Kamis, 20 Oktober 2011

Mencermati "Nasib" Pembangunan Aceh Pascamigas

Mencermati "Nasib" Pembangunan Aceh Pascamigas
Foto:bd-ant
Link:http://beritadaerah.com/article/sumatra/39977/32
(Berita Daerah-Sumatera) Pembangunan di Provinsi Aceh selama puluhan tahun berjalan sesuai harapan, meski masih banyak kebutuhan aspek sosial kemasyarakat belum tersentuh rakyat banyak seperti sektor pertanian di daerah tersebut.

Kemajuan itu boleh jadi karena didukung pendanaan dari industri minyak dan gas (migas) dan terakhir bagi hasil berdasarkan Undang-Undang (UU) No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) setelah ada kesepakatan damai (MoU) Helsinki.

Namun kini, setelah berjalan beberapa tahun (bagi hasil), banyak kalangan mengkhawatirkan Aceh bakal "bangkrut" jika tidak segera mencari sumber lain sebagai potensi pendapatan untuk membangun provinsi itu, menyusul bakal berakhirnya era migas.

Di era otonomi khusus (otsus) Aceh selama ini, pendapatan Aceh dari bagi hasil migas lumayan besar, triliunan rupiah setiap tahunnya untuk membiayai proyek pembangunan di 23 kabupaten/kota di provinsi tersebut.

Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh awal April 2011 mencatat nilai ekspor Aceh pada Januari 2011 turun sebesar 1,5 juta dolar AS dibanding Desember 2010 yang mencapai 116 juta dolar AS karena menurunnya ekspor migas sebesar 2,14 persen.

Kekhawatiran era "keemasan" Aceh bakal berakhir menyusul turunnya produksi migas itu juga diutarakan Wakil gubernur (Wagub) Muhammad Nazar.

Karenanya, ia mengajak masyarakat membangun kembali sektor pertanian dan perikanan sebagai persiapan menghadapi semakin menurunnya pendapatan dari minyak dan gas di provinsi itu.

"Sudah saatnya melirik usaha bidang pertanian dan perikanan karena potensinya masih cukup besar di Aceh. Apalagi pendapatan sektor migas akan terus menurun karena semakin habisnya sumber daya alam itu," katanya.

Pada seminar bertema "Sistem Pasar yang Berpihak Kepada Peningkatan Pendapatan Petani Rakyat Melalui Perbaikan Produktivitas serta Kualitas Bahan Olah Karet Rakyat" yang digelar "Swiss Contact" dan "Kuala Simpang Development Aid (KDA)" di Aceh Tamiang, ia menyatakan era migas Aceh akan berakhir.

Muhammad Nazar mengatakan, selama ini tidak sedikit masyarakat masih bermimpi dengan kekayaan migas, pertambangan dan mineral lainnya. Masyarakat dengan bangga bercerita tentang migas selama puluhan tahun seperti di Aceh Utara dan Aceh Timur.

"Di tengah cerita romantis migas dan pertambangan itu masyarakat terus jatuh dalam kemiskinan, terutama mereka yang berdomisili di dekat industri migas, sementara sektor pertanian dan maritim terabaikan," katanya menambahkan.

Di pihak lain, masyarakat Aceh perlu juga mengetahui bahwa pengelolaan sektor migas dan pertambangan tidak bisa secara langsung melibatkan masyarakat karena menggunakan teknologi tinggi, padat modal, swasta besar dan pemerintahan.

Ia mengajak dunia usaha, kalangan perbankan serta pemerintah untuk segera mentransformasikan seluruh sisi kehidupan, termasuk cara berfikir, berperilaku, bertindak dan mengembalikan pembangunan ekonomi kepada pengutamaan ekonomi pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan dan perikanan atau maritim.

"Mari kita kembali ke ekonomi pertanian dan maritim, serta jadikan sebagai bisnis utama, bukan lagi kerja sampingan," kata Muhammad Nazar.

Wagub juga mengatakan, jika perekonomian Aceh bisa tumbuh baik, maka sudah saatnya provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa tersebut melepaskan diri dari ketergantungan dengan Sumatera Utara (Sumut).

"Ketergantungan Aceh kepada Medan selama ini terutama industri prosessing, hilir dan pemasaran memang bukan kesalahan Medan, tetapi strategi pembangunan ekonomi diatur pusat yang menempatkan Aceh di bawah rencana induk pembangunan ekonomi Sumbagut (Sumut, Aceh & Sumbar)," katanya.

Sementara itu, seorang pengusaha muda Aceh, Fakhrizal Murphy mengharapkan pemerintah segera membuat master plan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan keterlibatan semua pihak, termasuk swasta.

Ia berpendapat pemerintah tidak perlu gamang dalam menghadapi era migas, sebab masih banyak potensi ekonomi lain yang siap dan mampu menjadi sumber pendapatan baru untuk pembiayaan pembangunan di wilayah ini.

Sektor perikanan, perkebunan dan pertanian diyakini masih memiliki potensi yang mampu menggerakkan perekonomian Aceh pascamigas.

"Akan tetapi, yang paling penting untuk menggerakkan sektor tersebut maka pemerintah harus fokus dan berkelanjutan dalam memberdayakan bidang pertanian, perikanan, dan perkebunan," kata dia.

Yang tidak kalah penting, Fakhrizal yang juga Ketua DPD HIPMI Aceh itu menyatakan diperlukan dukungan semua pihak khususnya legislatif menggerakkan program pemerintah dalam upaya membangkitkan pertumbuhan ekonomi dari sektor-sektor tersebut.

Selain itu, Aceh pascamigas juga diperlukan komitmen serius dari pemerintah untuk mendatangkan dan memberikan jaminan kepada para investor agar mereka bisa nyaman berinvestasi di Aceh.

Dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, kata dia, industri prosesing bisa berkembang jika investor yang sudah beraktivitas di Aceh tidak terusik, misalnya dengan aksi pungli atau birokrasi yang berbelit-belit.

"Artinya, Aceh pascamigas bisa lebih maju meski tanpa ekploitasi tambang. Sebab, jika kita hanya berfikir dan melirik kekayaan perut bumi sebagai satu-satunya pendapatan pascamigas, maka persoalan jangka panjang yang akan timbul adalah masalah lingkungan dan bencana alam," kata Fakhrizal.

Selektif


Tidak keliru juga jika memang pemerintah tetap melirik sektor pertambangan sebagai sumber pembiayaan pembangunan Aceh pascamigas, tapi harus selektif sehingga tidak menimbulkan malapeta dari kegiatan ekploitasi "dalam perut bumi" itu.

Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh Taf Haikal, berpendapat Pemerintah Aceh harus lebih selektif mengeluarkan izin bagi investor yang berminat melakukan eksploitasi hasil pertambangan, khususnya di kawasan pantai barat dan selatan provinsi itu.

"Saya mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dan selektif, jangan sampai eksploitasi hasil tambang dapat berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan," katanya.

Menurut dia, kerusakan lingkungan tidak bisa dihindari jika eksploitasi hasil tambang tidak terkendali, apalagi sampai merambah kawasan lindung khususnya di pesisir barat dan selatan provinsi ujung paling barat Indonesia itu.

"Kalau masa lalu, kawasan pesisir barat dan selatan Aceh rusak akibat penebangan kawasan hutan, namun kini tentunya tidak mau lagi menjadi korban sebagai dampak dari eksploitasi hasil tambang," kata dia menjelaskan.

Pesisir barat dan selatan, khususnya wilayah Kabupaten Aceh Selatan topografi alamnya pegunungan yang sebagian besar desa dan kecamatan berada dipinggir laut, ujar Taf Haikal.

"Topograsi Aceh Selatan itu sangat rawan bencana jika pemerintah tidak melihat faktor tersebut ketika memberikan perizinan untuk eksploitasi hasil tambang," katanya menambahkan.

Disebutkan, saat ini sejumlah perusahaan tambang bijih besi dan emas telah beroperasi di wilayah Aceh Selatan, antara lain di Kecamatan Trumon, Manggamat dan Sawang.

Oleh karenanya, Taf Haikal yang juga aktivis forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh itu mengatakan bencana banjir dan tanah ongsor yang diakibatkan sebagai dampak perambahan hutan secara tidak terkendali masa lampau tidak diharapkan terjadi lagi.

"Masyarakat secara luas tentunya tidak mengharapkan investasi di daerahnya bisa berdampak buruk terhadap lingkungan hidup," kata dia.

Menurut dia, ada upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk peningkatan pendapatan daerah (PAD), misalnya melalui pemberdayaan sektor perkebunan, perikanan dan pertanian khususnya di Aceh Selatan.

Aceh Selatan dengan komoditas perkebunan unggulan pala dan nilam, menurut dia pemerintah harus fokus membangun sektor tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tolak tambang

sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mendukung sepenuhnya upaya masyarakat Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) menolak kehadiran perusahaan tambang guna mencegah kerusakan hutan dan alam sekitarnya.

"Pernyataan masyarakat menolak kehadiran perusahaan tambang di daerah mereka sudah tepat dan kami mendukung penolakan tersebut," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar.

Warga dari sejumlah gampong (desa) di Kabupaten Aceh Barat Daya, mengirimkan surat kepada Gubernur Aceh, yang intinya menolak kehadiran perusahaan tambang bijih besi di wilayah mereka.

Dalam surat itu, katanya, masyarakat mendesak Gubernur Aceh tidak mengeluarkan izin apapun terkait aktivitas pertambangan karena keberadaannya membawa petaka.

Menurut dia, penolakan tersebut telah menumbuh kesadaran kolektif masyarakat dalam mencegah kerusakan alam, sehingga terhindar dari potensi bencana.

"Kami pernah berdialog dengan pemuka masyarakat di sejumlah gampong di Kabupaten Aceh Barat Daya. Masyarakat sepakat menolak bila daerahnya dieksploitasi dan hancur atas nama pertumbuhan ekonomi semu," sebut dia.

Sementara itu, Kepala Divisi Penguatan Organisasi dan Jaringan Walhi Aceh M Nur mengatakan, dirinya bersama seratusan warga di sejumlah gampong di Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya, itu pernah mengkaji bahaya tambang.

"Walhi Aceh menjelaskan apa itu tambang dan dampak yang akan terjadi beserta bukti-buktinya, sehingga masyarakat sepakat untuk menolak dengan risiko apapun," katanya.

Selain itu, kata dia, alasan penolakan itu juga diperkuat dengan kekhawatiran terhadap aktivitas penambangan di Pegunungan Pucok Krueng, Gampong Alue Sungai Pinang, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya.

"Masyarakat mengkhawatirkan hancurnya kawasan hutan sebagai penyimpan air. Bisa dibayangkan bila sumber air rusak dan tercemar," tandas dia.

Oleh karena itu, kata M Nur, Walhi Aceh akan terus membangun kesadaran masyarakat agar peduli dengan kelestarian lingkungan hidup di wilayah mereka.

"Jangan sampai masyarakat baru sadar ketika keberadaan tambang sudah menjadi bencana. Lebih baik mencegah daripada mengizinkan aktivitas tambang yang menjadi sumber petaka," pungkas M Nur.

Seorang aktivis mahasiswa di Aceh Teuku Syamsinahya, menilai eksploitasi tambang bukan juga sebuah solusi untuk kesejahteraan masyarakat tapi telah berdampak negatif terhadap lingkungan.

Syamsinahya dalam orasinya menilai operasional perusahaan pertambangan di Bakongan Timur dan Trumon berpotensi terjadinya bencana alam dan kerusakan lingkungan.

"Karenanya kami menilai untuk mencegah bencana alam di Aceh Selatan maka kami minta cabut izin pertambangan, dan masih banyak potensi SDA lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat," katanya dalam aksi unjuk rasa belum lama ini.
(dn/DN/bd-ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar