MODUS ACEH | Juli Saidi
Belasan perusahaan membuka usaha pertambangan di Aceh Selatan. Namun Produk Domestik Pendapatan Bruto (PDRB) dari tambang tahun 2009 hanya 1,88 persen.
DI DEPAN Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Kantor Gubernur Aceh, Jalan T. Nyak Arief Banda Aceh, Rabu pekan lalu, Teuku Syamsinahya atau akrap disapa Aci berteriak lantang. “Tutup pertambangan di Bakongan Timur dan Trumon!”. Sesekali tangannya menyeka peluh di jidat. Sementara belasan pemuda lainnya menyahut setiap teriakan Syamsinahya. “Pemerintah Aceh bodoh!” sahut mereka serentak.
Pagi itu, Aliansi Mahasiswa Bakongan Timur dan Trumon mendatangi Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, untuk meminta agar mencabut rekomendasi izin pertambangan di tanah kelahiran mereka, yaitu Bakongan dan Trumon, Aceh Selatan. Maklum, persis tanggal 31 Maret 2011 lalu, Bupati Aceh Selatan, Husin Yusuf mengeluarkan surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT. Songo Abadi Inti.
Beberapa diantaranya izin pertambangan (mineral logam/bijih besi) di Kecamatan Bakongan Timur, Desa Simpang, Sawah Tingkem, Selekat, Gunung Kapur, Krung Batee, dan Gampong Teungoh, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan kepada PT. Songo Abadi Inti. Tak hanya itu, luas areal yang akan digarap oleh perusahaan milik Noor Hasanah Razali ini juga merambah ke kawasan Desa Ladang Rimba, Jambo Papen, Naca, Kecamatan Trumon Timur dengan total luas lahan bijih besi PT. Songo Abadi Inti sekitar 2.300 hektar.
Seperti yang tertera dalam dokumen surat yang dikeluarkan Bupati Husin Yusuf satu tahun lalu, PT. Songo Abadi Inti dijabat Ny. Hj. Noor Hasanah Razali, sebagai direktur utama dan pemegang saham tunggal senilai Rp 200 juta. Menariknya, dalam surat itu juga diketahui, jika Hj. Noor beralamat di Kelurahan Cipayung Rt. 006/001 Jakarta Timur. Sedangkan alamat Perusahaan, di Jalan Percetakan No. 76 Poncol Rt 01/01 Kel. Ciracas Jakarta Timur.
Bila merunut ke belakang, banyak sudah izin pertambangan diberikan Bupati yang terpilih lewat jalur independen ini kepada perusahaan untuk mengeruk alam Kota Naga ini. Lihat saja, sejak tahun 2008 hingga 2011 tercatat 11 perusahaan dan empat Koperasi Serba Usaha (KSU), yakni; PT. Aspira Widya Chandra, komoditi yang diekplorasi berupa mineral logam atau emas. PT. Aneka Mining Nasional (mineral logam atau emas). PT. Rimba Cahaya (bijih besi). PT. Mega Fiume Internasional (mineral logam-mangan) dan PT. Dadi Kayana Abadi (bijih besi) serta PT. Arus Tirta Tower (emas). Sementara PT. Lazira Citra Mandiri (biji besi). PT. Citra Agung Utama (biji besi). PT. Bintang Agung Mining (emas). PT. Pinang Sejati Utama (biji besi). Selanjutnya PT. Songo Abadi Inti, juga mengeksplorasi biji besi.
Sementara empat koperasi yaitu; KSU. Batu Ilham, komoditi yang dieksplorasi galena, Koperasi Industri Kerajinan Rakyat, komoditi yang dieksplorasi biji besi, KSU Ni’mat Seupakat, komoditi yang dieksplorasi berupa biji besi dan KSU Mutiara Karya, komoditi yang dieksplorasi juga biji besi.
Lantas, dari eksploitasi hasil kandungan dalam perut Kota Pala itu, berapa jumlah rupiah yang masuk menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Selatan? Data yang dikeluarkan Badan Statistik Aceh Selatan, pada tahun 2009 Produk Domestik Pendapatan Bruto (PDRB), sektor tambang hanya menyumbang sebesar 1,88 persen. Justru pertanian menjadi penyumbang paling besar yaitu 40,97 persen, diikuti sektor jasa-jasa lainnya sebesar 16 , 6 3 persen. Kemudian sektor bangunan menduduki peringkat ketiga yakni sebesar 1 5 , 88 persen. Sementara sektor listrik dan air minum yang paling sedikit kontribusinya dalam menyusun nilai PDRB Aceh Selatan yaitu hanya sebesar 0,2 2 persen.
Ini ada benarnya. Seperti diungkapkan Syamsinahya, pertambangan bukan jawaban untuk mensejahterakan rakyat. “Tak ada satu pun pertambangan di Aceh yang mampu membangkitkan ekonomi masyarakat, justru banyak menimbulkan sisi negatif. Kerusakan lingkungan dan konflik internal sangat rentan terjadi,” ujarnya.
Masih menurut Syamsinahya, padahal Aceh Selatan masih potensi lain alam yang bisa dikembangkan untuk mendorong ekonomi masyarakat. Dia mencontohkan lahan pertanian yang luas justru lebih menjanjikan. “Kalau kita lihat pada PDRB Aceh Selatan 2009 dimana sektor pertanian mencapai 40,79 persen seharusnya sektor ini yang perlu perhatian khusus. Karena pertambangan justru akan merusak lahan pertanian, debit air akan berkurang sehingga kesuburan tanah akan menurun,” ungkap dia.
Khususnya di Kecamatan Bakongan dan Bakongan Timur lahan seluas 2000 ha kini sudah mulai menghasilkan padi mencapai 80 persen dari luas lahan tersebut, walaupun saat konflik sempat terlantar. “Pada tahun 2010 produksi padi di daerah kami sebesar 76 ribu ton. Artinya, setiap hektar sawah rata-rata menghasilkan empat ton gabah untuk sekali panen dengan hitungan 18 ha sawah produktif x 4 ton =72 ribu ton. Bila dua kali panen maka produksi beras akan menjadi 144 ton setiap tahunnya,” kata Darman dari Dinas Pertanian dan Perternakan (Distanak), Aceh Selatan, medio April 2011 lalu.
Kata dia. “Jika gabah ini dikonversikan ke beras, lanjutnya, maka penghasilan beras Aceh Selatan menjadi 144 ribu ton x30% = 108 ribu ton beras. Sedangkan kebutuhan akan beras untuk konsumsi masyarakat aceh selatan pertahunnya sekitar 24.079 ton/tahun dengan asumsi 200.655 jiwa jumlah penduduk dikalikan dengan 120 kilogram beras perjiwa/tahun,” sebutnya seperti dilansir website acehselatan.co.id
Membandingkan hasil beras jauh mencukupi untuk kebutuhan penduduk Aceh Selatan, bahkan lebih. Lantas untuk siapa biji besi itu diambil? Seberapa besar penghasilan warga sekitar areal tambang mendapat untung? Handan Yan Daudi, Geuchik Gampong Simpang, Kecamatan Bakongan Timur mengatakan, tak ada keuntungan sama sekali. Justru dari hasil kajian masyarakat di sana pertambangan akan menghancurkan perkebunan rakyat, persawahan, tertimbunnya gampong dengan endapan lumpur, polusi udara, rusaknya benteng alam, limbah, hancurnya flora fauna. Bahkan, yang paling dikhawatirkan warga adalah, munculnya musibah longsor yang akan menimpa mereka lantaran pertambangan mengakibatkan hutan menjadi gundul.
“Atas nama seluruh lapisan masyarakat Gampong Simpang, kami menolak adanya usaha pertambangan biji besi oleh PT. Songo Abadi Inti yang terkena Gampong Simpang,” begitu bunyi surat keputusan bersama yang ditanda tangani Hamdan (geuchik), Alidin (tuha peut), Tgk. M. Sufi (imum chik), Azhar (ketua pemuda), Tgk. Abd. Khaidir dan Usman (tokoh masyarakat).
Semakin ramai yang menentang pertambangan. Teuku Muhammad Zulfikar, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dengan tegas mengatakan, pertambangan tidak akan membuat masyarakat sejahtera. Dia menyebutkan hanya mimpi pertambangan menambah PAD. “Sumber daya alam tidak semata-mata dikelola hanya untuk mendapat keuntungan tanpa memikirkan kepentingan rakyat. Terutama akibat bagi masyarakat di sekitar lahan yang akan terkena imbas dari kegiatan penambangan tersebut,” kata Zulfikar.
Entah karena alasan itulah, Syamsinahya bersikeras. Apapun alasan pemerintah mengizinkan tambang, ia tetap menuntut agar ditutup. “Apabila pertambangan tidak ditutup, maka kami masyarakat Bakongan Timur dan Trumon tidak akan memilih pada Pemilukada 2011 mendatang. Kami Golput (golongan putih)!” teriaknya lantang. Benarkah? Kita lihat saja nanti.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar