Jumat, 27 Januari 2012

Silakan Cari Lokasi Lain untuk Hotel

Friday, January 6, 2012

Silakan Cari Lokasi Lain untuk Hotel



Ir. Teuku Muhammad Zulfikar, MP
Direktur Eksekutif Walhi Aceh

Meski pun Pemerintah Kota dan DPRK sudah menyetujui rencana pembangunan Best Western Hotel dan Mall di area dekat Masjid Raya, Walhi menyebutkan AMDAL pembangunan tersebut belum final. Walhi menghimbau Pemkot untuk mencari alternatif lokasi lain. Lebih jauh tentang ini, berikut petikan wawancara Riza Rahmi dengan T.M. Zulfikar.

Tanggapan Walhi terkait izin pendirian Best Western Hotel dan Mall?
Kita menemukan beberapa keanehan. Pembangunan hotel dan mall megah di area dekat Masjid Raya Baiturrahman ini kesannya begitu dipaksakan. Saya coba lihat dokumen AMDAL yang diberikan kepada Walhi dan membaca isinya. Dari berkas itu, kita menemukan sejumlah persoalan yang tidak jelas. Terutama terkait argumen tidak adanya alternatif lokasi lain. Padahal Banda Aceh cukup luas, kenapa dikatakan tidak ada lokasi lain? Padahal menurut beberapa pendapat pakar, masih ada beberapa lokasi lain. Misal Ulee Lheu, jalan baru di kawasan Muhammad Hasan, di Pangoe. Banyak wilayah yang bisa jadi pertumbuhan baru.

Bagaimana respon masyarakat?
Soal respon masyarakat, kita masih mempertanyakan, apakah sosialisasi yang masif sudah benar-benar dilakukan? Apakah sudah tepat sasaran? Komentar masyarakat yang dilampirkan di dokumen tersebut masih kita ragukan. Lagi pula kalau kita baca secara jeli, akan terlihat opini masyarakat cenderung menolak pembangunan hotel tersebut. Lantas, kenapa ini tidak dipertimbangkan? Jangan langsung kita katakan dampak negatifnya kecil. AMDAL untuk bangunan ini belum final.

Efek negatif yang diprediksi akan timbul?
Pertama, terkait lokasinya yang berdekatan dengan Masjid Raya. Ini kita khawatirkan akan mengganggu eksistensi Masjid Raya sebagai landmark kota. Menjaga Masjid Raya sebagai simbol kota itu penting. Logonya Serambi Mekkah ada di Masjid Raya. Kita juga meyakini, saat sebelum operasional, selama pembangunan akan terjadi banyak persoalan. Mulai dari perparkirannya yang belum jelas, keluar masuk truk alat-alat berat. Akan sangat mengganggu ketika Masjid Raya ada acara. Selama ini, kan kita lihat bahwa di masjid sering ada acara-acara besar.

Kedua, jika pemerintah berdalih ini membawa efek bagus terhadap pembangunan ekonomi, maka kita pertanyakan ekonomi siapa yang akan tumbuh? Ekonomi masyarakat, pemerintah, atau hanya elit tertentu? Kita harus lihat dampak ekonominya secara luas. Ketika mall dibangun, ada pasar tradisional di sekitar itu akan terganggu. Ekonomi masyarakat grassroot akan terguncang. Ini juga harus dipertimbangkan. Jangan hanya katakan ada pertumbuhan ekonomi di sana. Jangan-jangan malah akan mematikan pertumbuhan ekonomi tradisional.

Jika ditinjau dari regulasi yang ada?
Dari sisi regulasi, jelas-jelas ada ketersinggungan dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat. Apalagi kalau kita lihat UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang terbuka hijau harus dipenuhi paling kurang 30% dari jumlah luasan. Ini saja belum dipenuhi. Bahkan klaim yang kita dengar sudah ada 10%. Tapi Diskusi terbaru dengan para akademisi, luasnya baru 2,46%.

Kebijakan lain yang dilanggar adalah Qanun Kota Banda Aceh No. 4 Tahun 2009 tentang RTRW Kota Banda Aceh. Misalnya pasal 10 qanun tersebut dikatakan, strategi pengendalian perkembangan dan kebijakan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan itu meliputi; membatasi perkembangan kegiatan budidaya terbangun di kawasan rawan bencana, mengembangkan RTH kota dengan luas paling sedikit 30% dari luas kota, serta ada upaya untuk membatasi perkembangan kawasan terbangun di sekitar masjid raya. Tujuannya untuk mempertahankan nilai-nilai historis dan mendorong Masjid Raya Baiturrahman sebagai landmark kota. Jadi jangan dipahami kawasan masjid raya hanya sebatas pagar.

Kemudian regulasi lain yang disalahi adalah Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Adat dan Adat-Istiadat Aceh. Ini berkaitan dengan Masjid Raya sebagai landmark, sebagai kawasan cagar budaya. Serta tidak boleh adanya bangunan yang seakan-akan sengaja menyaingi ketinggian menara masjid.

Tapi hotel dan mall dibangun untuk mendukung visi kota sebagai Bandar Wisata Islami?
Kita tidak tolak hotel atau mall-nya. Yang kita tidak setujui adalah lokasi pendiriannya. Silahkan bangun hotel, mall, dan gedung-gedung besar lainnya di lokasi lain. Banyak lokasi tersedia untuk itu. Kenapa harus di dekat Masjid Raya? Jadi jangan salah persepsi, kita tidak menolak hotel. Bukan kita tidak setuju dengan adanya hotel. Kita setuju jika lokasinya dipindahkan ke tempat yang lebih pantas. Bahkan kami tidak menyetujui pendirian hotel dan mall di sekitar kawasan Masjid Raya Baiturrahman dalam radius 1 km. Jika ini tidak diindahkan, kita akan coba analisis ini dari kacamata hukum dan kita bisa menempuh jalur hukum.

Permintaan Walhi Aceh: Publik jangan Takut Pidanakan Perusak Lingkungan

Permintaan Walhi Aceh
Publik jangan Takut Pidanakan Perusak Lingkungan
Headline
Oleh: Yayat Hidayat
Nasional - Kamis, 26 Januari 2012 | 17:47 WIB
INILAH.COM, Aceh Besar – Masyarakat berhak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, bersih dan layak untuk kehidupan. Jika lingkungan telah dirusak segelintir orang, maka masyarakat tidak perlu takut mengajukan tuntutan pidana.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh (WALHI) Aceh juga meminta kepada Pemkab Aceh Besar agar memidanakan para perusak lingkungan penambang galian C sesuai dengan harapan masyarakat. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar dalam pertemuan dengan Pemkab Aceh Besar pada rapat pembahasan kasus galian C Biluy di bupati setempat, Kamis (26/1/2012).

Rapat dipimpin Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Aceh Besar, Zulkifli Ahmad yang dihadiri para asisten, kepala SKPD di lingkungan pemerintah kabupaten tersebut. Masyarakat Biluy yang terkena dampak negatif dari aktivitas Galian C juga turut hadir.

LSM yang bergerak dalam lingkungan itu, dalam rilisnya kepada INILAH.COM menyebutkan, sesuai UUD 1945, yang menjadi pegangan bagi seluruh bangsa Indonesia, negara wajib melindungi rakyatnya. Negara wajib menjaga agar masyarakat tidak terganggu kehidupannya dan terjadi konflik dalam masyarakat.

"Bagaimana peran negara dalam melindungi rakyat, jangan sampai konflik-konflik lingkungan yang terjadi di luar Aceh seperti di Bima dan Mesuji terjadi di Aceh," kata Zulfikar.

WALHI Aceh meminta Pemkab Aceh Besar memidanakan para pengusaha galian C liar karena mereka telah merusak lingkungan dan menyengsarakan masyarakat. "Negara wajin melindungi rakyat. Bukan malah melindungi pengusaha," ujarnya.

Menurut dia, gugatan pidana terhadap perusak lingkungan dimungkinkan dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. "Dalam undang-undang itu dikatakan pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota."

Dia menambahkan, masyarakat bisa memidanakan, dan mereka yang memperjuangkan hak-hak lingkungan tidak bisa dituntut. "Pasal 66 UU No.32 menyebutkan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata," jelas Zulfikar.

Kasus Galian C Biluy mencuat setelah Pemkab Aceh Besar, atas desakan dari masyarakat di Kemukiman Biluy, menutup aktivitas tambang tersebut. Penutupan didasari karena dinilai lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Dampak negatif galian C ini sangat luar biasa. Lapisan tanah atas (top soil) yang sudah terbuka menyebabkan air mengalir cepat di permukaannya. Dimusim hujan akan menyebabkan banjir dan tanah longsor, dimusim kemarau akan menyebabkan kekeringan karena tidak ada cadangan air yang tersimpan. Masyarakat telah kehilangan sumber air, mata air banyak yang sudah mengering.

Selama ini banyak pihak hanya menghitung keuntungan ekonomi semata dari usaha galian C tanpa pernah menghitung kerugian yang ditimbulkan. Misalnya saja berapa hektare sawah mengering tak bisa dikerjakan, masyarakat yang jatuh sakit, jalanan yang hancur dan sebagainya.[yeh]

Galian C Marak, Masyarakat Aceh Besar Terancam

Aceh - Hari ini Pkl. 00:59 WIB
Jantho,(Analisa). Masyarakat Aceh Besar terutama dikawasan pengerukan Galian C semakin terancam kesehatan dan keselamatan jiwa mereka. Hal ini sehubungan, masih maraknya Galian C di kawasan Aceh Besar yang tak mampu ditertibkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) setempat.
Melihat kondisi ini masyarakat di kawasan Galian C ber sama Walhi Aceh mendesak Pemkab setempat untuk memindahkan lokasi galian C yang tidak di kawasan perkampungan penduduk. Sebab masyarakat punya hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, bersih dan layak untuk kehidupan.

"Negara wajib melindungi masyarakat, bukan malah melindungi pengusaha," ujar Direktur Eksekutif WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar dalam pertemuan dengan Pemkab Aceh Besar pada rapat pembahasan kasus Galian C Biluy yang berlangsung Kamis (26/1) di Kantor Bupati Aceh Besar.

Rapat tersebut dipimpin Sekdakab Aceh Besar, Drs Zulkifli Ahmad dan dihadiri para asisten, kepala SKPD di lingkungan Pemkab Aceh Besar. Masyarakat Biluy yang terkena dampak negatif dari aktivitas Galian C juga turut hadir.

Menurut TM Zulfikar, jika lingkungan tersebut telah dirusak dengan sengaja oleh segelintir orang, maka masyarakat tidak perlu takut untuk mengajukan tuntutan pidana. WALHI Aceh juga meminta kepada Pemkab Aceh Besar agar mempidanakan para perusak lingkungan penambang galian C sesuai dengan harapan masyarakat.

TM Zulfikar lebih lanjut menyampaikan sesuai dengan UUD 1945, yang menjadi pegangan bagi seluruh bangsa Indonesia, negara wajib melindungi rakyatnya. Negara wajib menjaga agar masyarakat tidak terganggu kehidupannya.

"Bagaimana peran negara dalam melindungi rakyat, jangan sampai konflik-konflik lingkungan yang terjadi di luar Aceh seperti di Bima dan Mesuji terjadi di Aceh," ujar TM Zulfikar semabari menambahkan Walhi Aceh meminta Pem kab Aceh Besar mempidanakan para pengusaha galian C liar karena mereka telah merusak lingkungan dan menyengsarakan masyarakat.

TM Zulfikar menyampaikan, bahwa gugatan pidana terhadap perusak lingkungan di mungkinkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang tersebut dikatakan Pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

Dalam hal ini, masyarakat bisa melakukan gugatan pidana dimana masyarakat yang memperjuangkan hak-hak lingkungan tidak bisa dituntut. Dimana, asal 66 UU No. 32 menyebutkan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Kasus Galian C Biluy mencuat setelah Pemkab Aceh Besar, atas desakan dari masyarakat di Kemukiman Biluy, menutup aktivitas tambang tersebut. Penutupan didasari oleh lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.

Dampak negatif galian C ini sangat luar biasa. Lapisan tanah atas (top soil) yang sudah terbuka menyebabkan air mengalir cepat di permukaannya. Di musim hujan akan menyebabkan banjir dan tanah longsor, dimusim kemarau akan menyebabkan kekeringan karena tidak ada cadangan air yang tersimpan. Masyarakat telah kehilangan sumber air, mata air banyak yang sudah mengering.

Selama ini banyak pihak hanya menghitung keuntungan ekonomi semata dari usaha galian C tanpa pernah menghitung kerugian yang ditimbulkan. Misalnya saja berapa hektar sawah mengering tak bisa di kerjakan, masyarakat yang jatuh sakit, jalanan yang hancur dan sebagainya. (irn)

Saya Diancam Mati di Ujung Peluru

 Saya Diancam Mati di Ujung Peluru
Firman Hidayat | The Globe Journal | Jum`at, 27 Januari 2012
Sumber: http://www.theglobejournal.com/kategori/feature/saya-diancam-mati-di-ujung-peluru.phphttp://www.theglobejournal.com/kategori/feature/saya-diancam-mati-di-ujung-peluru.php

Tak disangka memang, curahan hati seorang perempuan perkasa ini menggugah banyak pihak. Ia pernah bertugas di Lhoksukon pada saat DOM, masa konflik bersenjata di Aceh. Sebagai salah seorang staff pegawai biasa, ia pernah tiga kali memimpin upacara 17 Agustus di Lhoksukon. Inilah Erliana S.Sos.

Kamis, 26 Januari 2012 tadi pagi, Ia hadir dalam pertemuan antara masyarakat dengan pejabat tinggi Pemerintah Aceh Besar yaitu Sekda dan para Asisten di ruang rapat Sekda Aceh Besar. Pertemuan itu ternyata membahas bagaimana mencari solusi dalam kasus tambang galian C di Kecamatan Darul Kamal. 

Konon Pemkab Aceh Besar dinyatakan kalah dalam perkara tambang galian C di PTUN Banda Aceh, 18 Januari 2012.

Ia hadir mengatasnamakan seorang Camat. Namun disela-sela hangatnya dialog itu, Erliana muncul dengan suara terbata-bata. Ia pun duduk disamping Danramil dan Kapolsek Darul Kamal. Ia berucap bahwa saya sering mendapat SMS dari orang tak dikenal (OTK) yang berisikan “Saya akan meninggal di ujung peluru,” ucap dia sambil sayu-sayu menatap menerawang keatas.

Lalu semua tersentak diam. Ia pun sepertinya menghimpun kekuatan dan terlihat tetap tegar dalam menghadapi ancaman tersebut. Dialog kemudian dilanjutkan lagi, sehingga pertemuan semakin tambah serius. 

Usai pertemuan itu, kepada The Globe Journal Ia berkisah. Dulu dimasa DOM di Aceh dirinya bertugas di Lhoksukon Aceh Utara, kerap juga menerima ancaman. Kemudian tahun 1993, Ia pindah ke Kabupaten Aceh Besar dan bertugas sebagai staff di Kantor Camat Ingin Jaya selama 12 tahun.

Erliana pernah menjabat sebagai Sekcam Darul Imarah selama lima tahun, lalu pindah lagi ke Badan Kesbang Linmas Aceh Besar menjadi Kabid selama sembilan bulan. 

Kini Erliana dipercayakan Bupati Aceh Besar untuk menjadi pemimpin masyarakat sebagai Camat Darul Kamal sejak tahun 2010 lalu hingga sekarang.

Tegar terhadap semua ancaman. Tidak mudah patah semangat memberikan pelayanan kepada masyarakat, Erliana mengaku tak gentar kendatipun pekan lalu masih dalam bulan Januari 2012 ini mobilnya sempat ditabrak OTK di kawasan Kayee Lee yang tidak jauh dari kantornya.

Ia mengenang, saat itu dengan mobil Kijang dinas yang dipakainya, Ia meminggirkan mobil dipinggir ruas jalan hitam dan tanpa terduga langsung saja ditabrak OTK sehingga lampu dan kaca spion mobil plat merah itu rusak. Ia belum melaporkan kasus ini ke pihak berwajib. 

Menurutnya tambang galian C di Mukim Biluy itu semuanya tidak ada izin, apalagi pernah masuk surat dari Pemerintah Aceh Besar, pada Juni 2011 lalu yang meminta untuk menghentikan semua kegiatan aktifitas galian C tanah timbun di Kecamatan Darul Kamal.

Dijelaskannya isi SMS itu berbunyi, saya dikatakan meninggal di ujung peluru. Erliana terlihat tidak menggubris dan tidak terganggu dengan isi SMS itu. Tetap tegar dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Amatan The Globe Journal, saat berlangsungnya pertemuan itu banyak pihak yang merespon curahan hati sang “Srikandi”. Semuanya mendesak agar isi hati Erliana itu harus menjadi catatan penting bagi Pemerintah Aceh Besar untuk tidak tinggal diam.

“Masalah tambang galian C di Kecamatan Darul Kamal ini sudah masuk dalam ranah kekerasan, seyogyanya ini harus menjadi perhatian serius dari Pemerintah Aceh Besar,” harap sejumlah tokoh yang hadir dalam pertemuan itu.

Rapat Bahas Biluy

Rapat Bahas Biluy
M. Nizar Abdurrani | The Globe Journal | Kamis, 26 Januari 2012
Sumber: http://www.theglobejournal.com/kategori/foto/rapat-bahas-biluy
Rapat antara Pemkab Aceh Besar, Muspika Kecamatan Darul Kamal, masyarakat kemukiman Biluy dan WALHI Aceh membahas kasus Galian C yang berada di Mukim Biluy, Kamis (26/1) di Kantor Bupati Aceh Besar Jantho. Salah satu hasil rapat tersebut adalah rencana memidanakan pelaku perusakan lingkungan hidup di Biluy.

Pemkab Aceh Besar Pidanakan Pengusaha Galian C di Biluy

Pemkab Aceh Besar Pidanakan Pengusaha Galian C di Biluy
Firman Hidayat | The Globe Journal | Kamis, 26 Januari 2012
Sumber: http://www.theglobejournal.com/kategori/hukum/pemkab-aceh-besar-pidanakan-pengusaha-galian-c-di-biluy.php
Banda Aceh — Kerusakan lingkungan di Kemukiman Biluy Aceh Besar yang diakibatkan oleh penambangan galian C liar makin meresahkan masyarakat. Pemerintah Aceh Besar melalui Sekda Zulkifli Ahmad menegaskan pihaknya tak tinggal diam dengan laporan warga setempat. Pemkab akan mempidanakan perkara ini ke meja hijau.

Lanjutnya sebelum melakukan gugatan secara pidana terhadap penambang liar ini karena kerusakan lingkungan, maka pihaknya sedang mencari titik temu dengan beberapa pakar hukum juga Walhi Aceh yang menjadi salah satu LSM yang focus pada persoalan isu-isu lingkungan.

“Keinginan menggugat penambang secara pidana ke Pengadilan Negeri Banda Aceh ini berawal dari adanya laporan masyarakat yang sudah mulai khawatir akan terjadinya banjir bandang dan kerusakan lingkungan lainnya akibat pengerukan galian C,” kata Zulkifli kepada The Globe Journal, Kamis (26/1) usai melakukan pertemuan dengan masyarakat Mukim Biluy, Kecamatan Darul Kamal, Aceh Besar siang tadi.

Keresahan masyarakat setempat bukan tanpa alasan jelas Zulkifli. Dampak galian C liar tersebut salah satunya telah mengurangi kuantitas air bersih dan air irigasi di sawah-sawah milik masyarakat. “Inilah yang membuat Pemerintah Aceh Besar harus lebih serius akan menggugat penambang galian C yang liar itu,” pungkasnya.

Sementara Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar menyambut baik upaya yang ingin dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar itu. Dikatakannya, masyarakat punya hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, bersih dan layak bagi kehidupan.

Jika lingkungan tersebut telah dirusak dengan sengaja oleh segelintir orang, maka masyarakat tidak perlu takut untuk mengajukan tuntutan pidana. Gugatan pidana terhadap perusak lingkungan dimungkinkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Pasal 66 UU Nomor 32 menyebutkan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,”ujar TM panggilan akrabnya. [Yul]

Walhi Paparkan Tiga Kebohongan PT Kalista Alam

Walhi Paparkan Tiga Kebohongan PT Kalista Alam


Banda Aceh – Sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) gugatan Walhi Aceh terhadap Gubernur dan PT Kalista Alam terkait pemberian izin di kawasan Rawa Tripa mengagendakan pembacaan replik dari penggugat di PTUN Banda Aceh, Selasa (25/1).
Dalam repliknya, Walhi menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi di kawasan lahan gambut Rawa Tripa adalah nyata dan didasari oleh fakta-fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan. Hal ini menanggapi jawaban pihak tergugat I dan II intervensi yang menyatakan bahwa kerusakan Rawa Tripa masih berupa khayalan.
Sidang yang berlangsung sekitar 20 menit tersebut dimulai pada pukul 12:00 WIB. Pengacara Walhi Aceh yang diwakili oleh Jehalim Bangun SH dan Nurul Ikhsan SH mengatakan, eksistensi tergugat II intervensi (PT Kalista Alam) terhadap areal perkebunan sawit adalah kebohongan belaka, dengan memanfaatkan dan memanipulasi keputusan-keputusan Tata Usaha Negara yaitu Surat Dinas Kehutanan Aceh Provinsi Aceh Nomor : 522.51/4302.II tanggal 16 April 1999 dan Surat Keputusan Bupati Nagan Raya Nomor : 5222/104/2008 tanggal 5 Februari 2008.
“Seandainya pun benar perbuatan Tergugat II Intervensi tersebut, nyata-nyata telah menyalahi prosedur dan ketentuan yang berlaku karena tidak memiliki izin untuk melakukan kegiatan pembersihan lahan untuk penanaman, karena SK Bupati Nagan Raya Nomor : 5222/104/2008 tanggal 5 Februari 2008 tersebut tidak bisa dijadikan dasar hukum bagi Tergugat II Intervensi untuk penguasaan lahan. Selain itu, SK Bupati tersebut ternyata telah habis masa berlakunya terhitung sejak tanggal 5 Februari 2011,” jelas Nurul Ikhsan, pengacara Walhi Aceh.
Selain itu, Tergugat II Intervensi dianggap telah berbohong tentang jenis tanah gambut di lokasi perkara. PT Kalista Alam menyatakan kedalaman tanah gambutnya hanya 0,5 – 1 meter dan tidak ditemukan rawa-rawa. Padahal fakta sebenarnya, kedalaman tanah gambut di lokasi perkara mencapai 2,75 meter sampai dengan lebih dari 3 meter, berdasarkan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL dan UPL) Kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kalista Alam yang disusun oleh PT. Dypersi Konsulin Utama (DKU) dan sudah disahkan oleh Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Nagan Raya Nomor : 660/116/LHK/2009 tanggal 16 April 2009.
Menurut Walhi Aceh, lahan seluas 1.605 Hektar yang menjadi lokasi yang dimohonkan oleh Tergugat II seluruhnya masuk kedalam Kawasan Ekosistem Leuser  yang berupa hutan rawa primer dengan vegestasi tergolong rapat. Akan tetapi kondisi tersebut berubah setelah Tergugat II Intervensi melakukan kegiatan pembukaan lahan, sehingga vegetasi hutan menjadi rusak. Hal ini diperkuat dengan surat dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Nomor 525/BP2T/1295.2/2011 tanggal 25 November 2011 perihal Pemberhentian Kegiatan Sementara, pada diktum 1.a. yang berbunyi “…karena areal tersebut termasuk dalam Hutan Rawa Gambut Tripa, juga termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser”.
Terakhir, pengacara Walhi Aceh dengan mempertimbangkan replik tersebut meminta majelis hakim menolak seluruh eksepsi Tergugat II Intervensi dan mengabulkan seluruh gugatan penggugat serta menghukum Tergugat II Intervensi untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini. (MP)
 

Pengacara Pemerintah Aceh & PT Kallista Alam

Pengacara Pemerintah Aceh & PT Kallista Alam
M. Nizar Abdurrani | The Globe Journal | Rabu, 25 Januari 2012
Sumber:http://www.theglobejournal.com/kategori/foto/pengacara-pemerintah-aceh--pt-kallista-alam.php
Tampak tim pengacara Pemerintah Aceh dan PT Kallista Alam sedang mendengarkan replik yang disampaikan oleh pengacara WALHI Aceh (tidak tampak) di PTUN Banda Aceh, Rabu (25/1). Dalam sidang gugatan penerbitan surat izin pembukaan hutan Rawa Tripa oleh Gubernur Aceh, WALHI Aceh menyampaikan bahwa kerusakan hutan Rawa Tripa sudah tampak nyata.

Soal Iklan Salah Ketik, Bapedal Aceh Ogah Ralat

Soal Iklan Salah Ketik, Bapedal Aceh Ogah Ralat
Firman Hidayat | The Globe Journal | Rabu, 25 Januari 2012
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/sosial/soal-iklan-salah-ketik-bapedal-aceh-ogah-ralat.php
Banda Aceh — Setelah didesak oleh sejumlah pihak dari Walhi Aceh, Koalisi Masyarakat Peduli Masjid Raya Baiturrahman (KPMRB) dan PKS Banda Aceh yang menyarankan agar iklan yang salah ketik itu diralat kembali. Ketua Bapedal Aceh justru mengatakan tidak perlu diralat karena semua orang sudah tahu.

Menanggapi persoalan tersebut, usai menghadiri diskusi bertemakan tata ruang dan cagar budaya Kota Banda Aceh, Husaini mengatakan semua orang sudah tahu masalah ini, tidak perlu diralat lagi. “Kecuali ada orang yang belum tahu,” katanya kepada The Globe Journal, Rabu (25/1) siang tadi.

Dalam diskusi itu sempat mencuat persoalan salah ketik dalam pengumuman iklan Amdal di Harian Serambi Indonesia pada November 2010. Menurut Direktur Walhi Aceh, TM. Zulfikar, bahwa Bapedal Aceh harus mengklarifikasi kesalahan salah ketik nama lokasi untuk pembangunan Hotel dan Mall dalam pengumuman itu. “Jika perlu ralat dan umumkan lagi iklan tersebut,” kata Zulfikar. 

Dalam pengumuman itu lokasinya ditulis di Jalan Iskandar Muda, Banda Aceh, tapi kenyataannya dibangun di lokasi bekas bangunan Geunta Plaza atau di persimpangan Jalan Abu Lam U, Banda Aceh.

Husaini Syamaun yang hadir dalam diskusi yang terbuka untuk umum itu langsung mengklarifikasi bahwa diakuinya ada yang salah dalam redaksi. “Namun tidak bisa disampaikan diluar forum komisi Amdal, karena persoalan tersebut harus dibahas lagi dalam komisi,” kata Husaini.

Soal iklan pengumuman itu diakuinya kurang cermat, karena data tersebut dimasukkan oleh pemrakarsa yang mengumumkan terus. Namun dalam perjalanannya ada kekeliruan.

Menurut Husaini, dalam setiap rapat-rapat sudah dijelaskan bahwa lokasinya bekas bangunan Geunta Plaza. “Saya pikir tidak ada maksud untuk membohongi publik, karena dalam rapat selalu kita sebutkan bekas Geunta Plaza,” pungkas Husaini.

Pada kesempatan itu, Juru Bicara KPMRB, Fuad Mardhatillah juga sempat menanyakan apakah keputusan komisi Amdal itu tidak bisa diubah lagi ? Ketua Bapedal Aceh ini lagi-lagi mengatakan bahwa hasil keputusan dari komisi Amdal merupakan pendapat bersama.

