Jumat, 21 Oktober 2011

Anggota DPRK Minta Pemkab Tegas soal Merkuri

Anggota DPRK Minta Pemkab Tegas soal Merkuri
Jumat, 21 Oktober 2011 09:24 WIB
Share |


* Terkait Krueng Meureubo Tercemar

Link:http://aceh.tribunnews.com/2011/10/21/anggota-dprk-minta-pemkab-tegas-soal-merkuri

MEULABOH - Kalangan anggota DPRK Aceh Barat meminta Pemkab setempat tegas dan segera mengambil sikap terhadap usaha penggilingan batu emas yang diduga menjadi penyebab Krueng Meureubo di Meulaboh tercemar merkuri, sebagaimana diungkapkan peneliti dari Unsyiah Banda Aceh, seperti disampaikan Walhi Aceh. Sikap tegas itu perlu diambil agar masyarakat tidak menjadi korban merkuri dan resah.

“Kami dari DPRK sejak awal saat melakukan Pansus pada akhir tahun lalu sudah meminta usaha penggiling batu emas itu ditutup saja, sebab lokasi mereka memang di samping sungai,” ujar Murdani ST, anggota DPRK Aceh Barat.

Kepada Serambi, Kamis (20/10), Murdani menyatakan, pada akhir tahun 2010 lalu dirinya bersama empat anggota DPRK, Ir Yusaini, Mufril, Syamsul Bahri, dan Nurhayati, serta Direktur PDAM, dan Camat Meureubo, sudah pernah melakukan Pansus ke lokasi usaha milik R, di Desa Masjid Tuha, Kecamatan Meureubo.

Ketika itu Pansus menyimpulkan bahwa kehadiran usaha penggilingan batu emas itu bukan bermanfaat, tetapi malah membahayakan penduduk sebab waktu itu ada sejumlah penduduk mulai gatal-gatal.

“Laporan saya terima dalam beberapa bulan terakhir usaha itu sudah ditutup, tetapi kita (DPRK-red) akan turun lagi memastikan lebih jauh, serta sisa batu yang mengandung emas di lokasi juga harus dibersihkan,” ujar politisi PKS asal Kecamatan Meureubo ini.

Murdani menambahkan, karena penelitian yang dilakukan oleh pakar kimia Unsyiah itu dilakukan September 2010, ada kemungkinan kondisi saat ini akan berbeda. Karenanya ia mengimbau dilakukan penelitian lanjutan. Hal ini perlu dilakukan agar penduduk di sekitar sungai tersebut tidak resah.

Apalagi air sungai Krueng Meureubo juga digunakan masyarakat setempat untuk kebutuhan mencuci, mandi, dan sumber air sawah. Bahkan PDAM Tirta Meulaboh pun menggunakan air sungai tersebut sebagai sember air untuk didistribusikan kepada pelanggan.

Aliran Krueng Meureubo, kata Murdani,  sangat panjang. Karenanya penelitian harus dilakukan pada sejumlah titik di sepanjang sungai itu untuk mengetahui kondisi pencemaran di sepanjang sungai. “Perlu disebutkan lokasi mana saja yang tercemar, sehingga penduduk yang menetap di DAS bisa mendapat laporan rinci,” sarannya.

Kepala Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan (Kanpedal) Aceh Barat, Mulyadi SHut yang ditanyai Serambi, Kamis (20/10) mengatakan, semula, dari pemantauan yang pernah dilakukan pihaknya di kawasan daerah aliran sungai (DAS) Krueng Meureubo hanya terdapat satu usaha penggiling batu emas. Namun kini, terdapat 6 usaha penggilangan batu emas yang dibuka masyarakat, di Kecamatan Meureubo, akan tetapi jauh dari aliran sungai.

Mulyadi mengaku pihaknya sudah meminta agar usaha penggilingan batu emas di sekitar sungai itu direlokasi ke daerah yang jauh dari aliran sungai. Namun ia tidak mengetahui apakah sudah direkolasi ataukah belum. Untuk itu ia akan melakukan pemantauan ke lokasi.

Seperti diberitakan sebelumnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang akademisi Fakultas Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), DR Ir Suhendrayatna MEng menyatakan bahwa Krueng Meureubo, yang mengalir dalam Kota Meulaboh, Aceh Barat sudah tercemar merkuri (Hg) akibat pengolahan emas di hilir sungai tersebut. Ini dibuktikan dari hasil sampel ikan dan kerang yang keduanya mengandung mercuri di atas baku mutu internasional.(riz)

Editor : bakri

Krueng Meurebo Tercemar Merkuri

Krueng Meurebo Tercemar Merkuri
Kamis, 20 Oktober 2011 09:53 WIB
Share |

* Hasil Penelitian Pakar Kimia Unsyiah
Link:http://aceh.tribunnews.com/2011/10/20/krueng-meurebo-tercemar-merkuri

BANDA ACEH - Hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang akademisi Fakultas Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), DR Ir Suhendrayatna MEng menyatakan bahwa Krueng Meureubo, yang mengalir dalam Kota Meulaboh, Aceh Barat sudah tercemar merkuri (Hg) akibat pengolahan emas di hilir sungai tersebut. Ini dibuktikan dari hasil sampel ikan dan kerang yang keduanya mengandung mercuri di atas baku mutu internasional.

Informasi itu diutarakan Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar, kepada Serambi di Banda Aceh, Rabu (19/10). “Pencemaran mercuri akibat penambangan emas di hilir sungai Meureubo sudah pada tahap mengkhawatirkan. Merkuri tidak saja mencemari Krueng Meureubo, tetapi juga menyebabkan ikan dan kerang di sungai itu mengandung merkuri. Akibatnya jika dikonsumsi akan berdampak pada kesehatan manusia yang menyebabkan kematian,” kata Zulfikar.

Zulfikar berharap keseriusan Pemerintah Aceh, Pemkab Aceh Barat, pihak kepolisian, dan Bapedal (Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan) Aceh, secara gencar dan terus menerus memutuskan peredaran merkuri di Aceh. Serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat akan bahayanya merkuri jika tercemar di air dan mencari solusi untuk mengatasi persoalan tersebut.

“Hasil penelitian itu sudah kuat. Jadi tunggu apa lagi? Masyarakat jelas tidak terlalu paham dampak merkuri yang digunakannya untuk pengolahan emas,” tegasnya.

Sementara itu secara terpisah, Dosen Fakultas Teknik Kimia Unsyiah dan juga pakar merkuri di Aceh, DR IR Suhendrayatna MEng mengatakan, pada September 2010, dia mengambil sampel 3 kali pada kerang dan ikan hasil pancingan yang berbeda pada hari yang sama di Krueng Meureubo.

Kemudian, bersama seorang guru besar di Kagoshima University di Jepang melakukan pengujian di laboratorium di Jepang dan ternyata sampel yang diambil mengandung merkuri.

Doktor Suhendrayatna mengatakan, kandungan merkuri (Hg) pada ikan mencapai 0,321mg/kg dan kerang 2.882 mg/kg. Sedangkan baku mutu internasional standar Amerika 1.1 mg/kg, dan Canada 0,5 mg/kg.

“Saya mengambil baku mutu dari dua negara itu karena Indonesia belum memiliki baku mutu untuk merkuri. Dari hasil penelitian saya itu, di kerang paling tinggi kandungan merkurinya. Sedangkan pada ikan bandeng pada bagian matanya yaitu 0.321 mg/kg,” sebutnya.

Hasil penelitian ini sudah diseminarkan pada Desember 2010 dan sudah diserahkan ke Bapedal Aceh dan Bapedal Aceh Barat.

Menurutnya dua instansi pemerintah itu sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak menggunakan merkuri. Juga telah memperketat penggunaan merkuri di kawasan tersebut dan beberapa daerah lainnya. (c47)

Editor : bakri

Diskusi UU PA dan SDA

Diskusi UU PA dan SDA
M. Nizar Abdurrani | The Globe Journal | Rabu, 19 Oktober 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/foto/diskusi-uu-pa-dan-sda.php
Dari kiri ke kanan: Pemimpin Umum Tabloid Modus, Muhammad Saleh, wartawan desk politik tabloid Modus Reza Fahlevi, anggota Komisi A DPRA Abdullah Saleh dan Direktur Walhi Aceh, T. Muhammad Zulfikar, dalam acara diskusi terbatas tentang UU PA dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), Rabu (19/10) di kantor Tabloid Modus Banda Aceh. Diskusi ini mengungkap banyak persoalan SDA diantaranya belum adanya qanun yang mengatur hal tersebut.

700.000 Ha Hutan Rusak akibat Pertambangan



Aceh Bisnis
Selasa, 18 Okt 2011 08:45 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh T Muhammad Zulfikar mengatakan, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh telah memberikan izin kepada pengusaha pertambangan untuk beroperasi di Aceh.
Hal ini mengakibatkan lebih dari 700.000 hektare lahan rusak akibat beroperasinya perusahaan pertambangan tersebut. Rata-rata setiap tahun hampir 30.000 hektare hutan Aceh rusak.

“Kerusakan hutan akan terus bertambah setiap tahun,  apabila pemerintah terus mengeluarkan izin tambang tersebut,”kata Zulfikar kepada MedanBisnis usai melakukan aksi di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh, Senin (17/10).

Zulfikar juga mengungkapkan, hal yang aneh, pemerintah tidak melihat sisi kerusakan yang diakibatkan tambang ataupun dari sisi kemampuan para pengusaha tambang dalam melakukan aktivitasnya.

Hutan Aceh berada pada posisi yang cukup mengkhawatirkan, karena setiap tahun kerusakan semakin meluas, apalagi sekarang pemerintah terus melakukan  promosi  investasi secara besar-besaran.

“Seharusnya, izin tambang ini bisa dikeluarkan oleh pemerintah apabila ada izin atau keinginan masyarakat setempat. Namun yang terjadi saat ini, izin tambang yang dikeluarkan tanpa berkoordinasi dengan masyarakat setempat,”ungkapnya.

Satu hal, kata dia, saat ini Aceh sedang mengalami gejolak politik, jangan ditambah lagi dengan gejolak sosial akibat kerusakan lingkungan.

