Barat Daya. Kondisi paling parah kerusakan juga di kawasan Nagan Raya," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Aceh, TM Zulfikar.

Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, kedepan perlu ada rancangan qanun (Peraturan daerah) untuk menyelamatkan lingkungan secara menyeluruh. Hal itu menurutnya sangat penting guna mengontrol pemerintah memberikan izin. Dirinya mengaku khawatir dengan kondisi hutan itu yang semakin rusak.

"Selama saya Wakil Gubernur Aceh sejak tahun 2007 tidak pernah menanda tangani izin perusaan tambang dan perkebunan. Kalau
misalnya ada izin yang keluar dari pemerintah itu bukan dari saya. Kita berterimakasih kepada LSM yang sangat peduli lingkungan hidup dan kelestarian hutan," katanya.

Menurut warga sekitar berbagai satwa liar dan biota alam kekayaan alam yang mendiami hutan gambut itu sekarang mulai terancam. Misalnya ikan lele yang hidup di alam rawa itu sekarang semakin sedikit. Kehidupan binatang darat seperti orangutan, lutung, kera, dan buaya juga makin berkurang dan terancam.

"Dulu di sini ikan rawa seperti lele dan gabus cukup banyak dan mudah ditangkap, tapi kini seakan tidak ada. Padahal
itu juga termasuk sumber rezdeki kami," kata Muslim, warga sekitar hutan gambut Rawa Tripa, Nagan Raya. (MR/OL-3)

Aceh Perlu Qanun Pelindungan Lingkungan

Aceh Perlu Qanun Pelindungan Lingkungan

Link:http://harian-aceh.com/2012/02/03/aceh-perlu-qanun-pelindungan-lingkungan
Banda Raya - 3 February 2012 | 0 Komentar
Banda Aceh | Harian Aceh – Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan saat ini perlu dirancang suatu draf atau qanun perlindungan lingkungan secara menyeluruh.
“Apa yang kita lakukan dalam perlindungan lingkungan Aceh bukanlah sesuatu yang ide baru. Sebab, dulu pada masa raja-raja Aceh beratus-ratus tahun, peraturan lingkungan dan tata ruang sangat ketat guna mengatasi bencan dan melindungi hewan-hewan yang juga berhak hidup,” kata Nazar, Kamis (2/2).
Hal itu dikatakan Nazar usai menjadi keynote speaker pada seminar dan lokakarya sehari denga tema penyelamatkan dan perlindungan hutan rawa gambut Aceh yang diadakan oleh PWI cabang Aceh, Walhi dan Yesa.
Kata Nazar, zaman kerajaan Aceh dulu masih ada pawang gle, pawang uteun, pawang harimau, pawang laot dan menjadi prosesi yang dilindungi kerajaan secara resmi.
Tapi, sejak orba hingga sekarang sudah tidak ada, malahan sebagian hutan Aceh telah rusak dan yang paling menyedihkan sampai hutan rawa gambut juga dirusak duluan baru diminta izin seolah-olah hutan itu pernah dipakai.
“Ini disetting untuk dapat izin, jadi hal seperti ini yang jahil harus diantipasi. Karena itu pemerintah atau pengusaha harus dikontrol oleh masyarakat supaya kebijakannya tidak salah. Apalagi Grend Aceh yang telah dirintis sejak 2007 akan sia-sia jika tidak bisa kita follow up dalam berbagai bentuk,” katanya.
Selain itu sebut Nazar, tidak perlu khawatir dengan menjaga lingkungan akan menganggu ekonomi. “Tidak akan. Justru akan kita set up dengan lingkungan yang hijau tetapi membawa uang banyak,” ujar Nazar saat didampingi Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar.
Contohnya, kata ia, peneliti yang datang melakukan riset dan melihat jenis hutan dan sebagainya dan dipastikan mereka membawa uang. “Yang penting konsep peraturan di buat dengan baik dan rapi. Masyarakat dan pemerintah tidak akan rugi,” sebutnya.
Tambah Nazar, dulu budaya menanam dilakukan turun temurun, malahan warisan orang tua pohon kayu. Dan diyakini masyarakat Aceh tidak lagi melihat pohon-pohon khas alam Aceh jika tidak bisa melindunginya seperti meurebo, ceutang, bayu, damar laot.
“Itu terjadi karena kebijakan masa lalu yang salah, sekarang kita mencoba berupaya untuk tidak salah lagi. Jika masih ada yang salah, tentu kita siap mengevaluasi kembali,” sebutnya.(bay)

Perlu Kepedulian Selamatkan Hutan Rawa Gambut Aceh

Perlu Kepedulian Selamatkan Hutan Rawa Gambut Aceh

Banda Aceh, 3/2 (ANTARA) - Wahana lingkungan hidup Indonesia (Wahli) menilai diperlukan kepedulian semua pihak dalam upaya penyelamatan dan perlindungan hutan rawat gambut di Provinsi Aceh dari ancaman kepunahan.
"Diperlukan kepedulian kita semua agar bertindak dalam penyelamatan rawa gambut yang tersebar di beberapa wilayah di Aceh, jangan sampai dialihfungsikan menjadi areal kebun kelapa sawit," kata Direktur eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Kamis.
Hal itu disampaikan dalam seminar bertema "Penyelamatan dan Perlindungan Hutan Rawa Gambut di Aceh" yang diselenggarakan kerjasama antara PWI Cabang Aceh, Walhi dan Yayasan Ekosistem Sigom Aceh (YESA).
Seminar lingkungan hidup yang diikuti puluhan peserta tersebut juga digelar dalam rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke-66 dan peringatan hari lahan basah se dunia.
Rawa gambut di Aceh, antara lain Rawa Singkil dengan luas wilayah sekitar 102.500 hektare, dan Rawa Tripa mencapai 61.803 hektare.
"Lahan gambut Aceh yang semakin menipis akibat maraknya aksi alih fungsi lahan menjadi areal perkebunan. Kondisi kritis rawa gambut di Aceh adalah Rawa Tripa dan Rawa Singkil," kata TM Zulfikar.
Karena, rawa gambut Tripa memiliki peranan penting bagi masyarakat sekitar lokasi sebagai tempat perkembangan ikan. Kawasan gambut itu juga sangat berjasa sebagai penyangga saat tsunami 26 Desember 2004 menghantam pesisir pantai barat provinsi ini.
"Karena dinilai sangat penting, maka bagi penduduk setempat menjadikan sangat menghormati keberadaan kawasan Rawa Tripa itu sebagai sumber kekayaan alam yang harus dilindungi, bukan sebaliknya dihancurkan pemilik modal," kata dia.
Ia juga menyatakan, rawa gambut di pesisir pantai barat Aceh itu berperan penting dalam pengaturan iklim melalui penyimpanan karbon dalam jumlah besar, selain memiliki keanekaragaman hayati yang unik, termasuk kepadatan populasi orangutan (pongo abelli).
"Karenanya saya menilai kawasan Rawa Tripa saat ini paling terancam dan dirusak oleh sebuah perusahaan pemegang HGU. Untuk itu, diperlukan komitmen semua pihak untuk menyelamatkannya," kata TM Zulfik

Aceh Butuh Qanun Pelindungan Lingkungan

Aceh Bisnis Jumat, 03 Feb 2012 07:04 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan saat ini perlu dirancang suatu draf atau qanun perlindungan lingkungan secara menyeluruh, sehingga tidak perlu khawatir dengan menjaga lingkungan akan mengganggu ekonomi.
Nazar menegaskan, ekonomi tidak akan terganggu, tetapi justru akan di-set up dengan lingkungan yang hijau tetapi membawa uang banyak.

“Apa yang kita lakukan dalam perlindungan lingkungan bukanlah suatu ide baru. Sebab, dulu pada masa raja-raja Aceh, peraturan lingkungan dan tata ruang sangat ketat guna mengatasi bencana dan melindungi hewan-hewan yang juga berhak hidup, sehingga bisa meningkatkan ekonomi rakyat,” kata Nazar, Kamis (2/2), usai menjadi keynote speaker pada seminar dan lokakarya sehari dengan tema penyelamatkan dan perlindungan hutan rawa gambut Aceh yang diadakan PWI Cabang Aceh, Walhi dan YESA di Gedung Sultan Salim II, Banda Aceh.

Menurut Nazar, di zaman kerajaan Aceh dulu masih ada pawang gle, pawang uteun, pawang harimau, pawang laot dan menjadi prosesi yang dilindungi kerajaan secara resmi.

Tetapi, sejak masa Orde Baru hingga sekarang sudah tidak ada, malah sebagian hutan Aceh telah rusak.  Dan yang paling menyedihkan, sampai hutan rawa gambut juga dirusak duluan baru diminta izin usaha seolah-olah hutan itu pernah dipakai.

“Ini di-setting untuk dapat izin, jadi hal seperti ini, yang jahil harus diantipasi. Karena itu pemerintah atau pengusaha harus dikontrol oleh masyarakat supaya kebijakannya tidak salah. Apalagi Green Aceh yang telah dirintis sejak 2007 akan sia-sia jika tidak bisa kita follow up dalam berbagai bentuk,” katanya.

Masih kata Nazar, dulu budaya menanam dilakukan turun temurun, malah orang tua mewariskan pohon kayu. Tapi diyakini masyarakat Aceh tidak akan lagi melihat pohon-pohon khas alam Aceh seperti  meurebo, ceutang, bayu dan damar laut jika tidak bisa melindunginya.

“Itu terjadi karena kebijakan masa lalu yang salah. Sekarang kita mencoba berupaya untuk tidak salah lagi, jika masih ada yang salah tentu kita siap mengevaluasi kembali,” ucapnya.

Paling Parah
Sementara dalam seminar itu, Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar, mengatakan dari dua lokasi rawa gambut yang ada di Aceh, rawa gambut Tripa paling parah kesusakannya dibandingkan yang ada di Singkil.

“Rawa gambut Tripa yang luasnya mencapai 61.000 hektar lebih sudah rusak mencapai 50% lebih atau tersisa di bawah 30.000 hektar dari hitungan-hitungan,” kata Zulfikar.

Kata Zulfikar, kerusakan lingkungan di Aceh memang sudah lama terjadi, terutama rawa-rawa di pantai timur utara Aceh mulai Pidie hingga Aceh Tamiang, namun kerusakan rawa gambut Tripa lebih parah.

Ia mengatakan, jika status rawa gambut Singkil jelas dilindungi undang-undang karena masuk dalam hutan margasatwa, namun status rawa gambut Tripa meskipun dilindungi dan masuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) statusnya kalah dengan keluarnya peratusan daerah.

“Ini sangat aneh, pemerintah mengeluarkan rawa gambut Tripa dari KEL, dan ini bukti insinkronisasi peraturan di Aceh ketentuan tata ruang nasional,” ungkapnya.

Koordinator Media Kampanye Aku Sabahat Laut (Salut) Jaring Kuala, Rano Sugito, mengatakan ada tujuh ekosistem lahan basah di Aceh yang harus mendapat perhatian serius akibat perubahan status dan pengalihan fungsi. Seperti koridor mangrove pesisir timur Aceh (Langsa, Aceh Timur dan Aceh Tamiang) yang beralih fungsi menjadi tambak dan pelabuhan. Koridor pantai bervegetasi cemara di pesisir barat Aceh (Aceb Besar, Aceh Jaya).

Kemudian, lahan gambut rawa Tripa (Nagan Raya dan Abdya), rawa gambut rawa Kluet (Aceh Selatan), rawa gambut Singkil (Aceh Singkil), yang dikhawatirkan beralih fungsi menjadi perkebunan.

Juga vegetasi dan pesisir Pulau Bengkaru, Kepulauan Banyak (Aceh Singkil), habitat penyu akan beralih menjadi objek wisata dan pencemaran air Laut Tawar di Aceh Tengah akibat tidak terkontrolnya pemberian izin keramba. ( ht anwar ibr riwat)

PT Kalista Alam Menolak Penghentian Land Clearing

PT Kalista Alam Menolak Penghentian Land Clearing

Posted by lintasantarmedia on 1 Februari 2012
Sumber:http://lintasantarmedia.wordpress.com/2012/02/01/pt-kalista-alam-menolak-penghentian-land-clearing/

Banda Aceh – LAM : Pada sidang yang mendengarkan tanggapan (duplik) atas replik yang disampaikan WALHI Aceh dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh terungkap bahwa PT Kalista Alam menolak penghentian aktivitas land clearing di hutan Rawa Tripa. Sementara itu pihak pemerintah yang merupakan tergugat I ternyata pada saat sidang belum menyiapkan materi duplik.
Sidang yang dilaksanakan pada hari Rabu (1/2) berlangsung mulai pukul 14.00 dan dihadiri oleh pengacara kedua belah pihak. Agenda persidangan adalah mendengarkan duplik dari tergugat II intervensi dalam kasus WALHI Aceh menggugat Gubernur Aceh karena dianggap melawan hukum dengan mengeluarkan Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di  Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha.
Dalam dupliknya setebal 11 halaman, PT Kalista Alam terang-terangan menolak pemberhentian kegiatan sementara aktivitas perusahaan di lahan sengketa. Padahal dalam surat yang dikeluarkan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) nomor: 525/BP2T/1295.2/2011 tanggal 25 November 2011 perihal pemberhentian kegiatan sementara jelas-jelas disebutkan perusahaan diminta menghentikan untuk sementara kegiatan apapun di lapangan sambil menunggu pengkajian dan evaluasi dilakukan oleh pemerintah Aceh. PT Kalista Alam berdalih surat BP2T ini bertentangan dengan surat izin Gubernur Aceh nomor: 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011.
Menurut WALHI Aceh hal ini sangatlah aneh karena surat tersebut merupakan surat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan harusnya dipatuhi. WALHI Aceh sebenarnya juga sudah menerima laporan dari masyarakat bahwa PT Kalista Alam tetap saja membabat hutan (land clearing)  di lokasi sengketa tanpa peduli dengan surat pemberhentian aktivitas.
Sidang berlangsung sekitar 20 menit, selanjutnya hakim memutuskan untuk melanjutkan sidang pada tanggal 8 Februari 2012 dengan agenda penyerahan duplik tergugat I (Pemerintah Aceh) dan penyerahan bukti-bukti dokumen oleh semua pihak.
WALHI Aceh sendiri telah menyiapkan bukti-bukti yang akan memperkuat gugatan dan juga saksi-saksi yang berkompeten. Sebenarnya WALHI Aceh menyarankan kepada hakim agar agenda sidang tanggal 8 Februari tersebut disertai dengan pemeriksaan para saksi namun hakim menolak dengan alasan agenda sidang terlalu padat.
Tim Koalisi Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tataruang Sumatera (For Trust) yang diwakili oleh WALHI Aceh sejak bulan November 2011 mengajukan gugatan terhadap Gubernur Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negeri Banda Aceh. Gugatan ini dilayangkan setelah sebelumnya somasi yang dikirimkan oleh Tim Koalisi ke Gubernur diabaikan. TKPRT dan For Trust adalah lembaga-lembaga dan individu yang peduli pada kelestarian hutan gambut Rawa Tripa. Hutan ini sendiri merupakan hutan penyimpan karbon, sumber mata pencarian bagi penduduk dan habitat terakhir pada hewan-hewan yang terancam punah.[pr]

Wagub Aceh Minta Dibentuk Green Peace Journalism


Wagub Aceh Minta Dibentuk Green Peace Journalism
Banda Aceh — Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Tarmilin Usman menegaskan pemahaman dan pengetahuan untuk melestarikan lingkungan harus dimiliki oleh semua pihak. Wawasan lingkungan ini tidak saja menjadi tanggung jawab LSM seperti Walhi, tapi juga termasuk wartawan sendiri harus memiliki pengetahuan lingkungan.

Hal itu dikatakan Tarmilin saat menyampaikan sambutan pada acara Seminar dan Lokakarya tentang penyelamatan rawa gambut Aceh dalam rangka memperingati Hari Lahan Basah Se-dunia dan Hari Pers Nasional ke 66 di Gedung Sultan II Selim, Kamis (2/1) Banda Aceh. 

Ia mengatakan wartawan sebagai pekerja pers juga perlu diberikan pengetahuan tentang pentingnya melestarikan lingkungan. Bahkan pemerintah sekalipun kurang tanggap terhadap begitu pentingnya menjaga lingkungan. 

Untuk menyelamatkan lingkungan di Aceh, wartawan boleh melakukan investigasi yang mendalam walaupun sudah ada lembaga atau LSM seperti Walhi Aceh yang aktif melakukan advokasi lingkungan.

“Karena itu pers berperan sebagai fasilitator sebagai penyambung lidah masyarakat dengan pemerintah, pers akan menyampaikan keluhan, gagasan kepada pemerintah terhadap berbagai peristiwa yang terjadi setiap saat,” sebut Tarmilin. 

Disisi lain juga, peran wartawan akan menyampaikan kepada masyarakat berbagai kegiatan atau program yang sudah dilakukan pemerintah, sehingga semua kegiatan pemerintah bisa diketahui oleh khalayak ramai. 

Diakhir sambutan tertulis yang disampaikan Tarmilin Usman juga diserukan agar semua pihak harus meningkatkan pemahaman dan tanggung jawab terhadap lahan gambut di Aceh. “Ayo kita lawan mafia perusak lingkungan,” sebut Tarmilin. 

Sementara itu Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar dalam sambutannya sempat menyinggung agar setelah kegiatan seminar dan lokakarya ini dibuat, maka seyogyanya dapat dibentuk sebuah wadah atau komunitas wartawan hijau damai atau Green Peace Journalism

Sementara itu Direktur Walhi Aceh, TM. Zulfikar kepada The Globe Journal mengatakan komunitas wartawan yang peduli terhadap lingkungan di Aceh  sudah ada yaitu namanya Green Journalist

“Komunitas kecil ini harus diperkuat lagi agar bisa bersinergi dengan organisasi wartawan yang ada di Aceh seperti PWI dan AJI dalam konteks kegiatan-kegiatan lingkungan,” kata Zulfikar yang juga sebagai pembina Green Journalistyang terbentuk sejak 2011 lalu.

Nazar Akui Pemerintah Aceh Salah Soal Kerusakan Rawa Gambut

Nazar Akui Pemerintah Aceh Salah Soal Kerusakan Rawa Gambut
Banda Aceh — Wakil Gubernur Aceh M. Nazar mengakui adanya kebijakan yang kurang tepat dari Pemerintah Aceh soal penanganan lingkungan, khususnya perihal kasus kerusakan rawa gambut. Hanya saja, dia menghelak ikut disalahkan dari kisruh hukum ini.

“Tapi bukan saya yang tanda-tangan izin rawa tripa itu untuk PT. Kalista Alam, kalau saya yang tanda tangan maka tinggal ubah saja,” kata Nazar di sela-sela seminar dan lokakarya penyelamatan hutan rawa gambut pada hari Lahan Basah Sedunia dan Hari Pers Nasional (HPN) ke 66, di Sultan II Selim, (2/1).

Masih menurut Nazar, seyogianya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus di kontrol oleh masyarakat agar arah kebijakan tersebut tidak menyimpang. Pasalnya, pembuatan kebijakan yang salah akan merusakkan lingkungan. “Kedepan kita akan evaluasi lagi, kalau ada kritik dari masyarakat maka dapat di evaluasi ulang,” kata Nazar lagi.

Selain itu, Nazar memberikan apresiasi kepada kelompok sipil yang konsisten melakukan upaya penyelamatan lingkungan dengan memberikan advokasinya kepada masyarakat. Sejalan dengan itu pula, dia juga mengusulkan perlunya rancangan draft qanun untuk menyelamatkan lingkungan secara menyeluruh. 

“Jangan setelah seminar habis acara selesai, maka harus ada tindak lanjutnya,” pungkasnya. 
Dia menambahkan, pada dasarnya hal itu bukanlah ide baru. Pada masa kerajaan Aceh proteksi terhadap lingkungan juga dikedepankan oleh pihak kerajaan. “Saat itu, siapa yang merusak lingkungan diberikan sanksi sampai hukuman mati,” katanya menutup perbincangan. []

WALHI Aceh Gelar Semiloka Penyelamatan dan Perlindungan Hutan Rawa Gambut

WALHI Aceh Gelar Semiloka Penyelamatan dan Perlindungan Hutan Rawa Gambut

Sumber: http://atjehlink.com/walhi-aceh-gelar-semiloka-penyelamatan-dan-perlindungan-hutan-rawa-gambut/
Banda Aceh – Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh bekerjasama dengan Pesatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh dan Yayasan Ekosistem Sigom Aceh (YESA) pagi tadi (2/2) mengadakan seminar dan Lokakarya Penyelamatan dan perlindungan hutan rawa gambut Aceh. Kegiatan yang dilakukan di gedung sultan selim ACC Turkey Banda Aceh ini sekaligus memperingati hari lahan gambut se-dunia dan Hari Pers Nasional ke 66 .
Kegiatan yang berlangsung selama satu hari penuh di hadiri oleh sejumlah kalangan aktivis dan LSM pegiat Lingkungan dengan menghadirkan nara sumber dari Instansi pemerintah melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan, DPR Aceh Drs H Jamaluddin T. Muku angota komisi B, Yayasan Ekosistem Leuser Riswan, Persatuan Wartawan Indonesia Tarmili Usman serta Keynote Speaker wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar.
Dalam sambutannya wakil Gubernur Aceh Muhamad Nazar mengatakan Pemerintah Aceh terus mengevaluasi kebijakan kebijakan yang dirasa merugikan lingkungan dan kegiatan ini jangan hanya sebatas omongan belaka tanpa ada aksi yang nyata. Pemerintah Aceh siap menerima proposal yang bersifat masukan strategis teknis untuk rencana yang akan di tuangkan dalam draft Qanun perlindungan lingkungan yang menyeluruh.
Serta untuk mengangkat kembali nilai–nilai kearifan lokal yang dulu pernah ada seperti pawang Uteun untuk melindungi kawasan hutan termasuk kawasan gambut dan masyarakat juga jangan khawatir kalau menjaga lingkungan  seolah-olah tidak mendapatkan keuntungan ekonomi justru bagaimana caranya dengan lingkungan yang hijau dapat mendatangkan uang yang banyak dan itu di butuhkan pemahaman bersama dan menyeluruh bagaimana pengelolaan lingkungan itu mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat Aceh, seperti konsep Ecotourisme.
Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar Juga mengatakan kepada AtjehLINK, kegiatan Seminar dan Loka karya ini merupakan kegiatan yang terus-menerus dilakukan pihaknya yang bertujuan untuk membagun sinergi antara Insan Pers dan CSO di Aceh dalam mengawal, menyelamatkan dan melindungi lingkungan di Aceh serta memberikan solusi kepada Pemerintah Aceh terkait persoalan perlindungan lingkungan di Aceh. (MN)

KERUSAKAN LINGKUNGAN Tata Ruang Rawa Tripa Tak Dipedulikan

KERUSAKAN LINGKUNGAN Tata Ruang Rawa Tripa Tak Dipedulikan

Share
Banda Aceh, Kompas - Pemahaman akan tata ruang lingkungan yang minim menjadi salah satu penyebab banyaknya kebijakan alih fungsi lahan di lahan hutan gambut di Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh. Alih fungsi telah merusak fungsi hutan gambut dan mengancam penurunan tanah di kawasan rawa itu.
Kepala Bidang Kehutanan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Saminuddin, Kamis (2/2), mengungkapkan, tata ruang belum menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan. Akibatnya, kawasan lindung seperti Rawa Tripa pun diizinkan untuk dialihfungsikan sebagai lahan perkebunan sawit.
”Mereka tidak memahami tata ruang. Untuk kebijakan HGU (hak guna usaha) di Rawa Tripa, misalnya, terjadi penyimpangan fungsi lahan. Ini karena tak semua pihak taat pada asas tata ruang itu,” katanya.
Rawa Tripa merupakan satu dari tiga hutan rawa di pantai barat Pulau Sumatera. Luasnya 61.803 hektar. Rawa ini masuk kawasan lindung. Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mencatat, akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan melalui mekanisme HGU, luasan hutan gambut Rawa Tripa tinggal sekitar 20.000 hektar.
Alih fungsi itu menimbulkan banyak kegiatan investasi. ”Akibat pembuatan drainase di lahan gambut, gambut berangsur menipis dan mengalami subsidence atau penurunan permukaan tanah. Kondisi ini akibat proses pematangan gambut dan berkurangnya air,” kata aktivis lingkungan dari YEL, Riswan. Penurunan permukaan tanah itu mencapai 0,3-0,8 sentimeter per bulan. (HAN)

Selamatkan Hutan Rawa Gambut Aceh

Selamatkan Hutan Rawa Gambut Aceh

Oleh Media Center Aceh
Sumber: http://infopublik.kominfo.go.id/index.php?page=news&newsid=14730
Kamis, 02 Februari 2012 | 17:02
+ | Normal | -
Banda Aceh,  Info Publik Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengajak masyarakat Aceh untuk kembali kepada hukum dan budaya Aceh lama dalam  menyelamatkan hutan dan menjaga kelestarian alam.
“Mari kita kembali kepada hukum dalam menyelamatkan hutan dan menjaga kelestarian alam,” katanya pada pembukaan Seminar Lokakarya “Penyelamatan & Perlindungan Hutan Rawa Gambut Aceh”, di Gedung Sultan II Selim Banda Aceh, Kamis (2/2) pagi.
Dikatakannya bahwa pada masanya, Kerajaan Sultan Iskandar Muda sangat memperhatikan masalah lingkungan hidup sehingga memberikan hukuman yang berat bagi pelaku perusak hutan dan penebang pohon serta yang tidak menjaga lingkungannya. 
Bisa-bisa dapat hukuman mati bagi yang seseorang penyebab terbakarnya satu rumah dan menyebabkan rumah-rumah yang lain ikut terbakar akibat api yang menjalar dari rumah tersebut.  “Ini pernah diterapkan oleh Sultan Iskandar Muda kepada salah satu warga di Peuniti tahun 1917,” katanya.
Begitu tegasnya seorang Raja Aceh menerapkan hukuman untuk perusak alam dan ini patut kita tiru dan terapkan kembali dalam kepemimpinan  Aceh mendatang, siapapun nanti yang akan terpilih, ujarnya. 
Selain itu, budaya Aceh lama harus terus menerus kita pertahankan tatkala seorang ayah mewariskan kepada anaknya bukan harta melainkan pohon untuk menghasilkan uang. 
Maknanya anak-nak ini masing-masing diberi 5 batang pohon untuk ditanam hingga suatu hari nanti pohon tersebut dapat  menghasilkan uang.  “Warisan ini harus terus menerus dilaksanakan agar lingkungan terus terjaga,” kata Nazar.
Sementara itu, Adnan MS selaku Direktur Yayasan Ekosistem Sogium Aceh (YESA) mengatakan kita patut bersyukur karena Aceh dikaruniai lahan gambut (Paya – dalam bahasa Aceh) yang merupakan lahan spesifik yang belum tentu ada di wilayah lainnya.
Di Aceh, Paya ini hanya ada di pantai Barat Selatan seperti di Teunom Aceh Jaya, Nagan Raya, Simpang Balek Aceh  Barat, Abdya,  Aceh Selatan, dan Aceh Singkil. 
Sehubungan dengan tema seminar hari ini, ia mengajak masyarakat untuk menjaga dan melestarikan kembali lahan gambut yang ada di Aceh, sebelum satwa-satwa yang ada terancam punah.
Sementara  itu Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Aceh mengharapkan agar  YESA, Wahana Lingkungan Hidup  (WALHI) bersama insan Pers dapat bekerja sama.  LSM sebagai Advokasi dan Pers sebagai investigasi,  sehingga benar-benar dengan  kerjasama ini diharapkan Pers tidak hanya mampu menulis berita tetapi lebih penting dapat memiliki dan memahami pengetahuan tentang Lingkungan.  (ira/fj/MC Aceh/toeb)

Wagub Aceh Minta Dibentuk Green Peace Journalism

Wagub Aceh Minta Dibentuk Green Peace Journalism
Banda Aceh — Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Tarmilin Usman menegaskan pemahaman dan pengetahuan untuk melestarikan lingkungan harus dimiliki oleh semua pihak. Wawasan lingkungan ini tidak saja menjadi tanggung jawab LSM seperti Walhi, tapi juga termasuk wartawan sendiri harus memiliki pengetahuan lingkungan.

Hal itu dikatakan Tarmilin saat menyampaikan sambutan pada acara Seminar dan Lokakarya tentang penyelamatan rawa gambut Aceh dalam rangka memperingati Hari Lahan Basah Se-dunia dan Hari Pers Nasional ke 66 di Gedung Sultan II Selim, Kamis (2/1) Banda Aceh. 

Ia mengatakan wartawan sebagai pekerja pers juga perlu diberikan pengetahuan tentang pentingnya melestarikan lingkungan. Bahkan pemerintah sekalipun kurang tanggap terhadap begitu pentingnya menjaga lingkungan. 

Untuk menyelamatkan lingkungan di Aceh, wartawan boleh melakukan investigasi yang mendalam walaupun sudah ada lembaga atau LSM seperti Walhi Aceh yang aktif melakukan advokasi lingkungan.

“Karena itu pers berperan sebagai fasilitator sebagai penyambung lidah masyarakat dengan pemerintah, pers akan menyampaikan keluhan, gagasan kepada pemerintah terhadap berbagai peristiwa yang terjadi setiap saat,” sebut Tarmilin. 

Disisi lain juga, peran wartawan akan menyampaikan kepada masyarakat berbagai kegiatan atau program yang sudah dilakukan pemerintah, sehingga semua kegiatan pemerintah bisa diketahui oleh khalayak ramai. 

Diakhir sambutan tertulis yang disampaikan Tarmilin Usman juga diserukan agar semua pihak harus meningkatkan pemahaman dan tanggung jawab terhadap lahan gambut di Aceh. “Ayo kita lawan mafia perusak lingkungan,” sebut Tarmilin. 

Sementara itu Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar dalam sambutannya sempat menyinggung agar setelah kegiatan seminar dan lokakarya ini dibuat, maka seyogyanya dapat dibentuk sebuah wadah atau komunitas wartawan hijau damai atau Green Peace Journalism

Sementara itu Direktur Walhi Aceh, TM. Zulfikar kepada The Globe Journal mengatakan komunitas wartawan yang peduli terhadap lingkungan di Aceh  sudah ada yaitu namanya Green Journalist

“Komunitas kecil ini harus diperkuat lagi agar bisa bersinergi dengan organisasi wartawan yang ada di Aceh seperti PWI dan AJI dalam konteks kegiatan-kegiatan lingkungan,” kata Zulfikar yang juga sebagai pembina Green Journalistyang terbentuk sejak 2011 lalu.

Nazar Akui Pemerintah Aceh Salah Soal Kerusakan Rawa Gambut

Nazar Akui Pemerintah Aceh Salah Soal Kerusakan Rawa Gambut
Banda Aceh — Wakil Gubernur Aceh M. Nazar mengakui adanya kebijakan yang kurang tepat dari Pemerintah Aceh soal penanganan lingkungan, khususnya perihal kasus kerusakan rawa gambut. Hanya saja, dia menghelak ikut disalahkan dari kisruh hukum ini.

“Tapi bukan saya yang tanda-tangan izin rawa tripa itu untuk PT. Kalista Alam, kalau saya yang tanda tangan maka tinggal ubah saja,” kata Nazar di sela-sela seminar dan lokakarya penyelamatan hutan rawa gambut pada hari Lahan Basah Sedunia dan Hari Pers Nasional (HPN) ke 66, di Sultan II Selim, (2/1).

Masih menurut Nazar, seyogianya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus di kontrol oleh masyarakat agar arah kebijakan tersebut tidak menyimpang. Pasalnya, pembuatan kebijakan yang salah akan merusakkan lingkungan. “Kedepan kita akan evaluasi lagi, kalau ada kritik dari masyarakat maka dapat di evaluasi ulang,” kata Nazar lagi.

Selain itu, Nazar memberikan apresiasi kepada kelompok sipil yang konsisten melakukan upaya penyelamatan lingkungan dengan memberikan advokasinya kepada masyarakat. Sejalan dengan itu pula, dia juga mengusulkan perlunya rancangan draft qanun untuk menyelamatkan lingkungan secara menyeluruh. 

“Jangan setelah seminar habis acara selesai, maka harus ada tindak lanjutnya,” pungkasnya. 
Dia menambahkan, pada dasarnya hal itu bukanlah ide baru. Pada masa kerajaan Aceh proteksi terhadap lingkungan juga dikedepankan oleh pihak kerajaan. “Saat itu, siapa yang merusak lingkungan diberikan sanksi sampai hukuman mati,” katanya menutup perbincangan. []

Peringati HPN dan Lahan Basah Sedunia, PWI, Walhi, dan YESA Adakan Semiloka

 Peringati HPN dan Lahan Basah Sedunia, PWI, Walhi, dan YESA Adakan Semiloka
By zul333 · 31-01-2012 · No comments
ACEH ·
Link:http://www.suaranasionalnews.com/?p=2170
Banda Aceh | SNN – Sejumlah organisasi profesi dan masyarakat akan melakukan advokasi perlindungan hutan rawa gambut Aceh. Adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan Yayasan Ekosistem Sigom Aceh (YESA) akan mengawali peringatan ini dengan agenda semiloka Hari Pers Nasional dan Lahan Basah Sedunia.
Direktur Yayasan Ekosistem Sigom Aceh (YESA), Adnan NS,S Sos kepada Wartawan Senin (30-01-2012) mengatakan, hal penting akan disampaikan dalam loka karya ini adalah upaya perlindungan lahan basah atau hutan rawa gambut yang ada di Aceh.
Katanya, Aceh memiliki hutan tropis seluas 3,25 juta hektar, yang diperkirakan memiliki kandungan karbon sebesar 415 juta ton. Secara tidak langsung,  pemerintah di Aceh merespon solusi degradasi hutan melalui perdagangan karbon.
“Melalui peluang ini, Aceh dengan otoritas khusus dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) membuka peluang untuk menyatakan bahwa secara legislasi Kawasan Ekosistem Lauser (KEL), tak boleh lagi dieksploitasi,” pungkas Adnan.
Kawasan seluas 2,7 juta hektar di KEL menjadi modal lingkungan sangat menentukan bagi pembangunan di Aceh Sambung Adnan. Bahkan catatan Greenomics Indonesia mengungkapkan bahwa lebih dari 3.000 industri kecil, menengah, dan besar, yang beroperasi di Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) bergantung pada pasokan air dari KEL.
Kawasan itu juga menjadi penyuplai utama air bersih bagi lebih dari empat juta lebih penduduk Aceh dan Sumut. Pasal 150 dalam UUPA juga tegas melarang pemberian izin untuk pengusahaan hutan, di kawasan yang menjadi benteng ekologi Aceh itu.
“Untuk menjawab keinginan tersebut, dan dalam rangkaian memperingati Hari Lahan Basah se-Dunia yang jatuh pada tanggal 2 Februari 2012 dan Hari Pers Nasional (HPN) yang ke-66 tanggal 9 Februari 2012, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh dan Yayasan Ekosistem Sigom Aceh (YESA) bermaksud melaksanakan sebuah kegiatan Seminar dan Lokakarya dengan tentang Penyelamatan dan Perlindungan Hutan Rawa Gambut Aceh,” sebut Adnan.
Semiloka ini akan diikuti oleh berbagai elemen masyarakat dan ragam latar belakang dan ilmu.
Kegiatan tersebut akan dilaksanakan pada hari Kamis, 2 Februari 2012, bertempat di Gedung Sultan II Selim, Aceh Community Center (ACC-Turki), Banda Aceh. (NW)

WALHI Aceh Minta Pemkab Aceh Besar Pidanakan Galian C Liar Jantho

WALHI Aceh Minta Pemkab Aceh Besar Pidanakan Galian C Liar Jantho

Sumber:http://www.bongkarnews.com/beta/view.php?newsid=2675
Kamis, 26 Januari 2012 | 21:32:08 | 29 Views

Aceh Besar,BN – Masyarakat punya hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, bersih dan layak untuk kehidupan. Jika lingkungan tersebut telah dirusak dengan sengaja oleh segelintir orang, maka masyarakat tidak perlu takut untuk mengajukan tuntutan pidana. WALHI Aceh juga meminta kepada Pemkab Aceh Besar agar memidanakan para perusak lingkungan penambang galian C sesuai dengan harapan masyarakat.

Direktur Eksekutif WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar menyampaikan hal ini dalam pertemuan dengan Pemkab Aceh Besar pada rapat pembahasan kasus Galian C Biluy yang berlangsung Kamis (26/1) di Kantor Bupati Aceh Besar.

Rapat tersebut dipimpin oleh Sekdakab Aceh Besar, Drs. Zulkifli Ahmad dan dihadiri para asisten, kepala SKPD di lingkungan Pemkab Aceh Besar. Masyarakat Biluy yang terkena dampak negatif dari aktivitas Galian C juga turut hadir.

T. Muhammad Zulfikar lebih lanjut menyampaikan sesuai dengan UUD 1945, yang menjadi pegangan bagi seluruh bangsa Indonesia, negara wajib melindungi rakyatnya. Negara wajib menjaga agar masyarakat tidak terganggu kehidupannya dan terjadi konflik dalam masyarakat.

“Bagaimana peran negara dalam melindungi rakyat, jangan sampai konflik-konflik lingkungan yang terjadi di luar Aceh seperti di Bima dan Mesuji terjadi di Aceh,”katanya.

WALHI Aceh meminta Pemkab Aceh Besar memidanakan para pengusaha galian C liar karena mereka telah merusak lingkungan dan menyengsarakan masyarakat. Negara wajib melindungi masyarakat. “Bukan malah melindungi pengusaha,”ujarnya.

T. Muhammad Zulfikar menyampaikan bahwa gugatan pidana terhadap perusak lingkungan dimungkinkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Dalam Undang-undang tersebut dikatakan Pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota,”kata Direktur WALHI Aceh.

Ia juga menambahkan masyarakat bisa melakukan gugatan pidana dimana masyarakat yang memperjuangkan hak-hak lingkungan tidak bisa dituntut. “Pasal 66 UU No. 32 menyebutkan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,”ujar T. Muhammad Zulfikar mengutip.

Kasus Galian C Biluy mencuat setelah Pemkab Aceh Besar, atas desakan dari masyarakat di Kemukiman Biluy, menutup aktivitas tambang tersebut. Penutupan didasari oleh lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Dampak negatif galian C ini sangat luar biasa. Lapisan tanah atas (top soil) yang sudah terbuka menyebabkan air mengalir cepat di permukaannya. Dimusim hujan akan menyebabkan banjir dan tanah longsor, dimusim kemarau akan menyebabkan kekeringan karena tidak ada cadangan air yang tersimpan. Masyarakat telah kehilangan sumber air, mata air banyak yang sudah mengering.

Selama ini banyak pihak hanya menghitung keuntungan ekonomi semata dari usaha galian C tanpa pernah menghitung kerugian yang ditimbulkan. Misalnya saja berapa hektar sawah mengering tak bisa dikerjakan, masyarakat yang jatuh sakit, jalanan yang hancur dan sebagainya. (Mahdi Andela)

PWI dan Walhi Gelar Lokakarya Penyelamatan Rawa Tripa

Aceh - Hari ini Pkl. 00:31 WIB
Banda Aceh, (Analisa). Persatuan Wartawan Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (PWI-Walhi) menggelar lokakarya penyelamatan dan perlindungan hutan rawa gambut di Provinsi Aceh.
Lokakarya ini dilakukan untuk membentuk persamaan persepsi dan aksi dalam rangka advokasi serta upaya penyelamatan dan perlindungan hutan rawa gambut di Aceh.

Ketua PWI Cabang Aceh Tarmilin Usman mengungkapkan, lokakarya yang akan diikuti sedikitnya 150 peserta dari elemen sipil, aparatur pemerintah dan pemerhati lingkungan serta para wartawan media cetak dan elektronik di Aceh berlangsung pada 2 Februari 2012 di Banda Aceh.

Dijelaskan, lokakarya sehari sebagai rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke-66 itu juga diharapkan terbentuknya hubungan kerja sinergis dan konstruktif antarkomponen dan lembaga terkait, terutama insan pers dan CSO di provinsi ujung barat Indonesia ini.

"Kami juga berharap dari lokakarya itu dapat menggali dan mencari jalan keluar bersama terhadap permasalah yang ada terkait perlindungan hutan rawa gambut dan lingkungan hidup," ujar Tarmilin Usman, Sabtu (28/1).

Lokakarya sehari itu akan menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar sebagai pembicara kunci, pejabat pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh, perwakilan legislatif (DPRA) dan aktivis lingkungan hidup.

Menurut Tarmilin, sebagai insan pers juga memiliki peran penting dalam mengawal dan mengkampanyekan isu-isu kerusakan hutan dan lingkungan hidup khususnya di Aceh, terutama terkait dengan upaya penyelamatan rawa gambut di daerah ini.

3,25 Juta Hektar

Direktur eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar menjelaskan, provinsi ini mempunyai hutan tropis seluas 3,25 juta hektar dan diperkirakan memiliki kandungan karbon sebesar 415 juta ton. Secara tidak langsung, pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota di Aceh merespons solusi degradasi hutan melalui perdagangan karbon.

"Dari peluang itu maka Aceh dengan otoritas khusus (UUPA) membuka peluang untuk menyatakan bahwa secara legislasi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tidak boleh lagi dieksploitasi," ungkap TM Zulfikar.

Dipihak lain, tambahnya, luas hutan Aceh banyak menyusut akibat gerusan perkebunan kelapa sawit di sejumlah kabupaten di provinsi ini. Karenanya penggerusan hutan menjadi perkebunan yang paling memprihatinkan terjadi di kawasan rawa Tripa di kawasan pantai barat Pulau Sumatera perlu perhatian semua pihak. "Melalui lokakarya ini kami harapkan adanya aksi bersama bagi penyelamatan hutan rawa gambut di Aceh," kata TM Zulfikar.

Dia menambahkan, pers dinilai memiliki fungsi strategis dalam mengkampanyekan upaya penyelamatan lingkungan hidup khususnya di kawasan rawa gambut atau rawa Tripa.(irn)

WALHI dan PWI Aceh Adakan Seminar

WALHI dan PWI Aceh Adakan Seminar
Selasa, 31 Januari 2012 12:03 WIB
l

Sumber:http://aceh.tribunnews.com/2012/01/31/walhi-dan-pwi-aceh-adakan-seminar

BANDA ACEH - WALHI Aceh bekerjasama dengan PWI Aceh dan Yayasan Ekosistem Sigom Aceh (YESA) dijadwalkan menggelar lokakarya tentang Penyelamatan dan Perlindungan Hutan Rawa Gambut Aceh, 2 Februari 2012.

Direktur Eksekutif WALHI Aceh, T M Zulfikar dan Ketua PWI Aceh, Tarmilin Usman secara terpisah kepada Serambi mengatakan dalam seminar dan lokakarya itu akan hadir sebagai pemateri Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar dan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh.

Selain itu, juga hadir Ketua DPRA, Direktur Yayasan Ekosistem Lestari, dan Ketua PWI Aceh. Provinsi Aceh, menurut Zulfikar, memiliki hutan tropis seluas 3,25 juta hektar, yang diperkirakan memiliki kandungan karbon sebesar 415 juta ton.(sir)

Editor : bak

Peringati HPN dan Lahan Basah, PWI, Walhi, dan yESA Adakan Semiloka

Peringati HPN dan Lahan Basah, PWI, Walhi, dan yESA Adakan Semiloka
Firman Hidayat | The Globe Journal | Senin, 30 Januari 2012
Sumber:http://www.theglobejournal.com/kategori/sosial/peringati-hpn-dan-lahan-basah-pwi-walhi-dan-yesa-adakan-semiloka.php
Banda Aceh — Sejumlah organisasi profesi dan masyarakat akan melakukan advokasi perlindungan hutan rawa gambut Aceh. Adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Wahana Lingkungan Hidu (Walhi), dan Yayasan Ekosistem Sigom Aceh (yESA) akan mengawali peringatan ini dengan agenda semiloka Hari Pers Nasional dan Lahan Basah Sedunia.

Direktur Yayasan Ekosistem Sigom Aceh (yESA), Adnan NS S Sos kepada The Globe Journal, Senin (30/1) mengatakan, hal penting akan disampaikan dalam loka karya ini adalah upaya perlindungan lahan basah atau hutan rawa gambut yang ada di Aceh.

Katanya, Aceh memiliki hutan tropis seluas 3,25 juta hektar, yang diperkirakan memiliki kandungan karbon sebesar 415 juta ton. Secara tidak langsung,  pemerintah di Aceh merespon solusi degradasi hutan melalui perdagangan karbon.

“Melalui peluang ini, Aceh dengan otoritas khusus dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) membuka peluang untuk menyatakan bahwa secara legislasi KEL, tak boleh lagi dieksploitasi,” pungkas Adnan.

Kawasan seluas 2,7 juta hektar di KEL menjadi modal lingkungan sangat menentukan bagi pembangunan di Aceh Sambung Adnan. Bahkan catatan Greenomics Indonesia mengungkapkan bahwa lebih dari 3.000 industri kecil, menengah, dan besar, yang beroperasi di Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) bergantung pada pasokan air dari KEL.

Kawasan itu juga menjadi penyuplai utama air bersih bagi lebih dari empat juta lebih penduduk Aceh dan Sumut. Pasal 150 dalam UUPA juga tegas melarang pemberian izin untuk pengusahaan hutan, di kawasan yang menjadi benteng ekologi Aceh itu.

“Untuk menjawab keinginan tersebut, dan dalam rangkaian memperingati Hari Lahan Basah se-Dunia yang jatuh pada tanggal 2 Februari 2012 dan Hari Pers Nasional (HPN) yang ke-66 tanggal 9 Februari 2012, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh dan Yayasan Ekosistem Sigom Aceh (YESA) bermaksud melaksanakan sebuah kegiatan Seminar dan Lokakarya dengan tentang Penyelamatan dan Perlindungan Hutan Rawa Gambut Aceh,” sebut Adnan.

Semiloka ini akan diikuti oleh berbagai elemen masyarakat dan ragam latar belakang dan ilmu. 
Kegiatan tersebut akan dilaksanakan pada hari Kamis, 2 Februari 2012, bertempat di Gedung Sultan II Selim, Aceh Community Center (ACC-Turki), Banda Aceh. []

PWI Aceh-Walhi Kerjasama Gelar Lokakarya Penyelamatan Hutan Rawa

PWI Aceh-Walhi Kerjasama Gelar Lokakarya Penyelamatan Hutan Rawa

Sumber:http://www.lintasgayo.com/18333/pwi-aceh-walhi-kerjasama-gelar-lokakarya-penyelamatan-hutan-rawa.html
Banda Aceh | Lintas Gayo – Persatuan Wartawan Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (PWI-Walhi) menggelar lokarkarya penyelamatan dan perlindungan hutan rawa gambut di Provinsi Aceh.
“Kerja sama lokakarya PWI dan Walhi itu bertujuan membentuk persamaan persepsi dan aksi dalam rangka advokasi serta upaya penyelamatan dan perlindungan hutan rawa gambut di Aceh,” kata Ketua PWI Cabang Aceh Tarmilin Usman di Banda Aceh, Sabtu (28/1/2012).
Lokakarya yang akan diikuti sedikinta 150 peserta dari elemen sipil, aparatur pemerintah dan pemerhati lingkungan serta para wartawan media cetak dan elektronik di Aceh berlangsung pada 2 Februari 2012 di Kota Banda Aceh.
Dijelaskan, lokakarya sehari sebagai rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN ke 66) itu juga diharapkan terbentuknya hubungan kerja sinergis dan konstruktif antar komponen dan lembaga terkait, terutama insan pers dan CSO di provinsi ujung paling barat Indonesia ini.
“Kami juga berharap dari lokakarya itu dapat menggali dan mencari jalan keluar bersama terhadap permasalah yang ada terkait perlindungan hutan rawa gambut dan lingkungan hidup,” katanya Tarmilin Usman.
Dikatakan, lokakarya sehari itu juga akan menghadiri sejumlah narasumber  antara lain Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar sebagai pembicara kunci, pejabat pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh, perwakilan legislatif (DPRA) dan aktivis lingkungan hidup.
“Sebagai insan pers juga memiliki peran penting dalam mengawal dan mengkampanyekan isu-isu kerusakan hutan dan lingkungan hidup khususnya di Aceh, terutama terkait dengan upaya penyelamatan rawa gambut di daerah ini,” kata Tarmilin Usman.
Sementara itu, Direktur eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar menjelaskan bahwa provinsi ini mempunyai hutan tropis seluas 3,25 juta hektare dan diperkirakan memiliki kandungan karbon sebesar 415 juta ton.
“Secara tidak langsung, pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota di Aceh merespon solusi degradasi hutan melalui perdagangan karbon. Dari peluang itu maka Aceh dengan otoritas khusus (UUPA) membuka peluang untuk menyatakan bahwa secara legislasi kawasan ekosistem lueser (KEL) tidak boleh lagi di eksploitasi,” katanya.
Namun dipihak lain, TM Zulfikar menyebutkan luas hutan Aceh banyak menyusut akibat gurusan perkebunan kelapa sawit di sejumlah kabupaten di provinsi ini.
“Karenanya kami menilai bahwa pengerusan hutan menjadi perkebunan yang paling memprihatinkan terjadi di kawasan rawa Tripa di kawasan pantai barat Pulau Sumatera. Untuk itu, melalui lokakarya ini kami harapkan adanya aksi bersama bagi penyelamatan hutan rawa gambut di Aceh,” jelas TM Zulfikar
Oleh sebab itu, pers dinilai memiliki fungsi strategis dalam mengkampanyekan upaya penyelamatan lingkungan hidup khususnya di kawasan rawa gambut atau rawa tripa di pesisir barat Pulau Sumatera tersebut.(SP/red.04)
.

Nasib Hutan Rawa Tripa

Nasib Hutan Rawa Tripa
Yusriadi | Kontributor | Jum`at, 27 Januari 2012
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/foto/nasib-hutan-rawa-tripa.php
Beginilah nasib hutan gambut Rawa Tripa Nagan Raya dimana banyak dibuka kanal-kanal dalam hutan untuk pengeringan rawa guna untuk penanaman sawit, (26/1). Perusakan Rawa Tripa meningkat sejak PT. Kallista Alam beroperasi di rawa yang berkedalaman lebih dari 3 meter.