Rabu, 25 Juli 2012


Walhi Aceh Surati Panglima TNI Terkait Introgasi Terhadap Geuchik Ibduh

Minggu, 10 Juni 2012 00:15 WIB
BOY NASHRUDDIN AGUS

BANDA ACEH – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Aceh sudah menyurati Panglima TNI terkait adanya introgasi yang dilakukan Komadan Rayon Militer (Danramil) Darul Makmur terhadap Geuchik Ibduh, pelapor PT. Kalista Alam ke Bareskrim Mabes Polri.
Hal ini diungkap Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, Sabtu 9 Juni 2012.
Menurutnya, adanya introgasi yang dilakukan Danramil Darul Makmur tersebut menguatkan dugaan adanya keterlibatan pihak TNI dalam pengamanan perusahaan Kalista Alam yang beroperasi di Kawasan Ekosistem Rawa Tripa, Nagan Raya.
Lanjut dia, pihaknya juga sudah menyurati Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi Geuchik Ibduh atas hal-hal yang tidak diinginkan. TM Zulfikar juga mengatakan, adanya keterlibatan TNI di lapangan tersebut dikhawatirkan akan mengganggu proses hukum yang sedang berjalan terkait penyelidikan terhadap Kalista Alam.
“Lagi pula menurut investigasi yang dilakukan Walhi langsung ke lapangan, kami menemukan adanya pos-pos TNI dan polisi yang berada di sekitar kawasan Ekosistem Rawa Tripa. Besar dugaan, adanya pos-pos ini untuk mengamankan pekerjaan perusahaan tersebut. Kami punya fotonya,” jelas dia.
Keberadaan pos-pos ini, katanya, sangat mengkhawatirkan dikarenakan dalam pandangan Walhi seharusnya pos-pos TNI dan Polri baru bisa didirikan kalau proyek tersebut termasuk ke dalam proyek vital pemerintah. Sementara untuk kasus ini, sebutnya, Kalista Alam adalah perusahaan swasta.
“Jadi aneh menurut kami dengan adanya keberadaan pos-pos tersebut. Karenanya, kami berinisiatif menyurati Panglima TNI tentang hal ini selain menyurati LPSK,” tambah dia.
TM Zulfikar juga mengatakan Walhi juga akan mengajukan surat ke Mabes Polri menyikapi adanya introgasi dan ancaman terhadap Geuchik Ibdih tersebut. Tapi, lanjutnya, pihaknya sedang menunggu proses hukum yang sedang berjalan dulu.
Selain itu, Walhi Aceh berharap adanya kesadaran TNI untuk tidak terlibat dalam kasus ini. Karena katanya, TNI seharusnya berfungsi sebagai pasukan pertahanan negara, tugasnya mengamankan dan melindungi rakyat.
“Bukan sebagai musuh rakyat dan petugas yang menakut-nakuti rakyat. Jangan menganggap rakyat sebagai musuh lah,” tutup TM Zulfikar.[]

Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar: Adipura, Jangan Adi Pura-pura

Sabtu, 09 Juni 2012 09:00 WIB
Link: http://atjehpost.com/read/2012/06/09/11334/15/5/Direktur-Walhi-Aceh-TM-Zulfikar-Adipura-Jangan-Adi-Pura-pura-
TAUFAN MUSTAFA
BANDA ACEH - Penghargaan Adipura dinilai belum layak diberikan bagi Kota Banda Aceh. Pernyataan ini disampaikan Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar pada The Atjeh Post, Jumat 8 Juni 2012.
Zulfikar mengatakan, melihat tingkat kebersihan dan tata ruang kota, Banda Aceh belum layak mendapatkan Adipura. Itu sebabnya, dia menduga penghargaan prestisius tersebut didapat justru dari proses lobi lobi saja. “Melihat kenyataan yang ada, Adipura itu seperti Adi pura-pura,” katanya.
Dari sisi kebersihan,misalnya.  Ambil contoh di ruang-ruang publik, seperti pasar. “Itukan sangat semraut dan kotor. Kemudian hampir di setiap wilayah kota Banda Aceh terdapat kesemrautan, baik itu dari sisi pengendara sepeda motor, mobil, kemudian dari sisi taman hutan kota, ada istilahnya ruang terbuka hijau, itu masih jauh dari harapan, jadi kalau ruang terbuka hijau saja di Banda Aceh ini kan belum sampai 10  persen dari 30 persen yang di wajibkan," katanya.
Indikator-indikator ini, kata dia, menjelaskan bahwa Banda Aceh belum layak meraih Adipura. Seharusnya, kata dia, untuk meraih Adipura harus dengan indikator yang jelas. Seperti, tingkat kebersihannya berapa persen? ruang terbuka hijaunya sudah mencapai berapa persen? “Hal-hal sepeti ini yang tidak tergambarkan,” katanya. "Janganlah Adipura jadi Adi pura-pura, ini yang kita tidak mau, jangan hanya sekedar menampakkan ke publik, tapi kenyataannya tidak seperti itu."

Contoh lain, kata dia, sistem perparkiran yang sampai saat ini belum tertata dengan baik. Kemudian hewan ternak yang masih banyak keliaran di dalam kota. “Ini bukan saja tak sedap dipandang, tapi juga bisa memakan korban nantinya," katanya. Lihat juga sungai-sungai di Banda Aceh yang umumnya sudah tercemar, baik oleh limbah industri kecil seperti pabrik tahu, orang mecuci pakaian, limbah doorsmer sampai orang membuang sampah langsung ke sungai. “Itu seperti apa penanganannya, kok dibiarkan saja?,” katanya.
Kemudian, kata Zulfikar, saat ini untuk izin mendirikan bangunan juga tidak jelas dimana mana toko yang di bangun tak sesuai dengan tata kota, bahkan cederung melanggar aturan. “Ini juga penting untuk di lihat kembali baik oleh legislatif maupun pemerintah kota, jangan lah seharusya kawasan perkantoran di jadikan pertokoan," katanya.
Itulah sebabnya, kata Zulfikar, kondisi ini menjadi pekerjaan rumah walikota terpilih lima tahun ke depan. Diantaranya, kata dia, pemerintah harus banyak melakukan penguatan kapasitas terhadap masyarakat agar lebih sadar terhadap lingkungan.  []
 0 0
 

Terjadi Intimidasi Terhadap Aktivis Penyelamat Rawa Tripa
Muhammad | The Globe Journal
Senin, 04 Juni 2012 08:57 WIB
Banda Aceh - Salah satu lembaga anggota Tim Koordinasi penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan masyarakat pro penyelamatan Rawa Tripa mendapat intimidasi dan tekanan dari pihak – pihak yang tidak senang atas perjuangan penyelataman Rawa Tripa. Hal ini terungkap dalam dalam rapat evaluasi TKPRT yang dilaksanakan beberapa waktu lalu (30/5) di Banda Aceh.
Pertemuan yang dihadiri semua anggota TKPRT dan Forum Tata Ruang Sumatera (For-Trust) terungkap adanya tekanan yang dilakukan oleh pihak ketiga dilakukan dengan metode dan intrik propaganda yang memanfaatkan sisi lemah masyarakat serta memanfaatkan sisi lemah oknum petugas pengamanan.
"Teori pembusukan” dimainkan pihak yang tidak senang dengan perjuangan kami sehingga beberapa staff yang bekerja pada lembaga anggota TKPRT merasa tidak nyaman dalam bekerja,"kata juru bicara TKPRT Irsadi Aristora kepada The Globe Journal, Senin (4/6) di Banda Aceh.
Salah satu intimidasi yang terjadi adalah tekanan yang diterima Ibduh (60 tahun), salah seorang masyarakat yang melaporkan tindak pidana atas kasus di Rawa Tripa ke Mabes Polri pada akhir tahun (23/11/2011) lalu.
"Tekanan terhadap pak Ibduh dilakukan oleh pihak ketiga melalui handphone milik beliau. Dengan mengaku aparat kepolisian, pak Ibduh diinterogasi dan mendapat tekanan melalui telphone selulernya,"kata Irsadi.
Bukan hanya itu, pihak TNI atas nama DANRAMIL Kecamatan Darul Makmur pada tangggal 4 Mei 2012 menelepon Ibduh untuk datang ke KORAMIL Darul Makmur. Berhubung hari Jum’at, Ibduh baru mendatangi Koramil selesai shalat Jum’at dan dikantor ini beliau mendapat tekanan psikologis dari Danramil Darul Makmur.
Danramil melakukan interogasi dengan pertanyaan seputar pelaporan Ibduh ke Mabes Polri di Jakarta. "Danramil mengatakan kenapa bapak berani melaporkan PT. Kalista Alam ke Mabes. Sadar tidak kalau lawan bapak adalah perusahaan besar dan kalau ini Medan sudah MATI anda. Untung ini Aceh, jadi aman – aman saja bapak,”ujar Irsadi mengulang kalimat Danramil.
Danramil dengan nada tinggi juga mengatakan apa untungnya bagi bapak atas laporan bapak tersebut, apa sudah dipikir kalau yang bapak laporkan adalah perusahaan besar sementara bapak cuma geuchik (kepala desa), itupun geuchik cilet-cilet (Kepala Desa pura-pura-red).
Sikap petinggi TNI dibawah KODAM IM yang dicerminkan lewat Danramil Darul Makmur sangat tidak beralasan dan tidak memiliki kewenangan menginterogasi masyarakat atas kasus hukum akan tetapi merupakan kewenangan pihak Kepolisian.
"Kami mulai bertanya ada apa dengan TNI terhadap kasus ini dan kenapa ranah hukum sudah diambil alih oleh pihak TNI dari Polisi. Apakah Aceh sudah memiliki status Darurat Militer lagi seperti dulu masa konflik Aceh yang berkepanjangan,"tegas Irsadi. Walau pun kami mendapat tekanan, perjuangan kami belum selesai hingga pihak penegak hukum selesai memutuskan hukuman bersalah bagi pejabat negara setingkat Gubernur, maupun staf-staf yang ikut terlibat atas keluarnya izin tersebut terhadap penyalahgunaan wewenang kekuasaan atas izin baru yang dikeluarkan untuk PT. Kalista Alam, sambung Irsadi.[rel]

Link: http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=26641&tit=Berita%20Utama%20-%20Keluar%20Habitat,%20Langsung%20Dibunuh

Aceh Timur-Konversi hutan di Aceh menjadi perkebunan, mengusir kawanan gajah liar dari habitatnya. Sehingga gajah-gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranensis) kerap mengganggu areal perkebunan warga. Begitu gajah keluar dari habitatnya, kesempatan ini langsung dimanfaatkan para mafia gading dengan membunuh binatang itu dengan berbagai cara.“Untuk kepentingan komersil black market international,” ungkap Iskandar Usman Al –Farlaky, SHI, Ketua KNPI Aceh Timur kepada Rakyat Aceh, Senin(4/6). Namun, ketika gajah itu masih berada dihabitatnya, akses pemburuan gading kemungkinan sulit ditempuh, karena minimnya fasilitas jalan dan butuh biaya besar.

Katanya, ada tiga penyebab kematian gajah di Aceh Timur, yang pertama dibunuh karena telah mengganggu perkebunan baik itu milik rakyat ataupun milik perusahaan. Lalu kedua sengaja dibunuh karena mengancam ekosistem manusia dan yang ketiga sengaja dibunuh untuk komersil yaitu pemburuan gading untuk dijual ke pasar gelap. “ Jika kita lihat modus kejadian kematian gajah di Aceh Timur, yaitu setelah gajah mati, gadingnya diambil. Ini merupakan permainan mafia-mafia gading. Untuk itu, kita mendesak aparat penegak hukum, Pihak BKSDA dan pemerhati lingkungan untuk mengungkap jaringan mafia pemburuan gading gajah dalam wilayah Aceh Timur,” harap Iskandar Usman.

Kejadian kematian gajah di Aceh dalam beberapa tahun terakhir kerap terjadi. Di Aceh Timur sendiri dalam lima tahun terakhir, telah beberapa kali terjadi kasus pembunuhan gajah dengan modus berbeda. Seperti kematian seekor gajah jantan yang ditemukan warga,tanggal 9 Juli tahun 2010, persis terletak dalam areal perkebunan sawit PT. Bumi Flora yaitu di kawasan Lubok Mampreh Desa Jambo Capli Kecamatan Banda Alam Aceh Timur. Gajah itu mati diduga akibat terkena kabel telanjang yang sengaja dipasang oleh pihak tak bertanggungjawab.

Kemudian pada bulan yang sama tahun 2010, kejadian pembunuhan gajah oleh pelaku pencuri gading juga terjadi di Desa Seunubok Bayu Kecamatan Indra Makmu Aceh Timur. Dimana saat itu pelaku aksi pencurian gading dengan cara menembak gajah kemudian memotong gading berhasil diringkus pihak kepolisian Resort Aceh Timur bersama barang bukti sepasang gading.

Meski kasus tersebut sampai kemeja hijau dan pelakunya juga dijatuhi hukuman, namun aksi pembunuhan gajah di pedalaman Aceh Timur tak kunjung berhenti. Nyatanya, dengan modus meracuni seperti yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di areal perkebunan PTPN 1 Kebun Tualang Sawit Kecamatan Birem Bayeun, dua ekor “Po Meurah” mati terkapar, dengan kondisi salah satu gadingnya hilang. Dari beberapa rentetan kejadian kematian gajah di Aceh Timur, diperkirakan kerab dilakukan oleh mafia gading yang mencoba mengambil keuntungan dari binatang dilindungi itu, tanpa menghiraukan kepunahannya.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, TM Zulfikar, saat dihubungi Rakyat Aceh, Senin (4/6), melalui selularnya mengatakan, konflik manusia dengan satwa liar, baik itu gajah ataupun binatang dilindungi lainnya, tak terlepas dari akibat kerusakan hutan dan ketidakadaan tata ruang wilayah kehutanan Aceh. Pasalnya, konversi lahan perkebunan yang telah merambah areal habitat satwa liar merupakan ancaman terhadap populasi gajah di Aceh. “Bayangkan dibawah tahun 2004 populasi gajah Aceh masih sekitar 800 ekor, namun saat ini menurut penelitian pihak kita, populasi gajah Aceh hanya tiggal 400-500 ekor saja,” sebut TM Zulfikar.

Dikatakanya, berkurangnya populasi gajah di Aceh terjadi seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan dan alih fungsi lahan hutan di Aceh menjadi lahan perkebunan, pertambangan dan lainya.“ Walhi Aceh dalam rangka hari lingkungan hidup sedunia kali ini tetap komit melakukan kampanye menyelamatkan habitat satwa liar di Aceh dari ancaman kepunahan. Kita mengharapkan Pemerintah Aceh dapat menyiapkan tata ruang lahan konservasi untuk tempat hidupnya. Satwa dilindungi, seperti gajah, harimau dan lainya, “ harap Zulfikar, seraya mengatakan jangan lahan konservasi dijadikan sebagai lahan produksi.

“Akibat habitatnya telah dirambah dan diusik sehingga satwa liar dilindungi seperti gajah dewasa ini banyak masuk ke areal perkebunan rakyat. Sehingga konflik antara gajah dengan manusia tak dapat dihindari, kebun warga dirusak yang pada akhirnya gajah juga dibunuh dengan berbagai cara. Bahkan kesempatan keberadaan gajah dilingkungan perkebunan rakyat juga diambil manfaat bagi pelaku pemburuan liar gading gajah dan ini juga salah satu faktor punahnya populasi gajah Aceh. Sebenarnya bintang tersebut kalau tidak diganggu, kawanan Gajah itu juga tidak akan menganggu kita, “imbuh TM Zulfikar.

Direktur Walhi Aceh juga mengajak semua unsur pemerintah, termasuk pihak kemanan dalam hal ini Polisi, Dinas Kehutanan dan pihak terkait lainya untuk dapat melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap pembunuhan binatang dilindungi seperti Gajah. “ Untuk menjaga lingkungan hidup dan melestarikan khazanah bangsa dari ancaman kepunahan adalah tanggung jawab kita semua, masyarakat Aceh pun harus berperan untuk sama-sama melestarikannya, “ demikian pungkas TM Zulfikar Direktur Walhi Aceh. (Bersambung)

Peran Masyarakat Adat Masih Terpinggirkan

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2012/06/02/02522930/peran.masyarakat.adat.masih.terpinggirkan                                                                                                                                                              MINGGU, 03 JUNI 2012 00:00
DITULIS OLEH KOMPAS
PDF
Share
Banda Aceh, - Dalam upaya menjaga kelestarian hutan di Aceh, peran masyarakat adat masih terpinggirkan. Lembaga adat hanya dijadikan sebagai pemadam kebakaran saat konflik lahan hutan tersulut. Padahal, dalam kultur dan sejarah Aceh, masyarakat adat dahulu mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan.
Demikian dikatakan Ketua Forum Mukim Aceh Besar, T Maimun Abdullah, Jumat (1/6), di Banda Aceh. Pemerintah dan pengusaha tak pernah mengajak masyarakat adat membicarakan pengelolaan hutan. Bahkan, banyak lahan hutan dan sekitarnya di Aceh Besar yang tiba-tiba bersertifikat menjadi milik orang atau pengusaha tertentu tanpa diketahui warga sekitarnya.
”Konstitusi jelas menyatakan, tanah air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, kenyataan sekarang hutan begitu mudah dimiliki pengusaha, dan pemerintah memberikan izin. Rakyat di sekitarnya tak pernah menikmatinya. Diajak berbicara saja tidak,” kata dia.
Pengelolaan hutan di Aceh saat ini menjadi isu hangat. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mencatat, setiap tahun Aceh kehilangan hutan rata-rata 23.400 hektar. Luasan hutan di Aceh kini tinggal sekitar 60 persen dari area hutan yang tercatat 2,9 juta hektar. Luasan hutan di Aceh kini tak lebih dari 2,2 juta hektar.
Alih fungsi untuk perkebunan dan pertambangan menjadi penyebab utama kehilangan hutan di Aceh, selain penebangan liar. Saat ini, 351.000 hektar lahan hutan dibuka untuk perkebunan. Sekitar 750.000 hektar hutan dibuka untuk pertambangan.
Berkurangnya peran masyarakat adat menjadi keresahan para mukim (pemimpin lembaga adat pada komunitas gampong di Aceh). Di Aceh Besar, misalnya, ada banyak izin pembukaan lahan hutan untuk pertambangan dan perkebunan yang diberikan begitu saja sehingga tumpang tindih dengan lahan adat.
Di Kemukiman Lampanah Leungah, Aceh Besar, pembukaan tambang pasir besi pun meresahkah warga. Mukim Lampanah Leuangah, Idham Ahmadi, mengatakan, akibat pemberian izin sepihak oleh pemerintah dan pembukaan lahan tambang oleh swasta itu, masyarakat Lampanah Leuangah terpecah. Masyarakat diadu domba. Lembaga adat sulit meredam konflik yang terjadi karena tak dilibatkan.Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar menambahkan, peran masyarakat dan lembaga adat di Aceh lama dipinggirkan. (han)

Dampak Program Sejuta Sawit
Selasa, 5 Juni 2012 09:59 WIB

(Refleksi Hari Lingkungan 5 Juni 2012)

Oleh Wintah Firdausi
Link: http://aceh.tribunnews.com/2012/06/05/dampak-program-sejuta-sawit 
KEBIJAKAN Pemerintah Aceh yang berorientasi menyejahterakan melalui peningkatan ekonomi masyarakat sektor perkebunan sawit menuai banyak masalah dan kritikan. Program pengentasan masyarakat miskin melalui tanam sejuta sawit, ternyata telah menimbulkan dampak rusaknya ekositem dan keseimbangan alam. Berdampak pada berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor, dan gangguan satwa liar, yang antara lain disebabkan oleh adanya kerusakan hutan yang tidak terkendali. Banyaknya hutan lindung yang telah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan sawit. 

Konsesi penebangan, seperti hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI), serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan, semestinya dihentikan secepatnya. PP Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur jenis dan tarif pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan, sepintas bermuatan positif. PP ini justru menjadi rekomendasi komersialisasi hutan lindung dalam bentuk baru. Pasalnya, pemerintah hanya mengenakan pungutan PNBP Rp 3 juta/hektare per tahun, atau hanya Rp 120-Rp 300/meter persegi dari kegiatan tambang tersebut.

Konferensi Perubahan Iklim di Bali 3-14 Desember 2007, mengamanatkan kepada para peserta, termasuk Indonesia sebagai tuan rumah, untuk melindungi kawasan hutannya yang tersisa. Tapi ironis, pemerintah kita justru mengkhianatinya dengan mengomersialkan hutan lindung. Sesuatu yang tak bisa dipungkiri, PP No 2/2008 tidak akan pernah melindungi hutan lindung kita, tetapi justru memperparah kerusakan hutan kita. 

 Hutan dijual murah
Hutan lindung di Aceh semakin rusak berat karena dorongan berbagai kepentingan. Dorongan faktor ekonomi masyarakat, justru hutan lindung oleh pihak-pihak terkait dijual dengan harga yang sangat murah. Pembelian tanah ilegal berupa hutan lindung marak terjadi. Tanah hanya dihargai Rp 3-6 juta/hektar di kawasan hutan lindung, dan di kawasan lahan gambut berkisar Rp 6-10 juta/hektar. Dengan harga yang begitu murah banyak mengundang pengusaha atau investor baik dari dalam maupun luar berlomba-lomba membuka lahan hutan seluas-luasnya. 

Demikian pula yang terjadi pada hutan gambut Rawa Tripa. Kasus berawal dari pemberian izin kepada PT Kalista Alam menanfaatkan 1.605 hektare untuk perkebunan sawit, Agustus 2011. Kebijakan ini diberikan saat Indonesia menghentikan sementara izin-izin baru di kawasan hutan dan lahan gambut. Rawa Tripa termasuk gambut padat yang kaya keanekaragaman hayati dan termasuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kenyataan ini telah menjadikan satwa liar semakin terdesak oleh modernisasi yang tidak berpihak. Satwa liar mulai mengalami kepunahan dan keanekaragaman hayati juga semakin homogen.

Semestinya, kebijakan pemerintah terhadap perlindungan hutan lindung tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk menyusun kembali strategi pengelolaan hutan Aceh melalui penataan ulang atau redesain, penanaman kembali hutan atau reforestasi, dan menekan laju kerusakan hutan atau reduksi deforestasi, atau dikenal dengan singkatan konsep 3R. 

Konsep ini diharapkan dapat mewujudkan cita-cita hutan lestari rakyat Aceh sejahtera. Jeda tebang hutan adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium tersebut ditentukan kurang lebih 15-20 tahun.

Konsesi penebangan seperti HPH dan HTI, serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan, semestinya dihentikan. Kebijakan moratorium tebang telah memandatkan kepada instansi di bawah lingkup Pemerintah Aceh memastikan bahwa moratorium ini terlaksana di lapangan. Kebijakan Moratorium penebangan hutan di Aceh lebih kurang 5 tahun yang lalu hingga sekarang, ternyata masih belum mampu menyelamatkan hutan Aceh dari kerusakan. 

 Merusak fungsi hutan
Kerusakan hutan lindung di Aceh menurut catatan Walhi Aceh, pada 2006 kerusakan hutan di Aceh masih sekitar 20.000-21.000 hektare/tahun, pada akhir 2010 tingkat kerusakannya meningkat sampau dua kali lipat atau sekitar 40.000 hektare/tahun. Pemahaman akan tata ruang lingkungan yang minim menjadi salah satu penyebab banyaknya kebijakan alih fungsi hutan gambut di Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh. Alih fungsi telah merusak fungsi hutan gambut dan mengancam penurunan tanah di kawasan rawa itu. 

Tata ruang dan lingkungan ternyata belum menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan. Akibatnya, kawasan lindung seperti Rawa Tripa pun diizinkan untuk dialih fungsikan sebagai lahan perkebunan sawit. Banyaknya SDM Pemerintahan yang tidak memahami tata ruang dalam pengelolaan hutan lindung. Kebijakan HGU (hak guna usaha) di Rawa Tripa, misalnya, telah terjadi penyimpangan fungsi lahan. Ini karena tak semua pihak memahami tata ruang dan lingkungan. 

Rawa Tripa yang merupakan satu dari tiga hutan rawa di pantai barat Pulau Sumatera, yang luasnya 61.803 hektare masuk sebagai kawasan kawasan lindung. Namun, Walhi Aceh mencatat, akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan melalui mekanisme HGU, luasan hutan gambut Rawa Tripa tinggal sekitar 20.000 hektare. Alih fungsi itu menimbulkan banyak kegiatan investasi. Akibat pembuatan drainase di lahan gambut, gambut berangsur menipis dan mengalami subsidence atau penurunan permukaan tanah. Kondisi ini akibat proses pematangan gambut dan berkurangnya air.

Fungsi hutan sebagai pengatur keseimbangan konservasi tanah dan air wajib dilindungi. Akibat rusaknya hutan lindung akan menuai terjadinya bencana banjir, tanah lonsor, menipisnya oksigen dan REDD. Dampak ekologis yang lebih mengerikan, tulis Peter Hal, adalah bencana dahsyat yang terjadi di perkotaan seperti di London, San Franscisco, Paris dan Sydney (Great Planning Disasters, 2002). Karena itulah, hutan penyokong kehidupan umat manusia dan berbagai jenis makhluk hidup lainnya perlu dijaga kelestariannya.

* Wintah Firdausi, Dosen Universitas Teuku Umar (UTU), Meulaboh, Aceh Barat. Email: syuga_2006@yahoo.co.id

Perkebunan Sawit Meningkat, Populasi Gajah Menurun

Nasional / Senin, 4 Juni 2012 12:10 WIB
Link: http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/06/04/152320/Perkebunan-Sawit-Meningkat-Populasi-Gajah-Menurun/6 


Metrotvnews.com, Banda Aceh: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mencatat populasi gajah sumatra menurun. Itu disebabkan banyaknya perkebunan kelapa sawit yang menekan angka populasi gajah.

Di Aceh, populasi gajah tersisa hanya 400 ekor. Padahal pada tahun 2003, sedikitnya 800 ekor gajah berhabitat di Aceh.

Sementara itu, data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat penurunan jumlah gajah menurun akibat konflik antara manusia dengan binatang berbelalai panjang yang terjadi tiap tahun. Selain itu, habitat gajah dikonversi menjadi perkebunan dan pemukiman. Sehingga gajah-gajah itu harus mencari makan hingga ke pemukiman warga.(RRN)

Tak Mungkin Lagi Mencari Ikan (5)
Mohamad Burhanudin | Agus Mulyadi | Senin, 4 Juni 2012 | 10:31 WIB
Dibaca: 333
|
Share:
KOMPAS.com - Kehancuran dari hutan Rawa Gambut Tripa, telah memiliki konsekuensi langsung pada ketahanan pangan untuk komunitas lokal di pedesaan, khususnya akibat hilangnya ketersediaan ikan sebagai sumber protein penting masyarakat di daerah ini. Hal itu terjadi seiring dengan hilangnya berbagai limpahan hasil hutan lainnya.
Mencari ikan sekarang tidak mungkin lagi. Rawa sudah kering. - Ibduh
Ibduh, seorang warga yang mendiami kawasan Rawa Tripa sejak puluhan tahun silam, menuturkan hal itu. “Mencari ikan sekarang tidak mungkin lagi. Rawa sudah kering,” katanya.
Pembersihan dan pengeringan lahan gambut pun mengurangi kelembaban dan iklim lokal yang panas, yang tak lagi memberikan suhu, kelembaban, dan curah hujan optimum bagi pertanian di sekitar tanah yang bermineral. Hal ini akan mengurangi produktivitas pertanian, termasuk hasil minyak kelapa sawit di kompleks terdekat.
“Yang paling terkena dampak akibat ini adalah kami. Padi sulit tumbuh sekarang, termasuk palawija,” kata Suratman (45), warga Desa Sukarame, Kecamatan Darul Makmur, Tripa, Nagan Raya.
Pembabatan hutan dan kehancuran rawa secara drastis, mengurangi kapasitas penampungan air dari lahan gambut dan kemampuan untuk menyimpan dan mengatur arus air, sehingga meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir.
Kepala Bidang Kehutanan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Nagan Raya, Haryanti Nova, mengatakan, kerapuhan masyarakat lokal menghadapi bencana seperti tsunami juga meningkat. Efek menyerap ombak dari zona penyangga di hutan pesisir juga, hilang ketika pepohonan dibabat.
Permukaan dataran akan menurun sebagai hasil dari subsiden akibat oksidasi dari gambut yang baru dikeringkan. Subsiden dari lahan gambut yang dikonversikan menjadi perkebunan minyak sawit umumnya sekitar 5 sentimeter per tahun.
Kondisi itu akan menyebabkan kehancuran dari perkebunan minyak sawit dalam jangka panjang, sebagai hasil dari intrusi air laut. Jika permukaan laut dalam beberapa dekade ke depan, akibat perubahan iklim global juga terjadi, maka kemungkinan Rawa Gambut Tripa akan tenggelam pun semakin cepat.
“Saat ini ketinggian rata-rata rawa gambut ini sudah sama dengan permukaan laut. Berarti jika terus menurun 5 sentimeter, dalam 25 tahun ke depan akan turun sekitar 1,5 meter. Ini artinya rawa akan tenggelam dan hilang,” kata Hariyanti Nova.
Pembalakan di area konsesi ini umumnya dilakukan tidak oleh penduduk setempat. Para pekerja dibawa dari tempat lain, dengan upah kurang dari 100 dollar AS per bulan. M asyarakat lokal yang dipekerjakan di kompleks itu, umumnya diberikan pekerjaan dengan jenis pekerjaan untuk pekerja kurang terampil, yang juga berupah rendah.
Kondisi ini sebenarnya tidak memberikan mereka harapan untuk keluar dari kemiskinan. Sebaliknya, justru menjebak mereka dalam kerja kasar yang rendah upah, dan dengan mengambil alih hampir semua area lahan, kompleks itu secara langsung mencegah alternatif penggunaan lahan dan pilihan lain bagi pendapatan alternatif. Namun, sayangnya mereka tak mempunyai pilihan.  
Bahkan, banyak warga lokal yang terpaksa bekerja di lahan perkebunan di bekas lahan yang dulunya milik mereka. “Sebagian karena lahan itu sudah dijual ke perusahaan, sebagian lain karena lahan itu sudah di serobot perusahaan dengan dalih bagian dari HGU,” kata Suratman. (MOHAMAD BURHANUDIN)

Moratorium tanpa Makna (4)
Mohamad Burhanudin | Agus Mulyadi | Senin, 4 Juni 2012 | 10:16 WIB
Dibaca: 345
|
Share:
KOMPAS/BURHANUDINKehancuran Rawa Tripa
KOMPAS.com - Tahun 2007, Pemerintah Aceh mengeluarkan kebijakan jeda tebang (moratorium) di daerah itu. Kebijakan ini melarang semua penebangan kayu hutan, termasuk di dalam konsesi kelapa sawit. Namun, kebijakan ini tak berdampak apapun.
Kehancuran dari hutan-hutan yang tersisa dalam konsesi ini, terus berlanjut.
Sesungguhnya, pada tahun 1990, sudah ada Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa gambut yang kedalamannya lebih dari tiga meter harus dijadikan sebagai area lindung.
Keputusan tersebut diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, yang memasukkan Rawa Gambut Tripa sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru di Hutan Primer dan Lahan Gambut, pun  dikeluarkan tahun 2011.
Bahkan, dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh, Pasal 150, Ayat 1, dinyatakan, pemerintah dalam level manapun tidak diizinkan untuk mengeluarkan izin HGU di dalam KEL, yang bertentangan dengan konservasi dan pembangunan berkelanjutan.
Kenyataannya, tak satu pun peraturan tersebut yang dilaksanakan untuk mencegah pembabatan Rawa Gambut Tripa. Bahkan, pada 25 Agustus 2011, Gubernur Aceh kala itu, Irwandi Yusuf, mengeluarkan keputusan yang memberikan izin pembukaan lahan sawit baru untuk PT Kallista Alam di Rawa Tripa, seluas 1.605 hektar. Keputusan tersebut mendapat kecaman dari banyak pihak, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Pada saat yang sama, kanal-kanal pengairan yang begitu banyak jumlahnya terus digali oleh mesin-mesin berat, menghasilkan kekeringan dan oksidasi dari lapisan permukaan gambut. Gambut itu juga dibakar, yang dengan sendirinya melawan hukum yang mengatur pembakaran hutan dan dataran gambut.
Titik-titik api ini kini bisa mudah dideteksi melalui satelit, dan dipublikasikan di internet. Penyebaran titik api muncul terbatas hanya pada lokasi-lokasi, di mana area konsesi sedang mengalami deforestasi atau yang sudah dibersihkan.  (MOHAMAD BURHANUDIN)

Hutan Pun Dibakar (3)
Mohamad Burhanudin | Agus Mulyadi | Senin, 4 Juni 2012 | 10:08 WIB
Dibaca: 292
|
Share:
KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Peneliti IPB, Kamis (3/5/2012) lalu mengumpulkan sampel dari lahan gambut di Nagan Raya, Aceh, yang terbakar pada bulan Maret lalu. Dari penilitian di lapangan, ada dugaan kuat kebakaran itu disengaja oleh perusahaan sawit.
TERKAIT:
KOMPAS.com — Tak hanya dibabat dan ditanami sawit, kawasan hutan juga dibakar dalam pembukaan lahan itu. Kanal-kanal dibuka untuk mengeringkan air rawa agar bisa ditanami sawit.
Rawa Tripa akan mengalami permasalahan serius jika pembabatan hutan ini terus berlangsung. - Halim Gurning
Pengamatan Kompas di Rawa Tripa, pertengahan Mei lalu, menunjukkan, aktivitas pembukaan lahan dan pembakaran ini begitu jelas terlihat. Beribu-ribu hektar hutan di Desa Sumber Makmur, Pulo Kruet, dan Kuala Semayam tinggal pokok-pokok kayu yang sudah hangus terbakar. Sejumlah traktor tampak bekerja membuat parit-parit baru di hutan yang sudah dibabat dan dibakar salah satu perusahaan perkebunan di wilayah tersebut.
Dari hasil pencitraan satelit per 16 April 2012 oleh YEL, hutan yang masih ada di Tripa tinggal 11.504,3 hektar dari semula 62.000 hektar. Kehancuran hutan minimum dari Januari-April 2012 saja mencapai 805,4 hektar. Hutan yang sudah hancur sejak tahun 2009 hingga Desember 2011 mencapai 5.069,9 hektar.
"Ini artinya, dalam waktu kurang dari tiga tahun, hampir 6.000 hektar hutan yang rusak di Tripa karena dibabat untuk lahan sawit. Jika terus terjadi, hanya dalam tiga tahun ke depan hutan Rawa Tripa sudah akan musnah," kata Indriyanto.
Dari 11.504,3 hektar yang masih tersisa itu pun kondisinya terfragmentasi atau terpisah-pisah. Satu luasan hutan yang masih utuh hanya seluas 8.359 hektar. Namun, hutan yang utuh itu pun kini terancam. Masalahnya, hanya dalam 3,5 bulan terakhir sebagian sudah dibabat oleh pemilik HGU sehingga luasnya tinggal 7.615 hektar.
Pada Maret 2012, sebanyak 90 titik api ditemukan di Rawa Tripa. Titik-titik api itu berada di l wilayah hutan yang masih tersisa serta menjadi benteng terakhir orangutan di Tripa, seperti di Desa Sumber Makmur.
Dalam penelitian terhadap ketersediaan karbon Tripa pada 2008 ditemukan bahwa Tripa terdiri atas tiga kubah gambut yang mencapai kedalaman lebih dari 5 meter di beberapa tempat (Agus dan Wahdini, 2008).
Jumlah total karbon di gambut itu sendiri sekitar 1.300 ton per hektar, jauh melampaui jumlah yang disimpan di atas tanah, pepohonan, dan biomassa lain (sekitar 110 ton per hektar; Agus dan Wahdini, 2008).
Jumlah total karbon di lapisan gambut Tripa antara 50 juta ton dan 100 juta ton menjadi wadah penyimpan karbon terbesar di Aceh. Wadah karbon ini adalah hasil dari ribuan tahun akumulasi bertahap dari material organik di rawa-rawa, di mana kondisi anaerobik mencegah dekomposisi atau pembusukan.
 
Namun, alih fungsi lahan besar-besaran dan pembakaran hutan dalam beberapa tahun terakhir ini membuat Rawa Tripa telah melepas karbonnya. Pada tahun 2008, PanEco Fondation menemukan, kebanyakan karbon yang saat ini disimpan di atas tanah akan habis pada tahun 2014 jika tingkat deforestasi yang terjadi saat ini tetap berlangsung.
Padahal, karbon yang tersimpan di dalam tanah, di gambut itu sendiri, sebagai hasil dari akumulasi bertahap selama ribuan tahun akan lepas hanya dalam beberapa dekade akibat kombinasi dari pembakaran gambut dan oksidasi gambut.
Emisi dari pembakaran gambut dapat melepas dari 50 hingga 300 ton karbon per hektar. Yang tak kalah berbahaya juga adalah emisi oksidasi yang dihasilkan dari pengairan sederhana dan pengeringan gambut. Gas CO2 yang dilepas dengan cara ini dapat mencapai 73 ton per hektar per tahun, setara dengan 20 ton karbon per hektar per tahun.
"Artinya, kawasan Rawa Tripa akan mengalami permasalahan serius jika pembabatan hutan ini terus berlangsung," kata Koordinator Program Rawa Tripa di YEL Halim Gurning.  (MOHAMAD BURHANUDIN)
 

Akibat Ekspansi Sawit (2)
Mohamad Burhanudin | Agus Mulyadi | Senin, 4 Juni 2012 | 08:51 WIB
Dibaca: 1539
|
Share:
KOMPAS/BURHANUDINKehancuran Rawa Tripa
KOMPAS.com - Semua persoalan lingkungan itu berawal dari alih fungsi lahan hutan Rawa Gambut Tripa secara besar-besaran sejak awal 1990-an hingga saat ini menjadi kebun kelapa sawit. Pada awal 1990-an itu, luasan hutan Rawa Gambut Tripa masih mencapai sekitar 62.000 hektar.
Sejak awal 1990-an, lima konsesi hak guna usaha (HGU) diberikan kepada lima perusahaan perkebunan sawit di Tripa, dengan luas HGU antara 3.000 hingga 14.000 hektar per perusahaan.
Lima perusahaan sawit tersebut antara lain PT Gelora Sawita Makmur, PT Kallista Alam, PT Patriot Guna Sakti Abadi II, PT Cemerlang Abadi and PT Agra Para Citra. Pada tahun 2007, PT Astra Agro Lestari mengambil alih konsesi PT Agra Para Citra.
Pemberian konsesi perkebunan itu, beriringan dengan skema transmigrasi untuk menyediakan tenaga buruh di wilayah Tripa. Rawa Tripa kemudian mengalami kehancuran menyeluruh karena pembabatan, pembuatan kanal-kanal air untuk keperluan perusahaan sawit, serta pembukaan permukiman baru. Hingga sebelum tahun 2000, sekitar 35 persen kawasan Tripa sudah hancur.
Namun selama konflik, hanya sebagian kecil saja dari lahan-lahan ini yang ditanami kelapa sawit, dan kebanyakan dibiarkan tak terkelola selama beberapa tahun, sehingga justru memunculkan regenerasi alami. Karena itu, Tripa kemudian mampu menjadi zona pelindung yang efisien terhadap bencana tsunami tahun 2004 lalu.
Tahun 2005 konflik di Aceh berhenti, operasional perkebunan pun berlanjut. Pada tahun 2007, Gubernur Aceh mengeluarkan kebijakan moratorium pembalakan hutan di Aceh.
Namun, moratorium tersebut tak diindahkan. Pembabatan hutan terus berlanjut. Sayangnya, tak pernah ada tindakan tegas dari pemerintah akan hal tersebut. "Semuanya dibiarkan," kata Indriyanto, Petugas Pemantau Hutan Tripa dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL). (MOHAMAD BURHANUDIN)