KERUSAKAN LINGKUNGAN: Hutan Gambut Jadi Kebun Sawit
   
       
        
     Kamis, 23 Februari 2012 00:00    
        
    
| Share | 
Banda Aceh, - Penggunaan lahan hutan rawa gambut 
Tripa di Nagan Raya, Aceh, untuk perkebunan kelapa sawit telah merusak 
keseimbangan lingkungan setempat. Hewan dilindungi yang selama ini 
menghuni di kawasan hutan lindung tersebut, seperti orangutan, beruang, 
dan harimau, kerap masuk ke permukiman warga. Alih fungsi lahan juga 
membuat warga kian kesulitan air bersih, kehilangan mata pencarian, dan 
terancam bencana alam.
Hal tersebut dikatakan sejumlah warga setempat saat memberikan 
kesaksian di hadapan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) 
Banda Aceh dalam sidang kasus gugatan atas pemberian izin pembukaan 
lahan oleh PT Kalista Alam di Rawa Tripa, Rabu (22/2).
Samsinar (46), warga Desa Sumber Bekti, Kecamatan Darul Makmur, 
Tripa, Nagan Raya, mengungkapkan, sejak pembukaan lahan di rawa gambut 
di dekat desanya, hampir setiap hari warga terganggu oleh kehadiran 
binatang-binatang liar seperti beruang. Hewan tak hanya mengancam jiwa, 
tetapi juga merusakkan tanaman pertanian, bahkan masuk ke rumah.
”Sebelum hutan gambut itu ditanami sawit dan dibuat kanal- kanal air,
 hal seperti itu tak terjadi. Sekarang, sering tiba-tiba ada orangutan 
atau beruang masuk ke rumah, kadang mereka mencuri nasi. Ini karena 
mereka tak punya makanan lagi di hutan yang sudah ditanami sawit itu,” 
papar Samsinar.
Dalam kesaksian, Ibduh, Keuchik (Kepala Desa) Sumber Bakti, 
mengungkapkan, lahan hutan yang kini dibuka untuk perkebunan sawit PT 
Kalista Alam seluas 1.605 hektar itu dahulu merupakan hutan rawa lebat 
yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Namun, sejak 2009 lahan itu 
telah jadi kebuh sawit. ”Sejak itu, ikan lele, lokan, madu, dan 
lain-lain yang biasa kami dapatkan di hutan Rawa Tripa sudah sangat 
susah dicari,” katanya. Sebelum jadi kebun sawit, masyarakat setempat 
bisa mendapat ikan lele sebanyak 20-50 kilogram, kini hanya 0,5 kg.
Beberapa waktu lalu, Ibduh bersama keuchik-keuchik dari 21 desa di 
Nagan Raya telah menandatangani petisi penolakan pembukaan lahan oleh PT
 Kalista Alam di Rawa Tripa. ”Kami membuat petisi atas kesadaran sendiri
 tanpa ada paksaan dari pihak mana pun,” ujar Ibduh
Masyarakat dan para kepala desa pun tidak pernah dilibatkan dalam 
pemberian izin oleh pemerintah daerah setempat terkait pembukaan lahan 
hutan untuk sawit tersebut. ”Kami menolak pembukaan lahan. Kami sudah 
mengadu ke mana-mana, tapi tidak ada respons, baru kali inilah ada 
respons,” ucap Ibduh. Menurut dia, kini di musim hujan sangat mudah 
terjadi banjir dan di musim kemarau terjadi kekeringan yang 
berkepanjangan. Selain itu, intensitas hewan liar masuk ke kampung pun 
makin tinggi sehingga sering terjadi konflik satwa.
Indrianto, warga sekitar hutan yang juga menjadi aktivis pemantau 
lingkungan di Rawa Tripa, mengungkapkan, ”Kini sudah jarang saya menemui
 orangutan di hutan Rawa Tripa. Malah saya mendengar cerita masyarakat 
ada orangutan yang dibunuh untuk dimakan, tapi saya tidak tahu lebih 
lanjut,” kata Indrianto. Perekonomian warga pun kini rusak. ”Dulu 
toke-toke (pedagang) dari Blang Pidie, Meulaboh, dan beberapa daerah 
lain datang kemari membeli ikan. Sekarang tak ada lagi,” ujarnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mengajukan gugatan 
terhadap Gubernur Aceh sebab dinilai telah melawan hukum dengan 
mengeluarkan surat izin pada 25 Agustus 2011 untuk izin usaha perkebunan
 kepada PT Kalista Alam di Desa Pulo Kruet seluas 1.605 hektar. (HAN)

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar