T. M. Zoelfikar
Akademisi dan Pegiat LIngkungan Aceh
Selasa, 14 September 2021
Alih Fungsi Lahan di Aceh Mengancam Satwa Dilindungi
Senin 06 Sep 2021 05:45 WIB
Red: Mas Alamil Huda
Tim Medis satwa BKSDA Aceh melakukan proses nekropsi terhadap bangkai harimau sumatera yang ditemukan mati di Kawasan Ekosistem Leuser Desa Ibuboh, Kecamatan Meukek, Aceh Selatan, Aceh, Kamis (26/8/2021). Proses nekropsi seperti pengukuran gigi dan pengambilan isi alat pencernaan tersebut dilakukan untuk uji laboratorium dalam proses penyelidikan penyebab kematian harimau.
Tim Medis satwa BKSDA Aceh melakukan proses nekropsi terhadap bangkai harimau sumatera yang ditemukan mati di Kawasan Ekosistem Leuser Desa Ibuboh, Kecamatan Meukek, Aceh Selatan, Aceh, Kamis (26/8/2021). Proses nekropsi seperti pengukuran gigi dan pengambilan isi alat pencernaan tersebut dilakukan untuk uji laboratorium dalam proses penyelidikan penyebab kematian harimau.
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Satwa-satwa liar yang dilindungi juga terancam kehilangan habitatnya.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Kalangan pegiat lingkungan hidup menyatakan alih fungsi lahan yang tidak terkontrol saat ini menjadi ancaman keberlangsungan satwa-satwa liar di Provinsi Aceh. Satwa-satwa liar yang dilindungi juga terancam kehilangan habitatnya.
"Alih fungsi lahan, seperti kawasan hutan menjadi lahan pertanian menjadi ancaman bagi kelestarian satwa-satwa liar dilindungi," kata TM Zulfikar, pegiat lingkungan hidup, di Banda Aceh, Ahad (5/9).
Selain mengancam keberlangsungan satwa dilindungi, kata Zulfikar, alih fungsi lahan tersebut juga sudah menyebabkan konflik satwa dengan manusia. Akibat konflik tersebut, kedua pihak selalu dirugikan.
"Manusia kehilangan mata pencaharian seperti lahan pertanian dirusak. Sedang satwa berujung dengan kematian. Padahal, satwa tersebut merupakan penyeimbang ekosistem," kata Zulfikar.
Menurut Zulfikar, kawasan hutan Aceh sebagian memang sangat ideal sebagai habitat alami satwa dilindungi seperti gajah, harimau, orang utan, dan lainnya. Ini seharusnya dipertahankan untuk mencegah kepunahan satwa-satwa liar tersebut.
Namun, luas kawasan hutan tersebut terus menyusut karena alih fungsi lahan dan penebangan liar. Akibatnya, kehidupan satwa-satwa liar tersebut menjadi terdesak.
"Dampaknya, satwa liar terpaksa mencari mangsa di luar kawasan hutan. Bahkan ada yang mendekati pemukiman penduduk," kata Zulfikar yang juga Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari di Aceh, sebuah lembaga yang bergerak di bidang lingkungan hidup.
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Aceh Selatan, kata Zulfikar, tiga harimau, satu induk ditemukan mati terjerat dekat pemukiman penduduk. Ini terjadi karena mereka mencari mangsa keluar dari habitatnya.
Oleh karena itu, mantan Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh itu mengajak para pemangku kebijakan mengontrol laju alih fungsi lahan guna mengakhiri konflik satwa dengan manusia.
"Mengakhiri konflik bukan hanya untuk keselamatan manusia, tetapi juga keberlangsungan hidup satwa-satwa liar. Apalagi, sebagian satwa liar dilindungi tersebut sudah masuk kategori kritis. Jadi, kedua pihak harus terselamatkan," kata Zulfikar.
Rabu, 25 Juli 2012
Walhi Aceh Surati Panglima TNI Terkait Introgasi Terhadap Geuchik Ibduh
Minggu, 10 Juni 2012 00:15 WIB
BOY NASHRUDDIN AGUS
Hal ini diungkap Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, Sabtu 9 Juni 2012.
Menurutnya, adanya introgasi yang dilakukan Danramil Darul Makmur tersebut menguatkan dugaan adanya keterlibatan pihak TNI dalam pengamanan perusahaan Kalista Alam yang beroperasi di Kawasan Ekosistem Rawa Tripa, Nagan Raya.
Lanjut dia, pihaknya juga sudah menyurati Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi Geuchik Ibduh atas hal-hal yang tidak diinginkan. TM Zulfikar juga mengatakan, adanya keterlibatan TNI di lapangan tersebut dikhawatirkan akan mengganggu proses hukum yang sedang berjalan terkait penyelidikan terhadap Kalista Alam.
“Lagi pula menurut investigasi yang dilakukan Walhi langsung ke lapangan, kami menemukan adanya pos-pos TNI dan polisi yang berada di sekitar kawasan Ekosistem Rawa Tripa. Besar dugaan, adanya pos-pos ini untuk mengamankan pekerjaan perusahaan tersebut. Kami punya fotonya,” jelas dia.
Keberadaan pos-pos ini, katanya, sangat mengkhawatirkan dikarenakan dalam pandangan Walhi seharusnya pos-pos TNI dan Polri baru bisa didirikan kalau proyek tersebut termasuk ke dalam proyek vital pemerintah. Sementara untuk kasus ini, sebutnya, Kalista Alam adalah perusahaan swasta.
“Jadi aneh menurut kami dengan adanya keberadaan pos-pos tersebut. Karenanya, kami berinisiatif menyurati Panglima TNI tentang hal ini selain menyurati LPSK,” tambah dia.
TM Zulfikar juga mengatakan Walhi juga akan mengajukan surat ke Mabes Polri menyikapi adanya introgasi dan ancaman terhadap Geuchik Ibdih tersebut. Tapi, lanjutnya, pihaknya sedang menunggu proses hukum yang sedang berjalan dulu.
Selain itu, Walhi Aceh berharap adanya kesadaran TNI untuk tidak terlibat dalam kasus ini. Karena katanya, TNI seharusnya berfungsi sebagai pasukan pertahanan negara, tugasnya mengamankan dan melindungi rakyat.
“Bukan sebagai musuh rakyat dan petugas yang menakut-nakuti rakyat. Jangan menganggap rakyat sebagai musuh lah,” tutup TM Zulfikar.[]
Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar: Adipura, Jangan Adi Pura-pura
Sabtu, 09 Juni 2012 09:00 WIB
Link: http://atjehpost.com/read/2012/06/09/11334/15/5/Direktur-Walhi-Aceh-TM-Zulfikar-Adipura-Jangan-Adi-Pura-pura-TAUFAN MUSTAFA
BANDA ACEH - Penghargaan Adipura dinilai belum layak diberikan bagi Kota Banda Aceh. Pernyataan ini disampaikan Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar pada The Atjeh Post, Jumat 8 Juni 2012.
Zulfikar mengatakan, melihat tingkat kebersihan dan tata ruang kota, Banda Aceh belum layak mendapatkan Adipura. Itu sebabnya, dia menduga penghargaan prestisius tersebut didapat justru dari proses lobi lobi saja. “Melihat kenyataan yang ada, Adipura itu seperti Adi pura-pura,” katanya.
Dari sisi kebersihan,misalnya. Ambil contoh di ruang-ruang publik, seperti pasar. “Itukan sangat semraut dan kotor. Kemudian hampir di setiap wilayah kota Banda Aceh terdapat kesemrautan, baik itu dari sisi pengendara sepeda motor, mobil, kemudian dari sisi taman hutan kota, ada istilahnya ruang terbuka hijau, itu masih jauh dari harapan, jadi kalau ruang terbuka hijau saja di Banda Aceh ini kan belum sampai 10 persen dari 30 persen yang di wajibkan," katanya.
Indikator-indikator ini, kata dia, menjelaskan bahwa Banda Aceh belum layak meraih Adipura. Seharusnya, kata dia, untuk meraih Adipura harus dengan indikator yang jelas. Seperti, tingkat kebersihannya berapa persen? ruang terbuka hijaunya sudah mencapai berapa persen? “Hal-hal sepeti ini yang tidak tergambarkan,” katanya. "Janganlah Adipura jadi Adi pura-pura, ini yang kita tidak mau, jangan hanya sekedar menampakkan ke publik, tapi kenyataannya tidak seperti itu."
Contoh lain, kata dia, sistem perparkiran yang sampai saat ini belum tertata dengan baik. Kemudian hewan ternak yang masih banyak keliaran di dalam kota. “Ini bukan saja tak sedap dipandang, tapi juga bisa memakan korban nantinya," katanya. Lihat juga sungai-sungai di Banda Aceh yang umumnya sudah tercemar, baik oleh limbah industri kecil seperti pabrik tahu, orang mecuci pakaian, limbah doorsmer sampai orang membuang sampah langsung ke sungai. “Itu seperti apa penanganannya, kok dibiarkan saja?,” katanya.
Contoh lain, kata dia, sistem perparkiran yang sampai saat ini belum tertata dengan baik. Kemudian hewan ternak yang masih banyak keliaran di dalam kota. “Ini bukan saja tak sedap dipandang, tapi juga bisa memakan korban nantinya," katanya. Lihat juga sungai-sungai di Banda Aceh yang umumnya sudah tercemar, baik oleh limbah industri kecil seperti pabrik tahu, orang mecuci pakaian, limbah doorsmer sampai orang membuang sampah langsung ke sungai. “Itu seperti apa penanganannya, kok dibiarkan saja?,” katanya.
Kemudian, kata Zulfikar, saat ini untuk izin mendirikan bangunan juga tidak jelas dimana mana toko yang di bangun tak sesuai dengan tata kota, bahkan cederung melanggar aturan. “Ini juga penting untuk di lihat kembali baik oleh legislatif maupun pemerintah kota, jangan lah seharusya kawasan perkantoran di jadikan pertokoan," katanya.
Itulah sebabnya, kata Zulfikar, kondisi ini menjadi pekerjaan rumah walikota terpilih lima tahun ke depan. Diantaranya, kata dia, pemerintah harus banyak melakukan penguatan kapasitas terhadap masyarakat agar lebih sadar terhadap lingkungan. []
Terjadi Intimidasi Terhadap Aktivis Penyelamat Rawa Tripa
Muhammad | The Globe Journal
Senin, 04 Juni 2012 08:57 WIB
Pertemuan yang dihadiri semua anggota TKPRT dan Forum Tata Ruang Sumatera (For-Trust) terungkap adanya tekanan yang dilakukan oleh pihak ketiga dilakukan dengan metode dan intrik propaganda yang memanfaatkan sisi lemah masyarakat serta memanfaatkan sisi lemah oknum petugas pengamanan.
"Teori pembusukan” dimainkan pihak yang tidak senang dengan perjuangan kami sehingga beberapa staff yang bekerja pada lembaga anggota TKPRT merasa tidak nyaman dalam bekerja,"kata juru bicara TKPRT Irsadi Aristora kepada The Globe Journal, Senin (4/6) di Banda Aceh.
Salah satu intimidasi yang terjadi adalah tekanan yang diterima Ibduh (60 tahun), salah seorang masyarakat yang melaporkan tindak pidana atas kasus di Rawa Tripa ke Mabes Polri pada akhir tahun (23/11/2011) lalu.
"Tekanan terhadap pak Ibduh dilakukan oleh pihak ketiga melalui handphone milik beliau. Dengan mengaku aparat kepolisian, pak Ibduh diinterogasi dan mendapat tekanan melalui telphone selulernya,"kata Irsadi.
Bukan hanya itu, pihak TNI atas nama DANRAMIL Kecamatan Darul Makmur pada tangggal 4 Mei 2012 menelepon Ibduh untuk datang ke KORAMIL Darul Makmur. Berhubung hari Jum’at, Ibduh baru mendatangi Koramil selesai shalat Jum’at dan dikantor ini beliau mendapat tekanan psikologis dari Danramil Darul Makmur.
Danramil melakukan interogasi dengan pertanyaan seputar pelaporan Ibduh ke Mabes Polri di Jakarta. "Danramil mengatakan kenapa bapak berani melaporkan PT. Kalista Alam ke Mabes. Sadar tidak kalau lawan bapak adalah perusahaan besar dan kalau ini Medan sudah MATI anda. Untung ini Aceh, jadi aman – aman saja bapak,”ujar Irsadi mengulang kalimat Danramil.
Danramil dengan nada tinggi juga mengatakan apa untungnya bagi bapak atas laporan bapak tersebut, apa sudah dipikir kalau yang bapak laporkan adalah perusahaan besar sementara bapak cuma geuchik (kepala desa), itupun geuchik cilet-cilet (Kepala Desa pura-pura-red).
Sikap petinggi TNI dibawah KODAM IM yang dicerminkan lewat Danramil Darul Makmur sangat tidak beralasan dan tidak memiliki kewenangan menginterogasi masyarakat atas kasus hukum akan tetapi merupakan kewenangan pihak Kepolisian.
"Kami mulai bertanya ada apa dengan TNI terhadap kasus ini dan kenapa ranah hukum sudah diambil alih oleh pihak TNI dari Polisi. Apakah Aceh sudah memiliki status Darurat Militer lagi seperti dulu masa konflik Aceh yang berkepanjangan,"tegas Irsadi. Walau pun kami mendapat tekanan, perjuangan kami belum selesai hingga pihak penegak hukum selesai memutuskan hukuman bersalah bagi pejabat negara setingkat Gubernur, maupun staf-staf yang ikut terlibat atas keluarnya izin tersebut terhadap penyalahgunaan wewenang kekuasaan atas izin baru yang dikeluarkan untuk PT. Kalista Alam, sambung Irsadi.[rel]
Link: http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=26641&tit=Berita%20Utama%20-%20Keluar%20Habitat,%20Langsung%20Dibunuh
Aceh Timur-Konversi hutan di Aceh menjadi perkebunan, mengusir kawanan gajah liar dari habitatnya. Sehingga gajah-gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranensis) kerap mengganggu areal perkebunan warga. Begitu gajah keluar dari habitatnya, kesempatan ini langsung dimanfaatkan para mafia gading dengan membunuh binatang itu dengan berbagai cara.“Untuk kepentingan komersil black market international,” ungkap Iskandar Usman Al –Farlaky, SHI, Ketua KNPI Aceh Timur kepada Rakyat Aceh, Senin(4/6). Namun, ketika gajah itu masih berada dihabitatnya, akses pemburuan gading kemungkinan sulit ditempuh, karena minimnya fasilitas jalan dan butuh biaya besar.
Katanya, ada tiga penyebab kematian gajah di Aceh Timur, yang pertama dibunuh karena telah mengganggu perkebunan baik itu milik rakyat ataupun milik perusahaan. Lalu kedua sengaja dibunuh karena mengancam ekosistem manusia dan yang ketiga sengaja dibunuh untuk komersil yaitu pemburuan gading untuk dijual ke pasar gelap. “ Jika kita lihat modus kejadian kematian gajah di Aceh Timur, yaitu setelah gajah mati, gadingnya diambil. Ini merupakan permainan mafia-mafia gading. Untuk itu, kita mendesak aparat penegak hukum, Pihak BKSDA dan pemerhati lingkungan untuk mengungkap jaringan mafia pemburuan gading gajah dalam wilayah Aceh Timur,” harap Iskandar Usman.
Kejadian kematian gajah di Aceh dalam beberapa tahun terakhir kerap terjadi. Di Aceh Timur sendiri dalam lima tahun terakhir, telah beberapa kali terjadi kasus pembunuhan gajah dengan modus berbeda. Seperti kematian seekor gajah jantan yang ditemukan warga,tanggal 9 Juli tahun 2010, persis terletak dalam areal perkebunan sawit PT. Bumi Flora yaitu di kawasan Lubok Mampreh Desa Jambo Capli Kecamatan Banda Alam Aceh Timur. Gajah itu mati diduga akibat terkena kabel telanjang yang sengaja dipasang oleh pihak tak bertanggungjawab.
Kemudian pada bulan yang sama tahun 2010, kejadian pembunuhan gajah oleh pelaku pencuri gading juga terjadi di Desa Seunubok Bayu Kecamatan Indra Makmu Aceh Timur. Dimana saat itu pelaku aksi pencurian gading dengan cara menembak gajah kemudian memotong gading berhasil diringkus pihak kepolisian Resort Aceh Timur bersama barang bukti sepasang gading.
Meski kasus tersebut sampai kemeja hijau dan pelakunya juga dijatuhi hukuman, namun aksi pembunuhan gajah di pedalaman Aceh Timur tak kunjung berhenti. Nyatanya, dengan modus meracuni seperti yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di areal perkebunan PTPN 1 Kebun Tualang Sawit Kecamatan Birem Bayeun, dua ekor “Po Meurah” mati terkapar, dengan kondisi salah satu gadingnya hilang. Dari beberapa rentetan kejadian kematian gajah di Aceh Timur, diperkirakan kerab dilakukan oleh mafia gading yang mencoba mengambil keuntungan dari binatang dilindungi itu, tanpa menghiraukan kepunahannya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, TM Zulfikar, saat dihubungi Rakyat Aceh, Senin (4/6), melalui selularnya mengatakan, konflik manusia dengan satwa liar, baik itu gajah ataupun binatang dilindungi lainnya, tak terlepas dari akibat kerusakan hutan dan ketidakadaan tata ruang wilayah kehutanan Aceh. Pasalnya, konversi lahan perkebunan yang telah merambah areal habitat satwa liar merupakan ancaman terhadap populasi gajah di Aceh. “Bayangkan dibawah tahun 2004 populasi gajah Aceh masih sekitar 800 ekor, namun saat ini menurut penelitian pihak kita, populasi gajah Aceh hanya tiggal 400-500 ekor saja,” sebut TM Zulfikar.
Dikatakanya, berkurangnya populasi gajah di Aceh terjadi seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan dan alih fungsi lahan hutan di Aceh menjadi lahan perkebunan, pertambangan dan lainya.“ Walhi Aceh dalam rangka hari lingkungan hidup sedunia kali ini tetap komit melakukan kampanye menyelamatkan habitat satwa liar di Aceh dari ancaman kepunahan. Kita mengharapkan Pemerintah Aceh dapat menyiapkan tata ruang lahan konservasi untuk tempat hidupnya. Satwa dilindungi, seperti gajah, harimau dan lainya, “ harap Zulfikar, seraya mengatakan jangan lahan konservasi dijadikan sebagai lahan produksi.
“Akibat habitatnya telah dirambah dan diusik sehingga satwa liar dilindungi seperti gajah dewasa ini banyak masuk ke areal perkebunan rakyat. Sehingga konflik antara gajah dengan manusia tak dapat dihindari, kebun warga dirusak yang pada akhirnya gajah juga dibunuh dengan berbagai cara. Bahkan kesempatan keberadaan gajah dilingkungan perkebunan rakyat juga diambil manfaat bagi pelaku pemburuan liar gading gajah dan ini juga salah satu faktor punahnya populasi gajah Aceh. Sebenarnya bintang tersebut kalau tidak diganggu, kawanan Gajah itu juga tidak akan menganggu kita, “imbuh TM Zulfikar.
Direktur Walhi Aceh juga mengajak semua unsur pemerintah, termasuk pihak kemanan dalam hal ini Polisi, Dinas Kehutanan dan pihak terkait lainya untuk dapat melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap pembunuhan binatang dilindungi seperti Gajah. “ Untuk menjaga lingkungan hidup dan melestarikan khazanah bangsa dari ancaman kepunahan adalah tanggung jawab kita semua, masyarakat Aceh pun harus berperan untuk sama-sama melestarikannya, “ demikian pungkas TM Zulfikar Direktur Walhi Aceh. (Bersambung)
Katanya, ada tiga penyebab kematian gajah di Aceh Timur, yang pertama dibunuh karena telah mengganggu perkebunan baik itu milik rakyat ataupun milik perusahaan. Lalu kedua sengaja dibunuh karena mengancam ekosistem manusia dan yang ketiga sengaja dibunuh untuk komersil yaitu pemburuan gading untuk dijual ke pasar gelap. “ Jika kita lihat modus kejadian kematian gajah di Aceh Timur, yaitu setelah gajah mati, gadingnya diambil. Ini merupakan permainan mafia-mafia gading. Untuk itu, kita mendesak aparat penegak hukum, Pihak BKSDA dan pemerhati lingkungan untuk mengungkap jaringan mafia pemburuan gading gajah dalam wilayah Aceh Timur,” harap Iskandar Usman.
Kejadian kematian gajah di Aceh dalam beberapa tahun terakhir kerap terjadi. Di Aceh Timur sendiri dalam lima tahun terakhir, telah beberapa kali terjadi kasus pembunuhan gajah dengan modus berbeda. Seperti kematian seekor gajah jantan yang ditemukan warga,tanggal 9 Juli tahun 2010, persis terletak dalam areal perkebunan sawit PT. Bumi Flora yaitu di kawasan Lubok Mampreh Desa Jambo Capli Kecamatan Banda Alam Aceh Timur. Gajah itu mati diduga akibat terkena kabel telanjang yang sengaja dipasang oleh pihak tak bertanggungjawab.
Kemudian pada bulan yang sama tahun 2010, kejadian pembunuhan gajah oleh pelaku pencuri gading juga terjadi di Desa Seunubok Bayu Kecamatan Indra Makmu Aceh Timur. Dimana saat itu pelaku aksi pencurian gading dengan cara menembak gajah kemudian memotong gading berhasil diringkus pihak kepolisian Resort Aceh Timur bersama barang bukti sepasang gading.
Meski kasus tersebut sampai kemeja hijau dan pelakunya juga dijatuhi hukuman, namun aksi pembunuhan gajah di pedalaman Aceh Timur tak kunjung berhenti. Nyatanya, dengan modus meracuni seperti yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di areal perkebunan PTPN 1 Kebun Tualang Sawit Kecamatan Birem Bayeun, dua ekor “Po Meurah” mati terkapar, dengan kondisi salah satu gadingnya hilang. Dari beberapa rentetan kejadian kematian gajah di Aceh Timur, diperkirakan kerab dilakukan oleh mafia gading yang mencoba mengambil keuntungan dari binatang dilindungi itu, tanpa menghiraukan kepunahannya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, TM Zulfikar, saat dihubungi Rakyat Aceh, Senin (4/6), melalui selularnya mengatakan, konflik manusia dengan satwa liar, baik itu gajah ataupun binatang dilindungi lainnya, tak terlepas dari akibat kerusakan hutan dan ketidakadaan tata ruang wilayah kehutanan Aceh. Pasalnya, konversi lahan perkebunan yang telah merambah areal habitat satwa liar merupakan ancaman terhadap populasi gajah di Aceh. “Bayangkan dibawah tahun 2004 populasi gajah Aceh masih sekitar 800 ekor, namun saat ini menurut penelitian pihak kita, populasi gajah Aceh hanya tiggal 400-500 ekor saja,” sebut TM Zulfikar.
Dikatakanya, berkurangnya populasi gajah di Aceh terjadi seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan dan alih fungsi lahan hutan di Aceh menjadi lahan perkebunan, pertambangan dan lainya.“ Walhi Aceh dalam rangka hari lingkungan hidup sedunia kali ini tetap komit melakukan kampanye menyelamatkan habitat satwa liar di Aceh dari ancaman kepunahan. Kita mengharapkan Pemerintah Aceh dapat menyiapkan tata ruang lahan konservasi untuk tempat hidupnya. Satwa dilindungi, seperti gajah, harimau dan lainya, “ harap Zulfikar, seraya mengatakan jangan lahan konservasi dijadikan sebagai lahan produksi.
“Akibat habitatnya telah dirambah dan diusik sehingga satwa liar dilindungi seperti gajah dewasa ini banyak masuk ke areal perkebunan rakyat. Sehingga konflik antara gajah dengan manusia tak dapat dihindari, kebun warga dirusak yang pada akhirnya gajah juga dibunuh dengan berbagai cara. Bahkan kesempatan keberadaan gajah dilingkungan perkebunan rakyat juga diambil manfaat bagi pelaku pemburuan liar gading gajah dan ini juga salah satu faktor punahnya populasi gajah Aceh. Sebenarnya bintang tersebut kalau tidak diganggu, kawanan Gajah itu juga tidak akan menganggu kita, “imbuh TM Zulfikar.
Direktur Walhi Aceh juga mengajak semua unsur pemerintah, termasuk pihak kemanan dalam hal ini Polisi, Dinas Kehutanan dan pihak terkait lainya untuk dapat melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap pembunuhan binatang dilindungi seperti Gajah. “ Untuk menjaga lingkungan hidup dan melestarikan khazanah bangsa dari ancaman kepunahan adalah tanggung jawab kita semua, masyarakat Aceh pun harus berperan untuk sama-sama melestarikannya, “ demikian pungkas TM Zulfikar Direktur Walhi Aceh. (Bersambung)
Peran Masyarakat Adat Masih Terpinggirkan
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2012/06/02/02522930/peran.masyarakat.adat.masih.terpinggirkan MINGGU, 03 JUNI 2012 00:00
DITULIS OLEH KOMPAS
| Share |
Banda Aceh, - Dalam upaya menjaga kelestarian hutan di Aceh, peran masyarakat adat masih terpinggirkan. Lembaga adat hanya dijadikan sebagai pemadam kebakaran saat konflik lahan hutan tersulut. Padahal, dalam kultur dan sejarah Aceh, masyarakat adat dahulu mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan.
Demikian dikatakan Ketua Forum Mukim Aceh Besar, T Maimun Abdullah, Jumat (1/6), di Banda Aceh. Pemerintah dan pengusaha tak pernah mengajak masyarakat adat membicarakan pengelolaan hutan. Bahkan, banyak lahan hutan dan sekitarnya di Aceh Besar yang tiba-tiba bersertifikat menjadi milik orang atau pengusaha tertentu tanpa diketahui warga sekitarnya.
”Konstitusi jelas menyatakan, tanah air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, kenyataan sekarang hutan begitu mudah dimiliki pengusaha, dan pemerintah memberikan izin. Rakyat di sekitarnya tak pernah menikmatinya. Diajak berbicara saja tidak,” kata dia.
Pengelolaan hutan di Aceh saat ini menjadi isu hangat. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mencatat, setiap tahun Aceh kehilangan hutan rata-rata 23.400 hektar. Luasan hutan di Aceh kini tinggal sekitar 60 persen dari area hutan yang tercatat 2,9 juta hektar. Luasan hutan di Aceh kini tak lebih dari 2,2 juta hektar.
Alih fungsi untuk perkebunan dan pertambangan menjadi penyebab utama kehilangan hutan di Aceh, selain penebangan liar. Saat ini, 351.000 hektar lahan hutan dibuka untuk perkebunan. Sekitar 750.000 hektar hutan dibuka untuk pertambangan.
Berkurangnya peran masyarakat adat menjadi keresahan para mukim (pemimpin lembaga adat pada komunitas gampong di Aceh). Di Aceh Besar, misalnya, ada banyak izin pembukaan lahan hutan untuk pertambangan dan perkebunan yang diberikan begitu saja sehingga tumpang tindih dengan lahan adat.
Di Kemukiman Lampanah Leungah, Aceh Besar, pembukaan tambang pasir besi pun meresahkah warga. Mukim Lampanah Leuangah, Idham Ahmadi, mengatakan, akibat pemberian izin sepihak oleh pemerintah dan pembukaan lahan tambang oleh swasta itu, masyarakat Lampanah Leuangah terpecah. Masyarakat diadu domba. Lembaga adat sulit meredam konflik yang terjadi karena tak dilibatkan.Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar menambahkan, peran masyarakat dan lembaga adat di Aceh lama dipinggirkan. (han)
Dampak Program Sejuta Sawit
Selasa, 5 Juni 2012 09:59 WIB
Berita Terkait
- Harga Sawit Anjlok
- Miliki Lahan 5.000 Hektare Wajib Punya PKS
- Puluhan Ton Sawit Terancam Busuk
- PKS Janji Segera Pasang Alat Pencegah Bau
- 50 Hektar Gambut di Aceh Barat Terbakar
- Tertimpa Arit, Tangan Pendodos Nyaris Putus
- Terkena Arit, Tangan Pendodos Sawit Nyaris Putus
- Ratusan Ha Sawah di Tamiang jadi Kebun Sawit
- Sawit Rp 1.500 Sekilo
- Trio Pembajak Truk Sawit Ditangkap
(Refleksi Hari Lingkungan 5 Juni 2012)
Oleh Wintah Firdausi
Oleh Wintah Firdausi
Link: http://aceh.tribunnews.com/2012/06/05/dampak-program-sejuta-sawit
KEBIJAKAN Pemerintah Aceh yang berorientasi menyejahterakan melalui peningkatan ekonomi masyarakat sektor perkebunan sawit menuai banyak masalah dan kritikan. Program pengentasan masyarakat miskin melalui tanam sejuta sawit, ternyata telah menimbulkan dampak rusaknya ekositem dan keseimbangan alam. Berdampak pada berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor, dan gangguan satwa liar, yang antara lain disebabkan oleh adanya kerusakan hutan yang tidak terkendali. Banyaknya hutan lindung yang telah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan sawit.
Konsesi penebangan, seperti hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI), serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan, semestinya dihentikan secepatnya. PP Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur jenis dan tarif pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan, sepintas bermuatan positif. PP ini justru menjadi rekomendasi komersialisasi hutan lindung dalam bentuk baru. Pasalnya, pemerintah hanya mengenakan pungutan PNBP Rp 3 juta/hektare per tahun, atau hanya Rp 120-Rp 300/meter persegi dari kegiatan tambang tersebut.
Konferensi Perubahan Iklim di Bali 3-14 Desember 2007, mengamanatkan kepada para peserta, termasuk Indonesia sebagai tuan rumah, untuk melindungi kawasan hutannya yang tersisa. Tapi ironis, pemerintah kita justru mengkhianatinya dengan mengomersialkan hutan lindung. Sesuatu yang tak bisa dipungkiri, PP No 2/2008 tidak akan pernah melindungi hutan lindung kita, tetapi justru memperparah kerusakan hutan kita.
Hutan dijual murah
Hutan lindung di Aceh semakin rusak berat karena dorongan berbagai kepentingan. Dorongan faktor ekonomi masyarakat, justru hutan lindung oleh pihak-pihak terkait dijual dengan harga yang sangat murah. Pembelian tanah ilegal berupa hutan lindung marak terjadi. Tanah hanya dihargai Rp 3-6 juta/hektar di kawasan hutan lindung, dan di kawasan lahan gambut berkisar Rp 6-10 juta/hektar. Dengan harga yang begitu murah banyak mengundang pengusaha atau investor baik dari dalam maupun luar berlomba-lomba membuka lahan hutan seluas-luasnya.
Demikian pula yang terjadi pada hutan gambut Rawa Tripa. Kasus berawal dari pemberian izin kepada PT Kalista Alam menanfaatkan 1.605 hektare untuk perkebunan sawit, Agustus 2011. Kebijakan ini diberikan saat Indonesia menghentikan sementara izin-izin baru di kawasan hutan dan lahan gambut. Rawa Tripa termasuk gambut padat yang kaya keanekaragaman hayati dan termasuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kenyataan ini telah menjadikan satwa liar semakin terdesak oleh modernisasi yang tidak berpihak. Satwa liar mulai mengalami kepunahan dan keanekaragaman hayati juga semakin homogen.
Semestinya, kebijakan pemerintah terhadap perlindungan hutan lindung tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk menyusun kembali strategi pengelolaan hutan Aceh melalui penataan ulang atau redesain, penanaman kembali hutan atau reforestasi, dan menekan laju kerusakan hutan atau reduksi deforestasi, atau dikenal dengan singkatan konsep 3R.
Konsep ini diharapkan dapat mewujudkan cita-cita hutan lestari rakyat Aceh sejahtera. Jeda tebang hutan adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium tersebut ditentukan kurang lebih 15-20 tahun.
Konsesi penebangan seperti HPH dan HTI, serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan, semestinya dihentikan. Kebijakan moratorium tebang telah memandatkan kepada instansi di bawah lingkup Pemerintah Aceh memastikan bahwa moratorium ini terlaksana di lapangan. Kebijakan Moratorium penebangan hutan di Aceh lebih kurang 5 tahun yang lalu hingga sekarang, ternyata masih belum mampu menyelamatkan hutan Aceh dari kerusakan.
Merusak fungsi hutan
Kerusakan hutan lindung di Aceh menurut catatan Walhi Aceh, pada 2006 kerusakan hutan di Aceh masih sekitar 20.000-21.000 hektare/tahun, pada akhir 2010 tingkat kerusakannya meningkat sampau dua kali lipat atau sekitar 40.000 hektare/tahun. Pemahaman akan tata ruang lingkungan yang minim menjadi salah satu penyebab banyaknya kebijakan alih fungsi hutan gambut di Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh. Alih fungsi telah merusak fungsi hutan gambut dan mengancam penurunan tanah di kawasan rawa itu.
Tata ruang dan lingkungan ternyata belum menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan. Akibatnya, kawasan lindung seperti Rawa Tripa pun diizinkan untuk dialih fungsikan sebagai lahan perkebunan sawit. Banyaknya SDM Pemerintahan yang tidak memahami tata ruang dalam pengelolaan hutan lindung. Kebijakan HGU (hak guna usaha) di Rawa Tripa, misalnya, telah terjadi penyimpangan fungsi lahan. Ini karena tak semua pihak memahami tata ruang dan lingkungan.
Rawa Tripa yang merupakan satu dari tiga hutan rawa di pantai barat Pulau Sumatera, yang luasnya 61.803 hektare masuk sebagai kawasan kawasan lindung. Namun, Walhi Aceh mencatat, akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan melalui mekanisme HGU, luasan hutan gambut Rawa Tripa tinggal sekitar 20.000 hektare. Alih fungsi itu menimbulkan banyak kegiatan investasi. Akibat pembuatan drainase di lahan gambut, gambut berangsur menipis dan mengalami subsidence atau penurunan permukaan tanah. Kondisi ini akibat proses pematangan gambut dan berkurangnya air.
Fungsi hutan sebagai pengatur keseimbangan konservasi tanah dan air wajib dilindungi. Akibat rusaknya hutan lindung akan menuai terjadinya bencana banjir, tanah lonsor, menipisnya oksigen dan REDD. Dampak ekologis yang lebih mengerikan, tulis Peter Hal, adalah bencana dahsyat yang terjadi di perkotaan seperti di London, San Franscisco, Paris dan Sydney (Great Planning Disasters, 2002). Karena itulah, hutan penyokong kehidupan umat manusia dan berbagai jenis makhluk hidup lainnya perlu dijaga kelestariannya.
* Wintah Firdausi, Dosen Universitas Teuku Umar (UTU), Meulaboh, Aceh Barat. Email: syuga_2006@yahoo.co.id
KEBIJAKAN Pemerintah Aceh yang berorientasi menyejahterakan melalui peningkatan ekonomi masyarakat sektor perkebunan sawit menuai banyak masalah dan kritikan. Program pengentasan masyarakat miskin melalui tanam sejuta sawit, ternyata telah menimbulkan dampak rusaknya ekositem dan keseimbangan alam. Berdampak pada berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor, dan gangguan satwa liar, yang antara lain disebabkan oleh adanya kerusakan hutan yang tidak terkendali. Banyaknya hutan lindung yang telah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan sawit.
Konsesi penebangan, seperti hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI), serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan, semestinya dihentikan secepatnya. PP Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur jenis dan tarif pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan, sepintas bermuatan positif. PP ini justru menjadi rekomendasi komersialisasi hutan lindung dalam bentuk baru. Pasalnya, pemerintah hanya mengenakan pungutan PNBP Rp 3 juta/hektare per tahun, atau hanya Rp 120-Rp 300/meter persegi dari kegiatan tambang tersebut.
Konferensi Perubahan Iklim di Bali 3-14 Desember 2007, mengamanatkan kepada para peserta, termasuk Indonesia sebagai tuan rumah, untuk melindungi kawasan hutannya yang tersisa. Tapi ironis, pemerintah kita justru mengkhianatinya dengan mengomersialkan hutan lindung. Sesuatu yang tak bisa dipungkiri, PP No 2/2008 tidak akan pernah melindungi hutan lindung kita, tetapi justru memperparah kerusakan hutan kita.
Hutan dijual murah
Hutan lindung di Aceh semakin rusak berat karena dorongan berbagai kepentingan. Dorongan faktor ekonomi masyarakat, justru hutan lindung oleh pihak-pihak terkait dijual dengan harga yang sangat murah. Pembelian tanah ilegal berupa hutan lindung marak terjadi. Tanah hanya dihargai Rp 3-6 juta/hektar di kawasan hutan lindung, dan di kawasan lahan gambut berkisar Rp 6-10 juta/hektar. Dengan harga yang begitu murah banyak mengundang pengusaha atau investor baik dari dalam maupun luar berlomba-lomba membuka lahan hutan seluas-luasnya.
Demikian pula yang terjadi pada hutan gambut Rawa Tripa. Kasus berawal dari pemberian izin kepada PT Kalista Alam menanfaatkan 1.605 hektare untuk perkebunan sawit, Agustus 2011. Kebijakan ini diberikan saat Indonesia menghentikan sementara izin-izin baru di kawasan hutan dan lahan gambut. Rawa Tripa termasuk gambut padat yang kaya keanekaragaman hayati dan termasuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kenyataan ini telah menjadikan satwa liar semakin terdesak oleh modernisasi yang tidak berpihak. Satwa liar mulai mengalami kepunahan dan keanekaragaman hayati juga semakin homogen.
Semestinya, kebijakan pemerintah terhadap perlindungan hutan lindung tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk menyusun kembali strategi pengelolaan hutan Aceh melalui penataan ulang atau redesain, penanaman kembali hutan atau reforestasi, dan menekan laju kerusakan hutan atau reduksi deforestasi, atau dikenal dengan singkatan konsep 3R.
Konsep ini diharapkan dapat mewujudkan cita-cita hutan lestari rakyat Aceh sejahtera. Jeda tebang hutan adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium tersebut ditentukan kurang lebih 15-20 tahun.
Konsesi penebangan seperti HPH dan HTI, serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan, semestinya dihentikan. Kebijakan moratorium tebang telah memandatkan kepada instansi di bawah lingkup Pemerintah Aceh memastikan bahwa moratorium ini terlaksana di lapangan. Kebijakan Moratorium penebangan hutan di Aceh lebih kurang 5 tahun yang lalu hingga sekarang, ternyata masih belum mampu menyelamatkan hutan Aceh dari kerusakan.
Merusak fungsi hutan
Kerusakan hutan lindung di Aceh menurut catatan Walhi Aceh, pada 2006 kerusakan hutan di Aceh masih sekitar 20.000-21.000 hektare/tahun, pada akhir 2010 tingkat kerusakannya meningkat sampau dua kali lipat atau sekitar 40.000 hektare/tahun. Pemahaman akan tata ruang lingkungan yang minim menjadi salah satu penyebab banyaknya kebijakan alih fungsi hutan gambut di Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh. Alih fungsi telah merusak fungsi hutan gambut dan mengancam penurunan tanah di kawasan rawa itu.
Tata ruang dan lingkungan ternyata belum menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan. Akibatnya, kawasan lindung seperti Rawa Tripa pun diizinkan untuk dialih fungsikan sebagai lahan perkebunan sawit. Banyaknya SDM Pemerintahan yang tidak memahami tata ruang dalam pengelolaan hutan lindung. Kebijakan HGU (hak guna usaha) di Rawa Tripa, misalnya, telah terjadi penyimpangan fungsi lahan. Ini karena tak semua pihak memahami tata ruang dan lingkungan.
Rawa Tripa yang merupakan satu dari tiga hutan rawa di pantai barat Pulau Sumatera, yang luasnya 61.803 hektare masuk sebagai kawasan kawasan lindung. Namun, Walhi Aceh mencatat, akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan melalui mekanisme HGU, luasan hutan gambut Rawa Tripa tinggal sekitar 20.000 hektare. Alih fungsi itu menimbulkan banyak kegiatan investasi. Akibat pembuatan drainase di lahan gambut, gambut berangsur menipis dan mengalami subsidence atau penurunan permukaan tanah. Kondisi ini akibat proses pematangan gambut dan berkurangnya air.
Fungsi hutan sebagai pengatur keseimbangan konservasi tanah dan air wajib dilindungi. Akibat rusaknya hutan lindung akan menuai terjadinya bencana banjir, tanah lonsor, menipisnya oksigen dan REDD. Dampak ekologis yang lebih mengerikan, tulis Peter Hal, adalah bencana dahsyat yang terjadi di perkotaan seperti di London, San Franscisco, Paris dan Sydney (Great Planning Disasters, 2002). Karena itulah, hutan penyokong kehidupan umat manusia dan berbagai jenis makhluk hidup lainnya perlu dijaga kelestariannya.
* Wintah Firdausi, Dosen Universitas Teuku Umar (UTU), Meulaboh, Aceh Barat. Email: syuga_2006@yahoo.co.id
Langganan:
Komentar (Atom)