“Jangankan kita katakan 700.000 hektare, mungkin yang di bawah 100 hektare saja masih bermasalah. Kalau memang ini mengakibatkan konflik sosial kemudian ada kerusakan lingkungan, ini yang seharusnya dipikirkan pemerintah untuk menghentikan dulu sementara aktivitas pertambangan itu,” tegasnya.

Seharusnya, sambung  Zulfikar, pemerintah jangan dulu melirik sektor tambang, karena masih banyak sumber alam lainnya yang bisa dimaksimalkan seperti perikanan, peternakan yang tidak lebih 1% dikelola. Hutanpun dapat dikembangkan menjadi sektor wisata.

“Sedangkan sektor pertanian salah satu sektor unggulan, kenapa pemerintah tidak mengelolaya secara baik. Kenapa harus mengambil mineralnya dulu, padahal kita belum siap. Ini bisa dilihat ketika mineral, tambang, biji besi diambil, yang terjadi adalah dibawa ke luar,” tambahnya.
(dedi irawan)

Hutan Aceh Untuk Rakyat

Hutan Aceh Untuk Rakyat
Link:http://www.tribunnews.com/images/regional/view/7753/hutan-aceh-untuk-rakyat

20111017_Hutan_Aceh_Untuk_Rakyat.jpg
Aktifis Walhi Aceh menggelar aksi damai dalam rangka HUT Ke 31 Walhi di bundaran simpang lima, Banda Aceh, Senin (17/10). Mereka menyerukan penyelamatan hutan dan lingkungan di Aceh. SERAMBI/M ANSHAR

Walhi Tuntut Pencabutan Izin Tambang di Aceh

Walhi Tuntut Pencabutan Izin Tambang di Aceh

Link:http://www.bisnis-sumatra.com/index.php/2011/10/walhi-tuntut-pencabutan-izin-tambang-di-aceh/

Oleh Master Sihotang on Oct 17th, 2011
BANDA ACEH: Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menuntut Pemerintah Aceh mencabut izin perusahaan tambang di provinsi itu, karena telah merusak lingkungan, khususnya hutan.
Tuntutan tersebut disampaikan sekitar 30-an aktivis Walhi Aceh dalam unjuk rasa di Bundaran Simpang Lima, Kota Banda Aceh, Senin 17 Oktober 2011. Aksi tersebut mendapat pengawalan ketat personel Polresta Banda Aceh.
Dalam aksi itu mereka menyatakan sektor tambang telah menyebabkan bencana bagi masyarakat. Sementara, hasil eksploitasi tambang tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar dalam orasinya mengatakan, ada 109 izin tambang yang dikeluarkan Pemerintah Aceh dengan luas lahan mencapai 745,98 ribu hektare, baik di kawasan hutan maupun nonhutan.
“Keberadaan izin tambang tersebut semakin memperparah laju kerusakan hutan di Aceh. Apalagi izin tersebut diberikan kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan mengolah hasil tambang tersebut,” katanya.
Buktinya, sebut dia, perusahaan pengeksploitasi tersebut mengirimnya keluar Aceh untuk diolah. Sementara, jika mereka memiliki kemampuan, tentu akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat Aceh.
“Izin-izin tambang tersebut tidak bermanfaat bagi rakyat Aceh. Malah, masyarakat yang menjadi imbas akibat pertambangan tersebut. Salah satunya menjadi korban bencana karena rusaknya lingkungan akibat pertambangan,” tuturnya.
Seharusnya, kata dia, Pemerintah Aceh lebih memfokuskan pengembangan sumber daya alam terbaharukan, seperti sektor perikanan dan pertanian.
“Aceh memiliki sumber daya perikanan yang luar biasa. Namun, yang baru digarap tidak lebih dari satu persen. Seharusnya, sektor perikanan ini yang lebih diutamakan ketimbang memberikan izin tambang,” katanya.
Selain izin tambang, laju kerusakan hutan di Aceh juga disebabkan alih fungsi lahan, menjadi perkebunan sawit. Hingga kini ada 236 pemegang izin perkebunan dengan luas 351 ribu hektare dari total tiga juta hektare luas hutan Aceh.
“Alih fungsi hutan ini merupakan ancaman serius bagi kerusakan lingkungan di Provinsi Aceh. Jika ini dibiarkan, kawasan hutan yang selama ini menjadi penyangga, dipastikan punah,” ujar TM Zulfikar.
Selain menggelar orasi, massa Walhi juga menggelar panggung hiburan jalanan. Mereka melantunkan lagu-lagu bertema lingkungan hidup dengan pengeras suara.
Aksi tersebut sempat menarik perhatian pengguna jalan yang lalu lalang di persimpangan pada lalu lintas tersebut. Setelah sejam melakukan aksi, puluhan aktivis lingkungan hidup tersebut membubarkan diri dengan tertib. (antara)

Walhi : Cabut Izin Perusahaan Di Hutan Gambut Tripa

Walhi : Cabut Izin Perusahaan Di Hutan Gambut Tripa
Firman Hidayat | The Globe Journal | Senin, 17 Oktober 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/walhi--cabut-izin-perusahaan-di-hutan-gambut-tripa.php
Banda Aceh — Sedikitnya ada 4(empat) perusahaan kelapa sawit dituding telah menghancurkan hutan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Akibatnya para pegiat LSM yang peduli terhadap lingkungan di Aceh melakukan aksi damai di bundaran simpang lima Kota Banda Aceh dengan menuntut penyelamatan hutan gambut Rawa Tripa. 

Kepada The Globe Journal, Senin (17/10) Direktur Walhi Aceh, TM. Zulfikar mengatakan aksi massa untuk penyelamatan kawasan hutan gambut di Aceh ini adalah salah satu contoh dari kerusakan lingkungan yang timbul dari banyaknya kasus-kasus kerusakan lingkungan lainnya di Aceh. 

Alih fungsi lahan gambut untuk perkebunan sawit yang tidak ramah lingkungan itu mengakibatkan semua mahkluk hidup terancam. “Jangankan manusia, habitat yang ada didalam hutan gambut itu bahkan orang utan sekalipun menjadi terancam, belum lagi sumber air bersih untuk hajat hidup orang banyak juga akan semakin terancam,” sebut Zulfikar di kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, usai melakukan aksi damai di Simpang Lima Banda Aceh. 

Walhi Aceh akan menyurati Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf untuk mencabut izin-izin alih fungsi gambut rawa tripa yang diinvestasikan untuk perkebunan kelapa sawit. Menurutnya salah satu izin yang dikeluarkan Gubernur Aceh adalah untuk PT. Kalista Alam seluas 6.888 Ha di kawasan tersebut. 

Kawasan Rawa Tripa adalah salah satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat pulau Sumatera dengan luas 61.803 hektar. Secara administratif, 60 persen kawasan tersebut berada di Kabupaten Nagan Raya dan 40 persen lagi berada di Kabupaten Aceh Barat Daya. Wilayah itu termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional untuk pelestarian lingkungan hidup. 

Hutan gambut Rawa  Tripa sangat kaya dengan berbagai jenis ikan dan hasil hutan non kayu yang secara tradisional dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber ekonomi keluarga dan sumber protein. 

Saat ini kondisi hutan Rawa Tripa mengalami kerusakan yang cukup parah. Menurut data yang dihimpun Walhi Aceh ada empat perusahaan yang sudah menjadikan wilayah konsesi kelapa sawit di rawa tripa, yaitu PT. Astra Agro Lestari seluas 13.177 Ha, PT. Kalista Alam 6.888 Ha, PT. Gelora Sawita Makmur 8.604 Ha dan PT. Cemerlang Abadi seluas 7.516 Ha. 

Walhi Aceh : Tutup Tambang Kalau Gubernur Ingin Jaga Aceh

Walhi Aceh : Tutup Tambang Kalau Gubernur Ingin Jaga Aceh
Firman Hidayat | The Globe Journal | Kamis, 13 Oktober 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/walhi-aceh--tutup-tambang-kalau-gubernur-ingin-jaga-aceh.php
Banda Aceh — Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar akhirnya angkat bicara setelah melihat persoalan tambang tidak ada satu hasilpun yang menyatakan dampak positif dari sekian banyak usaha-usaha tambang di Aceh. “Jika mahasiswa dan akademisi menuntut tutup tambang, kenapa Pemerintah Aceh harus memaksa diri,” kata TM sapaan akrabnya.

Saat melakukan diskusi menentukan konsep penelitian pertambangan yang digagas oleh Achenese Civil Society Task Force (ACSTF), Kamis (13/10) di Hotel Grand Nanggroe, TM. Zulfikar mengatakan salah satu pusat kajian di Negara Peru menyebutkan bahwa konflik sosial dan persoalan lingkungan terus meningkat akibat tambang. Dari tahun 2006 pusat kajian itu mencatat ada 82 kasus konflik sosial yang terjadi, angka meningkat di tahun 2011 menjadi 217 kasus.

Di Indonesia, konflik sosial yang terjadi di Freeport seperti apa kondisinya dan sampai sekarang terus saja ribut. “Anehnya lagi hasil menjual tanah air Indonesia, pemerintah tidak lebih hanya mendapatkan 1 persen dan masyarakat dapat apa? Sedangkan 99 persen lagi dibawa kemana? Yang terjadi justru ribut terus."

Hari ini di Aceh, persoalan tambang juga ribut terus sejak Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertambangan dan Energi menandatangani 115 perusahaan tambang baik yang ekplorasi maupun yang ekploitasi. “Kalau saja dijadikan sampel untuk tiga perusahaan saja maka sudah memicu konflik yang besar,” sebut TM.

Sehari sebelum diskusi di Grand Nanggroe ini, mahasiswa melakukan demontrasi untuk menutup tambang di Aceh Selatan dan itu jelas sekali bagaimana konsekuensi yang ingin disampaikan, kemudian bagaimana masyarakat membela diri akibat konflik yang terjadi di Manggamat Aceh Selatan oleh oknum TNI di Pos PT. PSU.

TM menyarankan sebaiknya di Aceh jangan dululah buka tambang, kita harus bisa buktikan bahwa benar akibat tambang banyak persoalan. Bukan hanya konflik sosial tapi pencemaran dan persoalan lingkungan. “Secara ilmiah dibuktikan kalau suara dari kampus sudah menolak tambang, mau ngapain lagi pemerintah memaksa diri,” terang TM.

Sumber daya di Aceh ini sangat melimpah, kenapa kita harus berputar dalam hal-hal yang ada didalam tanah. Diatas tanah saja tidak becus dikelola, dibawah tanah apalagi? Sebaiknya cari usaha lain dan jangan tambang kalau ingin jaga Aceh.

Persoalan yang mencuat sebenarnya mulai dari proses dan tahapannya, TM Zulfikar memaparkan ketika izin dibeli baik dalam bentuk kontrak karya atau kuasa tambang sehingga tidak ada konsultasi dengan masyarakat setempat.

Kemudian ditahap ekplorasi juga seperti itu, kalau sudah mengetahui ada untung besar maka mulai lobi pemerintah dan setidaknya ada pembagian uang di awal sehingga pada kemudian hari pemerintah tidak mungkin tolak lagi. Tahap ekplorasi saja sudah bermasalah.

Dalam persetujuan Amdal, Walhi Aceh sering sekali menolak dan orang lain menerima. Kemudian pemahaman terhadap masyarakat masih lemah tapi dipaksakan masyarakat harus menerima Amdal tersebut.

Ketika tambang berakhir, yang terjadi cadangan habis, sehingga kawasan tambang menjadi kota mati dan lahan tidak berfungsi lagi. Muncul pelanggaran HAM yang banyak dan PHK besar-besaran. Kemudian lahan tidak bisa dipakai lagi karena didalam sudah dikerok, diatas tanah sudah tidak bisa buat apa-apa lagi.

Foto : Lokasi Tambang PT. LHoong Setia Mining di Kecamatan Lhoong Aceh Besar.
Diambil dari atas udara (dok. Walhi Aceh)

Walhi: Kerugian Akibat Banjir Capai 2 Triliun Rupiah


Walhi: Kerugian Akibat Banjir Capai 2 Triliun Rupiah

walhi-logo-maiwanews.comLink:http://www.maiwanews.com/berita/walhi-kerugian-akibat-banjir-capai-2-triliun-rupiah/
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dampak kerugian banjir dan longsor cukup menguras Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Aceh (APBA). Banjir pada tahun 1996 menimbulkan kerugian Rp 174 miliar, tahun 2000 kerugian akibat banjir menembus angka Rp 800 miliar.
Pada tahun 2006 kerugian akibat bencana banjir Tamiang mencapai Rp 2 triliun, jika dibandingkan dengan pendapatan akumulasi dari sektor kehutanan terhadap PDRB Aceh selama tahun 1993-2001 hanya sekitar Rp 362 milyar atau rata-rata sekitar Rp 45 miliar per tahun.
Anggaran APBA tahun 2007 sebesar kurang lebih Rp 19 triliun, termasuk anggaran rekonstruksi Rp 9,7 triliun, maka anggaran bersih yang diterima Pemerintah Aceh kurang lebih Rp 10 triliun, jika kemudian harus menutupi tekor banjir tamiang Rp 2 triliun, artinya 20% anggaran Aceh tahun 2007 praktis hanya digunakan untuk recovery banjir dan longsor.

Hal itu diungkap pada diskusi memperingati hari jadi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) oleh Eksekutif Daerah Aceh di Aula Kantor LSM PUGAR Aceh, Selasa 11 Oktober 2011. Acara tersebut dihadiri Muhammad Hamzah sebagai nara sumber dari kalangan Jurnalis dan Nabhani AS dari budayawan yang melihat pengelolaan lingkungan dalam aspek muatan lokal serta nara sumber lain dari kalangan aktivis lingkungan.
Acara yang difasilitasi oleh Ir Zulhanuddin Hsb juga dihadiri oleh kalangan akademisi dari Kampus STIK Pante Kulu, pimpinan lembaga dan aktivis lingkungan serta kelompok masyarakat sipil dari berbagai LSM di Aceh.
Dalam diskusi bertema “Pulihkan Aceh, Utamakan Keselamatan Rakyat” tersebut peserta menyorot betapa buruknya pengelolaan sumber daya alam di Aceh dan sama sekali tidak mengindahkan aspek keberlanjutan dari pemanfaatan SDA tersebut. Yang paling dirugikan dalam pengelolaan SDA di Aceh adalah masyarakat secara umum dan pemerintah sepertinya menikmati hal itu terjadi tanpa menghiraukan protes dari masyarakat dan kalangan LSM.
Dalam diskusi diungkap juga bahwa hutan Aceh berada pada posisi yang cukup mengkhawatirkan, setiap harinya kita kehilangan hutan dua kali lipat luas lapangan sepakbola atau setara 20.796 per tahunnya, laju kerusakan ini salah satunya dipicu oleh aktivitas illegal logging yang terus terjadi, tahun 2006 tertangkap 120.209,50 meter kubik kayu sitaan dari hasil illegal logging, angka ini mengalami kenaikan empat kali lipat dari tahun sebelumnya sekitar 33.249,25 meter kubik. Padahal angka kayu sitaan tersebut jika ditaksir hanya sekitar 2% dari total tebangan ilegal yang terjadi di hutan Aceh.

Berita Lainnya

  1. Kerugian Banjir Akibat Hujan Rp 9 M
  2. Banjir Bandang di Tangse Akibat Illegal Logging
  3. WALHI Aceh Beri Bantuan Korban Banjir Tangse
  4. Akibat Banjir, Tanaman Padi Dipanen Dini
  5. Naik Tajam, Laba Bank Mandiri Capai Rp6,4 Triliun

Pemerintah Aceh Minta Polisi Tangkap Penjual Merkuri Ilegal

Pemerintah Aceh Minta Polisi Tangkap Penjual Merkuri Ilegal
Firman Hidayat | The Globe Journal | Rabu, 12 Oktober 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/hukum/pemerintah-aceh-minta-polisi-tangkap-penjual-merkuri-ilegal.php
Banda Aceh — Pemerintah Aceh melalui Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi menghimbau aparat kepolisian untuk menindak atau menangkap pelaku yang selama ini memegang atau memperdagangkan bahan berbahaya Merkuri secara ilegal di Aceh. Biasanya bahan berbahaya merkuri itu lazim digunakan oleh pengusaha gelondongan emas di lokasi penambangan.

Kepala Dinas PerindagKop Aceh, Cipta Hunai melalui Kepala Bidang Perdagangan dan Luar Negeri, Nurdin yang juga didamping oleh Kepala Bidang Perlindungan Konsumen, Ruslan ketika dijumpai The Globe Journal, Rabu (12/10) tadi siang mengatakan tidak ada satupun izin yang diberikan oleh Pemerintah Aceh untuk perdagangan merkuri.

Jika ada masyarakat di Aceh yang menyimpan dan menjual merkuri dalam jumlah banyak itu ilegal dan harus ditangkap. Pasalnya hingga saat ini belum ada satu izinpun yang dikeluarkan baik untuk distributor ataupun kepada agen perdagangan merkuri di Aceh.

Kecuali pengusaha di toko-toko emas yang hanya membutuhkan bahan merkuri dalam jumlah yang sedikit dan sangat terbatas sesuai dengan kebutuhan toko emas tersebut. “Tapi jika ada toko emas yang sengaja memperjual-belikan Merkuri dalam jumlah banyak untuk penambang emas itu ilegal dan harus ditangkap oleh polisi,” kata Nurdin.

Menurut Nurdin yang didampingi oleh staffnya Mansur dan Ruslan, setiap perdagangan merkuri harus ada izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh dalam hal ini adalah DisperindagKop Aceh. Izin tersebut bernama SIUP Bahan Berbahaya Merkuri. Dalam surat izin itupun dibatasi jumlahnya dan kepada siapa untuk didagangkan.

“Tidak sembarangan bahan berbahaya ini dijual, itu ada aturan dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 44/M-DAG/9/PER/2009,” kata Nurdin.

Sebelumnya Walhi Aceh juga pernah mendesak Kepolisian untuk menangkap pelaku pembuangan limbah merkuri sekaligus menertibkan penambang tradisional yang berpotensi mencemarkan lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat sekitarnya, khususnya di Sawang, Kabupaten Aceh Selatan.

Kepolisian mestinya tidak berdiam diri terhadap kasus pencemaran lingkungan tersebut. Harus sejalan dengan aturan dalam UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Tindak pelaku atau oknum yang melakukan distribusi ilegal Merkuri dan bahan B3 termasuk pemasok dari luar Aceh,” kata Direktur Walhi Aceh, TM. Zulfikar.

Menurut Investigasi Walhi di Sawang, Aceh Selatan baru-baru ini dijumpai fakta bahwa peredaran merkuri sangat bebas dilakukan oleh masyarakat yang juga merangkap sebagai toke-toke gelondongan. Bahan berbahaya itu diperoleh dari Medan, Sumatera Utara. Harga beli setempat mencapai Rp1.150.000,- per kilo sedangkan harga beli di Medan hanya Rp500.000 per kilonya.

Merkuri di Sawang digunakan mayoritas untuk usaha gelondongan emas oleh penambang tradisional. Konon limbahnya dibuang tanpa saringan yang kuat, meresap dalam tanah dan mengalir ke sungai. 

Walhi Desak Pemerintah Aceh Hentikan Izin Perkebunan

Walhi Desak Pemerintah Aceh Hentikan Izin Perkebunan

Link:http://www.bisnis-sumatra.com/index.php/2011/09/walhi-desak-pemerintah-aceh-hentikan-izin-perkebunan/

Oleh Master Sihotang on Sep 22nd, 2011
BANDA ACEH: Wahana lingkungan hidup (Walhi) mendesak, Pemerintah Provinsi Aceh menghentikan pemberian izin perkebunan maupun pertambangan karena akan memberi ruang terjadinya penyusutan kawasan hutan.
“Selain penghentian izin, kami juga mendesak pemerintah Aceh mengevaluasi perizinan perkebunan dan pertambangan yang telah dikeluarkan,” tegas Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Rabu 21 September 2011.
Ia mengatakan, berdasarkan catatan WALHI Aceh hingga Oktober 2010, terdapat 236 izin perkebunan dengan luas areal mencapai 351,2 ribu hektare.
Sebagian besar izin perkebunan di Aceh tersebut, kata dia, merupakan lahan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit dengan skala besar terdapat di Aceh Tamiang, Aceh Singkil, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Utara, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.
Selain itu, ada 109 izin pertambangan yang terdaftar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh hingga Januari 2011. Luas izin pertambangan tersebut mencapai 745,98 ribu hektare.
“Izin tambang tersebut diberikan baik di kawasan hutan maupun nonhutan. Jumlah ini diyakini akan terus membengkak diakibatkan pembukaan kran investasi,” katanya.
Menurut TM Zulfikar, pemberian izin perkebunan menjadi ancaman serius bagi pelestarian kawasan hutan di Aceh. Misalnya, kawasan hutan rawa di Kabupaten Nagan Raya Kawasan ini, sebut dia, seharusnya menjadi penyangga bagi kawasan di sekitarnya, seperti hutan bakau dan lahan gambut. Namun, hutan rawa tersebut dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.
Selain hutan rawa di Nagan Raya, sebut dia, hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) juga turut dibabat akibat perizinan perkebunan tersebut.
“Meskipun di beberapa areal konservasi ini belum ditanami kelapa sawit, tetapi laju kerusakan hutannya masih terus berlanjut,” ungkap TM Zulfikar.
Karena itu, sebut dia, Walhi Aceh mendesak pemerintah daerah mengevaluasi perizinan yang telah diberikan. Selain itu, pemerintah juga diminta mengembalikan pengelolaan hutan kepada masyarakat lokal yang dilakukan secara adat.
“Penghentian dan evaluasi perizinan perkebunan maupun pertambangan tersebut guna memastikan berlangsungnya jeda penebangan hutan yang telah dikeluarkan Gubernur Aceh pada 2007 silam,” kata TM Zulfikar. (ant)

KERUSAKAN LINGKUNGAN: Masyarakat Aceh Terancam Limbah Merkuri

KERUSAKAN LINGKUNGAN: Masyarakat Aceh Terancam Limbah Merkuri

Banda Aceh - Limbah merkuri mengancam masyarakat di tiga kecamatan di wilayah Kabupaten Aceh Selatan. Limbah tersebut berasal dari pertambangan emas yang dari tahun ke tahun kian meluas di wilayah tersebut tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan.”Pengelolaan emas masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan bahan kimia merkuri. Pengolahan secara tradisional ini ternyata memberikan nilai tambah bagi penghasilan masyarakat. Namun, masalah lain muncul kemudian, di antaranya masyarakat membuang limbah merkuri hasil pengolahan emas di sembarang tempat,” papar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia   (Walhi) Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Aceh, Senin (10/10).
Tambang emas di Aceh Selatan selama ini dikelola oleh koperasi dan masyarakat. Pertambangan tersebut tersebar di Kecamatan Kluet Tengah, Pasie Raja, dan Sawang.
Menurut TM Zulfikar, dari hasil investigasi Walhi Aceh, kasus terakhir sejumlah pohon kelapa dan pohon rumbia di Desa Kampung Baru, Kecamatan Labuhan Haji, serta ikan peliharaan di Desa Alue Meutuah Meukek mati diduga akibat limbah merkuri. Bahkan, sebelum Ramadhan lalu, dua ternak kerbau milik warga di Kecamatan Sawang, masing-masing seekor di Desa Meuligo dan seekor di Desa Tring Meuduro, mati.
”Pembuangan limbah merkuri bahkan dilakukan di daerah pantai dan kawasan permukiman padat. Hal ini sangat berpotensi merusak kesehatan masyarakat, baik melalui kontak langsung dengan merkuri maupun melalui media air yang disebabkan oleh hujan dan air laut,” tutur TM Zulfikar. Limbah merkuri yang mencemari laut tersebut akan sangat mungkin menyebar ke daerah yang lebih luas. Di samping itu, ikan-ikan hasil tangkapan nelayan di daerah tersebut juga akan tercemar. ”Bila ikan tercemar dikonsumsi oleh manusia, maka kandungan merkuri yang ada dalam ikan tersebut akan tinggal di dalam tubuh manusia dan merusak kesehatannya secara pelan-pelan, tetapi pasti,” ungkap dia.
Jika persoalan ini tak segera ditanggulangi secara menyeluruh, dikhawatirkan di kemudian hari akan terulang kembali dalam skala yang lebih luas dan semakin tidak terkendali. Selain itu, pemerintah juga perlu menertibkan peredaran merkuri secara ilegal yang marak terjadi di Aceh Selatan selama ini. Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 30/MPP/Kep/7/1997 Tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya, distribusi dan jual beli merkuri harus terdaftar dan minimal melalui izin bupati atau wali kota dengan persyaratan kelayakan lingkungan hidup yang ketat.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan, Pemerintah Provinsi Aceh melarang penambangan tanpa izin. Kegiatan pertambangan ilegal seperti inilah yang sangat rawan menimbulkan kerusakan lingkungan.”Sejak kebijakan moratorium, kebijakan lingkungan kami tetap, menjaga kelestarian lingkungan,” ujar Irwandi. (HAN)

Kamis, 20 Oktober 2011

Limbah Merkuri mulai tercemar di Aceh

Thursday, 06 October 2011 18:50    PDF Print E-mail
Limbah Merkuri mulai tercemar di Aceh
Warta
WASPADA ONLINE
Link:http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=218743:limbah-merkuri-mulai-tercemar-di-aceh&catid=13:aceh&Itemid=26
BANDA ACEH  - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengemukakan limbah merkuri yang berasal dari penambangan emas tradisional di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, kini mulai mencemari lingkungan, sehingga perlu perhatian dari pemerintah setempat.
"Limbah merkuri ini berasal dari penambangan emas tradisional. Pencemaran terhadap limbah ini sudah mulai dirasakan masyarakat," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Kamis.

Berkaitan dengan itu, Walhi Aceh menyurati Bupati Aceh Selatan menyusul adanya limbah merkuri yang diduga sudah mencemari sejumlah kawasan di kabupaten itu. Menurut dia, merkuri merupakan bahan yang berbahaya bagi tubuh manusia. Apalagi terkontaminasi dalam sumber makanan, akan mempengaruhi kesehatan secara perlahan-lahan.

Ia mengatakan, sejumlah kasus akibat limbah merkuri tersebut mulai dirasakan, seperti matinya sejumlah pohon kelapa dan rumbia di Gampong (desa) Baru, Kecamatan Labuhan Haji, serta ikan peliharaan di Gampong Alue Meutuah, Kecamatan Meukek, diduga akibat limbah merkuri.

Tidak hanya itu, kata dia, sebelumnya dua ekor kerbau milik warga di Kecamatan Sawang, masing-masing seekor di Gampong Meuligo dan seekor lagi di Gampong Tring Meuduro, mati yang diduga karena limbah tersebut. Ia menyebutkan, di Aceh Selatan ada sejumlah titik tambang emas tradisional, yakni di Kecamatan Kluet Tengah, Pasie Raja dan Sawang.

Namun, limbah merkuri setelah digunakan mengolah emas dibuang sembarangan.

"Bahkan pembuangan limbah merkuri dilakukan di daerah pantai dan kawasan pemukiman padat. Hal ini berpotensi merusak kesehatan, baik kontak langsung maupun melalui media air yang disebabkan oleh hujan dan air laut," katanya.

Jika limbah merkuri mencemari laut, katanya, maka penyebarannya lebih luas. Di samping itu ikan-ikan hasil tangkapan nelayan juga akan tercemar. Bila ikan tercemar dikonsumsi, maka kandungan merkuri tertinggal di tubuh manusia. "Karena itu kami menyurati Bupati Aceh Selatan agar menertibkan penggunaan merkuri pada pengolahan emas di tambang-tambang emas tersebut," katanya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No 30/MPP/Kep/7/1997 tentang barang yang diatur tata niaga impornya, distribusi, jual beli merkuri harus terdaftar dan melalui izin kepala daerah dengan persyaratan kelayakan lingkungan hidup yang ketat. "Sebab itu, pemerintah daerah juga perlu menertibkan peredaran merkuri secara ilegal yang marak terjadi di Aceh Selatan. Jika ini dibiarkan, maka pencemaran limbah merkuri di kabupaten itu semakin tidak terkendali," kata TM Zulfikar.
(dat16/wol/antara)

Mencermati "Nasib" Pembangunan Aceh Pascamigas

Mencermati "Nasib" Pembangunan Aceh Pascamigas
Foto:bd-ant
Link:http://beritadaerah.com/article/sumatra/39977/32
(Berita Daerah-Sumatera) Pembangunan di Provinsi Aceh selama puluhan tahun berjalan sesuai harapan, meski masih banyak kebutuhan aspek sosial kemasyarakat belum tersentuh rakyat banyak seperti sektor pertanian di daerah tersebut.

Kemajuan itu boleh jadi karena didukung pendanaan dari industri minyak dan gas (migas) dan terakhir bagi hasil berdasarkan Undang-Undang (UU) No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) setelah ada kesepakatan damai (MoU) Helsinki.

Namun kini, setelah berjalan beberapa tahun (bagi hasil), banyak kalangan mengkhawatirkan Aceh bakal "bangkrut" jika tidak segera mencari sumber lain sebagai potensi pendapatan untuk membangun provinsi itu, menyusul bakal berakhirnya era migas.

Di era otonomi khusus (otsus) Aceh selama ini, pendapatan Aceh dari bagi hasil migas lumayan besar, triliunan rupiah setiap tahunnya untuk membiayai proyek pembangunan di 23 kabupaten/kota di provinsi tersebut.

Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh awal April 2011 mencatat nilai ekspor Aceh pada Januari 2011 turun sebesar 1,5 juta dolar AS dibanding Desember 2010 yang mencapai 116 juta dolar AS karena menurunnya ekspor migas sebesar 2,14 persen.

Kekhawatiran era "keemasan" Aceh bakal berakhir menyusul turunnya produksi migas itu juga diutarakan Wakil gubernur (Wagub) Muhammad Nazar.

Karenanya, ia mengajak masyarakat membangun kembali sektor pertanian dan perikanan sebagai persiapan menghadapi semakin menurunnya pendapatan dari minyak dan gas di provinsi itu.

"Sudah saatnya melirik usaha bidang pertanian dan perikanan karena potensinya masih cukup besar di Aceh. Apalagi pendapatan sektor migas akan terus menurun karena semakin habisnya sumber daya alam itu," katanya.

Pada seminar bertema "Sistem Pasar yang Berpihak Kepada Peningkatan Pendapatan Petani Rakyat Melalui Perbaikan Produktivitas serta Kualitas Bahan Olah Karet Rakyat" yang digelar "Swiss Contact" dan "Kuala Simpang Development Aid (KDA)" di Aceh Tamiang, ia menyatakan era migas Aceh akan berakhir.

Muhammad Nazar mengatakan, selama ini tidak sedikit masyarakat masih bermimpi dengan kekayaan migas, pertambangan dan mineral lainnya. Masyarakat dengan bangga bercerita tentang migas selama puluhan tahun seperti di Aceh Utara dan Aceh Timur.

"Di tengah cerita romantis migas dan pertambangan itu masyarakat terus jatuh dalam kemiskinan, terutama mereka yang berdomisili di dekat industri migas, sementara sektor pertanian dan maritim terabaikan," katanya menambahkan.

Di pihak lain, masyarakat Aceh perlu juga mengetahui bahwa pengelolaan sektor migas dan pertambangan tidak bisa secara langsung melibatkan masyarakat karena menggunakan teknologi tinggi, padat modal, swasta besar dan pemerintahan.

Ia mengajak dunia usaha, kalangan perbankan serta pemerintah untuk segera mentransformasikan seluruh sisi kehidupan, termasuk cara berfikir, berperilaku, bertindak dan mengembalikan pembangunan ekonomi kepada pengutamaan ekonomi pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan dan perikanan atau maritim.

"Mari kita kembali ke ekonomi pertanian dan maritim, serta jadikan sebagai bisnis utama, bukan lagi kerja sampingan," kata Muhammad Nazar.

Wagub juga mengatakan, jika perekonomian Aceh bisa tumbuh baik, maka sudah saatnya provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa tersebut melepaskan diri dari ketergantungan dengan Sumatera Utara (Sumut).

"Ketergantungan Aceh kepada Medan selama ini terutama industri prosessing, hilir dan pemasaran memang bukan kesalahan Medan, tetapi strategi pembangunan ekonomi diatur pusat yang menempatkan Aceh di bawah rencana induk pembangunan ekonomi Sumbagut (Sumut, Aceh & Sumbar)," katanya.

Sementara itu, seorang pengusaha muda Aceh, Fakhrizal Murphy mengharapkan pemerintah segera membuat master plan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan keterlibatan semua pihak, termasuk swasta.

Ia berpendapat pemerintah tidak perlu gamang dalam menghadapi era migas, sebab masih banyak potensi ekonomi lain yang siap dan mampu menjadi sumber pendapatan baru untuk pembiayaan pembangunan di wilayah ini.

Sektor perikanan, perkebunan dan pertanian diyakini masih memiliki potensi yang mampu menggerakkan perekonomian Aceh pascamigas.

"Akan tetapi, yang paling penting untuk menggerakkan sektor tersebut maka pemerintah harus fokus dan berkelanjutan dalam memberdayakan bidang pertanian, perikanan, dan perkebunan," kata dia.

Yang tidak kalah penting, Fakhrizal yang juga Ketua DPD HIPMI Aceh itu menyatakan diperlukan dukungan semua pihak khususnya legislatif menggerakkan program pemerintah dalam upaya membangkitkan pertumbuhan ekonomi dari sektor-sektor tersebut.

Selain itu, Aceh pascamigas juga diperlukan komitmen serius dari pemerintah untuk mendatangkan dan memberikan jaminan kepada para investor agar mereka bisa nyaman berinvestasi di Aceh.

Dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, kata dia, industri prosesing bisa berkembang jika investor yang sudah beraktivitas di Aceh tidak terusik, misalnya dengan aksi pungli atau birokrasi yang berbelit-belit.

"Artinya, Aceh pascamigas bisa lebih maju meski tanpa ekploitasi tambang. Sebab, jika kita hanya berfikir dan melirik kekayaan perut bumi sebagai satu-satunya pendapatan pascamigas, maka persoalan jangka panjang yang akan timbul adalah masalah lingkungan dan bencana alam," kata Fakhrizal.

Selektif


Tidak keliru juga jika memang pemerintah tetap melirik sektor pertambangan sebagai sumber pembiayaan pembangunan Aceh pascamigas, tapi harus selektif sehingga tidak menimbulkan malapeta dari kegiatan ekploitasi "dalam perut bumi" itu.

Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh Taf Haikal, berpendapat Pemerintah Aceh harus lebih selektif mengeluarkan izin bagi investor yang berminat melakukan eksploitasi hasil pertambangan, khususnya di kawasan pantai barat dan selatan provinsi itu.

"Saya mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dan selektif, jangan sampai eksploitasi hasil tambang dapat berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan," katanya.

Menurut dia, kerusakan lingkungan tidak bisa dihindari jika eksploitasi hasil tambang tidak terkendali, apalagi sampai merambah kawasan lindung khususnya di pesisir barat dan selatan provinsi ujung paling barat Indonesia itu.

"Kalau masa lalu, kawasan pesisir barat dan selatan Aceh rusak akibat penebangan kawasan hutan, namun kini tentunya tidak mau lagi menjadi korban sebagai dampak dari eksploitasi hasil tambang," kata dia menjelaskan.

Pesisir barat dan selatan, khususnya wilayah Kabupaten Aceh Selatan topografi alamnya pegunungan yang sebagian besar desa dan kecamatan berada dipinggir laut, ujar Taf Haikal.

"Topograsi Aceh Selatan itu sangat rawan bencana jika pemerintah tidak melihat faktor tersebut ketika memberikan perizinan untuk eksploitasi hasil tambang," katanya menambahkan.

Disebutkan, saat ini sejumlah perusahaan tambang bijih besi dan emas telah beroperasi di wilayah Aceh Selatan, antara lain di Kecamatan Trumon, Manggamat dan Sawang.

Oleh karenanya, Taf Haikal yang juga aktivis forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh itu mengatakan bencana banjir dan tanah ongsor yang diakibatkan sebagai dampak perambahan hutan secara tidak terkendali masa lampau tidak diharapkan terjadi lagi.

"Masyarakat secara luas tentunya tidak mengharapkan investasi di daerahnya bisa berdampak buruk terhadap lingkungan hidup," kata dia.

Menurut dia, ada upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk peningkatan pendapatan daerah (PAD), misalnya melalui pemberdayaan sektor perkebunan, perikanan dan pertanian khususnya di Aceh Selatan.

Aceh Selatan dengan komoditas perkebunan unggulan pala dan nilam, menurut dia pemerintah harus fokus membangun sektor tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tolak tambang

sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mendukung sepenuhnya upaya masyarakat Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) menolak kehadiran perusahaan tambang guna mencegah kerusakan hutan dan alam sekitarnya.

"Pernyataan masyarakat menolak kehadiran perusahaan tambang di daerah mereka sudah tepat dan kami mendukung penolakan tersebut," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar.

Warga dari sejumlah gampong (desa) di Kabupaten Aceh Barat Daya, mengirimkan surat kepada Gubernur Aceh, yang intinya menolak kehadiran perusahaan tambang bijih besi di wilayah mereka.

Dalam surat itu, katanya, masyarakat mendesak Gubernur Aceh tidak mengeluarkan izin apapun terkait aktivitas pertambangan karena keberadaannya membawa petaka.

Menurut dia, penolakan tersebut telah menumbuh kesadaran kolektif masyarakat dalam mencegah kerusakan alam, sehingga terhindar dari potensi bencana.

"Kami pernah berdialog dengan pemuka masyarakat di sejumlah gampong di Kabupaten Aceh Barat Daya. Masyarakat sepakat menolak bila daerahnya dieksploitasi dan hancur atas nama pertumbuhan ekonomi semu," sebut dia.

Sementara itu, Kepala Divisi Penguatan Organisasi dan Jaringan Walhi Aceh M Nur mengatakan, dirinya bersama seratusan warga di sejumlah gampong di Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya, itu pernah mengkaji bahaya tambang.

"Walhi Aceh menjelaskan apa itu tambang dan dampak yang akan terjadi beserta bukti-buktinya, sehingga masyarakat sepakat untuk menolak dengan risiko apapun," katanya.

Selain itu, kata dia, alasan penolakan itu juga diperkuat dengan kekhawatiran terhadap aktivitas penambangan di Pegunungan Pucok Krueng, Gampong Alue Sungai Pinang, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya.

"Masyarakat mengkhawatirkan hancurnya kawasan hutan sebagai penyimpan air. Bisa dibayangkan bila sumber air rusak dan tercemar," tandas dia.

Oleh karena itu, kata M Nur, Walhi Aceh akan terus membangun kesadaran masyarakat agar peduli dengan kelestarian lingkungan hidup di wilayah mereka.

"Jangan sampai masyarakat baru sadar ketika keberadaan tambang sudah menjadi bencana. Lebih baik mencegah daripada mengizinkan aktivitas tambang yang menjadi sumber petaka," pungkas M Nur.

Seorang aktivis mahasiswa di Aceh Teuku Syamsinahya, menilai eksploitasi tambang bukan juga sebuah solusi untuk kesejahteraan masyarakat tapi telah berdampak negatif terhadap lingkungan.

Syamsinahya dalam orasinya menilai operasional perusahaan pertambangan di Bakongan Timur dan Trumon berpotensi terjadinya bencana alam dan kerusakan lingkungan.

"Karenanya kami menilai untuk mencegah bencana alam di Aceh Selatan maka kami minta cabut izin pertambangan, dan masih banyak potensi SDA lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat," katanya dalam aksi unjuk rasa belum lama ini.
(dn/DN/bd-ant)

Walhi: Limbah Merkuri Mulai Tercemar Di Aceh

Walhi: Limbah Merkuri Mulai Tercemar Di Aceh

Link:http://www.antara-aceh.com/Banda-Raya/walhi-limbah-merkuri-mulai-tercemar-di-aceh.html

Banda Aceh, 6/10 (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengemukakan limbah merkuri yang berasal dari penambangan emas tradisional di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, kini mulai mencemari lingkungan, sehingga perlu perhatian dari pemerintah setempat.
"Limbah merkuri ini berasal dari penambangan emas tradisional. Pencemaran terhadap limbah ini sudah mulai dirasakan masyarakat," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Kamis.
Berkaitan dengan itu, Walhi Aceh menyurati Bupati Aceh Selatan menyusul adanya limbah merkuri yang diduga sudah mencemari sejumlah kawasan di kabupaten itu.
Menurut dia, merkuri merupakan bahan yang berbahaya bagi tubuh manusia. Apalagi terkontaminasi dalam sumber makanan, akan mempengaruhi kesehatan secara perlahan-lahan.
Ia mengatakan, sejumlah kasus akibat limbah merkuri tersebut mulai dirasakan, seperti matinya sejumlah pohon kelapa dan rumbia di Gampong (desa) Baru, Kecamatan Labuhan Haji, serta ikan peliharaan di Gampong Alue Meutuah, Kecamatan Meukek, diduga akibat limbah merkuri.
Tidak hanya itu, kata dia, sebelumnya dua ekor kerbau milik warga di Kecamatan Sawang, masing-masing seekor di Gampong Meuligo dan seekor lagi di Gampong Tring Meuduro, mati yang diduga karena limbah tersebut.
Ia menyebutkan, di Aceh Selatan ada sejumlah titik tambang emas tradisional, yakni di Kecamatan Kluet Tengah, Pasie Raja dan Sawang. Namun, limbah merkuri setelah digunakan mengolah emas dibuang sembarangan.
"Bahkan pembuangan limbah merkuri dilakukan di daerah pantai dan kawasan pemukiman padat. Hal ini berpotensi merusak kesehatan, baik kontak langsung maupun melalui media air yang disebabkan oleh hujan dan air laut," katanya.
Jika limbah merkuri mencemari laut, katanya, maka penyebarannya lebih luas. Di samping itu ikan-ikan hasil tangkapan nelayan juga akan tercemar. Bila ikan tercemar dikonsumsi, maka kandungan merkuri tertinggal di tubuh manusia.
"Karena itu kami menyurati Bupati Aceh Selatan agar menertibkan penggunaan merkuri pada pengolahan emas di tambang-tambang emas tersebut," katanya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No 30/MPP/Kep/7/1997 tentang barang yang diatur tata niaga impornya, distribusi, jual beli merkuri harus terdaftar dan melalui izin kepala daerah dengan persyaratan kelayakan lingkungan hidup yang ketat.
"Sebab itu, pemerintah daerah juga perlu menertibkan peredaran merkuri secara ilegal yang marak terjadi di Aceh Selatan. Jika ini dibiarkan, maka pencemaran limbah merkuri di kabupaten itu semakin tidak terkendali," kata TM Zulfikar.

Hutan Rusak Parah, Walhi Somasi Bupati Aceh Selatan

Hutan Rusak Parah, Walhi Somasi Bupati Aceh Selatan
Oleh : Mahdi Andela | 07-Okt-2011, 08:26:47 WIB
Link:http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Hutan+Rusak+Parah%2C+Walhi+Somasi+Bupati+Aceh+Selatan&dn=20111006160626
KabarIndonesia - Menyikapi semakin parahnya kerusakan hutan di Kabupaten Aceh Selatan, Eksekutif Daerah WALHI Aceh mengirim surat ke Bupati Aceh Selatan. Dalam surat yang ditembuskan ke Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Gubernur Propinsi Aceh, Kapolda Aceh dan Pangdam Iskandarmuda itu WALHI Aceh menguraikan bahwa Aceh Selatan terkenal dengan Sumberdaya Alamnya (SDA) yang melimpah salah satunya adalah bahan tambang terutama emas yang selama ini dikelola oleh koperasi dan masyarakat seperti di Kecamatan Kluet Tengah, Pasie Raja dan Sawang.

Disebutkan, pengelolaan emas masih dilakukan secara tradisonal dan menggunakan bahan kimia merkuri. Pengolahan secara tradisional ini ternyata memberikan nilai tambah bagi penghasilan masyarakat. Namun masalah lain muncul kemudian diantaranya masyarakat membuang limbah Merkuri hasil pengolahan emas di sembarangan tempat.

Dalam surat dengan nomor: 106/DE/WALHI Aceh/IX/2011 tertanggal 27 September 2011, perihal pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup diuraikan, kasus terakhir sejumlah pohon kelapa dan pohon rumbia di Desa Kampung Baru, Kecamatan Labuhan Haji, serta ikan peliharaan di Desa Alue Meutuah Meukek, mati diduga akibat limbah merkuri.

Bahkan sebelum Ramadhan lalu dua ekor ternak kerbau milik warga di Kecamatan Sawang, masing-masing seekor di Desa Meuligo dan seekor lagi di Desa Tring Meuduro, mati. Pembuangan limbah merkuri bahkan dilakukan di daerah pantai dan kawasan pemukiman padat. Hal ini  sangat berpotensi sekali merusak kesehatan masyarakat baik melalui kontak langsung dengan merkuri maupun melalui media air yang disebabkan oleh hujan dan air laut.

Disebutkan, jika limbah merkuri mencemari laut maka akan sangat mungkin menyebar ke daerah yang lebih luas, disamping itu ikan-ikan hasil tangkapan nelayan di daerah tersebut juga akan tercemar. Bila ikan tercemar dikonsumsi oleh manusia maka kandungan merkuri yang ada dalam ikan tersebut akan tinggal di dalam tubuh manusia dan merusak kesehatannya secara pelan-pelan namun pasti. Seperti kita ketahui bahwa merkuri adalah salah satu bahan yang berbahaya bagi tubuh manusia.

Jika hal di atas tidak ditanggulangi segera dan menyeluruh dikhawatirkan pembuangan limbah merkuri sembarangan di kemudian hari akan terulang kembali, dalam skala yang lebih luas dan semakin tidak terkendali. Selain itu pemerintah juga perlu menertibkan peredaran merkuri secara illegal yang marak terjadi di Aceh Selatan selama ini, karena berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 30/MPP/Kep/7/1997 Tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Importnya, distribusi, jual beli Merkuri harus terdaftar dan minimal melalui izin Bupati/Walikota dengan persyaratan kelayakan lingkungan hidup yang ketat.

Masalah lainnya yang tak kalah pentingnya adalah pembukaan areal kebun sawit masyarakat di kawasan rawa gambut tepatnya rawa Kluet dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil baik yang dilakukan secara mandiri maupun yang dibantu pembiayaannya melalui APBK Aceh Selatan. Memang benar program ini dilakukan untuk membuka peluang berusaha dan membantu peningkatan pendapatan masyarakat.

Namun perlu diingat rawa gambut adalah sebuah kawasan yang dilindungi karena memiliki peranan penting dalam pengendalian terhadap ketersediaan cadangan air baku baik untuk aktivitas rumah tangga maupun aktivitas lainnya seperti perikanan darat dan pertanian. Sawit dimana-mana telah membuktikan dirinya sebagai salah satu penyebab kekeringan bahkan di daerah rawa sekalipun karena memang sifat sawit yang mengkonsumsi banyak air dan perakarannya sulit untuk menyimpan air di dalam tanah.

Kita menduga ini akan menjadi bencana dikemudian hari bagi Aceh Selatan malah bisa dikatakan sebagai bencana yang direncanakan. Secara tegas UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan, pada pasal 13, dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah harus melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan kewenangan, peran dan tanggungjawabnya masing-masing.

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, WALHI Aceh meminta Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan agar bertindak tegas terhadap persoalan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) yang merusak dan mengundang bencana dan kerugian yang tidak sebanding dengan manfaat yang didapat oleh masyarakat Aceh Selatan. (*)

Kamis, 06 Oktober 2011

Limbah Merkuri mulai tercemar di Aceh

Thursday, 06 October 2011 18:50    PDF Print E-mail
Limbah Merkuri mulai tercemar di Aceh
Warta
WASPADA ONLINEBANDA ACEH  - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengemukakan limbah merkuri yang berasal dari penambangan emas tradisional di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, kini mulai mencemari lingkungan, sehingga perlu perhatian dari pemerintah setempat.
"Limbah merkuri ini berasal dari penambangan emas tradisional. Pencemaran terhadap limbah ini sudah mulai dirasakan masyarakat," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Kamis.

Berkaitan dengan itu, Walhi Aceh menyurati Bupati Aceh Selatan menyusul adanya limbah merkuri yang diduga sudah mencemari sejumlah kawasan di kabupaten itu. Menurut dia, merkuri merupakan bahan yang berbahaya bagi tubuh manusia. Apalagi terkontaminasi dalam sumber makanan, akan mempengaruhi kesehatan secara perlahan-lahan.

Ia mengatakan, sejumlah kasus akibat limbah merkuri tersebut mulai dirasakan, seperti matinya sejumlah pohon kelapa dan rumbia di Gampong (desa) Baru, Kecamatan Labuhan Haji, serta ikan peliharaan di Gampong Alue Meutuah, Kecamatan Meukek, diduga akibat limbah merkuri.

Tidak hanya itu, kata dia, sebelumnya dua ekor kerbau milik warga di Kecamatan Sawang, masing-masing seekor di Gampong Meuligo dan seekor lagi di Gampong Tring Meuduro, mati yang diduga karena limbah tersebut. Ia menyebutkan, di Aceh Selatan ada sejumlah titik tambang emas tradisional, yakni di Kecamatan Kluet Tengah, Pasie Raja dan Sawang.

Namun, limbah merkuri setelah digunakan mengolah emas dibuang sembarangan.

"Bahkan pembuangan limbah merkuri dilakukan di daerah pantai dan kawasan pemukiman padat. Hal ini berpotensi merusak kesehatan, baik kontak langsung maupun melalui media air yang disebabkan oleh hujan dan air laut," katanya.

Jika limbah merkuri mencemari laut, katanya, maka penyebarannya lebih luas. Di samping itu ikan-ikan hasil tangkapan nelayan juga akan tercemar. Bila ikan tercemar dikonsumsi, maka kandungan merkuri tertinggal di tubuh manusia. "Karena itu kami menyurati Bupati Aceh Selatan agar menertibkan penggunaan merkuri pada pengolahan emas di tambang-tambang emas tersebut," katanya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No 30/MPP/Kep/7/1997 tentang barang yang diatur tata niaga impornya, distribusi, jual beli merkuri harus terdaftar dan melalui izin kepala daerah dengan persyaratan kelayakan lingkungan hidup yang ketat. "Sebab itu, pemerintah daerah juga perlu menertibkan peredaran merkuri secara ilegal yang marak terjadi di Aceh Selatan. Jika ini dibiarkan, maka pencemaran limbah merkuri di kabupaten itu semakin tidak terkendali," kata TM Zulfikar.
(dat16/wol/antara)

Mencermati "Nasib" Pembangunan Aceh Pascamigas

Mencermati "Nasib" Pembangunan Aceh Pascamigas
Foto:bd-ant
Link:http://beritadaerah.com/article/sumatra/39977/32
(Berita Daerah-Sumatera) Pembangunan di Provinsi Aceh selama puluhan tahun berjalan sesuai harapan, meski masih banyak kebutuhan aspek sosial kemasyarakat belum tersentuh rakyat banyak seperti sektor pertanian di daerah tersebut.

Kemajuan itu boleh jadi karena didukung pendanaan dari industri minyak dan gas (migas) dan terakhir bagi hasil berdasarkan Undang-Undang (UU) No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) setelah ada kesepakatan damai (MoU) Helsinki.

Namun kini, setelah berjalan beberapa tahun (bagi hasil), banyak kalangan mengkhawatirkan Aceh bakal "bangkrut" jika tidak segera mencari sumber lain sebagai potensi pendapatan untuk membangun provinsi itu, menyusul bakal berakhirnya era migas.

Di era otonomi khusus (otsus) Aceh selama ini, pendapatan Aceh dari bagi hasil migas lumayan besar, triliunan rupiah setiap tahunnya untuk membiayai proyek pembangunan di 23 kabupaten/kota di provinsi tersebut.

Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh awal April 2011 mencatat nilai ekspor Aceh pada Januari 2011 turun sebesar 1,5 juta dolar AS dibanding Desember 2010 yang mencapai 116 juta dolar AS karena menurunnya ekspor migas sebesar 2,14 persen.

Kekhawatiran era "keemasan" Aceh bakal berakhir menyusul turunnya produksi migas itu juga diutarakan Wakil gubernur (Wagub) Muhammad Nazar.

Karenanya, ia mengajak masyarakat membangun kembali sektor pertanian dan perikanan sebagai persiapan menghadapi semakin menurunnya pendapatan dari minyak dan gas di provinsi itu.

"Sudah saatnya melirik usaha bidang pertanian dan perikanan karena potensinya masih cukup besar di Aceh. Apalagi pendapatan sektor migas akan terus menurun karena semakin habisnya sumber daya alam itu," katanya.

Pada seminar bertema "Sistem Pasar yang Berpihak Kepada Peningkatan Pendapatan Petani Rakyat Melalui Perbaikan Produktivitas serta Kualitas Bahan Olah Karet Rakyat" yang digelar "Swiss Contact" dan "Kuala Simpang Development Aid (KDA)" di Aceh Tamiang, ia menyatakan era migas Aceh akan berakhir.

Muhammad Nazar mengatakan, selama ini tidak sedikit masyarakat masih bermimpi dengan kekayaan migas, pertambangan dan mineral lainnya. Masyarakat dengan bangga bercerita tentang migas selama puluhan tahun seperti di Aceh Utara dan Aceh Timur.

"Di tengah cerita romantis migas dan pertambangan itu masyarakat terus jatuh dalam kemiskinan, terutama mereka yang berdomisili di dekat industri migas, sementara sektor pertanian dan maritim terabaikan," katanya menambahkan.

Di pihak lain, masyarakat Aceh perlu juga mengetahui bahwa pengelolaan sektor migas dan pertambangan tidak bisa secara langsung melibatkan masyarakat karena menggunakan teknologi tinggi, padat modal, swasta besar dan pemerintahan.

Ia mengajak dunia usaha, kalangan perbankan serta pemerintah untuk segera mentransformasikan seluruh sisi kehidupan, termasuk cara berfikir, berperilaku, bertindak dan mengembalikan pembangunan ekonomi kepada pengutamaan ekonomi pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan dan perikanan atau maritim.

"Mari kita kembali ke ekonomi pertanian dan maritim, serta jadikan sebagai bisnis utama, bukan lagi kerja sampingan," kata Muhammad Nazar.

Wagub juga mengatakan, jika perekonomian Aceh bisa tumbuh baik, maka sudah saatnya provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa tersebut melepaskan diri dari ketergantungan dengan Sumatera Utara (Sumut).

"Ketergantungan Aceh kepada Medan selama ini terutama industri prosessing, hilir dan pemasaran memang bukan kesalahan Medan, tetapi strategi pembangunan ekonomi diatur pusat yang menempatkan Aceh di bawah rencana induk pembangunan ekonomi Sumbagut (Sumut, Aceh & Sumbar)," katanya.

Sementara itu, seorang pengusaha muda Aceh, Fakhrizal Murphy mengharapkan pemerintah segera membuat master plan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan keterlibatan semua pihak, termasuk swasta.

Ia berpendapat pemerintah tidak perlu gamang dalam menghadapi era migas, sebab masih banyak potensi ekonomi lain yang siap dan mampu menjadi sumber pendapatan baru untuk pembiayaan pembangunan di wilayah ini.

Sektor perikanan, perkebunan dan pertanian diyakini masih memiliki potensi yang mampu menggerakkan perekonomian Aceh pascamigas.

"Akan tetapi, yang paling penting untuk menggerakkan sektor tersebut maka pemerintah harus fokus dan berkelanjutan dalam memberdayakan bidang pertanian, perikanan, dan perkebunan," kata dia.

Yang tidak kalah penting, Fakhrizal yang juga Ketua DPD HIPMI Aceh itu menyatakan diperlukan dukungan semua pihak khususnya legislatif menggerakkan program pemerintah dalam upaya membangkitkan pertumbuhan ekonomi dari sektor-sektor tersebut.

Selain itu, Aceh pascamigas juga diperlukan komitmen serius dari pemerintah untuk mendatangkan dan memberikan jaminan kepada para investor agar mereka bisa nyaman berinvestasi di Aceh.

Dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, kata dia, industri prosesing bisa berkembang jika investor yang sudah beraktivitas di Aceh tidak terusik, misalnya dengan aksi pungli atau birokrasi yang berbelit-belit.

"Artinya, Aceh pascamigas bisa lebih maju meski tanpa ekploitasi tambang. Sebab, jika kita hanya berfikir dan melirik kekayaan perut bumi sebagai satu-satunya pendapatan pascamigas, maka persoalan jangka panjang yang akan timbul adalah masalah lingkungan dan bencana alam," kata Fakhrizal.

Selektif


Tidak keliru juga jika memang pemerintah tetap melirik sektor pertambangan sebagai sumber pembiayaan pembangunan Aceh pascamigas, tapi harus selektif sehingga tidak menimbulkan malapeta dari kegiatan ekploitasi "dalam perut bumi" itu.

Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh Taf Haikal, berpendapat Pemerintah Aceh harus lebih selektif mengeluarkan izin bagi investor yang berminat melakukan eksploitasi hasil pertambangan, khususnya di kawasan pantai barat dan selatan provinsi itu.

"Saya mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dan selektif, jangan sampai eksploitasi hasil tambang dapat berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan," katanya.

Menurut dia, kerusakan lingkungan tidak bisa dihindari jika eksploitasi hasil tambang tidak terkendali, apalagi sampai merambah kawasan lindung khususnya di pesisir barat dan selatan provinsi ujung paling barat Indonesia itu.

"Kalau masa lalu, kawasan pesisir barat dan selatan Aceh rusak akibat penebangan kawasan hutan, namun kini tentunya tidak mau lagi menjadi korban sebagai dampak dari eksploitasi hasil tambang," kata dia menjelaskan.

Pesisir barat dan selatan, khususnya wilayah Kabupaten Aceh Selatan topografi alamnya pegunungan yang sebagian besar desa dan kecamatan berada dipinggir laut, ujar Taf Haikal.

"Topograsi Aceh Selatan itu sangat rawan bencana jika pemerintah tidak melihat faktor tersebut ketika memberikan perizinan untuk eksploitasi hasil tambang," katanya menambahkan.

Disebutkan, saat ini sejumlah perusahaan tambang bijih besi dan emas telah beroperasi di wilayah Aceh Selatan, antara lain di Kecamatan Trumon, Manggamat dan Sawang.

Oleh karenanya, Taf Haikal yang juga aktivis forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh itu mengatakan bencana banjir dan tanah ongsor yang diakibatkan sebagai dampak perambahan hutan secara tidak terkendali masa lampau tidak diharapkan terjadi lagi.

"Masyarakat secara luas tentunya tidak mengharapkan investasi di daerahnya bisa berdampak buruk terhadap lingkungan hidup," kata dia.

Menurut dia, ada upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk peningkatan pendapatan daerah (PAD), misalnya melalui pemberdayaan sektor perkebunan, perikanan dan pertanian khususnya di Aceh Selatan.

Aceh Selatan dengan komoditas perkebunan unggulan pala dan nilam, menurut dia pemerintah harus fokus membangun sektor tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tolak tambang

sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mendukung sepenuhnya upaya masyarakat Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) menolak kehadiran perusahaan tambang guna mencegah kerusakan hutan dan alam sekitarnya.

"Pernyataan masyarakat menolak kehadiran perusahaan tambang di daerah mereka sudah tepat dan kami mendukung penolakan tersebut," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar.

Warga dari sejumlah gampong (desa) di Kabupaten Aceh Barat Daya, mengirimkan surat kepada Gubernur Aceh, yang intinya menolak kehadiran perusahaan tambang bijih besi di wilayah mereka.

Dalam surat itu, katanya, masyarakat mendesak Gubernur Aceh tidak mengeluarkan izin apapun terkait aktivitas pertambangan karena keberadaannya membawa petaka.

Menurut dia, penolakan tersebut telah menumbuh kesadaran kolektif masyarakat dalam mencegah kerusakan alam, sehingga terhindar dari potensi bencana.

"Kami pernah berdialog dengan pemuka masyarakat di sejumlah gampong di Kabupaten Aceh Barat Daya. Masyarakat sepakat menolak bila daerahnya dieksploitasi dan hancur atas nama pertumbuhan ekonomi semu," sebut dia.

Sementara itu, Kepala Divisi Penguatan Organisasi dan Jaringan Walhi Aceh M Nur mengatakan, dirinya bersama seratusan warga di sejumlah gampong di Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya, itu pernah mengkaji bahaya tambang.

"Walhi Aceh menjelaskan apa itu tambang dan dampak yang akan terjadi beserta bukti-buktinya, sehingga masyarakat sepakat untuk menolak dengan risiko apapun," katanya.

Selain itu, kata dia, alasan penolakan itu juga diperkuat dengan kekhawatiran terhadap aktivitas penambangan di Pegunungan Pucok Krueng, Gampong Alue Sungai Pinang, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya.

"Masyarakat mengkhawatirkan hancurnya kawasan hutan sebagai penyimpan air. Bisa dibayangkan bila sumber air rusak dan tercemar," tandas dia.

Oleh karena itu, kata M Nur, Walhi Aceh akan terus membangun kesadaran masyarakat agar peduli dengan kelestarian lingkungan hidup di wilayah mereka.

"Jangan sampai masyarakat baru sadar ketika keberadaan tambang sudah menjadi bencana. Lebih baik mencegah daripada mengizinkan aktivitas tambang yang menjadi sumber petaka," pungkas M Nur.

Seorang aktivis mahasiswa di Aceh Teuku Syamsinahya, menilai eksploitasi tambang bukan juga sebuah solusi untuk kesejahteraan masyarakat tapi telah berdampak negatif terhadap lingkungan.

Syamsinahya dalam orasinya menilai operasional perusahaan pertambangan di Bakongan Timur dan Trumon berpotensi terjadinya bencana alam dan kerusakan lingkungan.

"Karenanya kami menilai untuk mencegah bencana alam di Aceh Selatan maka kami minta cabut izin pertambangan, dan masih banyak potensi SDA lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat," katanya dalam aksi unjuk rasa belum lama ini.
(dn/DN/bd-ant)

Walhi: Limbah Merkuri Mulai Tercemar Di Aceh

Walhi: Limbah Merkuri Mulai Tercemar Di Aceh

Link:http://www.antara-aceh.com/Banda-Raya/walhi-limbah-merkuri-mulai-tercemar-di-aceh.html
Banda Aceh, 6/10 (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengemukakan limbah merkuri yang berasal dari penambangan emas tradisional di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, kini mulai mencemari lingkungan, sehingga perlu perhatian dari pemerintah setempat.
"Limbah merkuri ini berasal dari penambangan emas tradisional. Pencemaran terhadap limbah ini sudah mulai dirasakan masyarakat," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Kamis.
Berkaitan dengan itu, Walhi Aceh menyurati Bupati Aceh Selatan menyusul adanya limbah merkuri yang diduga sudah mencemari sejumlah kawasan di kabupaten itu.
Menurut dia, merkuri merupakan bahan yang berbahaya bagi tubuh manusia. Apalagi terkontaminasi dalam sumber makanan, akan mempengaruhi kesehatan secara perlahan-lahan.
Ia mengatakan, sejumlah kasus akibat limbah merkuri tersebut mulai dirasakan, seperti matinya sejumlah pohon kelapa dan rumbia di Gampong (desa) Baru, Kecamatan Labuhan Haji, serta ikan peliharaan di Gampong Alue Meutuah, Kecamatan Meukek, diduga akibat limbah merkuri.
Tidak hanya itu, kata dia, sebelumnya dua ekor kerbau milik warga di Kecamatan Sawang, masing-masing seekor di Gampong Meuligo dan seekor lagi di Gampong Tring Meuduro, mati yang diduga karena limbah tersebut.
Ia menyebutkan, di Aceh Selatan ada sejumlah titik tambang emas tradisional, yakni di Kecamatan Kluet Tengah, Pasie Raja dan Sawang. Namun, limbah merkuri setelah digunakan mengolah emas dibuang sembarangan.
"Bahkan pembuangan limbah merkuri dilakukan di daerah pantai dan kawasan pemukiman padat. Hal ini berpotensi merusak kesehatan, baik kontak langsung maupun melalui media air yang disebabkan oleh hujan dan air laut," katanya.
Jika limbah merkuri mencemari laut, katanya, maka penyebarannya lebih luas. Di samping itu ikan-ikan hasil tangkapan nelayan juga akan tercemar. Bila ikan tercemar dikonsumsi, maka kandungan merkuri tertinggal di tubuh manusia.
"Karena itu kami menyurati Bupati Aceh Selatan agar menertibkan penggunaan merkuri pada pengolahan emas di tambang-tambang emas tersebut," katanya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No 30/MPP/Kep/7/1997 tentang barang yang diatur tata niaga impornya, distribusi, jual beli merkuri harus terdaftar dan melalui izin kepala daerah dengan persyaratan kelayakan lingkungan hidup yang ketat.
"Sebab itu, pemerintah daerah juga perlu menertibkan peredaran merkuri secara ilegal yang marak terjadi di Aceh Selatan. Jika ini dibiarkan, maka pencemaran limbah merkuri di kabupaten itu semakin tidak terkendali," kata TM Zulfikar.

Hutan Rusak Parah, Walhi Somasi Bupati Aceh Selatan

Hutan Rusak Parah, Walhi Somasi Bupati Aceh Selatan
Oleh : Mahdi Andela | 07-Okt-2011, 08:26:47 WIB

KabarIndonesia - Menyikapi semakin parahnya kerusakan hutan di Kabupaten Aceh Selatan, Eksekutif Daerah WALHI Aceh mengirim surat ke Bupati Aceh Selatan. Dalam surat yang ditembuskan ke Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Gubernur Propinsi Aceh, Kapolda Aceh dan Pangdam Iskandarmuda itu WALHI Aceh menguraikan bahwa Aceh Selatan terkenal dengan Sumberdaya Alamnya (SDA) yang melimpah salah satunya adalah bahan tambang terutama emas yang selama ini dikelola oleh koperasi dan masyarakat seperti di Kecamatan Kluet Tengah, Pasie Raja dan Sawang.

Disebutkan, pengelolaan emas masih dilakukan secara tradisonal dan menggunakan bahan kimia merkuri. Pengolahan secara tradisional ini ternyata memberikan nilai tambah bagi penghasilan masyarakat. Namun masalah lain muncul kemudian diantaranya masyarakat membuang limbah Merkuri hasil pengolahan emas di sembarangan tempat.

Dalam surat dengan nomor: 106/DE/WALHI Aceh/IX/2011 tertanggal 27 September 2011, perihal pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup diuraikan, kasus terakhir sejumlah pohon kelapa dan pohon rumbia di Desa Kampung Baru, Kecamatan Labuhan Haji, serta ikan peliharaan di Desa Alue Meutuah Meukek, mati diduga akibat limbah merkuri.

Bahkan sebelum Ramadhan lalu dua ekor ternak kerbau milik warga di Kecamatan Sawang, masing-masing seekor di Desa Meuligo dan seekor lagi di Desa Tring Meuduro, mati. Pembuangan limbah merkuri bahkan dilakukan di daerah pantai dan kawasan pemukiman padat. Hal ini  sangat berpotensi sekali merusak kesehatan masyarakat baik melalui kontak langsung dengan merkuri maupun melalui media air yang disebabkan oleh hujan dan air laut.

Disebutkan, jika limbah merkuri mencemari laut maka akan sangat mungkin menyebar ke daerah yang lebih luas, disamping itu ikan-ikan hasil tangkapan nelayan di daerah tersebut juga akan tercemar. Bila ikan tercemar dikonsumsi oleh manusia maka kandungan merkuri yang ada dalam ikan tersebut akan tinggal di dalam tubuh manusia dan merusak kesehatannya secara pelan-pelan namun pasti. Seperti kita ketahui bahwa merkuri adalah salah satu bahan yang berbahaya bagi tubuh manusia.

Jika hal di atas tidak ditanggulangi segera dan menyeluruh dikhawatirkan pembuangan limbah merkuri sembarangan di kemudian hari akan terulang kembali, dalam skala yang lebih luas dan semakin tidak terkendali. Selain itu pemerintah juga perlu menertibkan peredaran merkuri secara illegal yang marak terjadi di Aceh Selatan selama ini, karena berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 30/MPP/Kep/7/1997 Tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Importnya, distribusi, jual beli Merkuri harus terdaftar dan minimal melalui izin Bupati/Walikota dengan persyaratan kelayakan lingkungan hidup yang ketat.

Masalah lainnya yang tak kalah pentingnya adalah pembukaan areal kebun sawit masyarakat di kawasan rawa gambut tepatnya rawa Kluet dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil baik yang dilakukan secara mandiri maupun yang dibantu pembiayaannya melalui APBK Aceh Selatan. Memang benar program ini dilakukan untuk membuka peluang berusaha dan membantu peningkatan pendapatan masyarakat.

Namun perlu diingat rawa gambut adalah sebuah kawasan yang dilindungi karena memiliki peranan penting dalam pengendalian terhadap ketersediaan cadangan air baku baik untuk aktivitas rumah tangga maupun aktivitas lainnya seperti perikanan darat dan pertanian. Sawit dimana-mana telah membuktikan dirinya sebagai salah satu penyebab kekeringan bahkan di daerah rawa sekalipun karena memang sifat sawit yang mengkonsumsi banyak air dan perakarannya sulit untuk menyimpan air di dalam tanah.

Kita menduga ini akan menjadi bencana dikemudian hari bagi Aceh Selatan malah bisa dikatakan sebagai bencana yang direncanakan. Secara tegas UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan, pada pasal 13, dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah harus melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan kewenangan, peran dan tanggungjawabnya masing-masing.

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, WALHI Aceh meminta Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan agar bertindak tegas terhadap persoalan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) yang merusak dan mengundang bencana dan kerugian yang tidak sebanding dengan manfaat yang didapat oleh masyarakat Aceh Selatan. (*)