Kamis, 29 September 2011

Gawat, RTRW Aceh Tanpa Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Gawat, RTRW Aceh Tanpa Kajian Lingkungan Hidup Strategis

PDFCetakE-mail
Pembuatan Film Hutan Aceh di Tahura Pocut Merah Inseun Sare
Banda Aceh - Sampai dengan bulan September 2011 ini, proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) masih berputar-putar dalam tahap penilaian secara teknis. Secara prinsip Kementerian PU telah menyetujui materi teknis Naskah Akademis dan Rancangan Qanun RTRWA, namun belum dapat dibahas lebih lanjut di tingkat Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Ini dikarenakan RTRWA belum dilengkapi dengan Persetujuan Substansi Kehutanan (diterbitkan oleh Menteri Kehutanan) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Aceh, Rabu (28/9) mengatakan RTRWA dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sudah berhenti tanpa tahun kapan akan dimulai kembali.
"DPRA beralasan mereka harus segera membahas Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Platform Anggaran Sementara (PPAS) untuk APBA tahun 2012, ini sebenarnya sudah terlambat jika mengikuti peraturan yang ada. Kita berharap tim ahli DPRA melakukan komunikasi yang intensif dengan tim terpadu eksekutif penyusun RTRWA,"ujarnya.
Sehingga kesepahaman terhadap arah dan tujuan RTRWA yang sedang disusun lebih mudah dicapai dan perdebatan terkait perbandingan luasan kawasan lindung dan kawasan budidaya bisa lebih konkret dan tidak berimbas kepada hal yang bersifat negative. "Kalau ini bisa, maka positif bagi percepatan RTRWA walaupun saat ini masih banyak kendala, ya salah satunya KLHS,"ucapnya.
KLHS menjadi penting karena selain kewajiban dari UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 15, KLHS dibuat untuk memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. KLHS sebagai dasar penyusunan dan evaluasi RTRW, RPJP, RPJM serta kebijakan, rencana, dan/atau program lainnya yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup mulai dari level nasional sampai ke kabupaten/kota. Ditambah lagi dengan model penerapan pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) yang cenderung destruktif, sporadis dan minim perencanaan seperti pembukaan kawasan tambang dan perkebunan di daerah yang seharusnya dilindungi.
KLHS sebagai instrument pendukung untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan maka penting mempertimbangkan bahwa degradasi Lingkungan Hidup (LH) umumnya bersifat kausalitas lintas wilayah dan antar sektor. Lebih dari itu juga KLHS berfungsi sebagai sebuah kajian komprehensif dalam implementasinya digunakan sebagai alat ukur untuk menentukan arah pembangunan yang bertumpu kepada keselamatan dan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan.
Kesadaran sebagian besar masyarakat Aceh terhadap keselamatan dan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan masih belum terintegrasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan KLHS dapat memberikan peringatan terhadap ancaman baik kerusakan lingkungan maupun bencana yang akan terjadi dikemudian hari, jelas T. Muhammad Zulfikar.
"Kita mengharapkan RTRWA yang akan datang bisa memberikan warna baru bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat Aceh secara luas di masa yang akan datang dan bukan kekacauan dan bencana di masa mendatang,"katanya mengakhiri pembicaraan.[]

Gawat, RTRW Aceh Tanpa Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Gawat, RTRW Aceh Tanpa Kajian Lingkungan Hidup Strategis
M. Nizar Abdurrani | The Globe Journal | Rabu, 28 September 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/gawat-rtrw-aceh-tanpa-kajian-lingkungan-hidup-strategis.php
 
Banda Aceh -  Sampai dengan bulan September 2011 ini, proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) masih berputar-putar dalam tahap penilaian secara teknis. Secara prinsip Kementerian PU telah menyetujui materi teknis Naskah Akademis dan Rancangan Qanun RTRWA, namun belum dapat dibahas lebih lanjut di tingkat Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Ini dikarenakan RTRWA belum dilengkapi dengan Persetujuan Substansi Kehutanan (diterbitkan oleh Menteri Kehutanan) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). 

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Aceh, Rabu (28/9) mengatakan RTRWA dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sudah berhenti tanpa tahun kapan akan dimulai kembali.

"DPRA beralasan mereka harus segera membahas Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Platform Anggaran Sementara (PPAS) untuk APBA tahun 2012, ini sebenarnya sudah terlambat jika mengikuti peraturan yang ada. Kita berharap tim ahli DPRA melakukan komunikasi yang intensif dengan tim terpadu eksekutif penyusun RTRWA,"ujarnya.

Sehingga kesepahaman terhadap arah dan tujuan RTRWA yang sedang disusun lebih mudah dicapai dan perdebatan terkait perbandingan luasan kawasan lindung dan kawasan budidaya bisa lebih konkret dan tidak berimbas kepada hal yang bersifat negative. "Kalau ini bisa, maka positif bagi percepatan RTRWA walaupun saat ini masih banyak kendala, ya salah satunya KLHS,"ucapnya.

KLHS menjadi penting karena selain kewajiban dari UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 15, KLHS dibuat untuk memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. KLHS sebagai dasar penyusunan dan evaluasi RTRW, RPJP, RPJM serta kebijakan, rencana, dan/atau program lainnya yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup mulai dari level nasional sampai ke kabupaten/kota.  Ditambah lagi dengan model penerapan pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) yang cenderung destruktif, sporadis dan minim perencanaan seperti pembukaan kawasan tambang dan perkebunan di daerah yang seharusnya dilindungi.

KLHS sebagai instrument pendukung untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan maka penting mempertimbangkan bahwa degradasi Lingkungan Hidup (LH) umumnya bersifat kausalitas lintas wilayah dan antar sektor. Lebih dari itu juga KLHS berfungsi sebagai sebuah kajian komprehensif dalam implementasinya digunakan sebagai alat ukur untuk menentukan arah pembangunan yang bertumpu kepada keselamatan dan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan.

Kesadaran sebagian besar masyarakat Aceh terhadap keselamatan dan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan masih belum terintegrasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan KLHS dapat memberikan peringatan terhadap ancaman baik kerusakan lingkungan maupun bencana yang akan terjadi dikemudian hari, jelas T. Muhammad Zulfikar.

"Kita mengharapkan RTRWA yang akan datang bisa memberikan warna baru bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat Aceh secara luas di masa yang akan datang dan bukan kekacauan dan bencana di masa mendatang,"katanya mengakhiri pembicaraan.

Rabu, 28 September 2011

Rencana Tata Ruang Aceh Belum Miliki Kajian LH Strategis

 Rencana Tata Ruang Aceh Belum Miliki Kajian LH Strategis
Oleh : Mahdi Andela | 27-Sep-2011, 17:55:15 WIB

KabarIndonesia - Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar mengatakan, Sampai dengan bulan September 2011 ini, proses penyusunan RTRWA masih dalam tahap penilaian secara teknis. Secara prinsip Kementerian PU telah menyetujui materi teknis Naskah Akademis dan Rancangan Qanun RTRWA, namun belum dapat dibahas lebih lanjut di tingkat Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), hal ini dikarenakan RTRWA belum dilengkapi dengan Persetujuan Substansi Kehutanan (diterbitkan oleh Menteri Kehutanan) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Persetujuan Substansi Kehutanan sedang diusahakan untuk diperoleh tetapi untuk KLHS belum ada usaha sama sekali.

Di sisi lain, katanya, pembahasan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) praktis berhenti tanpa waktu yang jelas sampai kapan pembahasan ulang dilakukan. Kendala ini disebabkan karena DPRA harus segera membahas Kebijakan Umum Angaran (KUA) dan Prioritas Platform Anggaran Sementara (PPAS) untuk APBA tahun 2012 yang sejatinya sudah terlambat jika mengikuti peraturan yang ada.

Harapan satu-satu adalah tim ahli dari DPRA melakukan komunikasi yang intensif dengan tim terpadu eksekutif penyusun RTRWA sehingga kesepahaman terhadap arah dan tujuan RTRWA yang sedang disusun lebih mudah dicapai dan perdebatan terkait perbandingan luasan kawasan lindung dan kawasan budidaya bisa lebih konkret dan tidak berimbas kepada hal yang bersifat negative. Jika hal tadi terpenuhi maka akan berdampak positif bagi percepatan penyelesaian RTRWA walaupun saat ini masih banyak kendala yang dihadapi untuk mencapai kearah sana, salah satunya KLHS.

"Mengapa KLHS penting? Selain kewajiban dari UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 15; KLHS dibuat untuk memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan sebagai dasar penyusunan dan evaluasi RTRW, RPJP, RPJM serta kebijakan, rencana, dan/atau program lainnya yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup mulai dari level nasional sampai ke kabupaten/kota ditambah lagi dengan model penerapan pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) yang cenderung destruktif, sporadis dan minim perencanaan seperti pembukaan kawasan tambang dan perkebunan di daerah yang seharusnya dilindungi," katanya.

Dikatakannya, KLHS sebagai instrument pendukung untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan maka penting mempertimbangkan bahwa degradasi Lingkungan Hidup (LH) umumnya bersifat kausalitas lintas wilayah dan antar sektor. Lebih dari itu juga KLHS berfungsi sebagai sebuah kajian komprehensif dalam implementasinya digunakan sebagai alat ukur untuk menentukan arah pembangunan yang bertumpu kepada keselamatan dan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan.

Mengapa hal ini penting karena kesadaran sebagian besar masyarakat Aceh terhadap keselamatan dan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan masih belum terintegrasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan KLHS dapat memberikan peringatan terhadap ancaman baik kerusakan lingkungan maupun bencana yang akan terjadi dikemudian hari.

"Kita mengharapkan RTRWA yang akan datang bisa memberikan warna baru bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat Aceh secara luas di masa yang akan datang dan bukan kekacauan dan bencana di masa mendatang," imbuhnya. (*)

Minggu, 25 September 2011

Katup Amoniak Bocor, Racuni Paru-Paru Warga

Katup Amoniak Bocor, Racuni Paru-Paru Warga

danger-bahayaKamis 22 September 2011 sekitar pukul 19.30 WIB katup amonia sebuah perusahaan di Aceh kembali bocor. Puluhan warga Desa Tambon Baroh, Kecamatan Dewantara harus dilarikan ke rumah sakit. Gas beracun amoniak telah meracuni paru-paru mereka sehingga membuat sesak nafas.
Perusahaan tersebut telah berkali-kali melepaskan gas beracun dan tidak ada tanda atau sinyal bahaya sehingga masyarakat tidak sempat melakukan antisipasi. “Kali ini 90-an korban timbul dari masyarakat, syukurnya tidak sampai memakan korban jiwa. Bagaimana protokol perusahaan untuk menghindari bencana yang sama? Bagaimana peran pemerintah untuk mengawasi perusahaan nakal ini?” kata Direktur WALHI Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar.
Peristiwa bocornya amoniak menjelang malam ini mengingatkan kita pada kasus kebocoran gas di Bhopal India tahun 1984 yang menewaskan sekitar 3.500 orang. Kebocoran gas beracun yang terjadi menjelang pagi berasal dari sebuah pabrik yang berada disekitar pemukiman. Warga yang selamat pun mengalami masalah kesehatan yang parah hingga hari ini, 25 tahun setelah insiden terjadi.
“Yang kami sampaikan ini bukan hal yang berlebihan. PT PIM telah berkali-kali bocor, dan tanpa ada dilakukan penanganan khusus untuk mencegahnya. Apa mau tunggu Bhopal terjadi di Lhokseumawe?” ucap Teuku Muhammad Zulfikar.
Bocornya amonia dari PT PIM rutin terjadi setiap tahun, terutama saat start-up mesin, sebuah masa yang genting dalam proses pengaktifan mesin-mesin di pabrik. Seharusnya, berkaca pada pengalaman yang lalu-lalu, jika start-up hendak dimulai harus dilakukan persiapan yang memadai. Mulai dari pemberitahuan kepada masyarakat akan resiko bahaya, penyiapan tenaga emergency yang stand by dan penanganan secara teknologi yang mumpuni untuk mencegah kebocoran gas.
Tahun lalu, pada tanggal 28 April, terjadi kebocoran amonia yang menyebabkan puluhan warga harus dirawat di rumah sakit perusahaan, di samping 12 orang dirujuk ke Kesrem Lhokseumawe karena kondisinya tergolong gawat akibat terpapar amonia. (Gambar ilustrasi oleh Shawn Carpenter)

Jumat, 23 September 2011

BERBUAT KESALAHAN YANG SAMA TERUS MENERUS, PT. PIM BAGAI “KELEDAI”

PT Pupuk Iskandar Muda Bagaikan ‘Keledai’

Posted by KabarNet pada 24/09/2011

BERBUAT KESALAHAN YANG SAMA TERUS MENERUS, PT. PIM BAGAI “KELEDAI”

Ada pepatah bijak yang mengatakan “Jangan seperti keledai yang masuk ke lubang yang sama kedua kali”. Julukan keledai mungkin cocok ditujukan kepada PT Pupuk Iskandarmuda, Lhokseumawe karena telah berkali-kali “melepaskan” gas beracun amoniak. Kamis (22/9/2011), amoniak PT PIM kembali memakan korban masyarakat sekitar. Tak ada tanda bahaya atau sinyal yang dikeluarkan oleh perusahaan provit ini sehingga masyarakat bisa waspada.
“Kali ini 90-an korban timbul dari masyarakat, syukurnya tidak sampai memakan korban jiwa. Bagaimana protokol perusahaan untuk menghindari bencana yang sama? Bagaimana peran pemerintah untuk mengawasi perusahaan nakal ini,? kata Direktur WALHI Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar.
Sekitar pukul 19.30 WIB, katup amonia PT PIM Lhokseumawe kembali bocor, sehinggar sekitar 20-an warga Desa Tambon Baroh, Kecamatan Dewantara harus dilarikan ke rumah sakit. Gas beracun amoniak telah meracuni paru-paru mereka sehingga membuat sesak nafas.
Peristiwa bocornya amoniak menjelang malam ini mengingatkan kita pada kasus kebocoran gas di Bhopal India tahun 1984 yang menewaskan sekitar 3.500 orang. Kebocoran gas beracun yang terjadi menjelang pagi berasal dari sebuah pabrik yang berada disekitar pemukiman.  Warga yanga selamat pun mengalami masalah kesehatan yang parah hingga hari ini, 25 tahun setelah insiden terjadi.
“Yang kami sampaikan ini bukan hal yang berlebihan. PT PIM telah berkali-kali bocor, dan tanpa ada dilakukan penanganan khusus untuk mencegahnya. Apa mau tunggu Bhopal terjadi di Lhokseumawe?” ucap Teuku Muhammad Zulfikar.
Bocornya amonia dari PT PIM rutin terjadi setiap tahun, terutama saat start-up mesin, sebuah masa yang genting dalam proses pengaktifan mesin-mesin di pabrik. Seharusnya, berkaca pada pengalaman yang lalu-lalu, jika start-up hendak dimulai harus dilakukan persiapan yang memadai. Mulai dari pemberitahuan kepada masyarakat akan  resiko bahaya, penyiapan tenaga emergency yang stand by dan penanganan secara teknologi yang mumpuni untuk mencegah kebocoran gas.
Tahun lalu, pada tanggal 28 April, terjadi kebocoran amonia yang menyebabkan puluhan warga harus dirawat di rumah sakit perusahaan, di samping 12 orang dirujuk ke Kesrem Lhokseumawe karena kondisinya tergolong gawat akibat terpapar amonia. [KbrNet/Walhi Aceh/slm]
———————–
catt:
Tragedi Bhopal merujuk pada sebuah peristiwa pada tanggal 3 Desember 1984, terjadi ledakan besar di pabrik pestisida Union Carbide milik Amerika yang terletak di kota Bhopal, di negara bagian Madhya Pradesh di India. Ledakan terjadi akibat kebocoran 40 ton gas methyl isocyanate (MIC) dan gas-gas kimia lainnya itu telah membunuh 4,000 orang hanya dalam beberapa jam. Hingga kini, angka korban yang tewas telah meningkat sampai 20.000 orang. Ratusan ribu lainnya yang masih hidup dengan menderita dampak gas berbahaya itu. Para korban tregedi Bhopal ini masih mendapat kesulitan dalam mengklaim ganti rugi dari perusahaan AS itu.
Hingga kini, pabrik Union Carbide terus berdiri meskipun kepemilikannya sudah beralih tangan. Pemilik baru dari perusahaan itu (Dow chemical) menolak bertanggung jawab atas kehidupan para korban tragedi Bhopal. Union Carbide sepakat membayar ganti rugi 470 juta dollar tahun 1989; tapi para korban mengatakan hanya mendapat sebagian kecil saja dari ganti-rugi itu.
Pabrik Union Carbide ini dibuka pada 1969 dan diperluas untuk menghasilkan karbaril pada 1979. Methyl Isocyanate (MIC) merupakan produk perantara untuk memproduksi karbaril. Pabrik ini awalnya dimiliki oleh Union Carbide India, Limited (UCIL). Pada tahun 1994, kepemilikan saham UCIL beralih ke MacLeod Russell (India) Limited of Calcutta, dan UCIL pun mengalami perubahan nama menjadi Eveready Industries India, Limited (Eveready Industries).
Penyebab terjadinya ledakan adalah dimasukkannya air ke dalam tangki-tangki berisi MIC. Reaksi yang kemudian terjadi menghasilkan banyak gas beracun dan memaksa pengeluaran tekanan secara darurat. Gasnya keluar sementara penggosok kimia yang seharusnya menetralisir gas tersebut sedang dimatikan untuk perbaikan.
Penyelidikan yang dilakukan menyatakan bahwa beberapa langkah keselamatan lainnya tidak dijalankan dan standar operasi di pabrik tersebut tidak sesuai dengan standar di pabrik Union Carbide lainnya. Selain itu, ada kemungkinan langkah-langkah keselamatan tersebut dibiarkan sebagai bagian dari “prosedur penghematan” yang dilakukan perusahaan tersebut di pabrik itu. [triyono-infokito]

Kamis, 22 September 2011

Sawit Ancam Hutan Gambut Aceh

Lingkungan
Sawit Ancam Hutan Gambut Aceh
Mohamad Burhanudin | Marcus Suprihadi | Rabu, 21 September 2011 | 20:06 WIB
Dibaca: 515
|
Share:
BANDA ACEH, KOMPAS.com — Keberadaan hutan rawa gambut di Aceh kian terancam oleh perusahaan-perusahaan perkebunan monokultur, terutama sawit. Luasan lahan hutan rawa tersebut semakin menyempit akibat adanya pemberian dan perpanjangan penguasaan lahan hutan dengan sistem hak guna usaha (HGU) ke tangan pemilik modal.
Akibatnya, tak hanya potensi bencana yang kini dihadapi warga sekitar kawasan hutan, tetapi juga kemiskinan yang semakin menganga.
Demikian pernyataan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh yang disampaikan Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar menyikapi peringatan Hari Anti Monokultur Sedunia, Rabu (21/9.2011).
Saat ini ada dua hutan rawa gambut di Aceh yang kondiusinya kian kritis, yakni Rawa Tripa dan Singkil. Luasan riil Rawa Tripa bahkan kini tergerus hingga tinggal sekitar 20.000 hektar dari luasan semula sekitar 61.800 hektar. Selebihnya sebagian besar menjadi lahan perkebunan yang sekitar 90 persen dikuasai perusahaan perkebunan sawit.
”Kawasan hutan rawa gambut yang seharusnya menjadi penyangga dialihfungsikan menjadi lahan sawit  yang bersifat monokultur. Di sepanjang rawa dibuat kanal-kanal drainase untuk mengeringkan rawa sehingga lahan yang yang sebelumnya berfungsi mengendalikan iklim, pencegah intrusi, pencegah banjir dan kekeringan di wilayah tersebut terancam hilang,” kata Zulfikar.
Walau keberadaannya di kawasan ekosistem Leuser, hutan rawa gambut Tripa tidak memiliki status formal sebagai kawasan lindung (misalnya status konservasi). Hal ini berbeda dengan status Rawa Kluet dan Rawa Singkil (Rawa Kluet adalah bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser, Rawa Singkil berstatus suaka margasatwa).
Status yang lemah ini mengizinkan beberapa perusahaan untuk memperoleh konsesi kelapa sawit di kawasan gambut. Sepertinya kawasan-kawasan tersebut maupun banyak kawasan rawa lainnya akan menghadapi banyak ancaman dari pemodal untuk dijadikan areal perkebunan sawit. Meskipun pada beberapa areal konsesi ini belum ditanami kelapa sawit, rencana untuk meneruskan kerusakan hutan masih terus berlanjut, ungkap dia.

Stop Izin Pembangunan Kebun Kayu

Stop Izin Pembangunan Kebun Kayu
Oleh : Mahdi Andela | 22-Sep-2011, 08:49:20 WIB

KabarIndonesia - Direktur WALHI Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar mengatakan bahwa upaya pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia sepertinya masih jauh panggang dari api. Masifnya pembangunan kebun-kebun kayu monokultur yang didengung-dengungkan sebagai bagian dari upaya pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia memperlihatkan, pemerintah tidak peka terhadap permasalahan sesungguhnya kehutanan di Indonesia, kelompok masyarakat sipil mencatat berbagai upaya tersebut dilakukan dengan tidak memperhatikan problem mendasar sektor kehutanan di Indonesia.

Yaitu besarnya gap antara permintaan dan kemampuan pasok bahan baku kayu industri kehutanan di Indonesia, penyediaan berlebih kebutuhan kayu di pasar-pasar internasional tanpa melihat kemampuan pasok kayu dari hutan alam di Indonesia, ketiadaan upaya penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan-kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh korporasi dan oknum aparat pemerintah termasuk kepala daerah. Serta ketidakjelasan penatabatasan kawasan, fasilitasi berlebih terhadap industri ekstraktif dan yang utama adalah tidak adanya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat/komunitas lokal yang tinggal di hutan atau sekitar hutan.

Dikatakannya, problem-problem utama tersebut disimplifikasi dengan hanya berpedoman pada kepentingan industri dan pasar termasuk saat ini kepentingan pencitraan Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dari berbagai inisiatif pasar karbon dunia. Sementara perluasan pembangunan kebun-kebun kayu monokultur justru semakin memperkecil luasan hutan-hutan alam dan kawasan gambut di Indonesia bahkan menghilangkan hutan-hutan di pulau-pulau kecil yang rentan terhadap dampak perubahan iklim global.

Berbagai kejadian, katanya, konflik dan juga masukan-masukan dari kelompok masyarakat sipil berdasarkan studi advokasi yang dilakukan tidak menjadi salah satu referensi bagi pemerintah Indonesia. Bahkan pemerintah melalui kementerian kehutanan memiliki kecenderungan mengecilkan luasan hutan alam dengan mengedepankan pembukaan kawasan hutan untuk kebun-kebun kayu monokultur, perkebunan kelapa sawit skala besar. Dan memberikan dispensasi berlebih terhadap industri pertambangan dan dengan atas nama pembangunan energi terbarukan membenarkan pengrusakan hutan serta ekosistem pendukungnya.

Pembangunan perkebunan kayu monokultur yang pada awalnya ditujukan untuk percepatan penyediaan bahan baku kayu industri kehutanan dan harusnya dibangun diatas kawasan-kawasan hutan yang sudah terdegredasi, katanya justru menjadi salah satu penyebab kerusakan dan penghilangan hutan-hutan alam serta penghancuran ruang hidup bagi masyarakat dan satwa-satwa endemik di kawasan hutan di Indonesia, tak terkecuali di Provinsi Aceh.

Disebutkan, pembukaan berbagai lahan perkebunan oleh pemegang izin Hak Guna Usaha (HGU) juga menjadi ancaman serius bagi pelestarian kawasan hutan rawa di Aceh. Kawasan yang seharusnya menjdi penyangga bagi kawasan di sekitarnya seperti lahan mangrove dan lahan gambutpun dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan, khususnya untuk perkebunan kelapa sawit.

Pada sepanjang rawa dibuat kanal-kanal drainase untuk mengeringka rawa sehingga lahan yang yang sebelumnya berfungsi mengendalika iklim, pencegah insterusi, pencegah banjir dan kekeringan di wilayah tersebut beralih fungsi menjadi lahan perkebunan. Lahan gambut Aceh yang tersediapun semakin menipis akibat maraknya aksi alih fungsi lahan menjadi perkebunan. Salah satu rawa di Aceh yang kondisinya kian kritis adalah rawa gambut Tripa dan rawa Singkil.

Berdasarkan catatan WALHI Aceh, hingga Oktober 2010, terdapat 236 izin HGU perkebunan dengan luasan tidak kurang dari 351.232,816 Ha dan 109 izin pertambangan yang terdaftar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh hingga Januari 2011 dengan luas wilayah konsesi ± 745.980,93 hektar, baik di dalam kawasan hutan maupun non hutan. Jumlah ini diyakini akan terus membengkak diakibatkan oleh pembukaan kran investasi secara besar‐besaran. Sebagian besar HGU di Aceh merupakan perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit dengan skala besar terdapat di Aceh Tamiang, Aceh Singkil, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Utara, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Atas dasar itulah, maka WALHI Aceh menyerukan agar segera hentikan pemberian izin untuk pengembangan dan pembangunan kebun-kebun kayu baru.

Pemerintah segera melakukan audit secara menyeluruh terhadap kebun-kebun kayu yang ada serta melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang telah diberikan; mengembalikan hak masyarakat adat/lokal serta menjamin kepastian peruntukan kawasan kelola rakyat; Memastikan berlangsungnya moratorium penebangan kayu hutan alam dan pemberian izin-izin baru dikawasan hutan serta menindak perusahaan-perusahaan dan oknum aparatur negara yang melakukan tindak kejahatan kehutanan. (*)   

Mulai Sadar, Serbuan Kebun Sawit Penyebab Kekeringan?

19/09/2011 10:49 WIB | Indeks

Mulai Sadar, Serbuan Kebun Sawit Penyebab Kekeringan?

Link:http://rimanews.com/read/20110919/41379/mulai-sadar-serbuan-kebun-sawit-penyebab-kekeringan

Senin, 19 Sep 2011 09:12 WIB
BANDA ACEH, RIMANEWS - Kekeringan dan kebakaran hutan yang kini kerap melanda kawasan hutan rawa di Aceh bagian barat bukan semata dampak pemanasan global. Alih fungsi lahan hutan rawa gambut menjadi perkebunan sawit dalam beberapa tahun terakhir menjadi penyebab utamanya. Kebun sawit mematikan sumber-sumber air warga serta, meningkatkan tingkat kekritisan lahan.
Sawit adalah tanaman monokultur yang sangat rakus air. Ironisnya, tanaman-tanaman yang kini mengubah hampir total lahan hutan rawa payau di kawasan Tripa dan Singkil. Bahkan, kawasan rawa Tripa sekarang ini seperti bukan hutan lagi, tapi kebun sawit semua, ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh TM Zulfikar, Minggu (18/9/2011).
Alih fungsi lahan tersebut terjadi akibat terus dilakukannya pemberian hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan-perusahaan perkebunan oleh pemerintah di kawasan hutan rawa itu. Di Kawasan Rawa Tripa sendiri ada 5 perusahaan sawit yang menguasai lebih dari 9 0 persen perkebunan sawit.
Akibatnya, dari sekitar 60.800 hektar lahan hutan rawan itu, kini tinggal sekitar 20.000 hektar yang tersisa sebagai hutan. Selebihnya beralih menjadi perkebunan sawit dan lahan-lahan kritis.
Alih fungsi itupun mematikan fungsi alami lahan gambut tersebut, khususnya sebagai penyimpan air. Pada musim hujan, kawasan sekitar Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, selalu dilanda banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau seperti ini, kekeringan selalu ter jadi.
Kami berulang kali sudah mendesak agar penerbitan HGU itu dihentikan dan dicabut. Namun kenyataannya, sampai sekarang perusahaan-perusahaan itu tetap beroperasi dan meluaskan lahannya, ujar Zulfikar.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengatur persoalan penggunaan lahan hutan tersebut sampai sekarang belum terealisasi. RTRW tersebut diharapkan memasukkan kawasan rawa gambut di pesisir Aceh sebagai kawa san hutan lindung. Dengan demikian, ada dasar kuat untuk menghentikan alih fungsi lahan yang tak semestinya tersebut.
RTRW Aceh sampai saat ini masih belum tuntas pembahasannya. Ada dua persoalan yang masih menjadi pangkal persoala n, yakni belum adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) seperti diamanatkan dalam Undang Undang 32 Tahun 2009, serta perselisihan antara pemerintah kabupaten dan kota dengan Pemerintah Provinsi Aceh terkait luasan kawasan yang semestinya masuk kate gori hutan lindung atau bukan.
Secara terpisah, Camat Tripa Makmur, Abdul Kadir, mengatakan, kekeringan di sekitar kawasan Tripa dari waktu ke waktu semakin mengancam warga. Air bersih adalah persoalan yang paling krusial akibat kekeringan itu.
Di satu kecamatan ini hanya ada delapan sumur. Itu pun airnya kalau waktu musim kemarau sedikit. Warga hanya bisa mengandalkan air sungai untuk semua kebutuhan, kata Kadir.
Ironisnya, debit air sungai-sungai di sekitar kawasan Tripa pada musim kemarau jauh menyusut dibanding pada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya. Air sungai sebagian dialirkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan untuk meng aliri kebun sawit mereka yang kian meluas.
Moratorium, Rugikan Industri Sawit atau Upaya Membenahi?
Tidak ada yang istimewa dalam diskusi Industri Sawit Pascamoratorium, Kamis (7/7) lalu di Jakarta yang digelar Majalah Warta Ekonomi. Lagi-lagi soal moratorium kehutanan. Petani dan pelaku industri kelapa sawit mengeluhkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
"Pihak asing mendesak pemerintah untuk menandatangani letter of intent (LoI) dengan Norwegia yang salah satunya menerapkan moratorium konversi hutan. Hal tersebut sangat merugikan petani kelapa sawit karena pengembangan lahannya terbatas," kata Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad.
Menurut Asmar, moratorium atau penghentian sementara dalam waktu dua tahun sangat menghambat pengembangan sawit. Salah satu dampaknya adalah berkurangnya produksi benih kelapa sawit.
"Target produksi Crude Palm Oil (CPO) nasional sebesar 40 juta ton pada tahun 2020 dikhawatirkan tidak akan tercapai. Kebijakan moratorium memberi implikasi ketidakpastian usaha dan investasi di bidang sawit," kata Asmar.
Lebih lanjut, sebelum ada moratorium kelapa sawit, Indonesia memiliki 500.000 hektare (ha) lahan. Namun, dengan kebijakan tersebut, lahan kelapa sawit jumlahnya akan menyusut hanya sekitar 400 ha.
"Moratorium membuat lahan kelapa sawit semakin sedikit. Saat ini, hanya ada 100 ha lahan kelapa sawit pasca diberlakukannya moratorium pada 20 Mei 2011," tegas Asmar.
Di tempat yang sama, Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Maruli Gultom mengatakan industri sawit merupakan salah satu industri yang strategis bagi perekonomian di dalam negeri. Industri kelapa sawit adalah industri yang menyerap banyak tenaga kerja dan penyumbang devisa terbesar.
"Pelaku usaha mengharapkan dukungan pemerintah terhadap pengembangan industri kelapa sawit. Untuk moratorium, pelaku usaha mendesak pemerintah untuk mengeluarkan payung hukum terkait pengembangan kelapa sawit nasional," tegas Maruli.
Menurutnya, moratorium akan membuat harga crude palm oil (CPO) mengalami kenaikan. Selain itu, banyak masyarakat yang mengonsumsi produk turunan kelapa sawit.
"Moratorium menjadikan produk dari bahan baku kelapa sawit harga semakin tinggi. Hal ini tidak menguntungkan bagi upaya pemenuhan kebutuhan pangan dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia," tutur Maruli.
Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan menyatakan Inpres Moratorium Konversi Hutan Primer dan Lahan Gambut tidak mengakomodasi semua aspirasi industri kelapa sawit karena dianggap diskriminatif sehingga membuka peluang terjadinya konflik baru.
"Inpres tersebut memberikan pengecualian kepada beberapa aktivitas ekonomi, yaitu geotermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, serta lahan untuk padi," kata Fadhil.
Namun, Deputi I Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Heru Prasetyo mengatakan, moratorium konversi hutan bukan menghalangi perkembangan industri sawit. Sektor tersebut harus didorong karena sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi 7% dan target penurunan emisi. UKP4 adalah salah satu tim yang aktif terlibat dalam menggarap konsep moratorium dan sejumlah program terkait pengurangan deforestasi di Indonesia.
Menurut Heru, yang hadir dalam diskusi tersebut, moratorium sampai 2014 sehingga pada 2015 petani dan pengusaha kembali berkespansi. Selama periode moratorium, perlu optimalisasi lahan demi mendongkrak produktivitas. Pasalnya, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia saat ini baru 2,2 ton per ha atau lebih rendah 40% dari Malaysia.
Selama ini, kata dia, perkebunan sawit yang mayoritas dimiliki petani selalu dijadikan kambing hitam bagi rendahnya produktivitas. Padahal, porsi kepemilikan petani di Malaysia juga sama dengan Indonesia, sekitar 40%.
Menurut Heru, jika kordinasi vertikal bisa terlaksana antara perusahaan swasta, PTPN, dan petani, moratorium bisa sukses dan produktivitas sawit nasional meningkat. ”Dalam empat tahun ke depan, Indonesia bisa mengalahkan Malaysia,” ucapnya.
Dia menambahkan, produksi CPO nasional pada 2020 ditargetkan mencapai 40 juta ton. Jika produktivitas CPO bisa ditingkatkan, produksi CPO pada 2020 bisa melonjak menjadi 35 juta ton dari tahun ini sekitar 22 juta ton.
”Jika ekspansi 300 ribu ha per tahun selama dua tahun, produksi bisa 56 juta ton pada 2020,” tutur Heru.
Jadi, moratorium itu merugikan atau sekadar menunda untuk membenahi? Mudah-mudahan semua yang dilakukan akan bermuara pada industri perkebunan yang lebih baik dan efisien, termasuk produktivitas sawit yang bisa menyejahterakan rakyat Indonesia. Tentu bukan hanya segelintir pengusaha seperti saat ini, tetapi terutama bagi para petani dan masyarakat desa sekitar kebun sawit. Pada akhirnya berdampak pada seluruh rakyat Indonesia.[ian/kmps/agribiz]

Kebun Sawit Penyebab Kekeringan?

19/09/2011 10:32 WIB | Indeks

Kebun Sawit Penyebab Kekeringan?

Link:http://rimanews.com/read/20110919/41369/kebun-sawit-penyebab-kekeringan

Senin, 19 Sep 2011 09:25 WIB
BANDA ACEH, RIMANEWS - Kekeringan dan kebakaran hutan yang kini kerap melanda kawasan hutan rawa di Aceh bagian barat bukan semata dampak pemanasan global. Alih fungsi lahan hutan rawa gambut menjadi perkebunan sawit dalam beberapa tahun terakhir menjadi penyebab utamanya. Kebun sawit mematikan sumber-sumber air warga serta, meningkatkan tingkat kekritisan lahan.
Sawit adalah tanaman monokultur yang sangat rakus air. Ironisnya, tanaman-tanaman yang kini mengubah hampir total lahan hutan rawa payau di kawasan Tripa dan Singkil. Bahkan, kawasan rawa Tripa sekarang ini seperti bukan hutan lagi, tapi kebun sawit semua, ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh TM Zulfikar, Minggu (18/9/2011).
Alih fungsi lahan tersebut terjadi akibat terus dilakukannya pemberian hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan-perusahaan perkebunan oleh pemerintah di kawasan hutan rawa itu. Di Kawasan Rawa Tripa sendiri ada 5 perusahaan sawit yang menguasai lebih dari 9 0 persen perkebunan sawit.
Akibatnya, dari sekitar 60.800 hektar lahan hutan rawan itu, kini tinggal sekitar 20.000 hektar yang tersisa sebagai hutan. Selebihnya beralih menjadi perkebunan sawit dan lahan-lahan kritis.
Alih fungsi itupun mematikan fungsi alami lahan gambut tersebut, khususnya sebagai penyimpan air. Pada musim hujan, kawasan sekitar Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, selalu dilanda banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau seperti ini, kekeringan selalu ter jadi.
Kami berulang kali sudah mendesak agar penerbitan HGU itu dihentikan dan dicabut. Namun kenyataannya, sampai sekarang perusahaan-perusahaan itu tetap beroperasi dan meluaskan lahannya, ujar Zulfikar.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengatur persoalan penggunaan lahan hutan tersebut sampai sekarang belum terealisasi. RTRW tersebut diharapkan memasukkan kawasan rawa gambut di pesisir Aceh sebagai kawa san hutan lindung. Dengan demikian, ada dasar kuat untuk menghentikan alih fungsi lahan yang tak semestinya tersebut.
RTRW Aceh sampai saat ini masih belum tuntas pembahasannya. Ada dua persoalan yang masih menjadi pangkal persoala n, yakni belum adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) seperti diamanatkan dalam Undang Undang 32 Tahun 2009, serta perselisihan antara pemerintah kabupaten dan kota dengan Pemerintah Provinsi Aceh terkait luasan kawasan yang semestinya masuk kate gori hutan lindung atau bukan.
Secara terpisah, Camat Tripa Makmur, Abdul Kadir, mengatakan, kekeringan di sekitar kawasan Tripa dari waktu ke waktu semakin mengancam warga. Air bersih adalah persoalan yang paling krusial akibat kekeringan itu.
Di satu kecamatan ini hanya ada delapan sumur. Itu pun airnya kalau waktu musim kemarau sedikit. Warga hanya bisa mengandalkan air sungai untuk semua kebutuhan, kata Kadir.
Ironisnya, debit air sungai-sungai di sekitar kawasan Tripa pada musim kemarau jauh menyusut dibanding pada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya. Air sungai sebagian dialirkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan untuk meng aliri kebun sawit mereka yang kian meluas.(yus/kcm)

Serbuan Kebun Sawit Perparah Kekeringan

Serbuan Kebun Sawit Perparah Kekeringan
Minggu, 18 September 2011 23:12
Starberita-Banda Aceh, Kekeringan dan kebakaran hutan yang kini kerap melanda kawasan hutan rawa di Aceh bagian barat bukan semata dampak pemanasan global. Alih fungsi lahan hutan rawa gambut menjadi perkebunan sawit dalam beberapa tahun terakhir menjadi penyebab utamanya.
Kebun sawit mematikan sumber-sumber air warga serta meningkatkan tingkat kekritisan lahan.
Sawit adalah tanaman monokultur yang sangat rakus air. Ironisnya, tanaman-tanaman itu yang kini mengubah hampir seluruh lahan hutan rawa payau di kawasan Tripa dan Singkil. ”Kawasan rawa Tripa sekarang ini seperti bukan hutan lagi, tapi kebun sawit semua,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh TM Zulfikar, Minggu (18/9) di Banda Aceh.
Alih fungsi lahan tersebut terjadi akibat terus dilakukannya pemberian hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan-perusahaan perkebunan oleh pemerintah di kawasan hutan rawa itu.
Di kawasan Rawa Tripa sendiri terdapat lima perusahaan sawit yang menguasai lebih dari 90 persen perkebunan sawit. Akibatnya, dari sekitar 60.800 hektar lahan hutan rawan itu, kini tinggal sekitar 20.000 hektar yang tersisa sebagai hutan. Selebihnya beralih menjadi perkebunan sawit dan lahan-lahan kritis.
Alih fungsi itu pun mematikan fungsi alami lahan gambut tersebut, khususnya sebagai penyimpan air. Pada musim hujan, kawasan sekitar Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, selalu dilanda banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau seperti ini kekeringan selalu terjadi.
”Kami berulang kali sudah mendesak agar penerbitan HGU itu dihentikan dan dicabut. Namun, kenyataannya, sampai sekarang perusahaan-perusahaan itu tetap beroperasi dan meluaskan lahannya,” tutur Zulfikar.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengatur persoalan penggunaan lahan hutan tersebut sampai sekarang belum terealisasi. RTRW tersebut diharapkan memasukkan kawasan rawa gambut di pesisir Aceh sebagai kawasan hutan lindung. Dengan demikian, ada dasar kuat untuk menghentikan alih fungsi lahan yang tak semestinya tersebut.
Secara terpisah, Camat Tripa Makmur Abdul Kadir mengemukakan, kekeringan di sekitar kawasan Tripa dari waktu ke waktu semakin mengancam warga. Air bersih adalah persoalan yang paling krusial akibat kekeringan itu.
”Di satu kecamatan ini hanya ada delapan sumur. Itu pun airnya kalau waktu musim kemarau sedikit. Warga hanya bisa mengandalkan air sungai untuk semua kebutuhan,” kata Kadir.
Ironisnya, debit air sungai-sungai di sekitar kawasan Tripa pada musim kemarau jauh menyusut dibandingkan pada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya. Air sungai sebagian dialirkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengaliri kebun sawit mereka yang kian meluas.(kcm/YEZ)

Kerusakan Lingkungan Kekeringan Dampak Serbuan Kebun Sawit

Kerusakan Lingkungan
Kekeringan Dampak Serbuan Kebun Sawit
Mohamad Burhanudin | Robert Adhi Ksp | Senin, 19 September 2011 | 07:53 WIB
Dibaca: 1418
|
Share:
BANDA ACEH, KOMPAS.com -Kekeringan dan kebakaran hutan yang kini kerap melanda kawasan hutan rawa di Aceh bagian barat bukan semata dampak pemanasan global. Alih fungsi lahan hutan rawa gambut menjadi perkebunan sawit dalam beberapa tahun terakhir menjadi penyebab utamanya. Kebun sawit mematikan sumber-sumber air warga serta, meningkatkan tingkat kekritisan lahan.
Sawit adalah tanaman monokultur yang sangat rakus air. Ironisnya, tanaman-tanaman yang kini mengubah hampir total lahan hutan rawa payau di kawasan Tripa dan Singkil. Bahkan, kawasan rawa Tripa sekarang ini seperti bukan hutan lagi, tapi kebun sawit semua, ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh TM Zulfikar, Minggu (18/9/2011).
Alih fungsi lahan tersebut terjadi akibat terus dilakukannya pemberian hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan-perusahaan perkebunan oleh pemerintah di kawasan hutan rawa itu. Di Kawasan Rawa Tripa sendiri ada 5 perusahaan sawit yang menguasai lebih dari 9 0 persen perkebunan sawit.
Akibatnya, dari sekitar 60.800 hektar lahan hutan rawan itu, kini tinggal sekitar 20.000 hektar yang tersisa sebagai hutan. Selebihnya beralih menjadi perkebunan sawit dan lahan-lahan kritis.
Alih fungsi itupun mematikan fungsi alami lahan gambut tersebut, khususnya sebagai penyimpan air. Pada musim hujan, kawasan sekitar Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, selalu dilanda banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau seperti ini, kekeringan selalu ter jadi.
Kami berulang kali sudah mendesak agar penerbitan HGU itu dihentikan dan dicabut. Namun kenyataannya, sampai sekarang perusahaan-perusahaan itu tetap beroperasi dan meluaskan lahannya, ujar Zulfikar.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengatur persoalan penggunaan lahan hutan tersebut sampai sekarang belum terealisasi. RTRW tersebut diharapkan memasukkan kawasan rawa gambut di pesisir Aceh sebagai kawa san hutan lindung. Dengan demikian, ada dasar kuat untuk menghentikan alih fungsi lahan yang tak semestinya tersebut.
RTRW Aceh sampai saat ini masih belum tuntas pembahasannya. Ada dua persoalan yang masih menjadi pangkal persoala n, yakni belum adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) seperti diamanatkan dalam Undang Undang 32 Tahun 2009, serta perselisihan antara pemerintah kabupaten dan kota dengan Pemerintah Provinsi Aceh terkait luasan kawasan yang semestinya masuk kate gori hutan lindung atau bukan.
Secara terpisah, Camat Tripa Makmur, Abdul Kadir, mengatakan, kekeringan di sekitar kawasan Tripa dari waktu ke waktu semakin mengancam warga. Air bersih adalah persoalan yang paling krusial akibat kekeringan itu.
Di satu kecamatan ini hanya ada delapan sumur. Itu pun airnya kalau waktu musim kemarau sedikit. Warga hanya bisa mengandalkan air sungai untuk semua kebutuhan, kata Kadir.
Ironisnya, debit air sungai-sungai di sekitar kawasan Tripa pada musim kemarau jauh menyusut dibanding pada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya. Air sungai sebagian dialirkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan untuk meng aliri kebun sawit mereka yang kian meluas.

Aceh - Sabtu, 17 Sep 2011 01:14 WIB Mahasiswa Arsitektur Unsyiah Diskusi Perubahan Iklim

Aceh - Sabtu, 17 Sep 2011 01:14 WIB
Banda Aceh, (Analisa). Mahasiswa Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh menggelar Diskusi Film Perubahan Iklim. Diskusi tersebut dilaksanakan atas kerjasama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh.
"Walhi berterima kasih banyak terhadap sumbangsih Fakultas Teknik Unsyiah, khususnya Jurusan Arsitektur, dengan adanya diskusi dan pemutaran film perubahan iklim ini," ujar Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh Muhammad Nizar ketika membuka acara diskusi tersebut, Rabu (14/9).

Pemutaran film dilakukan di laboratorium Perencanaan Kota Jurusan Arsitektur Unsyiah. Sekitar 50-an mahasiswa serta dosen ikut menghadiri acara ini. Dalam film itu tergambar perubahan iklim seperti danau Aralsk di Kazakhstan mengering serta kesulitan untuk mendapatkan air di Nairobi, Kenya.

Masyarakat di Bangladesh juga harus berpindah-pindah rumah akibat banjir yang selalu menerjang pemukiman mereka serta naiknya permukaan air laut. Ancaman seperti itu bisa saja terjadi di Aceh kalau tidak diantisipasi dari sekarang.

Dikatakan, untuk ini tidak cukup hanya dengan kampanye dan sosialisasi yang dilakukan ke masyarakat, tapi juga harus ada bukti nyata atau aksi di lapangan. Hal ini harus dimulai dari hal-hal kecil untuk mencegah terjadinya perubahan iklim.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar mengatakan, gaya hidup masyarakat saat ini juga berpengaruh besar terhadap perubahan iklim. Masyarakat Aceh sampai saat ini belum terlalu ramah dengan lingkungan, terbukti ibu-ibu terus membuang sampah secara sembarangan. "Hal-hal kecil seperti itu juga mengganggu lingkungan," ujar TM Zulfikar.

Bagian Kerusakan

Pemanasan global menjadi bagian dari kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini. Perubahan iklim terjadi tidak dengan sendirinya tapi akibat adanya campur tangan manusia seperti adanya perubahan kebijakan yang terkait dengan lingkungan. "Banda Aceh beberapa hari lalu juga mengalami kekurangan air. Ini fenomena yang harus kita waspadai," ungkap Zulfikar.

Negara-negara maju merupakan salah satu penyumbang karbon dan energi terbesar, kalau di Aceh rumah yang memakai AC dinilai masih belum begitu dominan. Perubahan iklim juga bisa terjadi karena perubahan gaya hidup.

Zulfikar berharap dengan adanya diskusi seperti itu, bisa memberikan pencerahan yang cukup baik tentang perubahan iklim dan kehidupan manusia secara keseluruhan. Sehingga, lingkungan bisa terjaga dan ancaman bagi manusia bisa diantisifasi meski sulit dilakukan.

"Kalangan akademisi, mahasiswa dan pegiat lingkungan serta masyarakat harus bersinergi dan bersatu-padu dalam hal menjaga lingkungan agar terbebas dari perubahan iklim," ujar Zulfikar. (irn)

Rabu, 14 September 2011

Perubahan Iklim Mengancam Kehidupan Kita

Berita

Perubahan Iklim Mengancam Kehidupan Kita

Oleh: REL - 14/09/2011 - 13:50 WIB
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Mahasiswa Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Syiah Kuala Banda Aceh menggelar Diskusi Film Perubahan Iklim, Selasa (13/9). Diskusi tersebut dilaksanakan atas kerjasama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh.
“Walhi berterima kasih banyak terhadap sumbangsih Fakultas Teknik Unsyiah khususnya Jurusan Arsitektur, dengan adanya diskusi dan pemutaran film perubahan iklim ini,” ujar Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh Muhammad Nizar ketika membuka acara diskusi tersebut. Pemutaran film dilakukan di laboratorium Perencanaan Kota, jurusan Arsitektur Unsyiah. Sekitar 50-an mahasiswa serta dosen ikut menghadiri acara ini.
Dia mencontohkan seperti yang tergambar dalam film perubahan iklim tersebut, misalnya adanya danau Aralsk mengering yang terjadi di Kazakhstan serta kesulitan untuk mendapatkan air seperti yang terjadi di Nairobi-Kenya. Juga masyarakat di Bangladesh yang harus berpindah-pindah rumah akibat banjir yang selalu menerjang pemukiman mereka serta naiknya permukaan air laut. “Ancaman seperti itu bisa saja terjadi di Aceh, kalau kita tidak mengantisipasinya dari sekarang,” ungkapnya.
Dia juga mengatakan, tidak cukup hanya dengan kampanye dan sosialisasi yang di lakukan ke masyarakat tapi juga harus ada bukti nyata atau aksi di lapangan. “Kita harus mulai dari hal-hal kecil untuk mencegah perubahan iklim itu,” himbau Muhammad Nizar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar mengatakan, gaya hidup masyarakat saat ini juga berpengaruh besar terhadap perubahan iklim. “Kita belum terlalu ramah dengan lingkungan. Ibu-ibu juga membuang sampahnya masih sembarangan. Hal-hal kecil seperti itu juga mengganggu lingkungan,” katanya.
Pemanasan Global, lanjut TM Zulfikar, juga menjadi bagian dari kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini. Perubahan iklim terjadi tidak dengan sendirinya tapi akibat adanya campur tangan manusia seperti adanya perubahan kebijakan yang terkait dengan lingkungan. “Banda Aceh beberapa hari yang lalu juga mengalami kekurangan air. Ini fenomena yang harus kita waspadai,” sebut TM Zulfikar.
“Negara-negara maju merupakan salah satu penyumbang karbon dan energi terbesar. Kalau di tempat kita rumah yang memakai AC kan masih belum begitu dominan. Perubahan iklim juga bisa terjadi karena perubahan gaya hidup,” ujarnya.
TM Zulfikar berharap, dengan adanya acara diskusi seperti itu bisa memberikan pencerahan yang cukup baik tentang perubahan iklim dan kehidupan manusia secara keseluruhan. Dia menghimbau, Kalangan akademisi, mahasiswa dan pegiat lingkungan serta masyarakat harus bersinergi dan bersatu- padu dalam hal menjaga lingkungan agar terbebas dari perubahan iklim tersebut. []

Walhi Desak Polisi Tangkap Pembuang Limbah Merkuri di Sawang

Banda Aceh, (Analisa). Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Selatan dan Kepolisian seharusnya segera melakukan penindakan terhadap oknum pelaku pembuangan limbah merkuri sekaligus menertibkan penambang tradisional yang berpotensi mencermarkan lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat sekitarnya.
Apalagi pembuangan dilakukan di pantai dengan potensi limbah tersebut akan menyebar dan mencemari daerah lain sangat besar.

Kepolisian seharusnya tidak berdiam diri terhadap kasus ini karena pencemaran lingkungan berdasarkan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bukanlah delik aduan seperti anggapan banyak orang selama ini.

Pemerintah Daerah khususnya Kabupaten Aceh Selatan dan Kepolisian juga harus menindak oknum-oknum yang melakukan distribusi ilegal merkuri dan bahan B3 lainnya, termasuk pemasok dari luar daerah.

Hal ini bisa dibuktikan dengan mudahnya masyarakat penambang tradisional mendapatkan bahan merkuri. Seharusnya berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.30/MPP/Kep/7/1997 tentang barang yang diatur tata niaga impornya, penjualan eceran B3 harus mendapatkan izin minimal dari bupati/walikota dengan persyaratan yang ketat.

"Jika hal di atas tidak segera dilakukan, maka kasus pembuangan limbah merkuri akan semakin meningkat dan tidak terkendali. Apalagi kesadaran akan pelestarian lingkungan dan kesehatan para penambang tradisional masih sangat kurang,"ujar Direktur Walhi Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar di Banda Aceh, Selasa (13/9).

Berdasarkan hasil investigasi Walhi Juni 2010, penambang tradisional sebagian besar sama sekali tidak mengetahui dampak buruk dari penggunaan merkuri dalam proses penambangan. Hanya sebagian kecil saja yang paham, tetapi mereka cenderung tidak peduli.

Hal ini disebabkan karena efek merusak merkuri di tubuh manusia biasanya akan muncul di kemudian hari atau tidak langsung tampak. Kecuali jika terpapar langsung dalam jumlah banyak, maka efek merkuri dapat langsung dirasakan.

Sebagaimana diberitakan berbagai media sebelumnya, beberapa hari lalu ditemukan sejumlah ternak dan tanaman warga di Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan mati diduga akibat terpapar limbah merkuri.

"Limbah merkuri ini berasal dari para penambang untuk mengelola emas dan kemudian dibuang ke pantai secara serampangan," ujar TM Zulfikar.

Keadaan menjadi sangat mengkhawatirkan karena pembuangan limbah di sembarang tempat,antara lain di tepi laut dan pinggiran saluran air, seperti di Desa Sawang Dua.

Sayangnya pemerintah setempat tidak mampu berbuat apapun selain mengeluh kepada media, padahal menjadi tugas mereka adalah segera berusaha mengatasi masalah pencemaran tersebut. (irn)