Timdu Tataruang Propinsi Aceh Presentasi Di Walhi
Banda Aceh (www.korandigital.com) - Tim Terpadu Tataruang Provinsi Aceh yang diwakili oleh Ketua Tim Safri dan staff Widodo dari Badan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Provinsi Aceh dalam penyampaian persentasi hasil kerja sementara Timdu Tataruang Aceh yang dilaksanakan disekretariat Walhi Aceh. Pada acara tersebut dihadiri oleh Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Forum Tataruang Sumatera (For- trus) Aceh, Transparency International Indonesia (TII), WWF, KuALA, YEL, YRBI dan BPKEL pada Senin (26/12/2011).
Kehadiran Timdu tersebut atas undangan Walhi Aceh terhadap kekhawatiran lembaga dan aktifis lingkungan tentang Tataruang dan pola ruang yang saat ini dilihat lebih pro kepada kepentingan pemodal dan pengusaha saat ini di Aceh, sebut TM Zulfikar Dir Walhi Aceh dalam membuka persentasi tersebut. Selanjutnya Dir Walhi Aceh juga memaparkan bahwa proses ini menjadi penting karena Walhi Aceh sedang mengadvokasi kasus izin baru yang diberikan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf kepada PT. Kalista Alam yang berada dikabupaten Abdiya. Hal ini berujung Walhi Aceh bersama TKPRT dan For-trus mengugat Gubernur Aceh ke PTUN atas izin yang disinyalir oleh lambaga lingkungan sarat dengan pelanggaran hukum dan perundangan yang berlaku bahkan terindikasi suap dan terjadi praktek korupsi.
Pada pemaparan persentasi Timdu, Safri (red. Ketua Timdu) menyampaikan bahwa penyusunan Tataruang Aceh banyak menghadapi kendala dan permasalahan dalam pelaksanaan proses ini. Kendala yang sering dihadapi adalah status tanah hak yang saat ini terjadi seperti kepemilikan hak atas tanah untuk HGU, HPH, KP Tambang dan HTI diseluruh provinsi Aceh. Banyaknya izin yang dikeluarkan oleh Gubernur dan Bupati terhadap hak atas tanah tersebut belum selesai diverifikasi oleh tim. Proses ini telah kita mulai sejak tahun 2010 hingga saat ini belum dapat difinalisasi karena masih banyak hal yang harus kita akomodir agar bila Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Aceh disahkan tidak terjadi lagi protes dari berbagai pihak.
Kesempatan yang sama disampaikan juga oleh Widodo, rencana tataruang sudah pernah kita ajukan dipusat yang disampaikan pemerintah Aceh melalui Timdu. Hasil sementara yang dapat kami persentasikan adalah adanya penambahan dan pengurangan status kawasan hutan disetiap kabupaten/kota se-provinsi Aceh. Ini terjadi karena masih berlakunya status hak atas tanah yang dipegang oleh HGU, HPH, KP Tambang dan HTI yang cukup panjang bahkan ada yang berakhir tahun 2025. Belum selesai kita verifikasi malah keluar lagi izin baru yang terjadi dalam kawasan hutan gambut Rawa Tripa, hal ini yang membuat kawan-kawan lingkungan gerah dan mengugat pemerintah saat ini, ungkap Widodo.
Ada banyak timbul pertanyaan dari peserta yang mendengarkan pemaparan dari Timdu. Secara garis besar, peserta mempertanyakan proses penetapan perubahan yang akan ditetapkan dalam tataruang Aceh nantinya secara meknisme yang dilaksanakan Timdu. Sembari itu pula lembaga yang hadir khawatir kalau tataruang ini tidak menjamin hak-hak masyarakat adat dan kepentingan warga yang saat ini sedang sengketa lahan dengan pengusaha perkebunan, pertambangan dan juga status kawasan hutan yang diharapkan tidak terancam rusak akibat pembangunan kedepan di Aceh. Aspek yang menjadi acuan pertanyaan adalah keadilan terhadap hak-hak masyarakat, keberadaan hutan Aceh sebagai proyek REDD dan paru-paru dunia, pembangunan yang berbasis lingkungan dan juga menjaga kelestarian alam dan satwa kunci Aceh seperti Orang Utan, Gajah Sumatera, Harimau Sumatera dan satwa liar lainnya yang dilindungi.(Tora)
Kehadiran Timdu tersebut atas undangan Walhi Aceh terhadap kekhawatiran lembaga dan aktifis lingkungan tentang Tataruang dan pola ruang yang saat ini dilihat lebih pro kepada kepentingan pemodal dan pengusaha saat ini di Aceh, sebut TM Zulfikar Dir Walhi Aceh dalam membuka persentasi tersebut. Selanjutnya Dir Walhi Aceh juga memaparkan bahwa proses ini menjadi penting karena Walhi Aceh sedang mengadvokasi kasus izin baru yang diberikan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf kepada PT. Kalista Alam yang berada dikabupaten Abdiya. Hal ini berujung Walhi Aceh bersama TKPRT dan For-trus mengugat Gubernur Aceh ke PTUN atas izin yang disinyalir oleh lambaga lingkungan sarat dengan pelanggaran hukum dan perundangan yang berlaku bahkan terindikasi suap dan terjadi praktek korupsi.
Pada pemaparan persentasi Timdu, Safri (red. Ketua Timdu) menyampaikan bahwa penyusunan Tataruang Aceh banyak menghadapi kendala dan permasalahan dalam pelaksanaan proses ini. Kendala yang sering dihadapi adalah status tanah hak yang saat ini terjadi seperti kepemilikan hak atas tanah untuk HGU, HPH, KP Tambang dan HTI diseluruh provinsi Aceh. Banyaknya izin yang dikeluarkan oleh Gubernur dan Bupati terhadap hak atas tanah tersebut belum selesai diverifikasi oleh tim. Proses ini telah kita mulai sejak tahun 2010 hingga saat ini belum dapat difinalisasi karena masih banyak hal yang harus kita akomodir agar bila Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Aceh disahkan tidak terjadi lagi protes dari berbagai pihak.
Kesempatan yang sama disampaikan juga oleh Widodo, rencana tataruang sudah pernah kita ajukan dipusat yang disampaikan pemerintah Aceh melalui Timdu. Hasil sementara yang dapat kami persentasikan adalah adanya penambahan dan pengurangan status kawasan hutan disetiap kabupaten/kota se-provinsi Aceh. Ini terjadi karena masih berlakunya status hak atas tanah yang dipegang oleh HGU, HPH, KP Tambang dan HTI yang cukup panjang bahkan ada yang berakhir tahun 2025. Belum selesai kita verifikasi malah keluar lagi izin baru yang terjadi dalam kawasan hutan gambut Rawa Tripa, hal ini yang membuat kawan-kawan lingkungan gerah dan mengugat pemerintah saat ini, ungkap Widodo.
Ada banyak timbul pertanyaan dari peserta yang mendengarkan pemaparan dari Timdu. Secara garis besar, peserta mempertanyakan proses penetapan perubahan yang akan ditetapkan dalam tataruang Aceh nantinya secara meknisme yang dilaksanakan Timdu. Sembari itu pula lembaga yang hadir khawatir kalau tataruang ini tidak menjamin hak-hak masyarakat adat dan kepentingan warga yang saat ini sedang sengketa lahan dengan pengusaha perkebunan, pertambangan dan juga status kawasan hutan yang diharapkan tidak terancam rusak akibat pembangunan kedepan di Aceh. Aspek yang menjadi acuan pertanyaan adalah keadilan terhadap hak-hak masyarakat, keberadaan hutan Aceh sebagai proyek REDD dan paru-paru dunia, pembangunan yang berbasis lingkungan dan juga menjaga kelestarian alam dan satwa kunci Aceh seperti Orang Utan, Gajah Sumatera, Harimau Sumatera dan satwa liar lainnya yang dilindungi.(Tora)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar