Mon, Jun 7th 2010, 09:26
Deforestasi dan Moratorium Logging
Sebuah ‘kado manis’ diterima oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, tepat pada HUT ke-3 Moratorium Logging di Aceh, tanggal 6 Juni 2010 atau Minggu kemarin. Rombonngan Gubernur Irwandi terjebak oleh banjir di Meudang Ghon, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya. Kala itu rombongan Irwandi baru pulang dari kunjungan kerja ke Aceh Barat.
Walaupun, sempat tertahan hanya beberapa jam dan kemarin siang, sudah bisa melanjutkan perjalanan lagi ke Banda Aceh, namun Irwandi sudah menyaksikan langsung, betapa banjir begitu rentan melanda kawasan Aceh. Padahal melalui Ingub nomor 5 tahun 2007 tertanggal 6 Juni, Pemerintah Aceh meluncurkan kebijakan moratorium logging atau jeda tebang. Moratorium itu sendiri berasal dari kata bahasa latin, morari yang bermakna penundaan.
Melalui moratorium logging itu akan dilakukan 3 R, redesign (tata ulang), reforestasi (penanaman kembali) serta reduksi deforestasi (menekan laju kerusakan hutan). Semua itu bermuara pada hutan lestari rakyat Aceh sejahtera. Ya...moratorium logging ditujukan untuk kesejahteraan 4,2 juta rakyat Aceh. Itulah tujuan ideal!
Sebelumnya Gubernur Abdullah Puteh juga telah mengeluarkan moratorium logging tanggal 7 Maret 2001 lewat SK no 511.11/4505. Harus kita akui, moratorium era Irwandi memang lebih menggigit dan punya daya pressure yang lebih kuat, terutama penutupan semua hak pengusahaan hutan di Aceh.
Pemerintah Aceh sadar bahwa rangkaian bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, termasuk amuk binatang belantara seperti gajah dan harimau, adalah sinyal nyata dari kerusakan hutan Aceh yang butuh penataan kembali, termasuk habitat binatang rimba yang mulai terganggu. Di sisi lain dalam kaitan eksternal Aceh, Gubernur Irwandi juga telah ‘memasarkan’ status hijau Aceh ke dunia. Berbagai event untuk itu telah dilakukan, baik secara lokal maupun secara internasional.
Salah satu komoditi yang ‘dijual’ adalah tutupan hutan kawasan Ulumasen yang memiliki luas 3.549.813.00 hektar--sesuai SK Menhut RI nomor 170/kpts-II/2000 tertanggal 29 Juni tahun 2000. Kawasan yang meliputi Aceh Besar hingga Aceh Utara dan Barat itu, menjadi salah satu point kompensasi karbon dunia, yang bisa jadi akan mendatangkan pemasukan untuk rakyat dan pemerintah.
Semua bisa dilakukan! Termasuk ‘perintah’ moratorium logging dari Pemerintah Aceh. Tapi kenyataan lapangan membuktikan, chainsaw terus meraung terutama di belantara Ulumasen. Serta kawasan hutan lainnya di Aceh. Areal tutupan hutan Aceh makin tergerus secara deras. Tak salah jika Direktur Eksekutif Walhi Acrh, TM Zulfikar dalam pernyataan di media menilai, hingga tahun ke-3, Moratorium Logging belum berjalan efektif. “Reboisasi belum maksimal. Jika jeda tebang tidak diimbangi dengan penanaman kembali, kondisi hutan Aceh akan tetap kritis. Lebih dari itu dibutuhkan penegakan hukum secara tegas bagi perusak dan penjarah hutan,” kata Zulfikar.
Banjir yang dalam dua hari terakhir melanda kawasan Aceh Barat dan sekitarnya, yang nota bene menjadi bagian sentral dari kawasan hutan Ulumasen, menjadi bukti bahwa deforestasi masih terus berlanjut. Laju penurunan tutupan hutan dengan upaya penghijauan kembali, justru bagai siang dan malam. Jika pun ada, malah uangnya raib entah kemana, seperti Proyek Gerhan di Pidie. Selamat Ulang Tahun Moratorium Logging, semoga ‘kado manis’ tak diterima lagi oleh Pak Gubernur, saat kebijakan jedang tebang menapak usia selanjutnya.
Walaupun, sempat tertahan hanya beberapa jam dan kemarin siang, sudah bisa melanjutkan perjalanan lagi ke Banda Aceh, namun Irwandi sudah menyaksikan langsung, betapa banjir begitu rentan melanda kawasan Aceh. Padahal melalui Ingub nomor 5 tahun 2007 tertanggal 6 Juni, Pemerintah Aceh meluncurkan kebijakan moratorium logging atau jeda tebang. Moratorium itu sendiri berasal dari kata bahasa latin, morari yang bermakna penundaan.
Melalui moratorium logging itu akan dilakukan 3 R, redesign (tata ulang), reforestasi (penanaman kembali) serta reduksi deforestasi (menekan laju kerusakan hutan). Semua itu bermuara pada hutan lestari rakyat Aceh sejahtera. Ya...moratorium logging ditujukan untuk kesejahteraan 4,2 juta rakyat Aceh. Itulah tujuan ideal!
Sebelumnya Gubernur Abdullah Puteh juga telah mengeluarkan moratorium logging tanggal 7 Maret 2001 lewat SK no 511.11/4505. Harus kita akui, moratorium era Irwandi memang lebih menggigit dan punya daya pressure yang lebih kuat, terutama penutupan semua hak pengusahaan hutan di Aceh.
Pemerintah Aceh sadar bahwa rangkaian bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, termasuk amuk binatang belantara seperti gajah dan harimau, adalah sinyal nyata dari kerusakan hutan Aceh yang butuh penataan kembali, termasuk habitat binatang rimba yang mulai terganggu. Di sisi lain dalam kaitan eksternal Aceh, Gubernur Irwandi juga telah ‘memasarkan’ status hijau Aceh ke dunia. Berbagai event untuk itu telah dilakukan, baik secara lokal maupun secara internasional.
Salah satu komoditi yang ‘dijual’ adalah tutupan hutan kawasan Ulumasen yang memiliki luas 3.549.813.00 hektar--sesuai SK Menhut RI nomor 170/kpts-II/2000 tertanggal 29 Juni tahun 2000. Kawasan yang meliputi Aceh Besar hingga Aceh Utara dan Barat itu, menjadi salah satu point kompensasi karbon dunia, yang bisa jadi akan mendatangkan pemasukan untuk rakyat dan pemerintah.
Semua bisa dilakukan! Termasuk ‘perintah’ moratorium logging dari Pemerintah Aceh. Tapi kenyataan lapangan membuktikan, chainsaw terus meraung terutama di belantara Ulumasen. Serta kawasan hutan lainnya di Aceh. Areal tutupan hutan Aceh makin tergerus secara deras. Tak salah jika Direktur Eksekutif Walhi Acrh, TM Zulfikar dalam pernyataan di media menilai, hingga tahun ke-3, Moratorium Logging belum berjalan efektif. “Reboisasi belum maksimal. Jika jeda tebang tidak diimbangi dengan penanaman kembali, kondisi hutan Aceh akan tetap kritis. Lebih dari itu dibutuhkan penegakan hukum secara tegas bagi perusak dan penjarah hutan,” kata Zulfikar.
Banjir yang dalam dua hari terakhir melanda kawasan Aceh Barat dan sekitarnya, yang nota bene menjadi bagian sentral dari kawasan hutan Ulumasen, menjadi bukti bahwa deforestasi masih terus berlanjut. Laju penurunan tutupan hutan dengan upaya penghijauan kembali, justru bagai siang dan malam. Jika pun ada, malah uangnya raib entah kemana, seperti Proyek Gerhan di Pidie. Selamat Ulang Tahun Moratorium Logging, semoga ‘kado manis’ tak diterima lagi oleh Pak Gubernur, saat kebijakan jedang tebang menapak usia selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar