19/09/2011 10:49 WIB | Indeks
Mulai Sadar, Serbuan Kebun Sawit Penyebab Kekeringan?
Link:http://rimanews.com/read/20110919/41379/mulai-sadar-serbuan-kebun-sawit-penyebab-kekeringan BANDA ACEH, RIMANEWS - Kekeringan dan kebakaran hutan yang kini kerap melanda kawasan hutan rawa di Aceh bagian barat bukan semata dampak pemanasan global. Alih fungsi lahan hutan rawa gambut menjadi perkebunan sawit dalam beberapa tahun terakhir menjadi penyebab utamanya. Kebun sawit mematikan sumber-sumber air warga serta, meningkatkan tingkat kekritisan lahan.
Sawit adalah tanaman monokultur yang sangat rakus air. Ironisnya, tanaman-tanaman yang kini mengubah hampir total lahan hutan rawa payau di kawasan Tripa dan Singkil. Bahkan, kawasan rawa Tripa sekarang ini seperti bukan hutan lagi, tapi kebun sawit semua, ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh TM Zulfikar, Minggu (18/9/2011).
Alih fungsi lahan tersebut terjadi akibat terus dilakukannya pemberian hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan-perusahaan perkebunan oleh pemerintah di kawasan hutan rawa itu. Di Kawasan Rawa Tripa sendiri ada 5 perusahaan sawit yang menguasai lebih dari 9 0 persen perkebunan sawit.
Akibatnya, dari sekitar 60.800 hektar lahan hutan rawan itu, kini tinggal sekitar 20.000 hektar yang tersisa sebagai hutan. Selebihnya beralih menjadi perkebunan sawit dan lahan-lahan kritis.
Alih fungsi itupun mematikan fungsi alami lahan gambut tersebut, khususnya sebagai penyimpan air. Pada musim hujan, kawasan sekitar Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, selalu dilanda banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau seperti ini, kekeringan selalu ter jadi.
Kami berulang kali sudah mendesak agar penerbitan HGU itu dihentikan dan dicabut. Namun kenyataannya, sampai sekarang perusahaan-perusahaan itu tetap beroperasi dan meluaskan lahannya, ujar Zulfikar.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengatur persoalan penggunaan lahan hutan tersebut sampai sekarang belum terealisasi. RTRW tersebut diharapkan memasukkan kawasan rawa gambut di pesisir Aceh sebagai kawa san hutan lindung. Dengan demikian, ada dasar kuat untuk menghentikan alih fungsi lahan yang tak semestinya tersebut.
RTRW Aceh sampai saat ini masih belum tuntas pembahasannya. Ada dua persoalan yang masih menjadi pangkal persoala n, yakni belum adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) seperti diamanatkan dalam Undang Undang 32 Tahun 2009, serta perselisihan antara pemerintah kabupaten dan kota dengan Pemerintah Provinsi Aceh terkait luasan kawasan yang semestinya masuk kate gori hutan lindung atau bukan.
Secara terpisah, Camat Tripa Makmur, Abdul Kadir, mengatakan, kekeringan di sekitar kawasan Tripa dari waktu ke waktu semakin mengancam warga. Air bersih adalah persoalan yang paling krusial akibat kekeringan itu.
Di satu kecamatan ini hanya ada delapan sumur. Itu pun airnya kalau waktu musim kemarau sedikit. Warga hanya bisa mengandalkan air sungai untuk semua kebutuhan, kata Kadir.
Ironisnya, debit air sungai-sungai di sekitar kawasan Tripa pada musim kemarau jauh menyusut dibanding pada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya. Air sungai sebagian dialirkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan untuk meng aliri kebun sawit mereka yang kian meluas.
Moratorium, Rugikan Industri Sawit atau Upaya Membenahi?
Tidak ada yang istimewa dalam diskusi Industri Sawit Pascamoratorium, Kamis (7/7) lalu di Jakarta yang digelar Majalah Warta Ekonomi. Lagi-lagi soal moratorium kehutanan. Petani dan pelaku industri kelapa sawit mengeluhkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
"Pihak asing mendesak pemerintah untuk menandatangani letter of intent (LoI) dengan Norwegia yang salah satunya menerapkan moratorium konversi hutan. Hal tersebut sangat merugikan petani kelapa sawit karena pengembangan lahannya terbatas," kata Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad.
Menurut Asmar, moratorium atau penghentian sementara dalam waktu dua tahun sangat menghambat pengembangan sawit. Salah satu dampaknya adalah berkurangnya produksi benih kelapa sawit.
"Target produksi Crude Palm Oil (CPO) nasional sebesar 40 juta ton pada tahun 2020 dikhawatirkan tidak akan tercapai. Kebijakan moratorium memberi implikasi ketidakpastian usaha dan investasi di bidang sawit," kata Asmar.
Lebih lanjut, sebelum ada moratorium kelapa sawit, Indonesia memiliki 500.000 hektare (ha) lahan. Namun, dengan kebijakan tersebut, lahan kelapa sawit jumlahnya akan menyusut hanya sekitar 400 ha.
"Moratorium membuat lahan kelapa sawit semakin sedikit. Saat ini, hanya ada 100 ha lahan kelapa sawit pasca diberlakukannya moratorium pada 20 Mei 2011," tegas Asmar.
Di tempat yang sama, Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Maruli Gultom mengatakan industri sawit merupakan salah satu industri yang strategis bagi perekonomian di dalam negeri. Industri kelapa sawit adalah industri yang menyerap banyak tenaga kerja dan penyumbang devisa terbesar.
"Pelaku usaha mengharapkan dukungan pemerintah terhadap pengembangan industri kelapa sawit. Untuk moratorium, pelaku usaha mendesak pemerintah untuk mengeluarkan payung hukum terkait pengembangan kelapa sawit nasional," tegas Maruli.
Menurutnya, moratorium akan membuat harga crude palm oil (CPO) mengalami kenaikan. Selain itu, banyak masyarakat yang mengonsumsi produk turunan kelapa sawit.
"Moratorium menjadikan produk dari bahan baku kelapa sawit harga semakin tinggi. Hal ini tidak menguntungkan bagi upaya pemenuhan kebutuhan pangan dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia," tutur Maruli.
Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan menyatakan Inpres Moratorium Konversi Hutan Primer dan Lahan Gambut tidak mengakomodasi semua aspirasi industri kelapa sawit karena dianggap diskriminatif sehingga membuka peluang terjadinya konflik baru.
"Inpres tersebut memberikan pengecualian kepada beberapa aktivitas ekonomi, yaitu geotermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, serta lahan untuk padi," kata Fadhil.
Namun, Deputi I Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Heru Prasetyo mengatakan, moratorium konversi hutan bukan menghalangi perkembangan industri sawit. Sektor tersebut harus didorong karena sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi 7% dan target penurunan emisi. UKP4 adalah salah satu tim yang aktif terlibat dalam menggarap konsep moratorium dan sejumlah program terkait pengurangan deforestasi di Indonesia.
Menurut Heru, yang hadir dalam diskusi tersebut, moratorium sampai 2014 sehingga pada 2015 petani dan pengusaha kembali berkespansi. Selama periode moratorium, perlu optimalisasi lahan demi mendongkrak produktivitas. Pasalnya, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia saat ini baru 2,2 ton per ha atau lebih rendah 40% dari Malaysia.
Selama ini, kata dia, perkebunan sawit yang mayoritas dimiliki petani selalu dijadikan kambing hitam bagi rendahnya produktivitas. Padahal, porsi kepemilikan petani di Malaysia juga sama dengan Indonesia, sekitar 40%.
Menurut Heru, jika kordinasi vertikal bisa terlaksana antara perusahaan swasta, PTPN, dan petani, moratorium bisa sukses dan produktivitas sawit nasional meningkat. ”Dalam empat tahun ke depan, Indonesia bisa mengalahkan Malaysia,” ucapnya.
Dia menambahkan, produksi CPO nasional pada 2020 ditargetkan mencapai 40 juta ton. Jika produktivitas CPO bisa ditingkatkan, produksi CPO pada 2020 bisa melonjak menjadi 35 juta ton dari tahun ini sekitar 22 juta ton.
”Jika ekspansi 300 ribu ha per tahun selama dua tahun, produksi bisa 56 juta ton pada 2020,” tutur Heru.
Jadi, moratorium itu merugikan atau sekadar menunda untuk membenahi? Mudah-mudahan semua yang dilakukan akan bermuara pada industri perkebunan yang lebih baik dan efisien, termasuk produktivitas sawit yang bisa menyejahterakan rakyat Indonesia. Tentu bukan hanya segelintir pengusaha seperti saat ini, tetapi terutama bagi para petani dan masyarakat desa sekitar kebun sawit. Pada akhirnya berdampak pada seluruh rakyat Indonesia.[ian/kmps/agribiz]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar