Rabu, 25 April 2012

Tambang Banyak Picu Masalah

Untungkan Pengusaha, tetapi Merugikan Rakyat Banyak

Jakarta, KompasCetak/20/01/12Usaha pertambangan di Tanah Air hingga saat ini lebih banyak memicu beragam masalah serius, mulai dari pelanggaran aturan dan hukum, konflik sosial dan horizontal, kerusakan lingkungan tidak terkendali, hingga ujung-ujungnya tindakan kriminal dan kekerasan. Praktik usaha ini pun belum banyak memberikan kesejahteraan yang nyata bagi masyarakat.
Jika berbagai persoalan itu tidak segera ditangani, termasuk evaluasi pelaksanaan pemberian izin usaha pertambangan (IUP), permasalahan akan semakin kritis dan pada saatnya akan menimbulkan konflik sosial, perkara hukum, dan yang sudah terus terjadi adalah kerusakan lingkungan yang tidak terkendali.
Demikian benang merah masalah pertambangan dari delapan provinsi, yaitu Aceh, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Jawa Barat.
Kerusakan lingkungan
Kerusakan lingkungan dilaporkan muncul dari Kabupaten Aceh Besar, yaitu rusaknya aliran Sungai Krueng Aceh dan hancurnya 10 perbukitan yang akan memicu krisis air bersih akibat eksploitasi bahan galian C.
Ada tiga lokasi pertambangan di Aceh Besar yang disoroti akibat dampak buruk lingkungan dan sosial yang ditimbulkannya. Ketiga lokasi itu adalah tambang pasir besi di Lampanah, Seulimeum, tambang galian C di Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh, dan tambang bijih besi di Lhoong oleh PT Lhoong Setia Mining.
Pemimpin Kemukiman Lampanah, Aceh Besar, Idham Ahmad mengatakan, sejak PT Samana Citra Agung dan Bina Meukuta Alam masuk untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi pasir besi di Lampanah, terjadi persoalan sosial di wilayah itu. ”Dulu katanya di sini mau dibuka lapangan golf, ternyata dibuka tambang pasir besi. Kami tidak pernah dilibatkan. Tiba-tiba mereka masuk begitu saja. Itu yang kami resahkan. Lebih parah lagi, kami diadu domba,” kata Idham.
Pertambangan pasir besi juga merusak terumbu karang. Nelayan di Lampanah kian sulit mencari ikan. Belum lagi dampak abrasinya.
Temuan Kepolisian Resor Ketapang, Kalbar, atas 6.500 karung pasir zirkon seberat 325 ton dari sebuah gudang perusahaan tambang, membuktikan maraknya pertambangan ilegal di wilayah itu. Zirkon adalah mineral tambang sejenis pasir yang digunakan untuk bahan baku pembuatan keramik dan komponen elektronik.
Kepala Bidang Konservasi Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar Bambang Santoso mengatakan, sejumlah negara seperti China mengolah zirkon hingga mendapatkan konsentrat ilmenit dan titan yang mengandung zat radioaktif. ”Itulah sebabnya, importir asal China berani membeli zirkon dalam jumlah berapa pun dari Indonesia,” kata Bambang.
Badan Lingkungan Hidup, Riset, dan Teknologi Informasi Provinsi Gorontalo mencatat, pertambangan di daerah itu telah menyebabkan pencemaran air di Paguyaman dan Bone Bolango. Luas kawasan yang dipakai 36 IUP mencakup 209.460 hektar, belum termasuk kawasan yang dipakai petambang emas ilegal. Dari 36 IUP di empat kabupaten di Gorontalo, 17 di antaranya sama sekali belum ada kegiatan.
Berdasarkan rekomendasi Badan Lingkungan Hidup Samarinda, Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang menyetop sementara 8 pertambangan batubara dan memberikan peringatan kepada 31 pertambangan batubara akhir Januari lalu. Pertambangan itu merusak lingkungan karena tak ada reklamasi lubang bekas tambang, tidak menanam kembali, tidak memiliki areal pembuangan air limbah, dan tidak mempunyai izin limbah bahan berbahaya dan beracun. Perusahaan diberi tenggat hingga 25 Februari untuk memulihkan kerusakan lingkungan.
Pelanggaran prosedur
Menyangkut pelanggaran prosedur pengurusan izin pertambangan, Juni 2011 aktivitas pertambangan galian C di Kecamatan Darul Kamal sudah ditutup Bupati Aceh Besar, tetapi eksploitasi tetap berlangsung. ”Pada Januari 2012, izin mereka sudah selesai, tapi sampai sekarang tetap ada alat berat yang masih menggali lempung di sini,” kata Erliana, Camat Darul Kamal.
TM Zulfikar, Direktur Walhi Aceh, menilai masyarakat tidak pernah menikmati manfaat dari penambangan. Bahkan, pendapatan asli daerah juga kecil dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan. ”Usaha itu hanya menguntungkan pengusaha,” kata Zulfikar.
Di Sumba, meski IUP masih sebatas eksplorasi oleh PT Fathi Resource, hal itu sudah menimbulkan konflik. Pengeboran dilakukan di lokasi yang dianggap keramat dan di daerah tangkapan air. Total izin eksplorasi 50.000 hektar mencakup sebagian wilayah kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Lai Wanggi Wanggameti, Sumba Timur.
Koordinator Komunitas Peduli Tanah Sumba Pastor Mike Keraf CSsR mengatakan, saat ini tiga warga Sumba Tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Waikabubak, Sumba Barat, terkait kasus pembakaran alat bor tambang milik PT Fathi. Persidangan itu dipaksakan karena sebelumnya staf PT Fathi, anggota kepolisian, dan Kejaksaan Negeri Waikabubak menawarkan kepada ketiga warga itu agar memberikan kesempatan kepada PT Fathi mengelola tambang.
Direktur PT Fathi Resource Acmad Chandra membantah aktivitas perusahaan ditolak warga. Mungkin ada sebagian warga menolak, tetapi itu karena diprovokasi pihak lain. ”Kami melakukan sosialisasi dan eksplorasi di lokasi yang telah diberi izin oleh pemerintah. Kami hanya melakukan pengeboran di titik lokasi yang sangat terbatas sehingga tidak mungkin merusak lingkungan sekitar seperti yang diberitakan,” kata Chandra.
Untuk mengatasi masalah itu, di Aceh Besar telah direkomendasikan penghapusan izin pertambangan di wilayah ini. Pemkab Bone Bolango berkomitmen tidak akan menerbitkan IUP baru hingga akhir 2012. Begitu juga di Kaltim. ”Jika perusahaan tambang tidak segera memperbaiki lingkungan sampai waktu yang ditentukan, maka izin usaha pertambangan akan dicabut,” ujar Kepala Badan Lingkungan Hidup Samarinda Endang Liansyah.(HAN/ENG/IRE/ZAL/KOR/APO/AHA/ILO/PRA/REN/CHE/HRD)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar