Jumat, 10 Februari 2012

Aceh Butuh Qanun Pelindungan Lingkungan

Aceh Bisnis Jumat, 03 Feb 2012 07:04 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan saat ini perlu dirancang suatu draf atau qanun perlindungan lingkungan secara menyeluruh, sehingga tidak perlu khawatir dengan menjaga lingkungan akan mengganggu ekonomi.
Nazar menegaskan, ekonomi tidak akan terganggu, tetapi justru akan di-set up dengan lingkungan yang hijau tetapi membawa uang banyak.

“Apa yang kita lakukan dalam perlindungan lingkungan bukanlah suatu ide baru. Sebab, dulu pada masa raja-raja Aceh, peraturan lingkungan dan tata ruang sangat ketat guna mengatasi bencana dan melindungi hewan-hewan yang juga berhak hidup, sehingga bisa meningkatkan ekonomi rakyat,” kata Nazar, Kamis (2/2), usai menjadi keynote speaker pada seminar dan lokakarya sehari dengan tema penyelamatkan dan perlindungan hutan rawa gambut Aceh yang diadakan PWI Cabang Aceh, Walhi dan YESA di Gedung Sultan Salim II, Banda Aceh.

Menurut Nazar, di zaman kerajaan Aceh dulu masih ada pawang gle, pawang uteun, pawang harimau, pawang laot dan menjadi prosesi yang dilindungi kerajaan secara resmi.

Tetapi, sejak masa Orde Baru hingga sekarang sudah tidak ada, malah sebagian hutan Aceh telah rusak.  Dan yang paling menyedihkan, sampai hutan rawa gambut juga dirusak duluan baru diminta izin usaha seolah-olah hutan itu pernah dipakai.

“Ini di-setting untuk dapat izin, jadi hal seperti ini, yang jahil harus diantipasi. Karena itu pemerintah atau pengusaha harus dikontrol oleh masyarakat supaya kebijakannya tidak salah. Apalagi Green Aceh yang telah dirintis sejak 2007 akan sia-sia jika tidak bisa kita follow up dalam berbagai bentuk,” katanya.

Masih kata Nazar, dulu budaya menanam dilakukan turun temurun, malah orang tua mewariskan pohon kayu. Tapi diyakini masyarakat Aceh tidak akan lagi melihat pohon-pohon khas alam Aceh seperti  meurebo, ceutang, bayu dan damar laut jika tidak bisa melindunginya.

“Itu terjadi karena kebijakan masa lalu yang salah. Sekarang kita mencoba berupaya untuk tidak salah lagi, jika masih ada yang salah tentu kita siap mengevaluasi kembali,” ucapnya.

Paling Parah
Sementara dalam seminar itu, Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar, mengatakan dari dua lokasi rawa gambut yang ada di Aceh, rawa gambut Tripa paling parah kesusakannya dibandingkan yang ada di Singkil.

“Rawa gambut Tripa yang luasnya mencapai 61.000 hektar lebih sudah rusak mencapai 50% lebih atau tersisa di bawah 30.000 hektar dari hitungan-hitungan,” kata Zulfikar.

Kata Zulfikar, kerusakan lingkungan di Aceh memang sudah lama terjadi, terutama rawa-rawa di pantai timur utara Aceh mulai Pidie hingga Aceh Tamiang, namun kerusakan rawa gambut Tripa lebih parah.

Ia mengatakan, jika status rawa gambut Singkil jelas dilindungi undang-undang karena masuk dalam hutan margasatwa, namun status rawa gambut Tripa meskipun dilindungi dan masuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) statusnya kalah dengan keluarnya peratusan daerah.

“Ini sangat aneh, pemerintah mengeluarkan rawa gambut Tripa dari KEL, dan ini bukti insinkronisasi peraturan di Aceh ketentuan tata ruang nasional,” ungkapnya.

Koordinator Media Kampanye Aku Sabahat Laut (Salut) Jaring Kuala, Rano Sugito, mengatakan ada tujuh ekosistem lahan basah di Aceh yang harus mendapat perhatian serius akibat perubahan status dan pengalihan fungsi. Seperti koridor mangrove pesisir timur Aceh (Langsa, Aceh Timur dan Aceh Tamiang) yang beralih fungsi menjadi tambak dan pelabuhan. Koridor pantai bervegetasi cemara di pesisir barat Aceh (Aceb Besar, Aceh Jaya).

Kemudian, lahan gambut rawa Tripa (Nagan Raya dan Abdya), rawa gambut rawa Kluet (Aceh Selatan), rawa gambut Singkil (Aceh Singkil), yang dikhawatirkan beralih fungsi menjadi perkebunan.

Juga vegetasi dan pesisir Pulau Bengkaru, Kepulauan Banyak (Aceh Singkil), habitat penyu akan beralih menjadi objek wisata dan pencemaran air Laut Tawar di Aceh Tengah akibat tidak terkontrolnya pemberian izin keramba. ( ht anwar ibr riwat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar