Senin, 23 Juli 2012


Berapa Lagi Warga Lingkar Tambang Yang Harus dikriminalisasi?
Oleh George Junus Aditjondro
Sumber : Suara Pembaruan, 23 Mei 2012, halaman 5
“Jangan wariskan air mata kepada anak cucu kami, tetapi wariskanlah mata air”. Begitu Gita Sang Surya, majalah bulanan tarekat Fransiskan mengabadikan semboyan seorang warga lingkar tambang di Serise, Kec. Lambaleda, Manggarai Timur, NTT.

Itu salah satu ekspresi warga Serise yang menuntut pencabutan izin pertambangan mangan PT Arumbai Mangabekti di Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores. Aparat setempat bereaksi dengan menahan para pemrotes. Kebanyakan kemudian dilepas kembali, tapi empat orang diadili dan divonis 4 bulan 18 hari, sesuai dengan masa tahanan mereka, dan langsung keluar dari penjara.
Bagaikan pelipur lara bagi para demonstran yang juga mantan narapidana itu, PT Arumbai sudah sebulan tidak menambang, karena kabarnya mereka dikenakan larangan ekspor bahan mentah. Namun masyarakat berharap, perusahaan itu ditutup sama sekali.
Selain perjuangan rakyat di Manggarai, di tetangga selatan Flores, Sumba, juga terjadi kriminalisasi terhadap tigs orang warga desa di Kecamatan Umbu Ratu Nggay, Kabupaten Sumba Tengah. Kamis, 3 Mei lalu, Pengadilan Negeri Waikabubak menjatuhkan hukuman penjara sembilan bulan kepada tiga orang warga desa, Umbu Djandji, Umbu Mehang, dan Umbu Pindingara.
Itulah vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai hakim Albertus Husada, SH, MH, setelah bersidang selama lima bulan, yang “dimeriahkan” dengan demo-demo ratusan warga Sumba. Vonis itu dijatuhkan majelis hakim, yang menuduh “tiga Umbu” itu merusak mesin bor milik perusahaan tambang PT Fathi Resources  (Gita Sang Surya,  Jan.-Feb. 2012: 15).
Vonis itu semakin mempertinggi antipati rakyat Sumba terhadap perusahaan tambang itu, serta terhadap aparat keamanan di pulau cendana itu. Sebab vonis 9 bulan terhadap ketiga Umbu, walaupun hanya separuh dari tuduhan jaksa, tetap tidak adil, sebab perusakan alat-alat berat perusahaan itu bukan mereka yang lakukan. Karena itu, vonis itu merupakan kriminalisasi terhadap ketiga tokoh masyarakat kampung Praingalira itu, menurut Pater Michel Keraf CSsR, pelopor Komunitas Peduli Martabat Tanah Sumba.
Sesungguhnya, ketiga Umbu itu adalah pemilik lahan dan kebun penggembalaan yang mau ditambang oleh  PT Fathi Resources, yang mayoritas sahamnya milik perusahaan Australia, Hillgrove Resources Ltd dari Australia. Tapi ketiga petani Sumba Barat itu terus menolak. Bahkan mereka telah melaporkan kasus penyerobotan lahan oleh PT Fathi itu, tapi tidak ditindaklanjuti oleh Polres Sumba Barat.
Kriminalisasi tokoh-tokoh masyarakat yang menolak ekspansi tambang ke lahan pertanian mereka, tidak terbatas di NTT saja. Di lahan pasir pesisir selatan Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Kulonprogo, DIY, petani yang terorganisir dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), juga menentang penyerobotan lahan pertanian mereka oleh tambang pasir besi PT Jogya Magasa Iron (JMI) (Tribun Jogja,  2 Mei 2012).

Perusahaan itu sendiri merupakan kongsi antara Indomines Ltd. dari Australia, dengan  PT Jogya Magasa Mining dari Yogyakarta dan Nusantara Energy Ltd dari Jakarta. Anak perempuan tertua (Gusti Pembayun) dan adik Sri Sultan (Gusti Joyokusumo) menjadi Komisaris PT Jogja Magasa Mining. Perusahaan kongsi (joint venture) itu berencana membuka konsesi pasir besi seluas 3000 hektar, yang bakal mengganggu kesejahteraan 30 ribu penduduk sepuluh desa di pesisir selatan Kabupaten Kulonprogo. Terang saja para petani yang sudah tiga generasi merintis pertanian di lahan gumuk pasir pantai (sand dunes) itu. sangat keberatan untuk beralih profesi menjadi karyawan pertambangan atau dipindahkan ke tempat lain.
Kriminalisasi korban dalam kasus Kulonprogo, berbeda dengan di Sumba dan Manggarai. Tukijo (45 tahun), tokoh PPLP dari Dusun Gupit diculik dari ladangnya, pada siang hari bolong, Minggu, 1 Mei 2011, dan tanpa memberitahu isterinya, Suratinem (40) serta adik, anak, dan menantunya, diangkut dengan mobil polisi ke Polda DIY di kota Yogyakarta. Baru setelah berada di atas mobil, Tukijo ditunjukkan surat penahanan dirinya, dengan tuduhan “merampas kemerdekaan orang” dan “pebuatan yang tidak menyenangkan”.
Konkretnya, petani aktivis itu dituduh menyekap karyawan PT Jogja Magasa Iron, sehingga tanggal 22 Agusus 2011, PN Wates menjatuhkan vonis tiga tahun penjara. Vonis itu lebih berat dari tuntutan jaksa yang “hanya” dua tahun penjara. Walaupun sudah naik banding, Tukijo tetap divonis bersalah dan mesti menjalani pidana tiga tahun penjara (Tribun Jogja, 2 Maret 2012).
Seperti dalam kasus “tiga Umbu” di Sumba Tengah, tuduhan terhadap Tukijo sangat berbau rekayasa. Pertama, seperti dijelaskannya dalam suratnya dari penjara (Surat dari Petani yang Terdzhalimi di Penjara), Tukijo justru berusaha melindungi karyawan tambang  yang berusaha melintasi jalan kampung yang tidak boleh dilewati oleh oang luar. Waktu warga sekampungnya berusaha mencegat karyawan tambang, Tukijo menelpon petugas Polsek untuk meminta pengamanan bagi karyawan itu. Makanya dalam testimoninya, petani aktivis itu bertanya: “Yang menjadi pertanyaan  aku sebagai orang yang berusaha mengamankan karyawan tersebut, kok malah dipenjara, itu di mana letak keadilannya?”

Kesimpulan:

Ketiga kasus kriminalisasi tokoh-tokoh masyarakat setempat yang menentang pembukaan tambang di tanah tumpah darah mereka, hanyalah pucuk-pucuk gunung es yang paling menonjol di media. Masih banyak lagi yang belum diangkat ke permukaan, yang terjadi di Sumatera, Sulawesi, dan pulau-pulau lain.
Kasus-kasus ini menunjukkan, bagaimana aparat keamanan setempat lebih sering bertindak membela kepentingan para investor, ketimbang membela kepentingan rakyat setempat. Dan yang paling meresahkan, kriminalisasi tokoh-tokoh masyarakat setempat, seperti ketiga Umbu di Sumba dan Tukijo di Kulonprogo, dilakukan dengan tuduhan yang direkayasa, tapi dibenarkan oleh pengadilan setempat. Maka ini membuat kita bertanya-tanya: berapa banyak lagi rakyat setempat yang harus direkayasa, sebelum aparat keamanan dan aparat hukum membela rakyatnya sendiri, ketimbang membela para investor?
Penulis adalah peneliti masalah-masalah sosial pertambangan, dan mantan Wakil Ketua Presidium Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar