Selasa, 29 November 2011

Group accuses Aceh leader of peatland destruction

Wednesday, November 30, 2011 12:32 PM

Follow us on

Headlines

Group accuses Aceh leader of peatland destruction

Link:http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/30/group-accuses-aceh-leader-peatland-destruction.html#

Nani Afrida, The Jakarta Post, Jakarta | Wed, 11/30/2011 8:12 AM
A | A | A |
An Acehnese civil society group says it has reported Aceh Governor Irwandi Yusuf to the National Police for issuing a business licence to a company to convert 1,605 hectares in Tripa Swamp, Aceh, into a palm oil plantation.

Koalisi Masyarakat Peduli Tripa (Community Coalition for Tripa Swamp) said it had also reported six other officials allegedly involved in the business license issuance, including the Nagan Raya regent and the heads of Aceh’s forestry and plantation agency, land agency (BPN) and integrated permit service agency (BP2T).

Tripa Swamp is part of the Leuser Ecosystem Area (KEL), located along the west coast of Aceh, which comprises vast swaths of peatlands rich in biodiversity, including the world’s largest orangutan population.

Irawandi imposed a moratorium on forest conversion in the area in 2007.

“The governor announced the forest moratorium in 2007, but he broke his promise by issuing the permit licence for the company,” Kamaruddin, the lawyer representing the coalition, said in Jakarta on Tuesday.

The coalition’s document showed that the Aceh governor had issued a permit to the company on Aug. 25 of this year.

The company had first requested the permit from the Nagan Raya regent in 2007.

“The issuance of the license for the company to develop Tripa Swamp is a criminal violation of spatial planning. The government should protect the area for the people’s sake,” Sexio Yuni Noor, another lawyer, said.

Riswan, a spartial planning expert focusing on Aceh and North Sumatra, said that half of the total 60,000-hectare area of Tripa Swamp had been converted into palm oil plantations.

At least four companies have licenses to develop plantations in the swamp, Riswan said. The companies are PT Astra Agro Lestari, PT Gelora Sawit Makmur, PT Cemerlang Abadi and PT Patriot Guna Sakti.

The four companies attained official land use certificates (HGU) from the central government before the governor announced the moratorium.

Riswan said that the latest licence issued by Irwandi could further reduce the peatland, and disturb the environmental balance.

“The company has worked in the area even though they do not have HGUs. They have converted the peatland, burned the plants and created canals for the plantations. This has disturbed the orangutans and other animals there,” Riswan said.

Sexio said that the coalition demanded that the governor revoke the business licences and restore the Tripa Swamp to its original state.

The Aceh governor could not be reached for comment.

Tripa Swamp is well-known for being home to the world’s largest population of Sumatran orangutans (Pongo abelii).

Ny skogpolitikk får konsekvenser i Indonesia

Ny skogpolitikk får konsekvenser i Indonesia

Link:http://www.regnskog.no/nyheter/nyhetsarkiv/asia/ny-skogpolitikk-f%C3%A5r-konsekvenser-i-indonesia
Guvernøren i Indonesias provins Aceh er blitt stevnet for retten etter ulovlig å ha delt ut tillatelse til å etablere en oljepalmeplantasje i regnskogen. Det er miljøorganisasjonen Walhi som står i spissen for saksøkinga.
Skriv ut
29. november 2011
sarawak
Foto: Julie Forchhammer/Regnskogfondet
Guvernøren anklages for å ha delt ut konsesjon i et våtmarksområde med intakt regnskog. Dette er ulovlig ifølge flere indonesiske reguleringer, og bryter med forbudet mot all utdeling av nye konsesjoner i våtmarksområder.
Hogstforbudet som skal hindre ødeleggelse av intakt skog og karbonrike torvmyrer ble undertegnet i mai i år, og er en viktig del av skogavtalen mellom Norge og Indonesia.
- Det er positivt at det innførte hogstforbudet nå brukes til å stille beslutningstakerne til ansvar for skogødeleggelse, sier Lars Løvold i Regnskogfondet.

Alvorets time for Indonesia

Den nye konsesjonen vil ødelegge 16 kvadratkilometer intakt regnskog, som flatehogges og erstattes med oljepalmer. Dette vil føre til store utslipp av karbongasser, og true livsgrunnlaget for utrydningstrua orangutanger og tigre som lever i området.
Konsesjonen bryter en rekke lovreguleringer, og har en strafferamme på fem år.
- Saken kan sees på som en lakmustest på om Indonesia mener alvor med å beskytte skogen. Nå må myndighetene bruke anledningen til å vise at lovbrudd i skogsektoren straffes i tråd med lovverket, fortsetter Løvold.
Det var i mai 2010 at Norge og Indonesia undertegnet en samarbeidsavtale til en verdi av en milliard amerikanske dollar. Utbetalingene fra Norge er resultatbaserte, som betyr at Indonesia bare får penger dersom de kan vise til resultater som forbedret skogforvaltning og redusert utslipp fra avskoging.
Søksmålet mot guvernøren i Aceh kom bare dager før en ny runde med internasjonale klimaforhandlinger startet opp i Sør-Afrika. Der skal man blant annet diskutere en internasjonal avtale om klimagassutslipp fra avskoging og skogforringelse.
Regnskogfondets Nils Hermann Ranum twitrer fra klimaforhandlingene i Durban. Følg han på twitter.com/regnskogfondet.

Kepala Daerah Harus Tahu Lingkungan

Kepala Daerah Harus Tahu Lingkungan

Tue, Jan 18th 2011, 13:25

BANDA ACEH - Selama ini pengelolaan alam buruk. Indikatornya dilihat intensiitas bencana yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Maka siapapun yang menjadi kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) di Aceh, harus memiliki apresiasi dan wawasan lingkungan hidup.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, TM. Zulfikar kepada Serambinews.com, Selasa (18/1) usai memberikan pengarahan kepada aktivis lingkungan di Banda Aceh, menyebut intensitas bencana alam akibat ekosistem yang rusak makin meningkat. Ia menyebut contoh, bencana banjir pada tahun 2008 saja sebanyak 170 kali, 2009 sebanyak 213 kali, dan tahun 2010 sebanyak 250 kali. "Itu yang sempat dicatat oleh Walhi," ujarnya.

Fenomena itu, paparnya, membuktikan bahwa perencanaan pembangunan di Aceh belum berperspektif lingkungan. Karenanya, kebijakan moratorium logging harus tetap dipertahankan dan implementasinya harus konkrit dan tidak ambigu. "Kita buat slogan Aceh green, namun pemerintah masih memberi perizinan usaha-usaha tambang dan konversi lahan besar-besaran," tukas TM Zulfikar seraya menambahkan, kebijakan itu sangat bertolak-belakang dengan program Aceh Green.

Sumber : Serambinews.com
 

Tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa Laporkan Gubernur Aceh ke Mabes Polri

Jumat, 25 November 2011 18:09

Tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa Laporkan Gubernur Aceh ke Mabes Polri

Link:http://www.liranews.com/berita/berita/otonomi-daerah/5686-tim-advokasi-masyarakat-peduli-tripa-laporkan-gubernur-aceh-ke-mabes-polri.html

Kamis, 24 November 2011 00:27
Otonomi Daerah
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf Liranews.com – Gubernur Aceh Irwandi Yusuf hari ini dilaporkan oleh tim pengacara yang mengatasnamakan Tim Advokasi  Masyarakat Peduli Tripa ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.

Pelaporan yang dilakukan oleh tim pengacara ini terkait dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Gubernur Aceh tersebut dalam pemberian dan penerbitan izin budidaya perkebunan seluas 1.600 hektar yang berada dikawasan ekosistem leuser, provinsi  Aceh yang merupakan kawasan hutan lindung yang keberadaannya dilindungi  oleh Undang-undang. Hal ini diungkapkan oleh Ketua tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa, Kamaruddin.

Dijelaskannya, Penerbitan izin melalui SK No. 525/BP2T/5322/2011 pada tanggal 25 Agustus 2011 lalu, bertentangan dengan sejumlah Peraturan Perundang-undangan.
"Penerbitan izin tersebut jelas perbuatan yang secara nyata melawan kebijakan Presiden Republik Indonesia, Karena pada tanggal 20 Mei 2011, Presiden mengeluarkan Inpres No. 10/2011 tentang Penundaaan Izin Baru di Kawasan Gambut dan Izin konsesi kelapa sawit yang diterbitkan oleh Gubernur Aceh, lokasinya berada didalam daerah rawa Tripa adalah jelas-jelas perbuatan melawan hukum” jelasnya.

Menurutnya, Laporan tindak pidana yang hari ini disampaikan pihaknya kepada  Bareskrim Mabes POLRI berdasarkan fakta dan pertimbangan penerbitan izin tersebut juga bertentangan dengan PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional.  “ kawasan ekosistem Leuser telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan berstatus sebagai kawasan strategis nasional. Oleh karenanya, penerbitan izin perkebunan kelapa sawit yang berada didalam ekosistem Leuser dan berada didaerah rawa gambut, merupakan perbuatan pidana” tuturnya.

Ditambahkannya, Penerbitan izin illegal untuk Budi daya perkebunan  kelapa sawit tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan melawan secara langsung kebijakan Presiden. Karena, berdasarkan PP No. 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, telah mengamanatkan bahwa kedudukan Gubernur Aceh adalah sebagai wakil Pemerintah dalam arti perpanjangan tangan Presiden yang menjalankan semua Peraturan Perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah, dan bukan sebaliknya dengan melakukan perbuatan yang kontradiktif.

Untuk itu Tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa meminta Bareskrim Mabes Polri untuk segera melakukan upaya penegakan hukum atas laporan yang disampaikan. Hal ini guna melaksanakan penegakan hukum di negara ini serta penyelamatan kawasan rawa Tripa dari kehancuran.
 

Izin Gubernur Melawan Instruksi Presiden

14.30 WIB, Banda Aceh, NAD
Izin Gubernur Melawan Instruksi Presiden
Link:http://www.mediaindonesia.com/read/2011/11/25/279054/76/20/Izin-Gubernur-Melawan-Instruksi-Presiden
Jumat, 25 November 2011 00:03 WIB     
Komentar: 0
Izin Gubernur Melawan Instruksi Presiden
GUBERNUR Aceh dilaporkan oleh Tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa ke Mabes Polri terkait penerbitan Izin Budi Daya Perkebunan seluas 1.600 hektare, yang berada di dalam kawasan ekosistem Leuser, di Provinsi Aceh.

"Penerbitan izin itu jelas perbuatan yang secara nyata melawan Inpres No 10/2011 tentang Penundaan Izin Baru di Kawasan Gambut. Izin konsesi kelapa sawit yang diterbitkan Gubernur Aceh, lokasinya berada di dalam daerah rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, yang kedalamannya mencapai lebih 3 meter," ujar Kamaruddin, koordinator tim.

Selain itu penerbitan izin tersebut juga bertentangan dengan PP No 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Berdasarkan PP tersebut, kawasan ekosistem Leuser telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan berstatus sebagai kawasan strategis nasional. "Jadi penerbitan izin perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam ekosistem Leuser dan berada di daerah rawa gambut, merupakan perbuatan pidana,"jelas Kamaruddin.

Menurutnya, penerbitan izin tersebut dapat dikategorikan perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan melawan secara langsung kebijakan presiden. Karena, berdasarkan PP No 19/2010 disebutkan kedudukan Gubernur Aceh adalah sebagai wakil pemerintah dalam arti perpanjangan tangan Presiden yang menjalankan semua Peraturan UU dan kebijakan pemerintah. Bukan dengan melakukan perbuatan yang kontradiktif. (HP/N-4)

Rawa Tripa Penyimpan Cadangan Karbon Dunia

Link:http://atjehpost.com/nanggroe/daerah/9281-rawa-tripa-penyimpan-cadangan-karbon-dunia.html
Thursday, 24 November 2011 15:15
Written by RZ | LENTERATIMUR
BANDA ACEH - Tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa melaporkan penerbitan izin oleh Gubernur Aceh untuk perkebunan kelapa sawit seluas 1.600 hektare di Rawa Tripa, kepada Bareskrim Mabes Polri, Rabu (23/11).
Pada hari yang sama, ada juga gugatan dari Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa dan Forum Tataruang Sumatera untuk Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Banda Aceh.
Kedua Tim itu menilai izin gubernur untuk PT Kalista Alam itu ilegal dan untuk kepentingan ekonomi sesaat. Lalu, apa saja yang dimiliki oleh Rawa Tripa sehingga kawasan gambut hutan rawa gambut itu harus dilindungi?
Sebenarnya, Rawa Tripa merupakan satu dari tiga hutan rawa gambut  di pantai barat Sumatera. Luasnya sekitar 59.701 hektare. Secara administratif, 60 persen Rawa Tripa berada di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya. Sisanya ada di Babahrot, Aceh Barat Daya.
Wilayah tersebut berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser atau KEL yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional untuk pelestarian lingkungan hidup.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Pemerintahan Aceh, di Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 1995, bagian tertentu dari Rawa Tripa yang ketebalan gambutnya lebih dari tiga meter ditetapkan sebagai kawasan lindung. Dan Rawa Tripa memiliki kedalaman gambut bervariasi dengan kedalaman maksimal antara tiga hingga lima meter.
Dalam catatan Tim Koalisi dan Forum Tataruang, ada empat hal yang membuat Rawa Tripa layak dilindungi. Pertama, Rawa Tripa berfungsi sebagai pengatur hidrologi.
Di musim hujan, kawasan rawa gambut itu seperti spon yang dapat menahan air dan melepaskannya ketika kemarau. Rawa gambut juga berfungsi mencegah perembesan atau pencampuran air laut ke daratan.
Saat tsunami menerjang pantai barat Aceh, rawa gambut di Tripa terbukti menjadi benteng alami yang mencegah kehancuran lebih parah di kawasan itu.
Fungsi kedua Rawa Tripa sebagai pusat keanekaragaman hayati yang penting di KEL. Beberapa jenis tumbuhan dan hewan ternyata hanya dapat hidup dengan baik di kawasan ini. Dikhawatirkan kehancuran Rawa Tripa akan memusnahkan keaneakaragaman hayati dunia.
Selain itu, Rawa Tripa juga terkenal memiliki kepadatan populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) tertinggi di dunia, seperti halnya di Rawa Singkil dan Rawa Kluet, yakni 7.6 individu per kilometer persegi.
Di Tripa juga ditemukan satwa langka seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Beruang Madu (Helarctos malayanus), atau Burung Rangkong (Buceros sp).
Dapat juga dijumpai lebih dari tiga ratus jenis tumbuhan sebagai makanan satwa dan bernilai ekonomis tinggi. Sebut saja Cemenggang (Nessia sp) dan Malaka (Tetrameristra glabra) yang merupakan tumbuhan khas dan sumber makanan utama Orangutan.
Fungsi ketiga Rawa Tripa adalah sebagai penjaga iklim global karena kemampuannya menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia.
Hutan rawa gambut memiliki kandungan unsur karbon yang sangat besar. Menurut perhitungan Matby dan Immirizi (1993), kandungan karbon yang terdapat dalam gambut di dunia sebesar 329-525 GT (1 GT = 109 ton) atau 35 persen dari total karbon dunia.
Gambut di Indonesia memiliki cadangan carbon sebesar 46 GT atau 14 persen dari karbon yang terdapat dalam gambut di dunia. Apabila lapisan gambut terbakar atau mengalami kerusakan, materi ini akan mengeluarkan gas terutama CO2, NO2, dan CH4 ke udara dan siap mengubah iklim dunia.
Fungsi lainnya Rawa Tripa ialah sebagai sumber ekonomi masyarakat. Kawasan rawa merupakan habitat terbaik berbagai jenis ikan air tawar bernilai komersil tinggi. Hingga kini, ditemukan sekitar empat puluh jenis ikan, di antaranya ikan Jurong, Lele, Belut, Paitan, dan Kerang. Begitu juga dengan hasil hutan nonkayu yang meliputi rotan dan madu alam.
Masih menurut catatan Tim Koalisi dan Forum Tataruang, sejak 1990 Rawa Tripa telah mengalami penurunan luas area hutan baik secara kualitas maupun kuantitas atau deforestasi akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh sejumlah perusahaan besar dan perambahan oleh masyarakat.
Saat ini, dari total kawasan Rawa Tripa seluas 63.228 hektare, hanya tersisa kurang 30 persen hutan (16.634 hektare) yang sudah menjadi konsesi Hak Guna Usaha. Sejak 2006, laju deforestasi per tahun adalah 11,98 persen.
Hingga sekarang, ada lima Hak Guna Usaha besar yang bekerja di Rawa Tripa. Mereka adalah PT. Kalista Alam, eks PT. SPS II anak PT. Astra Agro Lestari, PT. Gelora Sawit Makmur, PT. Cemerlang Abadi, dan PT. Patriot Guna Sakti.Luas Hak Guna Usaha kelima perusahaan tersebut adalah 38.150 hektar.
Tim Koalisi dan Forum Tataruang menilai, jika tidak dihentikan dan mulai diperbaiki, dalam waktu dekat, hutan yang tersisa akan segera hancur, rawa akan kering, sebagai dampak pembukaan kanal-kanal oleh perusahaan.
Selain itu, teknik pembukaan lahan dengan cara pembakaran kerap dilakukan perusahaan yang memperparah kerusakan di hutan Rawa Tripa.
Konsekuensi yang terjadi kemudian juga tak berhenti pada kerusakan hutan. Jika pemerintah dan masyarakat tetap mengkonversi hutan Rawa Gambut Tripa menjadi areal perkebunan atau penggunaan lainnya, maka paling lambat dua puluh tahun ke depan kawasan dataran rendah Tripa akan tenggelam. Kota Alue Bilie dan Babah Rot akan menjadi batas garis pantai Samudera Hindia.
Perkiraan ini, menurut Tim Koalisi dan Forum Tata Ruang, didasarkan pada hasil penelitian para ahli lingkungan yang menyatakan bahwa jika hutan rawa gambut dibuka, akan terjadi pencucian gambut dan penurunan permukaan tanah.
Jika penghancuran Rawa Tripa tidak dicegah, maka pada 2025 diperkirakan air laut menenggelamkan kawasan ini. Ancaman ini akan dipercepat oleh pemanasan global yang memicu naiknya permukaan air laut.
Tak hanya itu, pusat biodiversity pun akan punah, begitu juga 38.150 hektar perkebunan kelapa sawit akan tenggelam, dan 40 jenis ikan bernilai ekonomis tinggi akan hilang. Dan Pemerintah Aceh akan kehilangan 63.228 hektar wilayah daratan. SUMBER: LENTERATIMUR.COM
Berita Sebelumnya:

Irwandi Yusuf, Indonesia’s “green governor”, accused of issuing illegal palm oil concession

Irwandi Yusuf, Indonesia’s “green governor”, accused of issuing illegal palm oil concession

Link:http://climate-connections.org/
Note: Corruption is rife within the climate mitigation circus.  Billions of dollars to be made from false solutions to climate change while the planet continues to burn…
–The GJEP Team
By Chris Lang, 24th November 2011
Cross-Posted from REDD-Monitor
Irwandi Yusuf, Indonesia's green governor, accused of issuing illegal palm oil concession
In August 2011, Irwandi Yusuf, governor of Aceh, signed a permit for a palm oil concession in the Tripa Peat Swamp, part of the Leuser Ecosystem, that Wetlands International describes as “an area of outstanding, world-renowned biodiversity value”. The permit would allow PT Kallista Alam to convert 1,605 hectares of forest.
The Leuser Ecosystem was established as a Strategic National Area for Environmental Protection in Indonesia’s 2008 National Spatial Plan. The Tripa area supports the highest density of the critically endangered Sumatran Orangutan on the island of Sumatra.
Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT – Coalition Team for the Rehabilitation of Tripa) has produced an information sheet about the destruction of the Tripa peat swamp: “Tripa Truths” (pdf file, 4.8 MB).
WALHI Aceh has filed a legal case against Governor Irwandi in the Aceh administrative court. WALHI Aceh’s press release about the legal case is below. WALHI Aceh argues that the palm oil concession is in breach of Indonesia’s moratorium on new forest concessions, that was signed in May 2011.
A comparison of the moratorium forest map issued by the Ministry of Forestry and the concession map shows clearly that the concession area is marked as peatland and therefore that new concessions should not be issued on this land (at least during the two year moratorium). Below is the moratorium map, then the concession map, then TKPRT’s map of the concession overlaid on the moratorium map (click on the images for larger versions):
In fact, as TKPRT points out based on field work and this series of satellite images, PT Kallista Alam started clearing the forest well before Governor Irwandi signed the permit for the concession. The first land clearing started before January 2010. By October 2010, drainage canals had been dug, and an area of the forest had been cleared (click on the image for a larger version):
WALHI ACEH
Re Legal case filed against illegal new palm oil plantation in Tripa peat swamp forests of Aceh Province, Indonesia, 23/11/2011
 
Indonesia’s renowned ‘Green Governor’, the Governor of Aceh Province, is creating pressure on Indonesian President SBY over the signing of an illegal approval for the palm oil company PT Kallista Alam to convert Protected Peat Swamp Forest into Palm Oil Plantations.
Punishable under Indonesian criminal law, the Governor could face up to a maximum 5 years in jail for his role in the issuing of the illegal permit.
A team of lawyers, on behalf of environmental and social justice NGO today issued a lawsuit to the head of the Aceh administrative court against the Governor of Aceh.
Wahli Spokeperson, TM Zulfiker explained the WAHLI case:
      “Palm Oil company, PT Kallista Alam, has received the Governor’s signature of approval on a new permit to convert 1,605 hectares of protected forests in the Tripa Peat Swamp, Nagan Raya District, into Palm Oil plantation, destroying forests and peatlands protected by National Spatial Planning Law, Government Regulation 26/2008, and Presidential Instruction 10/2011, issued in May this year, which forbids any new permits on primary forests and peatlands.
 
“Provincial government sources have stated that this ‘uncharacteristic’ signing of the approval document, dated August 25th, suggests he was either ‘very pressured to sign it’, or simply ‘may not have been fully aware of what he was signing’.
“Clearance of these forests will release huge amounts of carbon dioxide to the atmosphere, it threatens important populations of the Critically Endangered Sumatran orangutan and Sumatran tiger, among other species, and it threatens the ecosystem services and livelihoods of numerous local communities in and around Tripa.
“Presidential Instruction No. 10/2011 prohibits the issuance of any new licenses for conversion of primary forests or the development of peatlands and is one of the key deliverables forming part of a bilateral agreement, outlined in a Letter of Intent (LoI), between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Kingdom of Norway for ‘Cooperation on reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation’.
“This latest move put’s Indonesia’s commitment to the US$1 billion bilateral agreement with Norway under serious scrutiny, just days before the COP17 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) starting on 28th November in Durban, South Africa.
“The actions of PT Kalista Alam could come as a huge embarrassment, for the Indonesian President after he stressed the importance ‘to walk the walk, and not just talk the talk,’ at the recent Forestry Indonesia conference in Jakarta.” TM Zulfikar concluded.

Tim Koalisi Gugat Gubernur ke PTUN

MedanBisnis – Banda Aceh. Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tataruang Sumatera (For Trust) yang dalam hal ini diwakili Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rabu (23/11) mengajukan gugatan terhadap Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh.
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar, mengatakan gugatan yang dilayangkan Tim Koalisi karena somasi yang dikirimkan sebelumnya diabaikan.

Tim Koalisi menganggap Gubernur Aceh telah melawan hukum dengan mengeluarkan surat izin usaha perkebunan budidaya kepada PT Kalista Alam di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, dengan luas areal sekitar 1.605 hektar.

Walhi Aceh mewakili Tim Koalisi bersama tim pengacara Syafruddin SH, Jehalim Bangun SH dan Nurul Ikhsan SH menyerahkan materi gugatan kepada PTUN yang diterima Panitera PTUN Banda Aceh, Syaifuddin Ansari. ( dedi irawan)  

Aceh Chief Sued Over Plantation In Forest

Aceh Chief Sued Over Plantation In Forest
Link:http://www.thejakartaglobe.com/home/aceh-chief-sued-over-plantation-in-forest/480721
Nurdin Hasan | November 25, 2011
Share This Page
5
0
0
0
Share with google+ :


Post a comment
Please login to post comment

Comments
Be the first to write your opinion!
Banda Aceh. A leading environmental group is suing Aceh Governor Irwandi Yusuf for allegedly approving a permit for an palm oil plantation inside a protected peat forest.

T.M. Zulfikar, executive director of the Aceh chapter of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi), said on Thursday that his organization filed suit at the Banda Aceh State Administrative Court a day earlier.

He said the suit arose from Irwandi’s decision on Aug. 25 to issue a permit to palm oil company Kallista Alam for a concession inside the Tripa peat swamp in Nagan Raya district.

“The permit signed by Irwandi is for the conversion of 1,605 hectares of protected forests in the Tripa peat swamp into a palm oil plantation, destroying forests and peatlands protected by prevailing laws that forbid any new permits on primary forests and peatlands,” Zulfikar said. “By issuing the permit and violating these laws, the governor could face up to five years in prison.”

Zulfikar said he believed that Irwandi had been pressured by interest groups to approve the plantation permit.

“Sources in the provincial administration have stated that this ‘uncharacteristic’ signing of the permit suggests Irwandi was under heavy pressure to sign it,” he said. “That it was issued shows the governor didn’t really understand what he was signing.”

Zulfikar said that Walhi and other nongovernmental organizations filed the lawsuit to have the permit revoked. He added that they went to the court only after earlier pleas to the governor were ignored.

Kamaruddin, the lead lawyer for the NGOs, said that in addition to the lawsuit, they had also filed a criminal complaint against Irwandi with the National Police on Wednesday.

He added that because the permit was for a concession in a peat forest, it clearly went against a two-year moratorium adopted in May on new permits for primary and peat forests.

The moratorium, formalized under a presidential decree, is part of an agreement between Indonesia and Norway in which the Scandinavian country has committed $1 billion to help Indonesia meet its carbon emissions reduction target.

Kamaruddin said the governor had also breached the 2008 National Spatial Planning Law, which designates the entire Leuser Ecosystem Area a protected zone. “For that reason, issuing a plantation permit within the area is a criminal offense,” he said, adding that Irwandi could be charged with abuse of power.

He said the affair brought into question Indonesia’s commitment to honoring the terms of its agreement with Norway.

Irwandi and the provincial administration’s legal affairs head, Makmur Ibrahim, did not respond to a request for comment from the Jakarta Globe.
 

Irwandi Yusuf, Indonesia’s “green governor”, accused of issuing illegal palm oil concession

Irwandi Yusuf, Indonesia’s “green governor”, accused of issuing illegal palm oil concession

Link:http://www.redd-monitor.org/2011/11/24/irwandi-yusuf-indonesias-green-governor-accused-of-issuing-illegal-palm-oil-concession/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+Redd-monitor+%28REDD-Monitor%29
flattr this!
Irwandi Yusuf, Indonesia's green governor, accused of issuing illegal palm oil concession
In August 2011, Irwandi Yusuf, governor of Aceh, signed a permit for a palm oil concession in the Tripa Peat Swamp, part of the Leuser Ecosystem, that Wetlands International describes as “an area of outstanding, world-renowned biodiversity value”. The permit would allow PT Kallista Alam to convert 1,605 hectares of forest.
The Leuser Ecosystem was established as a Strategic National Area for Environmental Protection in Indonesia’s 2008 National Spatial Plan. The Tripa area supports the highest density of the critically endangered Sumatran Orangutan on the island of Sumatra.
WALHI Aceh has filed a legal case against Governor Irwandi in the Aceh administrative court. WALHI Aceh’s press release about the legal case is below. WALHI Aceh argues that the palm oil concession is in breach of Indonesia’s moratorium on new forest concessions, that was signed in May 2011.
A comparison of the moratorium forest map issued by the Ministry of Forestry and the concession map shows clearly that the concession area is marked as peatland and therefore that new concessions should not be issued on this land (at least during the two year moratorium). Below is the moratorium map, then the concession map, then a map produced by Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT – Coalition Team for the Rehabilitation of Tripa) of the concession overlaid on the moratorium map (click on the images for larger versions):
In fact, as TKPRT points out based on field work and this series of satellite images, PT Kallista Alam started clearing the forest well before Governor Irwandi signed the permit for the concession. The first land clearing started before January 2010. By October 2010, drainage canals had been dug, and an area of the forest had been cleared (click on the image for a larger version):

WALHI ACEH
Re Legal case filed against illegal new palm oil plantation in Tripa peat swamp forests of Aceh Province, Indonesia, 23/11/2011
Indonesia’s renowned ‘Green Governor’, the Governor of Aceh Province, is creating pressure on Indonesian President SBY over the signing of an illegal approval for the palm oil company PT Kallista Alam to convert Protected Peat Swamp Forest into Palm Oil Plantations.
Punishable under Indonesian criminal law, the Governor could face up to a maximum 5 years in jail for his role in the issuing of the illegal permit.
A team of lawyers, on behalf of environmental and social justice NGO today issued a lawsuit to the head of the Aceh administrative court against the Governor of Aceh.
Walhi Spokeperson, TM Zulfikar explained the WALHI case:
    “Palm Oil company, PT Kallista Alam, has received the Governor’s signature of approval on a new permit to convert 1,605 hectares of protected forests in the Tripa Peat Swamp, Nagan Raya District, into Palm Oil plantation, destroying forests and peatlands protected by National Spatial Planning Law, Government Regulation 26/2008, and Presidential Instruction 10/2011, issued in May this year, which forbids any new permits on primary forests and peatlands.
    “Provincial government sources have stated that this ‘uncharacteristic’ signing of the approval document, dated August 25th, suggests he was either ‘very pressured to sign it’, or simply ‘may not have been fully aware of what he was signing’.
    “Clearance of these forests will release huge amounts of carbon dioxide to the atmosphere, it threatens important populations of the Critically Endangered Sumatran orangutan and Sumatran tiger, among other species, and it threatens the ecosystem services and livelihoods of numerous local communities in and around Tripa.
    “Presidential Instruction No. 10/2011 prohibits the issuance of any new licenses for conversion of primary forests or the development of peatlands and is one of the key deliverables forming part of a bilateral agreement, outlined in a Letter of Intent (LoI), between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Kingdom of Norway for ‘Cooperation on reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation’.
    “This latest move put’s Indonesia’s commitment to the US$1 billion bilateral agreement with Norway under serious scrutiny, just days before the COP17 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) starting on 28th November in Durban, South Africa.
    “The actions of PT Kalista Alam could come as a huge embarrassment, for the Indonesian President after he stressed the importance ‘to walk the walk, and not just talk the talk,’ at the recent Forestry Indonesia conference in Jakarta.” TM Zulfikar concluded.
__._,_.___

Gubernur Irwandi Dilaporkan ke Mabes Polri

Gubernur Irwandi Dilaporkan ke Mabes Polri

Link: http://atjehpost.com/nanggroe/hukum/9242-kasus-rawa-tripa-gubernur-irwandi-juga-dilaporkan-ke-mabes-polri.html
Wednesday, 23 November 2011 20:00
Written by RILIS
Ilustrasi Kawasan Rawa Tripa | foto: paneco
BANDA ACEH - Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dilaporkan tim pengacara yang mengatasnamakan Tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Rabu (23/11).
Laporan ini terkait penerbitan izin budidaya perkebunan seluas 1.600 hektare yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser.
"Penerbitan izin melalui SK Nomor 525/BP2T/5322/2011 pada tanggal 25 Agustus 2011 lalu, bertentangan dengan sejumlah Peraturan Perundang-undangan. Izin tersebut jelas perbuatan yang secara nyata melawan kebijakan Presiden Republik Indonesia," ujar Kamaruddin, Koordinator Tim Pengacara, dalam pers rilis kepada The Atjeh Post.
Karena, kata Kamaruddin, pada 20 Mei 2011, Presiden RI mengeluarkan Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang penundaan izin baru di Kawasan Gambut. "Izin konsesi kelapa sawit yang diterbitkan Gubernur Aceh, lokasinya di dalam Rawa Tripa, Nagan Raya, yang kedalamannya lebih dari tiga meter," kata Kamaruddin.
Laporan pidana yang disampaikan itu, kata Kamaruddin, berdasarkan fakta dan pertimbangan penerbitan izin tersebut yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional.
"Berdasarkan PP tersebut, KEL telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan berstatus sebagai kawasan strategis nasional. Oleh karenanya, penerbitan izin perkebunan kelapa sawit di dalam KEL merupakan perbuatan pidana," kata Kamaruddin.
Penerbitan izin ilegal untuk budidaya itu, kata Kamaruddin, dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan melawan secara langsung kebijakan Presiden.
"Berdasarkan PP Nomor 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, telah mengamanatkan bahwa kedudukan Gubernur Aceh adalah sebagai wakil Pemerintah," ujarnya.
Artinya, kata Kamaruddin, gubernur adalah perpanjangan tangan presiden yang menjalankan semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah. "Bukan sebaliknya dengan melakukan perbuatan yang kontradiktif."
Apa yang terjadi di Kawasan Rawa Gambut Tripa, kata Kamaruddin, merupakan fakta bahwa kebijakan Pemerintah Indonesia dalam penurunan emisi karbon dan penyelamatan hutan patut dipertanyakan komitmennya.
"Apalagi jika melihat perbuatan nyata yang dipertontonkan oleh aparat pemerintah di level gubernur. Tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa meminta Bareskrim Mabes Polri segera mengupayakan penegakan hukum atas laporan itu."
Terkait izin Gubernur Aceh tersebut, Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa yang diwakili Walhi Aceh juga mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh, pada hari ini.[]
<p>Your browser does not support iframes.</p>  


Berikan Izin Usaha Perkebunan, Gubernur Aceh Digugat

 Kamis, 24 November 2011

Berikan Izin Usaha Perkebunan, Gubernur Aceh Digugat

Link:http://www.maiwanews.com/berita/berikan-izin-usaha-perkebunan-gubernur-aceh-digugat/
walhi-ptunTim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tataruang Sumatera (For Trust) diwakili Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), hari Rabu 23 november 2011 mengajukan gugatan terhadap Gubernur Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negeri Banda Aceh.
Gugatan dilakukan setelah sebelumnya somasi Tim Koalisi diabaikan. Gubernur Aceh dianggap telah melawan hukum dengan mengeluarkan Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha.
Tim Koalisi menilai tindakan Gubernur atau tergugat yang telah mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di Kawasan Hutan Rawa Gambut Tripa melampaui kewenangannya sebagai Kepala Pemerintahan Daerah, juga telah melanggar peraturan perundang-undangan, diantaranya UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1994 Tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati, UU No. 6 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Pemerintah terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim dan ada setumpuk peraturan perlindungan lingkungan lainnya.
Tim Koalisi sebagai penggugat meminta hakim PTUN menangguhan pelaksanaan surat izin Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 Tentang Usaha Perkebunan Budidaya dan menghentikan sementara segala aktifitas terkait surat izin yang dikeluarkan gubernur tersebut sampai adanya keputusan hukum tetap.
Dalam pokok perkara gugatan, Tim Koalisi meminta PTUN agar membatalkan atau menyatakan tidak sah Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di Kawasan Hutan Rawa Gambut Tripa tanggal 25 Agustus 2011 dan memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 Tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di Kawasan Hutan Rawa Gambut Tripa tanggal 25 Agustus 2011.
Materi gugatan diserahkan bersama tim pengacara yaitu Syafruddin, SH, Jehalim Bangun, SH, dan Nurul Ikhsan, SH. Gugatan diterima oleh Panitera PTUN Banda Aceh, Syaifuddin Ansari, SH.MH, dan telah teregistrasi dengan nomor pendaftaran 19/G/2011/PTUN-BNA tanggal 23 November 2011.
WALHI Aceh mengajukan gugatan dengan menggunakan mekanisme Legal Standing, yang merupakan hak sekaligus kepentingan penggugat sebagai organisasi lingkungan hidup, sebagaimana secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Hasil penelusuran WALHI, areal lahan seluas + 1.605 Ha seperti tercantum dalam surat izin Gubernur Aceh, terletak di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh, ternyata dalam kenyataannya tidak berada pada wilayah hukum Desa Pulo Kruet, akan tetapi seluruh areal lahan yang dimaksud berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) wilayah Aceh,” demikian disampaikan Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Muhammad Zulfikar.
Zulfikar menambahkan, KEL telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional berdasarkan PP No.26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Sejak awal Tim Koalisi telah membuat kajian tentang dampak negatif bagi lingkungan hidup yang akan ditimbulkan oleh pembukaan lahan di Rawa Gambut Tripa.
“Gubernur Aceh sebagai kepala Pemerintahan Aceh ternyata tidak mengambil tindakan antisipatif terhadap dampak kerusakan lingkungan hidup dengan tidak melakukan analisa dampak lingkungan (AMDAL) sebelum menerbitkan izin,” ujar Zulfikar.
Dikeluarkannya Izin Usaha Perkebunan Budidaya di Kawasan Hutan Rawa Gambut Tripa menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat, hilangnya habitat satwa yang dilindungi seperti Orangutan Sumatera (Pongo abelii), lele dan jenis-jenis ikan rawa.
Tim Koalisi berharap dukungan dari masyarakat agar gugatan ini bisa dimenangkan. Kemenangan gugatan ini menjadi kemenangan rakyat atas hak-haknya untuk mengelola sumber daya alam sendiri.

Berita Lainnya

  1. TKPRT For Trust Somasi Gubernur Aceh
  2. Walhi Aceh: Stop Pemberian Izin Kebun Kayu Baru
  3. WALHI Aceh: Bupati Aceh Besar Tidak Tegas
  4. Walhi Aceh Tolak Rencana Tambang Subulussalam
  5. WALHI Aceh Ajukan PK Ladia Galaska

Gubernur Irwandi Digugat ke PTUN dalam Kasus Rawa Tripa

Gubernur Irwandi Digugat ke PTUN dalam Kasus Rawa Tripa

Link:http://atjehpost.com/nanggroe/hukum/9232-koalisi-penyeelamatan-rawa-tripa-gugat-gubernur-aceh.html
Wednesday, 23 November 2011 17:45
Written by Taufan Mustafa
Ilustrasi Kawasan Rawa Tripa | foto: paneco
BANDA ACEH – Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa dan Forum Tataruang Sumatera menggugat Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Banda Aceh, Rabu (23/11).
Dalam gugatan itu, Tim Koalisi diwakili Walhi Aceh. Gugatan tersebut, kata Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar, dilayangkan terkait surat izin Gubernur Aceh nomor 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang izin usaha perkebunan budidaya kepada PT Kalista Alam.
Tempat usaha itu, kata Zulfikar, berada di Desa Pulo Kruet, Darul Makmur, Nagan Raya, dengan luas areal sekitar 1.605 hektare. Areal ini, kata Zulfikar, berada di kawasan hutan gambut Rawa Tripa.
"Dalam kenyataan areal tersebut masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sedangkan KEL sendiri telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional," kata Zulfikar kepada The Atjeh Post.
Gugatan itu, kata Zulfikar, juga dikarenakan sebelumnya Tim Koalisi sudah melakukan somasi kepada Gubernur Aceh terkait izin itu tapi diabaikan.
Sejak awal, kata Zulfikar, Tim Koalisi telah membuat kajian tentang dampak negatif bagi lingkungan yang akan ditimbulkan oleh perusahaan tersebut. "Gubernur juga tidak mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan hidup dengan tidak melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum menerbitkan izin," kata Zulfikar.
Dalam gugatan itu, kata Zulfikar, Tim Koalisi didampingi tiga pengacara yaitu Syafruddin, Jehalim Bangun, dan Nurul Ikhsan. "Walhi Aceh mengajukan gugatan ini dengan mekanisme legal standing. Ini merupakan hak sekaligus kepentingan penggugat sebagai organisasi lingkungan hidup," kata Zulfikar.
Walhi, kata dia, meminta hakim PTUN menangguhkan pelaksanaan surat izin Gubernur Aceh tersebut. "Kita berharap kasus ini ditanggapi serius. Karena melihat kondisi rawa sangat memprihatinkan," ujar Zulfikar.
Sementara itu, M Mahdi, Panitera Muda di PTUN Banda Aceh mengatakan, berkas tersebut telah diterima. "Berkas itu sedang diproses. Untuk sidang masih lama," kata Mahdi kepada The Atjeh Post, Rabu (23/11). Berkas gugatan terhadap Gubernur Aceh itu terregistrasi dengan nomor 19/6/2011/PTUN-BNA.[]
<p>Your browser does not support iframes.</p>

Aktivis Lingkungan Gugat Gubernur Aceh

Aktivis Lingkungan Gugat Gubernur Aceh

Link:http://antara-aceh.com/aktivis-lingkungan-gugat-gubernur-aceh.html
Banda Aceh, 23/11 (ANTARA) - Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tata ruang Sumatera (For-Trust) yang diwakili Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh mengajukan gugatan terhadap Gubernur Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negeri Banda Aceh terkait izin usaha perkebunan.
Direktur Eksekutif WALHI Aceh T Muhammad Zulfikar dalam relis pers di Banda Aceh, Rabu mengatakan gugatan tersebut disampaikan karena Gubernur Aceh mengabaikan somasi TKPRT terkait izin usaha perkebunan budidaya nomor 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 kepada PT. Kalista Alam di Gampong (Desa) Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh seluas 1.605 Hektare lebih.
"WALHI Aceh yang mewakili tim koalisi telah menyerahkan materi gugatan bersama tim pengacara yaitu Syafruddin, SH, Jehalim Bangun, SH, dan Nurul Ikhsan, SH," kata T Muhammad Zulfikar.
Menurutnya gugatan tersebut telah diterima Panitera PTUN Banda Aceh  Syaifuddin Ansari dengan nomor regestrasi 19/G/2011/PTUN-BNA tanggal 23 November 2011.
"Sebagai penggugat, kami mengajukan gugatan dengan menggunakan mekanisme 'Legal Standing' yang merupakan hak dan kepentingan sebagai organisasi lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 32/2009 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23/1997 tentang perlindungan dan   pengelolaan lingkungan hidup," katanya lagi.
T Muhammad Zulfikar menyebutkan dari dari hasil penelusuran WALHI, areal lahan seluas + 1.605 Ha seperti tercantum dalam surat izin Gubernur Aceh itu berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) wilayah Aceh.
Dampak dari izin usaha perkebunan budidaya kepada PT. Kalista Alam di Kawasan Hutan Rawa Gambut Tripa menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan hilang mata pencaharian masyarakat disekitar kawasan hutan rawa gambut Tripa serta hilangnya habitat satwa yang dilindungi diantaranya Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis), buaya rawa (Crocodylus porosus) dan berbagai jenis burung.
Selain keanekaragaman satwa, Rawa Tripa juga memiliki fungsi ekologisbagi kehidupan masyarakat sekitarnya.
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 - 0,9 m3/m3.
Tim koalisi menilai tindakan Gubernur Aceh telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti UU nomor 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, UU nomor 5/1994 tentang konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai keanekaragaman hayati dan UU nomor 6/1994 tentang ratifikasi pemerintah terhadap konvensi PBB mengenai perubahan iklim.
"Kami berharap hakim PTUN dapat menangguhkan pelaksanaan surat Gubernur Aceh  nomor 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 itu dan menghentikan sementara segala aktifitas sampai adanya keputusan hukum tetap," kata T Muhammad Zuklfikar.
Dalam pokok perkara gugatan, Tim Koalisi juga meminta PTUN membatalkan Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di Kawasan Hutan Rawa Gambut Tripa dan meminta tergugat untuk mencabut surat Izin tersebut.

Walhi Gugat Gubernur Aceh

Walhi Gugat Gubernur Aceh
Link:http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1799979/walhi-gugat-gubernur-aceh
Headline
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) - indymedia.org.uk
Oleh: Harian Aceh
Sindikasi - Rabu, 23 November 2011 | 22:40 WIB
INILAH.COM, Banda Aceh - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggugat Gubernur Aceh karena memberi izin perkebunan di kawasan hutan rawa gambut tripa di Nagan Raya.
Gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh, Rabu (23/11).
Pendaftaran gugatan perdata itu dihadiri Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar bersama kuasa hukum Walhi Aceh Syafruddin SH, serta beberapa anggota Tim Koalisi Penyelamat Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tataruang Sumatera (For Trust).
“Dalam perkara ini Walhi bertindak mewakili TKPRT dan For Trust. Materi gugatan kami, terkait surat izin Gubernur Aceh No.525/BP2T/5322/2011, tanggal 25 Agustus 2011 tentang izin usaha perkebunan budidaya kepada PT Kalista Alam di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, Aceh, seluas lebih kurang 1.605 hektar,” kata Zulfikar.
Menurut dia, kebijakan Gubernur Aceh mengeluarkan surat izin perkebunan di kawasan hutan rawa gambut terhadap PT Kalista Alam merupakan kebijakan melawan hukum. Karena, kata dia, lahan itu berada dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) Aceh.
Zulfikar menjelaskan, KEL telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional berdasarkan PP No.26/2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional.
“Nah, dalam surat izin Gubernur Aceh itu disebutkan lahan seluas sekira 1.605 hektar itu tidak dalam KEL. Fakta ini menyalahi hukum,” sebutnya.
Kebijakan Gubernur Aceh itu, tambah Zulfikar, akan berdampak negatif bagi lingkungan hidup yang ditimbulkan dari pembukaan lahan gambut rawa tripa. Di antaranya, hilangnya habitat satwa yang dilindungi, misalnya Orangutan Sumatera (ongo abelii), ikan lele dan jenis ikan lainnya dalam kawasan rawa teripa.
Selain itu, kelangsungan hidup masyarakat di wilayah itu juga terancam karena hilangnya mata pencaharian mereka.
“Gubernur sebagai Kepala Pemerintahan Aceh juga tidak mengambil tindakan untuk mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan melalui analisa dampak lingkungan (Amdal),” kata Zulfikar.
Dia mengatakan surat izin Gubernur Aceh kepada PT Kalista Alam diketahui pihaknya berdasarkan penelusuran lapangan. Dari temuan itu, lanjutnya, pihaknya langsung mengajukan somasi terhadap kebijakan Gubernur Aceh tersebut.
“Namun, somasi kami tidak diindahkan sehingga kami menggugatnya ke PTUN. Kami berharap PTUN menetapkan agar surat izin itu tidak dijalankan dulu sebelum perkara ini mendapat putusan tetap (inkrach) dari pengadilan,” pintanya.
Humas PTUN Banda Aceh Didik Somantri SH mengatakan gugatan Walhi terhadap Gubernur Aceh sudah diterima dan terdaftar di panitera muda perkara dengan nomor perkara 19/G/2011 PTUN.BNA tanggal 23 November 2011.
“Kami akan mempelajari materi gugatan itu. Kalau memang sudah memenuhi sesuai ketentuan hukum segera ditetapkan majelis hakim untuk menyidangnya,” kata Didik Somantri kepada Harian Aceh, usai menerima gugatan itu, Rabu (23/11).[mor]
 

WALHI Gugat Gubernur Aceh

WALHI Gugat Gubernur Aceh
Ist | Rabu, 23 November 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/foto/walhi-gugat-gubernur-aceh.php
Dari kiri-kanan: Panitera PTUN Banda Aceh, Syaifuddin Ansari, SH.MH, pengacara WALHI Aceh Syafruddin SH dan Direktur Eksekutif WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar, Rabu (23/11) di kantor PTUN Banda Aceh Lungbata. WALHI Aceh memasukan gugatan kepada Gubernur Aceh karena telah mengeluarkan Surat Izin Gubernur pembukaan lahan di Kawasan Ekosistem Leuser. 
 

Walhi Aceh: Mari Menulis Isu Lingkungan


Walhi Aceh: Mari Menulis Isu Lingkungan

Link:http://www.maiwanews.com/berita/walhi-aceh-mari-menulis-isu-lingkungan/
walhi-logo-maiwanews.comUntuk melatih keterampilan dalam membuat tulisan terkait isu lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh membuat undangan menulis bagi pelajar dan mahasiswa yang aktif menulis baik di media kampus maupun di internet.
Berdasarkan informasi Eksekutif Daerah, undangan menulis merupakan kerjasama Walhi Aceh dengan Forum Wartawan Peduli Lingkungan (Green Journalist) dan sebenarnya berlaku untuk umum. Dijelaskan bahwa tulisan harus terkait dengan isu-isu lingkungan disekitar sekolah atau kampus.
Dijelaskan juga bahwa tema tulisan bebas dan sebaiknya dalam bentuk process journalism dan in depth reporting dan dapat dikirimkan ke alamat email aceh.greenjournalist@gmail.com.
Kepala Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Muhammad Nizar mengatakan batas akhir penerimaan tulisan dari para siswa(i) dan mahasiswa(i) sampai minggu pertama Januari 2012. “Setiap tulisan lingkungan yang terkumpul akan dipilih tiga terbaik untuk diterbitkan dalam bulletin Walhi Aceh Tanah Rencong,” kata Nizar.
Terkait hadiah bagi tulisan terbaik, pihak Walhi sengaja tidak mempublikasikan baik bentuk maupun jumlahnya, hal ini dimaksudkan agar para siswa atau mahasiswa tidak cenderung melihat bentuk hadiah dari setiap membuat tulisan. Diharapkan agar pelajar dan mahasiswa menulis bukan karena hadiah, tapi berdasarkan dorongan dari dalam hati.

Berita Lainnya

  1. Lomba Penulisan Artikel dan Foto Lingkungan WALHI Aceh
  2. Pengumuman Pemenang Lomba Foto dan Artikel Lingkungan Walhi
  3. Lingkungan Dirusak, Walhi Surati Bupati Aceh Selatan
  4. Walhi Aceh Ikut Ekspedisi Gunung Leuser
  5. WALHI Aceh: Bupati Aceh Besar Tidak Tegas

Stand WALHI AIWEST

Stand WALHI AIWEST
Yusriadi | Kontributor | Selasa, 22 November 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/foto/stand-walhi-aiwest.php
Stand WALHI Aceh di acara Annual International Workshop and Expo on Sumatra sunami Disaster Recovery (AIWEST-DR) 2011, Selasa (22/11) Hotel Hermes Palace-Banda Aceh. Acara ini sendiri mengambil tema "Strengthening Community's Resilience: Lessons Learned from Indian Ocean Tsunami 2004, Great East Japan Tsunami 2011 and Beyond".

Walhi Aceh Ajak Siswa & Mahasiswa "Mari Menulis Isu Lingkungan"

Walhi Aceh Ajak Siswa & Mahasiswa "Mari Menulis Isu Lingkungan"
Selasa, 22 November 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/walhi-aceh-ajak-siswa--mahasiswa-mari-menulis-isu-lingkungan.php

Banda Aceh — Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh memberikan undangan bagi siswa-siswa sekolah untuk menulis isu-isu lingkungan. Undangan menulis ini juga diberlakukan untuk mahasiswa yang aktif menulis baik di media kampus maupun di internet.

Kepada The Globe Journal, Selasa (22/11) tadi pagi, Kepala Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Muhammad Nizar yang didampingi Yusriadi mengatakan undangan menulis sebenarnya berlaku untuk umum. Kegiatan ini merupakan kerjasama Walhi Aceh dengan Forum Wartawan Peduli Lingkungan (GreeN Journalist).

Tulisan yang dikirimkan harus terkait dengan isu-isu lingkungan yang ada disekitar sekolah atau kampus. Tema tulisan bebas dan sebaiknya dalam bentuk “process journalism” dan “in depth reporting” dan dapat dikirimkan ke alamat email ; aceh.greenjournalist@gmail.com.

Nizar menjelaskan deadline tulisan dari para siswa(i) dan mahasiswa(i) sampai minggu pertama Januari 2012. Setiap tulisan lingkungan yang terkumpul akan dipilih tiga terbaik untuk diterbitkan dalam bulletin Walhi Aceh “Tanah Rencong”.

Sementara itu Yusriadi mengatakan bahwa hadiah tulisan terbaik sengaja tidak disebutkan jumlah atau bentuknya, hal ini agar mendorong agar para siswa atau mahasiswa tidak cenderung melihat bentuk hadiahnya setiap membuat tulisan.

“Kita ingin melatih ketrampilan siswa dan mahasiswa yang aktif menulis sebagai bagian dari “citizen journalism” yang peka terhadap isu lingkungan,” kata dia. Artinya menulis bukan karena hadiah tapi menulis adalah keinginan yang datang dari hati.

Undangan tulisan ini bersifat umum bagi siapa saja anak-anak sekolah dan mahasiswa untuk mengembangkan ketrampilan menulis terhadap isu-isu lingkungan yang ada disekitarnya. Tulisan ini akan diseleksi oleh GreeN Journalist bersama Walhi Aceh pada pertengahan Januari 2012 dan akan diumumkan melalui email masing-masing siswa dan mahasiswa yang terpilih dalam tulisan terbaik. 
 

Senin, 21 November 2011

Merkuri Mengancam Aceh

Merkuri Mengancam Aceh
Firman Hidayat | The Globe Journal | Senin, 21 November 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/merkuri-mengancam-aceh.php
Banda Aceh — Akademisi Unsyiah bidang lingkungan hidup, Dr. Abrar Muslim, Senin (21/11) mengatakan bahan berbahaya dan beracun seperti merkuri sedang dipakai dalam pengolahan emas di Aceh. Paling banyak digunakan di pertambangan emas yang dikelola secara tradisional oleh rakyat. 

“Inilah yang sangat mengkhawatirkan,” kata Abrar saat menghadiri diskusi terkait berbagai persoalan pertambangan dan dampaknya bagi kelestarian lingkungan hidup di Kantor Walhi Aceh, pagi tadi. Ia menjelaskan hasil kajian yang dilakukan United Nations Environment Proggramme (UNEP) tahun 2008 menyebutkan ada 15 juta orang yang bekerja di pertambangan emas secara tradisional di 30 negara di dunia. 

Jumlah orang yang bekerja itu telah menghasilkan 20 sampai 30 persen emas dunia dan sebanyak 1.000 ton merkuri yang telah dikonsumsi dan terlepas di lingkungan. “Data tersebut telah menunjukkan bahwa pencemaran terbesar merkuri nomor dua di dunia,” sebut Abrar dalam paparannya. 

Indonesia pada tahun 2010 di Lampung, sedikitnya ada 202 orang yang terkena gejala keracunan akibat merkuri. “Saat ini di Aceh sangat mengkhawatirkan, apalagi masyarakat disekitar lokasi tambang rakyat banyak yang tidak tahu bahaya dari bahan beracun seperti merkuri, inilah yang akan menjadi ancaman di Aceh kedepan” pungkas Abrar. 

Secara terpisah, Staff Advokasi Bapedal Aceh, Anggria Rossa mengatakan ada empat kabupaten yang air sungainya diduga rawan terhadap bahan berbahaya merkuri, yaitu di Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Selatan dan Sigli. “Dampaknya dari pengolahan emas secara tradisional yang menggunakan merkuri,” katanya saat menghadiri Workshop Jurnalisme Hijau di Hotel Pade beberapa hari yang lalu. 

Kepala Bidang Pengawasan di DisperindagKop Aceh, Ruslan kepada The Globe Journal pernah mengatakan peredaran merkuri di Aceh tidak terpantau. Hingga saat ini belum ada satupun izin yang dikeluarkan untuk pengunaan merkuri di Aceh. "Jika ada yang mengunakan merkuri di Aceh baik skala kecil maupun skala besar berarti itu ilegal," kata Ruslan. Ia mengaku peredaran merkuri didatangkan dari luar Aceh dan lazim digunakan untuk pengolahan emas. 

Disisi lain, Dosen Teknik Kimia, Unsyiah Abrar Muslim yang juga seorang pakar pengelolaan emas memunculkan teknologi baru bagaimana mengolah emas tanpa merkuri atau lebih dikenal dengan “Green Gold.” Menurutnya apapun bahan kimia pasti ada efeknya namun tidak berbahaya seperti merkuri. 

Solusi pengolahan emas tanpa merkuri ini sudah dikaji di Laboratorium Unsyiah dan hasilnya sangat membantu pengunaan tanpa merkuri. “Seharusnya pola ini yang harus disosialisasikan kepada masyarakat di lokasi tambang secara tradisional,” demikian Abrar Muslim. [003]

 

Nonton Kampanye Lingkungan Lewat Rongsokan

Nonton Kampanye Lingkungan Lewat Rongsokan
Alfan Raykhan Pane | The Globe Journal | Senin, 21 November 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/feature/nonton-kampanye-lingkungan-lewat-rongsokan.php
Banda Aceh - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Minggu (20/11) menggelar kegiatan bertajuk Gelar Seni dan Kampanye Penyelamatan Lingkungan bertema " Selamatkan Bumi Aceh dari Bencana Tambang". Acara berlangsung di Taman Putroe Phang, Banda Aceh bertujuan mengkampanyekan persoalan pertambangan di Aceh ini, mendapat antusiasme positif dari warga kota Banda Aceh.

Teater Rongsokan dari IAIN Ar-Raniry menjadi penampil perdana kegiatan ini, membawakan lakon berjudul "Roti! atau Koin? " karya sutradara Muzaimun. Lakon bercerita tentang masyarakat di lokasi tambang yang bertanya dimana air, tanah, udara dan sumber bahan makanan mereka yang menghilang.

Lakon ini bercerita bagaimana seorang pengusaha berkemeja hitam bertuliskan 'pemilik tambang' datang dengan arogannya, memanggil pelakon lain, masyarakat sekitar areal tambang, sambil berkata dan mencampakkan air dari botol mineral, roti dan uang koin serta memecahkan plastik yang berisi udara!

Kepada mereka dikatakan, " Ini air, makanan, tanah dan udara kalian..." sergahnya. Lantas datang seorang aktor lainnya, berkemeja dan dasi bertuliskan 'perizinan' maju mendatangi masyarakat sambil coba bernegosiasi, lalu plot-pun bertambah dengan datangnya pemilik tambang dan asistennya yang memberikan kertas bertuliskan uang kepada 'pejabat' perizinan yang kemudian mencoba membungkam masyarakat dengan lembaran uang tersebut.

Pada akhir episode, si aktor perizinan-tambang, diseret keluar panggung oleh masyarakat dan mendapat applaus meriah dari warga Banda Aceh beragam usia dan latar belakang yang menonton pertunjukan sore itu.

Herman RN, penulis muda Aceh, selanjutnya hadir membacakan puisi berjudul "Kepada Kau yang Kami Pilih Setelah Musim Berganti", dilanjutkan pembacaan orasi lingkungan oleh, Andrie S Wijaya dari JATAM Nasional. Penampilan grup musik bergenre reggae Aceh Made In Made, Pembacaan Petisi Anti Tambang Aceh oleh T.M Zulfikar, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, serta penampilan penutup dari Hip Hop Aceh Movement yang menampilkan atraksi breakdance diiringi celoteh 2 orang Rapper.

Andrie S Wijaya, yang ditemui The Globe Journal disela kegiatan, mengatakan kegiatan pagelaran seni dan kampanye penyelamatan lingkungan yang dilakukan hari ini, harus di apresiasi bukan hanya penampilan seninya semata.

Namun sebuah pesan moral harus disampaikan dari masyarakat Aceh, kepada pemerintah pusat/daerah bahkan masyarakat dunia bahwa ada kerusakan yang terjadi sekarang dan tambang sesungguhnya tidak memiliki nilai ekonomis yang besar bagi kesejahteraan rakyat.

"Bahkan menghambat konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Banyak yang sudah dilakukan teman-teman di pulau Jawa, tapi masyarakat yang menolak tambang secara langsung (Masyarakat Anti Tambang-red) di Aceh ini, dan saya yakin gerakan moral ini akan segera menjadi pilot project bagi para aktivis lingkungan di Indonesia bahkan dunia,"tegas aktivis lingkungan Jatam  Nasional ini penuh optimis.

Masyarakat Aceh juga harus jeli memilih pemimpin dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh tahun ini. Pertama tidak memilih calon/kandidat yang melakukan kebijakan-kebijakan berdampak terhadap pengrusakan lingkungan, kedua kepada para kandidat Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota yang berkompetisi di pesta demokrasi ini agar tidak lagi menjadikan potensi Sumber Daya Alam sebagai lahan basah guna mengembalikan modal kampanye politik mereka dan ketiga mendengarkan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat bahwa tambang adalah bom waktu yang bisa menjadi 'Tsunami kedua bagi Aceh' bila terus di eksplorasi dan eksploitasi.

Meskipun Qanun tentang lingkungan hidup di Aceh sudah disahkan, intinya bagaimana praktek pelaksanaannya? Sebagaimana halnya implementasi UU No.32 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang paradoks dalam pelaksanaannya, artinya qanun lingkungan hidup Aceh harus tegas dan menjadi rujukan hukum yang jelas dalam mengatur pengelolaan hidup di Provinsi Aceh, bukankah UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) juga mengatur hal-hal kewenangan lingkungan hidup di Aceh? bagaimana prosesnya?"gugatnya serius.

Roy (32 Tahun) warga yang datang menonton pagelaran tersebut mengatakan, " Kegiatan ini menjadi teramat penting bagi rakyat Aceh, di saat persoalan merkuri dan sianida yang digunakan dalam proses pengolahan emas di beberapa kabupaten di Aceh mulai mencuat kepermukaan. Saya pribadi sangat mendukung kegiatan seperti ini, artinya tidak hanya pagelaran seni teater, musik".