Kasus Rawa Tripa: Kalista Alam Jadi Tergugat
Hal ini sesuai dengan permohonan perusahaan tersebut mengingat objek sengketa adalah Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam.
Majelis hakim yang dipimpin Ketua PTUN Marbawi, SH didampingi hakim Selvie Ruthyarodh, SH dan Daily Yusmini, SH, menganggap permohonan itu sangat beralasan karena PT Kalista Alam menjadi pihak yang berkepentingan langsung. Sementara WALHI Aceh sebagai penggugat dan Pemerintah Aceh sebagai tergugat tidak merasa keberatan dengan penetapan tersebut. Pengacara WALHI Aceh, Safruddin, SH mengatakan bahwa masuknya PT Kalista Alam sebagai tergugat II intervensi untuk membela kepentingan mereka.
“Ini juga sesuai dengan pasal 83 UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto UU No.9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No.5 tahun 1986, juncto UU No.51 tahun 2009 Perubahan Kedua UU No.5 tahun 1986,” kata Safruddin.
Sidang selanjutnya akan berlangsung pada tanggal 11 Januari 2012 pukul 14.00 waktu setempat dengan agenda mendengar jawaban para tergugat. WALHI Aceh sendiri dalam hal ini mewakili Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tataruang Sumatera (For Trust) mengajukan gugatan terhadap Gubernur Aceh karena menganggap Gubernur Aceh telah melawan hukum dengan mengeluarkan Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha.
Tanggal 25 Agustus 2011, Gubernur Aceh telah menandatangani izin bagi sebuah perusahaan untuk melakukan konversi kawasan hutan rawa gambut primer menjadi perkebunan kelapa sawit. Menurut Direktur Eksekutif Daerah WALHI Aceh, T.M Zulfikar, izin tersebut bertentangan dengan sejumlah besar undang-undang dan peraturan. Ia mencontohkan diantaranya adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 26/ 2008, dan Instruksi Presiden No. 10/ 2011 yang melarang dikeluarkannya izin baru untuk kawasan hutan primer dan lahan gambut.
Lebih lanjut dijelaskan Zulfikar bahwa PT Kalista Alam sebagai penerima izin memiliki rekam jejak perilaku yang meragukan.
Banyak keluhan dari masyarakat lokal dan pernah terjadi kebakaran illegal di lahan yang dikelolanya.
Banyak keluhan dari masyarakat lokal dan pernah terjadi kebakaran illegal di lahan yang dikelolanya.
“Saat ini, dunia semakin gencar meningkatkan kepeduliannya terhadap perubahan iklim global, emisi karbon, dan keanekaragaman hayati yang terancam. Maka bagaimana bisa hutan primer di Indonesia yang menyimpan karbon alami dalam jumlah yang sangat besar, dan merupakan rumah bagi satwa langka yang unik dan sangat terancam punah, dengan sebuah tanda tangan, dapat menuju penghancuran?”, ujar Zulfikar.
Ia menambahkan, Ini bukan sekedar kasus mencegah pemusnahan populasi orangutan sumatera, tetapi melestarikan fungsi-fungsi dasar lingkungan yang penting bagi kualitas hidup baik untuk masyarakat lokal maupun untuk masyarakat global yang lebih luas. Sebagian orang mungkin menganggap sudah terlambat: terlalu banyak kerusakan yang telah terjadi; dalam 21 tahun terakhir, sekitar 70% dari hutan asli Tripa telah hancur dan populasi orangutannya merosot; lahan gambut terus dikeringkan. Tetapi sikap mengalah seperti ini hanya menguntungkan pihak yang akan terus merusak lingkungan pendukung kehidupan kita semua, untuk keuntungan pribadi mereka sendiri, sementara pihak lainnya harus menanggung biaya dampak kerusakan lingkungan.
Posted with WP for BlackBerry.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar