Tambang Banyak Picu Masalah
Untungkan Pengusaha, tetapi Merugikan Rakyat Banyak

Jakarta, KompasCetak/20/01/12 - Usaha pertambangan di Tanah
Air hingga saat ini lebih banyak memicu beragam masalah serius, mulai
dari pelanggaran aturan dan hukum, konflik sosial dan horizontal,
kerusakan lingkungan tidak terkendali, hingga ujung-ujungnya tindakan
kriminal dan kekerasan. Praktik usaha ini pun belum banyak memberikan
kesejahteraan yang nyata bagi masyarakat.
Jika berbagai persoalan itu tidak segera
ditangani, termasuk evaluasi pelaksanaan pemberian izin usaha
pertambangan (IUP), permasalahan akan semakin kritis dan pada saatnya
akan menimbulkan konflik sosial, perkara hukum, dan yang sudah terus
terjadi adalah kerusakan lingkungan yang tidak terkendali.
Demikian benang merah masalah
pertambangan dari delapan provinsi, yaitu Aceh, Gorontalo, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan
Barat, dan Jawa Barat.
Kerusakan lingkungan
Kerusakan lingkungan dilaporkan muncul dari Kabupaten Aceh Besar,
yaitu rusaknya aliran Sungai Krueng Aceh dan hancurnya 10 perbukitan
yang akan memicu krisis air bersih akibat eksploitasi bahan galian C.
Ada tiga lokasi pertambangan di Aceh Besar yang disoroti akibat
dampak buruk lingkungan dan sosial yang ditimbulkannya. Ketiga lokasi
itu adalah tambang pasir besi di Lampanah, Seulimeum, tambang galian C
di Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh, dan tambang bijih besi di Lhoong
oleh PT Lhoong Setia Mining.
Pemimpin Kemukiman Lampanah, Aceh Besar,
Idham Ahmad mengatakan, sejak PT Samana Citra Agung dan Bina Meukuta
Alam masuk untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi pasir besi di
Lampanah, terjadi persoalan sosial di wilayah itu. ”Dulu katanya di sini
mau dibuka lapangan golf, ternyata dibuka tambang pasir besi. Kami
tidak pernah dilibatkan. Tiba-tiba mereka masuk begitu saja. Itu yang
kami resahkan. Lebih parah lagi, kami diadu domba,” kata Idham.
Pertambangan pasir besi juga merusak terumbu karang. Nelayan di Lampanah kian sulit mencari ikan. Belum lagi dampak abrasinya.
Temuan Kepolisian Resor Ketapang,
Kalbar, atas 6.500 karung pasir zirkon seberat 325 ton dari sebuah
gudang perusahaan tambang, membuktikan maraknya pertambangan ilegal di
wilayah itu. Zirkon adalah mineral tambang sejenis pasir yang digunakan
untuk bahan baku pembuatan keramik dan komponen elektronik.
Kepala Bidang Konservasi Dinas
Pertambangan dan Energi Kalbar Bambang Santoso mengatakan, sejumlah
negara seperti China mengolah zirkon hingga mendapatkan konsentrat
ilmenit dan titan yang mengandung zat radioaktif. ”Itulah sebabnya,
importir asal China berani membeli zirkon dalam jumlah berapa pun dari
Indonesia,” kata Bambang.
Badan Lingkungan Hidup, Riset, dan
Teknologi Informasi Provinsi Gorontalo mencatat, pertambangan di daerah
itu telah menyebabkan pencemaran air di Paguyaman dan Bone Bolango. Luas
kawasan yang dipakai 36 IUP mencakup 209.460 hektar, belum termasuk
kawasan yang dipakai petambang emas ilegal. Dari 36 IUP di empat
kabupaten di Gorontalo, 17 di antaranya sama sekali belum ada kegiatan.
Berdasarkan rekomendasi Badan Lingkungan
Hidup Samarinda, Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang menyetop sementara 8
pertambangan batubara dan memberikan peringatan kepada 31 pertambangan
batubara akhir Januari lalu. Pertambangan itu merusak lingkungan karena
tak ada reklamasi lubang bekas tambang, tidak menanam kembali, tidak
memiliki areal pembuangan air limbah, dan tidak mempunyai izin limbah
bahan berbahaya dan beracun. Perusahaan diberi tenggat hingga 25
Februari untuk memulihkan kerusakan lingkungan.
Pelanggaran prosedur
Menyangkut pelanggaran prosedur pengurusan izin pertambangan, Juni
2011 aktivitas pertambangan galian C di Kecamatan Darul Kamal sudah
ditutup Bupati Aceh Besar, tetapi eksploitasi tetap berlangsung. ”Pada
Januari 2012, izin mereka sudah selesai, tapi sampai sekarang tetap ada
alat berat yang masih menggali lempung di sini,” kata Erliana, Camat
Darul Kamal.
TM Zulfikar, Direktur Walhi Aceh,
menilai masyarakat tidak pernah menikmati manfaat dari penambangan.
Bahkan, pendapatan asli daerah juga kecil dibandingkan dengan kerusakan
yang ditimbulkan. ”Usaha itu hanya menguntungkan pengusaha,” kata
Zulfikar.
Di Sumba, meski IUP masih sebatas
eksplorasi oleh PT Fathi Resource, hal itu sudah menimbulkan konflik.
Pengeboran dilakukan di lokasi yang dianggap keramat dan di daerah
tangkapan air. Total izin eksplorasi 50.000 hektar mencakup sebagian
wilayah kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Lai Wanggi Wanggameti,
Sumba Timur.
Koordinator Komunitas Peduli Tanah Sumba
Pastor Mike Keraf CSsR mengatakan, saat ini tiga warga Sumba Tengah
menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Waikabubak, Sumba Barat,
terkait kasus pembakaran alat bor tambang milik PT Fathi. Persidangan
itu dipaksakan karena sebelumnya staf PT Fathi, anggota kepolisian, dan
Kejaksaan Negeri Waikabubak menawarkan kepada ketiga warga itu agar
memberikan kesempatan kepada PT Fathi mengelola tambang.
Direktur PT Fathi Resource Acmad Chandra
membantah aktivitas perusahaan ditolak warga. Mungkin ada sebagian
warga menolak, tetapi itu karena diprovokasi pihak lain. ”Kami melakukan
sosialisasi dan eksplorasi di lokasi yang telah diberi izin oleh
pemerintah. Kami hanya melakukan pengeboran di titik lokasi yang sangat
terbatas sehingga tidak mungkin merusak lingkungan sekitar seperti yang
diberitakan,” kata Chandra.
Untuk mengatasi masalah itu, di Aceh
Besar telah direkomendasikan penghapusan izin pertambangan di wilayah
ini. Pemkab Bone Bolango berkomitmen tidak akan menerbitkan IUP baru
hingga akhir 2012. Begitu juga di Kaltim. ”Jika perusahaan tambang tidak
segera memperbaiki lingkungan sampai waktu yang ditentukan, maka izin
usaha pertambangan akan dicabut,” ujar Kepala Badan Lingkungan Hidup
Samarinda Endang
Liansyah.(HAN/ENG/IRE/ZAL/KOR/APO/AHA/ILO/PRA/REN/CHE/HRD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar