Kamis, 25 Agustus 2011

M. Syukri Juara Lomba Artikel Lingkungan WALHI Aceh

M. Syukri Juara Lomba Artikel Lingkungan WALHI Aceh
Banda Aceh — Setelah melalui proses penyeleksian yang cukup ketat, akhirnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh dan ICCO menetapkan Muhammad Syukri asal, Aceh Tengah sebagai pemenang utama dalam program lomba artikel lingkungan dengan tema “Sejahtera tanpa merusak.” Karya tulisnya yang berjudul “Kopi Konservasi, Mengais Rejeki Dari Bumi Lestari” dinilai lebih unggul dari 68 artikel yang diseleksi oleh dewan juri.

Dewan juri artikel lingkungan ini antara lain, Maimun Saleh (Rektor MJC), Yarmen Dinamika (Redaktur Harian Serambi Indonesia) dan Muhamad Nizar (unsur Walhi Aceh). “Yang diunggulkan adalah kelengkapan tulisan dan ada solusi dari penulis bagaimana “sejahtera tanpa merusak” sebagaimana tema yang dimaksud,” kata Maimun Saleh salah seorang dewan juri. Atas kemenangan itu, Muhammad Syukri berhak mendapatkan sertifikat Walhi dan membawa pulang uang pembinaan senilai Rp3,5 juta.

Sementara itu, pemenang kedua lomba tulisan artikel lingkungan “Sejahtera tanpa merusak” diraih Herman RN dari Banda Aceh dengan tulisan berjudul “Menambang Kematian.” Pemenang ketiga jatuh kepada Teuku Kemal Fasya dengan judul tulisan “Dicari Gubernur Penyelamat Lingkungan.” Sedangkan juara keempat diberikan kepada Mualim Hasibuan asal Kota Sabang dengan judul tulisan “Pengelolaan Kawasan Laut Berbasis Komunitas di Gampong Ie Meule, Sabang.”

Selain pemenang lomba artikel lingkungan ini, Walhi juga mengumumkan pemenang lomba foto lingkungan yang temanya “sejahtera tanpa merusak.” Juara pertama diraih oleh Fahreza Ahmad dengan foto berjudul “Listrik Mikrohidro.” Pemenang kedua diambil Ahmad Ariska dengan judul fotonya “Mati Satu Tumbuh Seribu.” Pemenang ketiga diberikan kepada Budi Patria dengan judul “Bawa Pulang Rotan,” dan pemenang fotografer lingkungan keempat jatuh kepada Heri Juanda dengan judul “Mengolah Gula Tebu.”

Lomba karya tulis artikel dan foto lingkungan “sejahtera tanpa merusak” digelar sejak Juni 2011. Direktur Walhi Aceh, TM. Zulfikar kepada The Globe Journal, Kamis (25/8) mengatakan semua hasil tulisan artikel dan foto lingkungan ini menjadi hak pakainya Walhi. Besar kemungkinan untuk kontribusi muatan dalam bulletin Walhi Aceh. “Bila perlu kita bukukan semua tulisan artikel dan foto-foto lingkungan dari peserta yang ikut lomba tersebut,” kata Zulfikar.

Selasa, 23 Agustus 2011

Walhi Salurkan Zakat Buat 400 Yatim Piatu Tsunami

Walhi Salurkan Zakat Buat 400 Yatim Piatu Tsunami
Firman Hidayat | The Globe Journal | Selasa, 23 Agustus 2011
Link: http://www.theglobejournal.com/kategori/sosial/walhi-salurkan-zakat-buat-400-yatim-piatu-tsunami.php
Banda Aceh — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional menyalurkan bantuan berupa zakat kepada 400 orang anak yatim piatu korban musibah gempa dan tsunami di Aceh. Deputi Direktur Walhi Nasional, Ali Akbar kepada wartawan, Selasa (23/8) di Masjid Tgk. Dianjong, Gampong Pelanggahan, Kota Banda Aceh mengatakan sumber dana bantuan zakat ini dari hasil penggalangan dana publik khusus untuk Aceh yang dilakukan sejak tahun 2006 lalu.

Dikatakan Ali Akbar bersama Ketua Desk Disaster Walhi Nasional, Irhas Ahmady bahwa dana yang terkumpul secara keseluruah berjumlah Rp500 juta. “Sehingga dari uang itulah kita gunakan salah satunya untuk memberikan zakat kepada 400 anak yatim piatu yang merupakan korban tsunami di Aceh,” kata Ali Akbar.

Kenapa bantuan tersebut diberikan untuk anak-anak, Ali Akbar mengatakan sebagai regenerasi penerus yang bisa menyelamatkan lingkungan masa depan itu adalah anak-anak. Sehingga besar harapan agar anak-anak ini bisa berkomunikasi untuk menyelamatkan lingkungan hidup. “Semata-mata berfikir bagaimana menyelamatkan lingkungan,“ kata Ali Akbar.

Sementara itu Direktur Walhi Aceh, TM. Zulfikar kepada wartawan usai menyerahkan bantuan berupa uang dan tas yang berisi baju sekolah, baju shalat kepada 40 orang anak yatim piatu tsunami di Gampong Peulanggahan, Banda Aceh, Selasa (23/8) mengatakan bantuan ini disalurkan di dua lokasi yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Proses pendataan anak-anak ini berlangsung sejak Mei 2011.

“Padahal masih sangat banyak jumlah anak yatim piatu tsunami di Aceh yang secara keseluruhan mencapai 2.000 lebih,” kata TM. Zulfikar. Namun Walhi hanya menjangkau 400 orang anak yatim piatu tsunami yang berada di enam gampong dan enam panti asuhan. Sedangkan sisanya diharapkan peran andil pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang masih eksis.

Enam gampong dan enam panti asuhan yang dimaksud Walhi sebagai daerah yang menerima bantuan tersebut adalah Gampong Deah Raya, Alue Naga, Peulanggahan, Lampuuk, Meunasah Kulam di Kawasan Krueng Raya dan Lhoong Aceh Besar. Kemudian Panti YPPC, YPAC, Bukesra, Jroeh Naguna, Rumah Yatim Kuta Malaka dan Rumah Sejahtera Darussa’adah.

Melalui The Globe Journal, Keuhik Peulanggahan, Husaini menyampaikan terima kasih kepada Walhi Aceh dan Walhi Nasional yang telah memperhatikan anak-anak yatim piatu korban tsunami di Gampong Peulanggahan. Dari 3.000 lebih jumlah penduduknya, masih banyak lagi anak-anak yatim yang sekiranya perlu dibantu oleh pihak-pihak lain.

“Semoga dengan bantuan dari Walhi ini bisa menjadi contoh bagi lembaga lain termasuk kepada pemerintah agar lebih peduli terhadap anak-anak yatim piatu korban tsunami,” tukas Husaini.

WALHI Serahkan Bantuan

WALHI Serahkan Bantuan

Deputi Direktur Walhi Nasional, Ali Akbar (kiri) dan Direktur Walhi Aceh, T.Muhammad Zulfikar (kanan) sedang menyerahkan paket bantuan kepada anak-anak yatim di lingkungan gampong Peulanggahan, Banda Aceh, Selasa (23/8).

Warga Minta TPA Gampong Jawa Dipindahkan

Warga Minta TPA Gampong Jawa Dipindahkan
Firman Hidayat | The Globe Journal | Selasa, 23 Agustus 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/warga-minta-tpa-gampong-jawa-dipindahkan.php
Banda Aceh — Keuchik Peulanggahan, Husaini yang mewakili 3.000 lebih penduduk Gampong Peulanggahan Kecamatan Kutaradja Banda Aceh kepada The Globe Journal, Selasa (23/8) mengatakan keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah-sampah di Gampong Jawa itu sudah sangat meresahkan masyarakat. Apalagi pada saat musim angin kencang dan musim hujan.

Menurut Husaini, pihaknya sudah meminta agar Pemerintah Kota Banda Aceh memindahkan lokasi TPA itu ke kawasan yang jauh dari pemukiman penduduk. Pada saat musim angin kencang, aroma bau sampah selalu saja mengganggu aktifitas masyarakat di sejumlah gampong yang berada disekitar TPA tersebut. Kemudian jika musim hujan juga banyak mengundang lalat-lalat dan nyamuk sebagai sumber penyakit bagi masyarakat.

Husaini mengaku penyakit demam berdarah dan malaria paling banyak menyerang warga Gampong Peulanggahan ini. Bahkan beberapa gampong yang berada di sekitar TPA seperti Gampong Jawa, Lampulo, Gampong Pande hingga Gampong Mulia juga sangat diresahkan oleh polusi tersebut. “Keberadaan TPA di Gampong Jawa itu sudah sangat meresahkan masyarakat, maka sebaiknya dipindahkan,” kata Husaini.

Menanggapi persoalan masyarakat tersebut, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, TM. Zulfikar kepada The Globe Journal mengatakan ide untuk memindahkan TPA di Gampong Jawa itu sudah cukup lama. Namun prosesnya tidak berjalan. “Mestinya Pemerintah Kota Banda Aceh mencari lokasi lain TPA yang baru dengan berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh Besar,” kata Zulfikar.

Masyarakat sudah lama mengeluhkan adanya pencemaran polusi udara yang bersumber dari TPA Gampong Jawa yang berada di kawasan padat penduduk. Pasca tsunami UNDP juga memiliki konsep persampahan yang belum dirasakan hasilnya oleh masyarakat setempat. “Sebaiknya segera dipindahkan TPA tersebut ketempat yang jauh dari pemukiman penduduk, sebelum menimbulkan dampak yang lebih buruk akibat pencemaran dan polusi udara yang ditimbulkan,”jelas Zulfikar.

Data yang diperoleh The Globe Journal dari dokument strategi sanitasi Kota Banda Aceh terkait persampahan menyebutkan kapasitas TPA di Gampong Jawa itu adalah 160 ton perhari dengan luas wilayah 21 hektar. Diperkirakan tahun 2010 lalu TPA ini akan habis fungsinya sehingga alternatif TPA baru perlu dikembangkan.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, tetap dimulai pengembangan TPA regional bekerja sama dengan Kabupaten Aceh Besar. Rencana rinci (DED) mengenai TPA ini telah selesai dilakukan dan proses komunikasi dengan Kabupaten Aceh Besar sedang berlangsung. TPA regional ini direncanakan dapat berfungsi setelah tahun 2010.

Senin, 22 Agustus 2011

Aceh Besar marak galian C ilegal

Friday, 19 August 2011 15:08    PDF Print E-mail
Aceh Besar marak galian C ilegal
Warta
HENDRO KOTO
Koresponden Aceh

WASPADA ONLINE

(WOL Photo/Hendro Koto)
BANDA ACEH – Dari hasil pantauan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, wilayah Aceh Besar marak galian C, sehingga merusak lingkungan sekitarnya. Untuk itu perlu dilakukan tindakan tegas terhadap pelaku galian C, yang umumnya cukong besar, agar kawasan sungai, bukit dan hutan di daerah penyangga ibukota provinsi Aceh ini tidak semakin hancur.

Direktur Walhi Aceh, T. Muhammad Zulfikar menyampaikan hal tersebut dalam siaran persnya yang diterima hari ini. "Informasi dari Pemkab Aceh Besar menyebutkan, lokasi Kr. Kemireu dari waduk Keliling sampai dengan jembatan Keumireu Kecamatan Kota Cot Glie dinyatakan sebagai lokasi terlarang bagi kegiatan penambangan pasir dan kerikil. Daerah ini sangat penting untuk dibebaskan dari galian C agar melindungi sumber air Waduk Keuliling sendiri. Namun sayangnya, menurut informasi, masih ada lima titik lokasi penambangan liar,"jelasnya.

Selain di lokasi Krueng Jreu dari bendungan Kreung Jreu hingga jembatan Indrapuri  juga dinyatakan sebagai lokasi terlarang bagi tambang galian C. Namun lagi-lagi larangan ini dianggap angin lalu saja oleh para cukong sehingga hingga kini terdapat tiga titik lokasi penambangan liar. Larang Tambang. Padahal untuk mengamankan Waduk Kreung Jreu dan meminimalisir longsor di kebun-kebun milik masyarakat usaha galian C wajib dihentikan.

Masih ada lokasi-lokasi lain yang jadi incaran para perusak lingkungan ini misalnya saja sepanjang Krueng Aceh, Gampong Limo lam leuwueng dan berbagai titik lainnya. Mereka tidak peduli dengan kelestarian lingkungan dan hajat hidup orang banyak. Bupati Aceh Besar pun sudah mengeluarkan sejumlah peraturan untuk melarang pertambangan liar galian C. Sebut saja Qanun Aceh Besar No.19 Tahun 2003, Surat Bupati Aceh Besar No. 540/339 Tgl. 17 Januari 2011,  Maklumat Muspida, namun tetap saja, “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.”

Padahal sesuai aturan, untuk melakukan aktivitas pertambangan galian C sudah ada regulasinya. Setiap usaha pertambangan harus memenuhi  4  tertib yaitu tertib perizinan, pelaporan, lingkungan, dan pajak.

WALHI Aceh mendukung upaya Pemkab Aceh Besar untuk turun ke lapangan pada hari Kamis (18/8) sebagaima pemberitahuan yang diterima. Melakukan penertiban dan penutupan usaha tambang liar harus segera dilakukan. Sosialisasi ke penambang, penertiban oleh Tim Penertiban dan dan pemasangan papan larang tambang di lokasi menjadi hal yang sangat penting. Jika pun nanti cukong yang membandel maka sudah selayaknya diberi teguran tertulis kepada penambang dan mengadakan koordinasi dengan Muspika masing-masing kecamatan serta pihak keamanan seperti Polres/Polresta.

"Semoga langkah yang dilakukan Pemkab Aceh Besar dapat memberikan efek jera bagi para penambang galian C. Penertiban sangat penting untuk menjaga kepentingan masyarakat banyak. Untuk menjaga sumber-sumber air dan kehidupan masyarakat tetap berlanjut sampai dimasa mendatang,"ucap T. Muhammad Zulfikar.

Editor: SASTROY BANGUN
(dat07/rilis/wol)

Rabu, 17 Agustus 2011

Banyak galian C ilegal di Aceh Besar

Thursday, 18 August 2011 10:16    PDF Print E-mail
Banyak galian C ilegal di Aceh Besar
Warta
HENDRO KOTO
Koresponden Aceh
WASPADA ONLINE


BANDA ACEH – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai bahwa hingga saat ini masih banyak ditemukan dan dijumpai praktek pertambangan galian C yang illegal. Keberadaan tambagan galian C illegal selain merugikan pemerintah daerah akibat tidak adanya pemasukan ke kas daerah dalam bentuk pajak galian C, juga keberadaannya sangat berbahaya bagi lingkungan dan keselamatan sungai. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar kepada Waspada Online.

Disebutkannya, hingga saat ini pihaknya mensinyalir masih terdapat lima titik lokasi penambangan liar di areal Krueng Keumire kawasan waduk keliling sampai dengan jembatan kemirue kecamatan Kota Cot Glie yang dinyatakan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar sebagai kawasan terlarang bagi penambangan galian C. tapi anehnya tetap masih ada saja ditemukan praktek-praktek penambangan liar yang ditenggarai dibeking oleh para cukong besar di kawasan itu.

Ditambahkannya, walau Bupati Aceh Besar telah mengeluarkan Surat Keputusan Bupati No.540/339/2011 tentang pelarangan penambangan liar di areal-areal dan kawasan tertentu, namun hingga saat ini masih saja ada pihak-pihak yang membangkang dan mengindahkan aturan tersebut. “ Ini dikarenakan aparat penegak hukum tidak serius menindak para pelaku penambangan liar tersebut, atau jangan-jangan aparatur penegak hukum mendapatkan manfaat dari praktek penambangan liar ini” imbuhnya.

Sementara itu, Bupati Aceh besar Tgk Bukhari Daud saat dikonfirmasi Waspada Online mengenai praktek pertambangan liar di kawasan Aceh besar sebagaimana yang ditemukan oleh Walhi Aceh menegaskan bahwa pihaknya sudah beberapa kali melakukan berbagai penertiban terkait dengan para pelaku penambangan liar tersebut. ‘ Sudah kita lakukan, walau masih ada saja yang membandel, tapi tetap akan terus kita tertibkan” jelasnya.

Bupati Aceh besar ini juga menegaskan bahwa pihaknya,  akan melakukan operasi gabungan untuk melakukan penertiban para pelaku penambangan liar di areal-areal dan kawasan-kawasan yang dilarang dan tidak boleh melakukan tindakan penambangan.

Editor: PRAWIRA SETIABUDI
(dat01/wol)

Aceh Besar Bertebaran Galian C Ilegal Merusak Lingkungan

Aceh Besar Bertebaran Galian C Ilegal Merusak Lingkungan
Kamis, 18 Agustus 2011
 
Banda Aceh — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai wilayah Aceh Besar banyak terdapat galian C yang merusak lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan tindakan tegas terhadap pelaku galian C, yang umumnya cukong besar, agar kawasan sungai, bukit dan hutan di daerah penyangga ibukota provinsi Aceh ini tidak semakin hancur.

Direktur Walhi Aceh, T. Muhammad Zulfikar menyampaikan hal tersebut dalam siaran persnya yang diterima The Globe Journal, Kamis (18/8). "Informasi dari Pemkab Aceh Besar menyebutkan lokasi Kr. Kemireu dari waduk Keliling sampai dengan jembatan Keumireu Kecamatan Kota Cot Glie dinyatakan sebagai lokasi terlarang bagi kegiatan penambangan pasir dan kerikil. Daerah ini sangat penting untuk dibebaskan dari galian C agar melindungi sumber air Waduk Keuliling sendiri. Namun sayangnya, menurut informasi, masih ada lima titik lokasi penambangan liar,"jelasnya.

Selain di lokasi Krueng Jreu dari bendungan Kreung Jreu hingga jembatan Indrapuri  juga dinyatakan sebagai lokasi terlarang bagi tambang galian C. Namun lagi-lagi larangan ini dianggap angin lalu saja oleh para cukong sehingga hingga kini terdapat tiga titik lokasi penambangan liar. Larang Tambang. Padahal untuk mengamankan Waduk Kreung Jreu dan meminimalisir longsor di kebun-kebun milik masyarakat usaha galian C wajib dihentikan.

Masih ada lokasi-lokasi lain yang jadi incaran para perusak lingkungan ini misalnya saja sepanjang Krueng Aceh, Gampong Limo lam leuwueng dan berbagai titik lainnya. Mereka tidak peduli dengan kelestarian lingkungan dan hajat hidup orang banyak. Bupati Aceh Besar pun sudah mengeluarkan sejumlah peraturan untuk melarang pertambangan liar galian C. Sebut saja Qanun Aceh Besar No.19 Tahun 2003, Surat Bupati Aceh Besar No. 540/339 Tgl. 17 Januari 2011,  Maklumat Muspida, namun tetap saja, “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.”

Padahal sesuai aturan, untuk melakukan aktivitas pertambangan galian C sudah ada regulasinya. Setiap usaha pertambangan harus memenuhi  4  tertib yaitu tertib perizinan, pelaporan, lingkungan, dan pajak.

WALHI Aceh mendukung upaya Pemkab Aceh Besar untuk turun ke lapangan pada hari Kamis (18/8) sebagaima pemberitahuan yang diterima. Melakukan penertiban dan penutupan usaha tambang liar harus segera dilakukan. Sosialisasi ke penambang, penertiban oleh Tim Penertiban dan dan pemasangan papan larang tambang di lokasi menjadi hal yang sangat penting. Jika pun nanti cukong yang membandel maka sudah selayaknya diberi teguran tertulis kepada penambang dan mengadakan koordinasi dengan Muspika masing-masing kecamatan serta pihak keamanan seperti Polres/Polresta.

"Semoga langkah yang dilakukan Pemkab Aceh Besar dapat memberikan efek jera bagi para penambang galian C. Penertiban sangat penting untuk menjaga kepentingan masyarakat banyak. Untuk menjaga sumber-sumber air dan kehidupan masyarakat tetap berlanjut sampai dimasa mendatang,"ucap T. Muhammad Zulfikar.[rel]

Penambangan Liar Marak di Aceh Besar

Banda Aceh, (Analisa). Berbagai penambangan liar di kawasan terlarang banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Besar. Penambangan liar tersebut umumnya galian C yang mengancam dan merusak kelestarian lingkungan di kabupaten yang berbatasan langsung dengan ibu Kota Provinsi Aceh itu.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai wilayah Aceh Besar banyaknya galian C yang dapat merusak lingkungan, Pemerintah setempat (pemkab Aceh Besar-red) perlu melakukan tindakan tegas terhadap pelaku galian C, yang umumnya cukong besar.

"Ini sangat perlu, agar kawasan sungai, bukit dan hutan di daerah penyangga ibukota provinsi Aceh ini tidak semakin hancur," tegas Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar pada wartawan, Rabu (17/8) di Banda Aceh.

Dikatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pemkab Aceh Besar menyebutkan lokasi Krueng Kemireu dari waduk Keliling sampai dengan jembatan Keumireu Kecamatan Kota Cot Glie dinyatakan sebagai lokasi terlarang bagi kegiatan penambangan pasir dan kerikil.

Daerah ini sangat penting untuk dibebaskan dari galian C agar melindungi sumber air Waduk Keuliling sendiri. Namun sayangnya, lanjut Zulfikar, menurut informasi, masih ada lima titik lokasi penambangan liar dikawasan tersebut.

Selain di lokasi Krueng Jreu dari bendungan Kreung Jreu hingga jembatan Indrapuri juga dinyatakan sebagai lokasi terlarang bagi tambang galian C. Namun lagi-lagi larangan ini dianggap angin lalu saja oleh para cukong sehingga hingga kini terdapat tiga titik lokasi penambangan liar. "Larang tambang ini untuk mengamankan Waduk Kreung Jreu dan meminimalisir longsor di kebun-kebun milik masyarakat usaha galian C wajib dihentikan," jelas Zulfikar.

Jadi Incaran

Masih ada lokasi-lokasi lain yang jadi incaran para perusak lingkungan ini, lanjut Zulfikar, misalnya saja sepanjang Krueng Aceh, Gampong Limo Lam Leuwueng dan berbagai titik lainnya. Mereka tidak peduli dengan kelestarian lingkungan dan hajat hidup orang banyak.

Bupati Aceh Besar pun sudah mengeluarkan sejumlah peraturan untuk melarang pertambangan liar galian C. Sebut saja Qanun Aceh Besar No.19 Tahun 2003, Surat Bupati Aceh Besar No. 540/339 Tanggal 17 Januari 2011. Maklumat Muspida ini tetap saja tak digubris. "Ibarat pepatah, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu," beber Zulfikar.

Padahal sesuai aturan, tambahnya, untuk melakukan aktivitas pertambangan galian C sudah ada regulasinya. Setiap usaha pertambangan harus memenuhi 4 tertib yaitu tertib perizinan, pelaporan, lingkungan, dan pajak.

Walhi Aceh mendukung upaya Pemkab Aceh Besar untuk turun ke lapangan pada Kamis (18/8) sebagaima pemberitahuan yang diterima guna melakukan penertiban dan penutupan usaha tambang liar harus segera dilakukan.

Menurut Zulfikar, sosialisasi ke penambang, penertiban oleh Tim Penertiban dan pemasangan papan larangan tambang di lokasi menjadi hal yang sangat penting. Jika pun nanti cukong yang membandel, maka sudah selayaknya diberi teguran tertulis kepada penambang dan mengadakan koordinasi dengan muspika masing-masing kecamatan serta pihak keamanan seperti Polres/Polresta.

Semoga langkah yang dilakukan Pemkab Aceh Besar dapat memberikan efek jera bagi para penambang galian C. Penertiban sangat penting untuk menjaga kepentingan masyarakat banyak. Untuk menjaga sumber-sumber air dan kehidupan masyarakat tetap berlanjut sampai masa mendatang. (irn)

Senin, 15 Agustus 2011

Tutup Tambang Atau Golput?

Tutup Tambang Atau Golput?

MODUS ACEH | Juli Saidi


Belasan perusahaan membuka usaha pertambangan di Aceh Selatan. Namun Produk Domestik Pendapatan Bruto (PDRB) dari tambang tahun 2009 hanya 1,88 persen.


DI DEPAN Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Kantor Gubernur Aceh, Jalan T. Nyak Arief Banda Aceh, Rabu pekan lalu, Teuku Syamsinahya atau akrap disapa Aci berteriak lantang. “Tutup pertambangan di Bakongan Timur dan Trumon!”. Sesekali tangannya menyeka peluh di jidat. Sementara belasan pemuda lainnya menyahut setiap teriakan Syamsinahya. “Pemerintah Aceh bodoh!” sahut mereka serentak.

Pagi itu, Aliansi Mahasiswa Bakongan Timur dan Trumon mendatangi Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, untuk meminta agar mencabut rekomendasi izin pertambangan di tanah kelahiran mereka, yaitu Bakongan dan Trumon, Aceh Selatan. Maklum, persis tanggal 31 Maret 2011 lalu, Bupati Aceh Selatan, Husin Yusuf mengeluarkan surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT. Songo Abadi Inti.

Beberapa diantaranya izin pertambangan (mineral logam/bijih besi) di Kecamatan Bakongan Timur, Desa Simpang, Sawah Tingkem, Selekat, Gunung Kapur, Krung Batee, dan Gampong Teungoh, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan kepada PT. Songo Abadi Inti. Tak hanya itu, luas areal yang akan digarap oleh perusahaan milik Noor Hasanah Razali ini juga merambah ke kawasan Desa Ladang Rimba, Jambo Papen, Naca, Kecamatan Trumon Timur dengan total luas lahan bijih besi PT. Songo Abadi Inti sekitar 2.300 hektar.

Seperti yang tertera dalam dokumen surat yang dikeluarkan Bupati Husin Yusuf satu tahun lalu, PT. Songo Abadi Inti dijabat Ny.  Hj. Noor Hasanah Razali, sebagai direktur utama dan pemegang saham tunggal senilai Rp 200 juta. Menariknya, dalam surat itu juga diketahui, jika Hj. Noor beralamat di Kelurahan Cipayung Rt. 006/001 Jakarta Timur. Sedangkan alamat Perusahaan, di Jalan  Percetakan No. 76 Poncol Rt 01/01 Kel. Ciracas Jakarta Timur.

Bila merunut ke belakang, banyak sudah izin pertambangan diberikan Bupati yang terpilih lewat jalur independen ini kepada perusahaan untuk mengeruk alam Kota Naga ini. Lihat saja, sejak tahun 2008 hingga 2011 tercatat 11 perusahaan dan empat Koperasi Serba Usaha (KSU), yakni; PT. Aspira Widya Chandra, komoditi yang diekplorasi berupa mineral logam atau emas. PT. Aneka Mining Nasional (mineral logam atau emas). PT. Rimba Cahaya (bijih besi). PT. Mega Fiume Internasional (mineral logam-mangan) dan  PT. Dadi Kayana Abadi (bijih besi) serta PT. Arus Tirta Tower (emas). Sementara PT. Lazira Citra Mandiri (biji besi). PT. Citra Agung Utama (biji besi). PT. Bintang Agung Mining (emas). PT. Pinang Sejati Utama (biji besi). Selanjutnya PT. Songo Abadi Inti, juga  mengeksplorasi biji besi.

Sementara empat koperasi yaitu; KSU. Batu Ilham, komoditi yang dieksplorasi galena, Koperasi Industri Kerajinan Rakyat, komoditi yang dieksplorasi biji besi, KSU Ni’mat Seupakat, komoditi yang dieksplorasi berupa biji besi dan KSU Mutiara Karya, komoditi yang dieksplorasi juga biji besi.

Lantas, dari eksploitasi hasil kandungan dalam perut Kota Pala itu, berapa jumlah rupiah yang masuk menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Selatan? Data yang dikeluarkan Badan Statistik Aceh Selatan, pada tahun 2009 Produk Domestik Pendapatan Bruto (PDRB), sektor tambang hanya menyumbang sebesar 1,88 persen. Justru pertanian menjadi penyumbang paling besar yaitu 40,97 persen, diikuti sektor jasa-jasa lainnya sebesar 16 , 6 3 persen. Kemudian sektor bangunan menduduki peringkat ketiga yakni sebesar 1 5 , 88 persen. Sementara sektor listrik dan air minum yang paling sedikit kontribusinya dalam menyusun nilai PDRB Aceh Selatan yaitu hanya sebesar 0,2 2 persen.

Ini ada benarnya. Seperti diungkapkan Syamsinahya, pertambangan bukan jawaban untuk mensejahterakan rakyat. “Tak ada satu pun pertambangan di Aceh yang mampu membangkitkan ekonomi masyarakat, justru banyak menimbulkan sisi negatif. Kerusakan lingkungan dan konflik internal sangat rentan terjadi,” ujarnya.

Masih menurut Syamsinahya, padahal Aceh Selatan masih potensi lain alam yang bisa dikembangkan untuk mendorong ekonomi masyarakat. Dia mencontohkan lahan pertanian yang luas justru lebih menjanjikan. “Kalau kita lihat pada PDRB Aceh Selatan 2009 dimana sektor pertanian mencapai 40,79 persen seharusnya sektor ini yang perlu perhatian khusus. Karena pertambangan justru akan merusak lahan pertanian, debit air akan berkurang sehingga kesuburan tanah akan menurun,” ungkap dia.

Khususnya di Kecamatan Bakongan dan Bakongan Timur lahan seluas 2000 ha kini sudah mulai menghasilkan padi mencapai 80 persen dari luas lahan tersebut, walaupun saat konflik sempat terlantar. “Pada tahun 2010 produksi padi di daerah kami sebesar 76 ribu ton. Artinya, setiap hektar sawah rata-rata menghasilkan empat ton gabah untuk sekali panen dengan hitungan 18 ha sawah produktif x 4 ton =72 ribu ton. Bila dua kali panen maka produksi beras akan menjadi 144 ton setiap tahunnya,” kata Darman dari Dinas Pertanian dan Perternakan (Distanak), Aceh Selatan, medio April 2011 lalu.

Kata dia. “Jika  gabah ini dikonversikan ke beras, lanjutnya, maka penghasilan beras Aceh Selatan menjadi 144 ribu ton x30% = 108 ribu ton beras. Sedangkan kebutuhan akan beras untuk konsumsi masyarakat aceh selatan pertahunnya sekitar 24.079 ton/tahun dengan asumsi 200.655 jiwa jumlah penduduk dikalikan dengan 120 kilogram beras perjiwa/tahun,” sebutnya seperti dilansir website acehselatan.co.id

Membandingkan hasil beras jauh mencukupi untuk kebutuhan penduduk Aceh Selatan, bahkan lebih. Lantas untuk siapa biji besi itu diambil? Seberapa besar penghasilan warga sekitar areal tambang mendapat untung? Handan Yan Daudi, Geuchik Gampong Simpang, Kecamatan Bakongan Timur mengatakan, tak ada keuntungan sama sekali. Justru dari hasil kajian masyarakat di sana pertambangan akan menghancurkan perkebunan rakyat, persawahan, tertimbunnya gampong dengan endapan lumpur, polusi udara, rusaknya benteng alam, limbah, hancurnya flora fauna. Bahkan, yang paling dikhawatirkan warga adalah, munculnya musibah longsor yang akan menimpa mereka lantaran pertambangan mengakibatkan hutan menjadi gundul.

“Atas nama seluruh lapisan masyarakat Gampong Simpang, kami menolak adanya usaha pertambangan biji besi oleh PT. Songo Abadi Inti yang terkena Gampong Simpang,” begitu bunyi surat keputusan bersama yang ditanda tangani Hamdan (geuchik), Alidin (tuha peut), Tgk. M. Sufi (imum chik), Azhar (ketua pemuda), Tgk. Abd. Khaidir dan Usman (tokoh masyarakat).

Semakin ramai yang menentang pertambangan.  Teuku Muhammad Zulfikar, Direktur  Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dengan tegas mengatakan, pertambangan tidak akan membuat masyarakat sejahtera. Dia menyebutkan hanya mimpi pertambangan menambah PAD. “Sumber daya alam tidak semata-mata dikelola hanya untuk mendapat keuntungan tanpa memikirkan kepentingan rakyat. Terutama akibat bagi masyarakat di sekitar lahan yang akan terkena imbas dari kegiatan penambangan tersebut,” kata Zulfikar.

Entah karena alasan itulah, Syamsinahya bersikeras. Apapun alasan pemerintah mengizinkan tambang, ia tetap menuntut agar ditutup. “Apabila pertambangan tidak ditutup, maka kami masyarakat Bakongan Timur dan Trumon tidak akan memilih pada Pemilukada 2011 mendatang. Kami Golput (golongan putih)!” teriaknya lantang. Benarkah? Kita lihat saja nanti.***

Mantan GAM sesalkan kerusakan hutan

Mantan GAM sesalkan kerusakan hutan


BANDA ACEH - Semakin meluasnya tingkat kerusakan hutan dan alam Aceh menyebabkan sering terjadinya bencana alam dan konflik masyarakat dengan satwa.

Walhi Aceh secara khusus melakukan pertemuan dengan Malik Mahmud, mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjadi pemangku Wali Nanggroe yang menggantikan posisi Hasan Tiro (almarhum).

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar, mengatakan pertemuan yang dilangsungkan di Mess Meuntro Malik tersebut berlangsung dengan suasana akrab dan diskusi yang menarik guna membahas kondisi lingkungan Aceh terkini.

Malik Mahmud yang ditemani Zaini Abdullah, calon gubernur dari Partai Aceh, Fahkrul Razi, menyampaikan keprihatinannya yang mendalam atas semakin meluasnya tingkat kerusakan alam dan lingkungan Aceh sebagai akibat ekploitasi serta penambangan sumber daya alam.

Dijelaskannya, Malik menyesalkan sikap dan kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah Aceh yang tidak memperhatikan persoalan lingkungan dan lebih mengutamakan mengeksploitasi alam untuk kepentingan kelompok, dan bukan untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.

Zulfikar menjelaskan, pihaknya memberikan data tentang laju kerusakan Aceh yang semakin parah, sehingga perlu ada perhatian khusus dari pemerintah Aceh. Selain itu, Walhi Aceh memapaparkan tentang kebijakan pemerintah Aceh dalam hal ini Gubernur Irwandi Yussuf yang kontradiktif, yakni disatu pihak melakukan motatorium logging.

Namun disisi lain memberikan akses penambangan sumber daya alam dikawasan hutan lindung yang secara nyata memberikan dampak buruk pada kerusakan alam dan hutan Aceh.

Soal Hutan, Pemerintah Berpihak pada Pengusaha