Kalau dokumen itu disetujui dalam komisi berarti semuanya sudah setuju. Jika ada masyarakat yang menggugat, silahkan melalui mekanismenya masing-masing. “Komisi Amdal ini ditetapkan oleh SK Gubernur Aceh dan setiap tahun ada perbaikan,” demikian Husaini Syamaun sembari mengatakan komisi Amdal tidak memihak kemanapun karena sifatnya sangat independen.

Timdu Tataruang Propinsi Aceh Presentasi Di Walhi

Timdu Tataruang Propinsi Aceh Presentasi Di Walhi

image
Banda Aceh (www.korandigital.com) - Tim Terpadu Tataruang Provinsi Aceh yang diwakili oleh Ketua Tim Safri dan staff Widodo dari Badan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Provinsi Aceh dalam penyampaian persentasi hasil kerja sementara Timdu Tataruang Aceh yang dilaksanakan disekretariat Walhi Aceh. Pada acara tersebut dihadiri oleh Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Forum Tataruang Sumatera (For- trus) Aceh, Transparency International Indonesia (TII), WWF, KuALA, YEL, YRBI dan BPKEL pada Senin (26/12/2011).

Kehadiran Timdu tersebut atas undangan Walhi Aceh terhadap kekhawatiran lembaga dan aktifis lingkungan tentang Tataruang dan pola ruang yang saat ini dilihat lebih pro kepada kepentingan pemodal dan pengusaha saat ini di Aceh, sebut TM Zulfikar Dir Walhi Aceh dalam membuka persentasi tersebut. Selanjutnya Dir Walhi Aceh juga memaparkan bahwa proses ini menjadi penting karena Walhi Aceh sedang mengadvokasi kasus izin baru yang diberikan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf kepada PT. Kalista Alam yang berada dikabupaten Abdiya. Hal  ini berujung Walhi Aceh bersama TKPRT dan For-trus mengugat Gubernur Aceh ke PTUN atas izin yang disinyalir oleh lambaga lingkungan sarat dengan pelanggaran hukum dan perundangan yang berlaku bahkan terindikasi suap dan terjadi praktek korupsi.

Pada pemaparan persentasi Timdu, Safri (red. Ketua Timdu) menyampaikan bahwa penyusunan Tataruang Aceh banyak menghadapi kendala dan permasalahan dalam pelaksanaan proses ini. Kendala yang sering dihadapi adalah status tanah hak yang saat ini terjadi seperti kepemilikan hak atas tanah untuk HGU, HPH, KP Tambang dan HTI diseluruh provinsi Aceh. Banyaknya izin yang dikeluarkan oleh Gubernur dan Bupati terhadap hak atas tanah tersebut belum selesai diverifikasi oleh tim. Proses ini telah kita mulai sejak tahun 2010 hingga saat ini belum dapat difinalisasi karena masih banyak hal yang harus kita akomodir agar bila Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Aceh disahkan tidak terjadi lagi protes dari berbagai pihak.

Kesempatan yang sama disampaikan juga oleh Widodo, rencana tataruang sudah pernah kita ajukan dipusat yang disampaikan pemerintah Aceh melalui Timdu. Hasil sementara yang dapat kami persentasikan adalah adanya penambahan dan pengurangan status kawasan hutan disetiap kabupaten/kota se-provinsi Aceh. Ini terjadi karena masih berlakunya status hak atas tanah yang dipegang oleh HGU, HPH, KP Tambang dan HTI yang cukup panjang bahkan ada yang berakhir tahun 2025. Belum selesai kita verifikasi malah keluar lagi izin baru yang terjadi dalam kawasan hutan gambut Rawa Tripa, hal ini yang membuat kawan-kawan lingkungan gerah dan mengugat pemerintah saat ini, ungkap Widodo.

Ada banyak timbul pertanyaan dari peserta yang mendengarkan pemaparan dari Timdu. Secara garis besar, peserta mempertanyakan proses penetapan perubahan yang akan ditetapkan dalam tataruang Aceh nantinya secara meknisme yang dilaksanakan Timdu. Sembari itu pula lembaga yang hadir khawatir kalau tataruang ini tidak menjamin hak-hak masyarakat adat dan kepentingan warga yang saat ini sedang sengketa lahan dengan pengusaha perkebunan, pertambangan dan juga status kawasan hutan yang diharapkan tidak terancam rusak akibat pembangunan kedepan di Aceh. Aspek yang menjadi acuan pertanyaan adalah keadilan terhadap hak-hak masyarakat, keberadaan hutan Aceh sebagai proyek REDD dan paru-paru dunia, pembangunan yang berbasis lingkungan dan juga menjaga kelestarian alam dan satwa kunci Aceh seperti Orang Utan, Gajah Sumatera, Harimau Sumatera dan satwa liar lainnya yang dilindungi.(Tora)

Wed, 28 Dec 2011 @05:29
Tags: banda aceh walhi

Izin Lokasi Tebar Konflik

Izin Lokasi Tebar Konflik

 RABU, 28 DESEMBER 2011 00:00
DITULIS OLEH KOMPAS
PDF
Share
Eksplorasi Tambang Menuai Protes Warga Sekitar
BANDA ACEH, - Ratusan izin lokasi usaha pertambangan dan perkebunan sawit yang diterbitkan pemerintah berpotensi menebar benih konflik di sejumlah wilayah di Tanah Air, seperti di Aceh, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Selatan. Lokasi yang diincar investor bersentuhan dengan hutan lindung, konservasi, dan hutan rakyat yang selama ini menghidupi warga sekitar.
Di Aceh, sebanyak 236 izin perkebunan dan 120 izin tambang saat ini diberikan kepada perusahaan swasta yang sebagian besar bersentuhan dengan lahan hutan lindung, konservasi, dan hutan rakyat.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh TM Zulfikar, Selasa (27/12), mengungkapkan, izin-izin perkebunan tersebut telah menggerus lahan hutan di Aceh seluas 351.232,8 hektar. Adapun izin-izin tambang itu mengalihfungsikan lahan hutan hingga sekitar 750.000 hektar.
”Tidak jelas alasan pemberian hak guna usaha (HGU) di atas lahan itu. Dampak ekonomi bagi warga sekitar pun tak jelas. Malah, terancam bencana banjir dan kekeringan,” ujarnya.
Walhi Aceh mencatat, dalam setiap konflik, warga sekitar selalu tak berdaya. Ironisnya, pemerintah dan aparat lebih sering membela kepentingan perusahaan daripada masyarakat. Kasus pemberian izin terhadap PT KA oleh Gubernur Aceh untuk mengalihfungsikan lahan hutan gambut seluas 1.605 hektar di Nagan Raya adalah contohnya.”Warga tak diajak bicara dan tak ada analisis mengenai dampak lingkungan,” katanya.
Namun, Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, persoalan lahan perkebunan tak sepenuhnya kesalahan pemerintah daerah. Pemerintah pusat juga berperan karena tak konsisten dalam penerapan kebijakan.Nazar mencontohkan, Kementerian Kehutanan tetap saja memperpanjang izin perusahaan tertentu untuk memperpanjang HGU-nya di lahan tertentu, yang sesungguhnya tidak layak.
Sengketa lahan tambang emas di Sumba Tengah dan Sumba Timur, NTT, diwarnai penangkapan tiga warga oleh aparat keamanan, 6 Desember 2011. Mereka dituduh menyerang dan membakar alat pengeboran emas milik PT Fathi Resources.Koordinator Komunitas Peduli Tanah Sumba Pastor Mikel Keraf mengungkapkan, sengketa lahan tambang seluas 39.600 hektar di Sumba Tengah karena minimnya sosialisasi antara investor, pemerintah, dan warga.
Direktur PT Fathi Resources Achmat Chandra mengatakan, sosialisasi sudah dijalankan sejak tahun 2000. ”Kami dapat izin eksplorasi seluas 99.000 hektar. Namun, itu cuma izin eksplorasi. Untuk eksploitasi, kami hanya butuh 400 hektar saja,” katanya.
Sekitar 2.000 warga dari sejumlah daerah di Sumatera Selatan berunjuk rasa di Kantor Gubernur Sumsel dan Markas Kepolisian Daerah Sumsel di Palembang, Selasa. Mereka menuntut penarikan aparat dari lahan berkonflik serta mencabut HGU sejumlah perusahaan yang dinilai menggusur lahan garapan mereka. (SIR/HAN/KOR/IRE)

Catatan Akhir Tahun - Orang Utan Rawa Tripa Mencari "Rumah Baru"

Catatan Akhir Tahun - Orang Utan Rawa Tripa Mencari "Rumah Baru"

Banda Aceh, 28/12 (ANTARA) - Di penghujung 2011, masyarakat dan aktivis lingkungan kembali menyuarakan keprihatinan dan kekecewaan mereka terhadap pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Aceh.
Isu-isu lingkungan hidup yang ikut meramaikan wajah media massa di Aceh dalam sepekan terakhir, yakni kehadiran  perusahaan perkebunan kelapa sawit terutama di Kabupaten Nagan Raya.
Riak kecil isu lingkungan itu muncul di punghujung tahun 2011, menyusul pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) dari Pemerintah Aceh kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Nagan Raya.
Sebut saja, PT Kalista Alam yang  mengantongi izin HGU dari Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dengan luas areal perkebunan untuk tanaman kelapa sawit seluas 1.605 hektare di kawasan Rawa Tripa, Nagan Raya.
Pemberian izin HGU itu akhirnya memicu protes dari berbagai kalangan, terutama aktivis lingkungan di provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.
Protes itu karena ada kekhawatiran ancaman kerusakan lingkungan dan punahnya habitat satwa dilindungi terutama orang utan sebagai penghuni tertua di Rawa Tripa.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) TM Zulfikarmenyatakan populasi Orang Utan Sumatera (Pongo Abelii) di kawasan hutan gambut Rawa Tripa kini  terancam punah.
"Populasi Orang Utan di hutan gambut Rawa Tripa terancam punah. Setiap tahun jumlahnya menurun drastis dan kini tinggal sekitar 280 ekor dari tercatat 6.000 ekor data 1999," katanya.
Menurut dia, berkurangnya populasi binatang dilindungi itu  terjadi karena konsesi lahan dari areal hutan menjadi kawasan perkebunan sawit milik perusahaan-perusahaan besar.
"Kalau hutan gambut Rawa Tripa dibabat dan dijadikan perkebunan sawit, maka populasi orang utan dipastikan tidak ada lagi beberapa tahun mendatang," ungkap TM Zulfikar.
Luas hutan gambut Rawa Tripa mencapai 61,8 ribu hektare. Hutan gambut Rawa Tripa tersebut masuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, kata dia, menetapkan bahwa KEL sebagai kawasan strategis nasional dari sisi kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
Secara ekologis, lanjut dia, pengalihan hutan gambut tersebut menjadi bencana alam, seperti tsunami dan banjir. Hutan ini juga menjadi tempat cadangan karbon dengan kapasitas mencapai 4,048 ton.
"Namun, hampir 40 persen atau sekitar 20 ribu hektare luas hutan gambut Rawa Tripa, kini beralih fungsi menjadi perkebunan sawit," papar T Muhammad Zulfikar.
Selain itu, sebut dia, 60 persen hutan gambut yang belum beralih fungsi tersebut itu juga terancam rusak karena adanya pengerukan kanal air yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit.
"Kanal-kanal itu akan menguras air dari areal hutan yang tidak masuk lahan perkebunan sawit, sehingga hayati di dalamnya dengan sendirinya mati," kata TM Zulfikar.
Manajer Ekosistem Sigom Aceh, Heri Fitriadi juga menyebutkan pemberian izin  untuk areal perkebunan kelapa sawit di kawasan Rawa Tripa akan berdampak hilangnya mata pencarian penduduk di wilayah itu.
"Punahnya satwa dilindungi dan hilangnya mata pencaharian penduduk di kawasan itu juga sebagai penyebab alih fungsi lahan hutan gambut ke areal perkebunan kelapa sawit di Rawa Tripa," kata manejer sebuah LSM di Nagan Raya itu.
Sebab, katanya selain orang utan, di kawasan ekosistem Leuser Rawa Tripa itu telah dijadikan sebagai habitat satwa dilindungi lainnya  seperti mawas, kera ekor panjang, dan puluhan jenis burung serta harimau dan gajah.
"Artinya tidak mustahil jika kawasan itu kemudian dijadikan areal perkebunan sawit maka habitat yang ada didalamnya akan punah. Itu menjadi ancaman serius di masa mendatang," katanya menambahkan.

Mata pencaharian

Selain itu, keberadaan kawasan ekosistem Leuser Rawa Tripa tersebut sebagai lokasi mata pencaharian tetap bagi penduduk di sejumlah desa seperti Sumber Bhakti, Markati Jaya, Sumber Makmur, Pulau Kruet, Alue Kuyun dan Kuala Seumayam.
"Bertahun-tahun kawasan itu sebagai ladang mata pencaharian masyarakat untuk bertahan hidup dan melanjutkan pendidikan bagi anak-anak mereka dengan mencari ikan, rotan, madu, lokan dan lainnya. Artinya, kalau areal kebun sawit dibuka maka secara otomatis mata pencaharian penduduk akan hilang," kata dia.
Konflik satwa dengan manusia jelas tidak bisa terhindari jika habitat binatang itu terusik karena dijadikan sebagai areal perkebunan untuk melindungi pengusaha besar yang akan menanamkan investasinya di kawasan Rawa Tripa tersebut, ujarnya menambahkan.
Meski yang tidak bisa dipungkiri, Heri menyebutkan dampak besar akibat pemberian hak guna usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit adalah rusaknya ekosistem lingkungan hidup.
Selain itu, ia juga menjelaskan ada keresahan masyarakat di kawasan tersebut selama ini karena salah satu perusahaan perkebunan sawit memperketat setiap warga yang ingin mencari nafkah di wilayah tersebut.
"Masyarakat yang akan melintasi kawasan perkebunan kelapa sawit, harus melapor dan meninggalkan KTP kepada petugas salah satu perusahaan. Padahal, kawasan itu sudah berpuluh-puluh tahun milik adat warga sekitar," kata dia menjelaskan.
Untuk itu, Heri mengharapkan Pemerintah Aceh segera mempertimbangkan kembali pemberian izin HGU terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit di kawasan ekosistem Leuser Rawa Tripa, Nagan Raya tersebut
Namun, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyatakan bahwa izin HGU perkebunan seluas 1.605 hektare milik PT Kalista Alam di kawasan Rawa Tripa Nagan Raya itu sesuai prosedur hukum.
Menurutnya, izin HGU di kawasan Rawa Tripa dikeluarkan setelah adanya pembahasan selama 1,5 tahun. Perusahaan telah melengkapi semua persyaratan, termasuk juga surat keterangan dari Polda Aceh bahwa usaha dan tanah yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum.
Kendati demikian, gubernur menyatakan pihaknya juga sudah mengutus tim untuk melihat dan meninjau kembali HGU PT Kalista Alam, jika ada masalah maka bisa ditinjau ulang.
Sementara itu, anggota DPRA fraksi Partai Aceh Abdullah Saleh, menyatakan pihaknya mendukung sepenuhnya kepolisian untuk mengungkap kasus dan indikasi pidana dalam izin usaha perkebunan budidaya di KEL Rawa Tripa, Nagan Raya.
"Kami dukung Polda Aceh untuk melakukan gelar perkara dan penyelidikan dugaan penyimpangan dalam penerbitan izin HGU itu," katanya.
Tokoh masyarakat pantai barat dan selatan Aceh, Adnan NS mempertanyakan komitmen Pemerintah Aceh dalam mewujudkan visi Aceh hijau, karena disatu sisi adanya "moratorium logging" namun disisi lain pengalihan fungsi hutan ke perusahaan perkebunan.
Mantan anggota DPD RI itu menambahkan, upaya pengalihan lahan gambut kawasan Rawa Tripa ke perusahaan perkebunan tersebut sangat mengkhawatirkan tidak hanya keselamatan satwa dan mata pencaharian penduduk, tapi juga kerusakan ekosistem.
Tidak hanya itu, katanya konflik sosial dan konflik antara satwa dengan manusia dikhawatirkan terjadi dimasa mendatang jika pemerintah tidak hati-hati dalam pemberian izin bagi perusahaan perkebunan.
Lihat saja kasus Mesuji. Seharusnya apa yang telah terjadi di wilayah lain hendaknya menjadi pelajaran ketika mengeluarkan izin HGU) untuk perusahaan perkebunan dan pertambangan.
Perlu juga dipikirkan bagaimana kelanjutan masa depan kehidupan satwa langka seperti orang utan. Hutan yang selama ini tempat damai bagi satwa namun terusik karena manusia dengan dalih investasi.
Akhirnya dimana lagi satwa itu harus mencari "rumah baru" atau anak cucu manusia di masa mendatang hanya bisa mengenali orang utan lewat gambar karena wujudnya sudah punah.
oleh Azhari

Kasus Rawa Tripa: Kalista Alam Jadi Tergugat


Kasus Rawa Tripa: Kalista Alam Jadi Tergugat


Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh dalam sidang gugatan WALHI Aceh terhadap Gubernur Aceh, Rabu 28 Desember 2011 menetapkan keputusan sela PT Kalista Alam sebagai tergugat II intervensi.
Hal ini sesuai dengan permohonan perusahaan tersebut mengingat objek sengketa adalah Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam.
Majelis hakim yang dipimpin Ketua PTUN Marbawi, SH didampingi hakim Selvie Ruthyarodh, SH dan Daily Yusmini, SH, menganggap permohonan itu sangat beralasan karena PT Kalista Alam menjadi pihak yang berkepentingan langsung. Sementara WALHI Aceh sebagai penggugat dan Pemerintah Aceh sebagai tergugat tidak merasa keberatan dengan penetapan tersebut. Pengacara WALHI Aceh, Safruddin, SH mengatakan bahwa masuknya PT Kalista Alam sebagai tergugat II intervensi untuk membela kepentingan mereka.
“Ini juga sesuai dengan pasal 83 UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto UU No.9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No.5 tahun 1986, juncto UU No.51 tahun 2009 Perubahan Kedua UU No.5 tahun 1986,” kata Safruddin.
Sidang selanjutnya akan berlangsung pada tanggal 11 Januari  2012 pukul 14.00 waktu setempat dengan agenda mendengar jawaban para tergugat. WALHI Aceh sendiri dalam hal ini mewakili Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tataruang Sumatera (For Trust) mengajukan gugatan terhadap Gubernur Aceh karena menganggap Gubernur Aceh telah melawan hukum dengan mengeluarkan Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di  Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha.
Tanggal 25 Agustus 2011, Gubernur Aceh telah menandatangani izin bagi sebuah perusahaan untuk melakukan konversi kawasan hutan rawa gambut primer menjadi perkebunan kelapa sawit. Menurut Direktur Eksekutif Daerah WALHI Aceh, T.M Zulfikar, izin tersebut bertentangan dengan sejumlah besar undang-undang dan peraturan. Ia mencontohkan diantaranya adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 26/ 2008, dan Instruksi Presiden No. 10/ 2011 yang melarang dikeluarkannya izin baru untuk kawasan hutan primer dan lahan gambut.
Lebih lanjut dijelaskan Zulfikar bahwa PT Kalista Alam sebagai penerima izin memiliki rekam jejak perilaku yang meragukan.
Banyak keluhan dari masyarakat lokal dan pernah terjadi kebakaran illegal di lahan yang dikelolanya.
“Saat ini, dunia semakin gencar meningkatkan kepeduliannya terhadap perubahan iklim global, emisi karbon, dan keanekaragaman hayati yang terancam. Maka bagaimana bisa hutan primer di Indonesia yang menyimpan karbon alami dalam jumlah yang sangat besar, dan merupakan rumah bagi satwa langka yang unik dan sangat terancam punah, dengan sebuah tanda tangan, dapat  menuju penghancuran?”, ujar Zulfikar.
Ia menambahkan, Ini bukan sekedar kasus mencegah pemusnahan populasi orangutan sumatera, tetapi melestarikan fungsi-fungsi dasar lingkungan yang penting bagi kualitas hidup baik untuk masyarakat lokal maupun untuk masyarakat global yang lebih luas. Sebagian orang mungkin menganggap sudah terlambat: terlalu banyak kerusakan yang telah terjadi; dalam 21 tahun terakhir, sekitar 70% dari hutan asli Tripa telah hancur dan populasi orangutannya merosot; lahan gambut terus dikeringkan. Tetapi sikap mengalah seperti ini hanya menguntungkan pihak yang akan terus merusak lingkungan pendukung kehidupan kita semua, untuk keuntungan pribadi mereka sendiri, sementara pihak lainnya harus menanggung biaya dampak kerusakan lingkungan.
Posted with WP for BlackBerry.

Berita Lainnya

  1. WALHI minta Hentikan Aktivitas di Rawa Tripa Banda Aceh
  2. PTUN Gelar Sidang Pemeriksaan Persiapan Gugatan WALHI
  3. Berikan Izin Usaha Perkebunan, Gubernur Aceh Digugat
  4. TKPRT For Trust Somasi Gubernur Aceh
  5. Alam Aceh Kaya, Tapi Masyarakatnya Miskin

Sidang gugatan Walhi terhadap Gubernur Aceh kembali digelar

Sidang gugatan Walhi terhadap Gubernur Aceh kembali digelar
Link:http://foto.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=227061:sidang-gugatan-walhi-terhadap-gubernur-aceh-kembali-digelar&catid=13:aceh&Itemid=26
Warta
HENDRO KOTO
Koresponden Aceh
WASPADA ONLINE


Banda Aceh – Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh hari ini Rabu (14/12) kemarin kembali mengadakan sidang gugatan Tim Koalisi Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tataruang Sumatera (For Trust) yang diwakili oleh WALHI Aceh terhadap penerbitan surat izin dari Gubernur Aceh. Agenda sidang kali ini masih tahap sidang persiapan pemeriksaan. Sidang berlangsung secara tertutup, dihadiri oleh kuasa hukum dari penggugat, Pemerintah Aceh dan PT Kalista Alam.

Sidang pemeriksaan persiapan tersebut langsung dipimpin oleh Ketua PTUN Marbawi, SH yang didampingi oleh hakim Selvie Ruthyarodh, SH. Pada pembukaan sidang tersebut hakim memeriksa surat kuasa dan surat permohonan dari para pihak. Hakim Marbawi juga menyampaikan bahwa pihak PT Kalista Alam sebagai pihak ketiga berhak mengajukan diri sebagai intervensi. Mengingat mereka sendiri merupakan pihak yang terkait langsung dengan materi gugatan walaupun yang menjadi tergugat adalah Gubernur Aceh.

“Jangan sampai PT Kalista Alam tidak tahu apa-apa sidang ini dan nantinya mengajukan komplain. Makanya kita beritahukan kepada mereka mengenai sidang ini,”kata Hakim Marbawi, SH.

Pihak pengacara pemerintah yang hadir sebanyak tujuh orang dalam kesempatan tersebut menyerahkan dokumen kronologis terbitnya surat izin tersebut. Ketika hakim menanyakan kepada mereka, apakah ada langkah perdamaian yang ditempuh sebelum gugatan dimasukan, pengacara pemerintah menjawab bahwa WALHI Aceh sudah pernah mengajukan somasi. Surat somasi tersebut saat ini sedang dipelajari Dinas teknis. Namun proses somasi ini belum pernah disampaikan kepada WALHI Aceh selaku penggugat.

Hakim juga menanyakan apakah perlu diambil keputusan sela yaitu penghentian aktivitas lapangan yang dilakukan oleh PT Kalista Alam. Pengacara Pemerintah Aceh yaitu Syafii Saragih SH menjawab tidak mungkin menghentikan kegiatan karena perusahaan telah menghabiskan uang yang banyak. Hal senada juga dijawab oleh pengacara PT Kalista Alam, Firman Azuar Lubis, SH, yang menjawab bahwa perusahaan telah berjalan sejak dahulu dengan memakai izin-izin dari Menhut, Bupati dan pihak terkait lain. Sedangkan pengacara WALHI Aceh, Nurul Iksan SH, meminta hakim memberikan putusan sela penghentian akvitas di Rawa Tripa mengingat kerusakan alam yang terjadi sudah parah. Hakim akan memberikan keputusan sela pada sidang lanjutan nanti tanggal 28 Desember 2011.

Sidang hari ini lebih kepada persiapan pemeriksaan dokumen surat gugatan dan surat kuasa. Agar dalam sidang nanti berkas-berkas yang diajukan tidak terdapat lagi kekurangan.

WALHI Aceh sendiri dalam hal ini mewakili Tim Koalisi Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tataruang Sumatera (For Trust) mengajukan gugatan terhadap Gubernur Aceh karena menganggap Gubernur Aceh telah melawan hukum dengan mengeluarkan Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di  Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha. Fakta yang sebenarnya lahan ini tidak berada di Desa Pulo Kruet namun berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan kawasan dilindungi karena merupakan kawasan Strategis Nasional.

Editor: PRAWIRA SETIABUDI

Pengacara: Gubernur Aceh harus dicopot Sumber:

THURSDAY, 29 DECEMBER 2011 06:21   PDFPrintE-mail
Pengacara: Gubernur Aceh harus dicopot
Sumber:
http://foto.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=228729:pengacara-gubernur-aceh-harus-dicopot&catid=77:fokusutama&Itemid=131
Warta
HENDRO KOTO
Koresponden Aceh
WASPADA ONLINE
(Istimewa)
BANDA ACEH – Surat Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) yang diterbitkan oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, dinilai cacat hukum dan melanggar aturan hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Ada indikasi lelanggaran itu dilakukan oleh Gubernur Aceh terhadap penerbitan izin, maka Irwandi harus dicopot.
Hal ini disampaikan oleh Kamaruddin, pengacara Tim Kordinasi Peduli Rawa Tripa kepadaWaspada Online tadi malam. “Rawa Tripa adalah Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan izin yang diterbitkan oleh gubernur kepada PT Kalista Alam masuk dalam kawasan yang dilindungi tersebut. Itu jelas tindakan yang bertentangan dengan ketentuan dan aturan lainnya yang berlaku dalam di Republik ini,” tandasnya.
join_facebookjoin_twitter

Menurutnya, KSN seperti KEL merupakan wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan negara, sosial, budaya dan/atau lingkungan dan termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.

Dijelaskannya, surat izin Gubernur Aceh No 525/BP2T/5322/2011 tentang IUP-B kelapa sawit yang diberikan kepada PT Kalista Alam yang masuk kedalam kawasan hutan rawa gambut tripa, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan tindak pidana tata ruang dan kejahatan lingkungan sebagaimana yang diatur dalam pasa 73 Undang-undang nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. “Kami mensinyalir ada beberapa instansi dan pejabat publik yang patut diduga ikut serta dalam menyetujui serta memberikan rekomendasi dikeluarkannya surat izin gubernur tersebut,” ungkapnya.

Ditambahkannya, selain Gubernur Aceh, Kepala Kantor Lingkungan Hidup dan Kebersihan Nagan Raya, Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Aceh, Kepala Dinas Perkebunan Aceh dan Kawil BPN Aceh adalah pihak-pihak yang seharusnya juga bertanggungjawab atas keluarnya surat izin tersebut. “Mereka juga harus diperiksa, karena ada unsur bahwa mereka juga terindikasi sehingga gubernur menerbitkan surat izini untuk PT Kalista Alam,” tandasnya.