Link:http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=24146&tit=Berita%20Utama%20-%20WALHI%20:
Banda Aceh- Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh TM Zulfikar, menilai pemerintahlah yang "mengundang" bencana sehingga 12 daerah di Aceh terancam banjir bandang. "Karena pemerintah mengeluarkan ijin hak guna usaha (HGU), tambang, juga perkebunan sawit, serta pembangunan jalan. Sehingga tanpa disadari, pemerintah telah ikut serta merusak hutan, sehingga mengundang bencana itu sendiri,"ungkapnya, kepada koran ini, Kamis (17/11), di Banda Aceh.
Ijin yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan tambang, sawit, dan HGU, juga lemahnya atau kurangnya pengontrolan dan pengawasan, dianggap Walhi Aceh sebagai pemicu kerusakan hutan. Artinya, dengan rusaknya hutan, maka potensi terjadinya bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor, semakin cepat. “Kami nilai, ada potensi kesengajaan dari pihak terkait, akibat kebijakan yang tidak ramah lingkungan. Karena pemerintah mengetahui kalau sebagian besar kawasan Aceh ini, sangat berpotensi terjadi bencana. Sudah tahu, tetapi masih mengeluarkan ijin yang tidak ramah lingkungan. Ini sama dengan mendua ‘hati’,” tukas Zulfikar.
Menurutnya, diluar 12 daerah yang ditetapkan terancam banjir bandang, kabupaten/kota lainnya di Aceh, juga termasuk berpotensi. Misalnya, Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. “Banda, memang tidak memiliki hutan, sehingga tidak dianggap berpotensi. Namun perlu diwaspadai bencana kiriman dari Aceh Besar yang kami lihat hutannya sudah mulai rusak,” tegasnya.
Selain itu, daerah-daerah lain yang memiliki hutan, termasuk yang berpotensi terjadi bencana. Seperti daerah di hilir sungai, karena di kawasan hulunya, hutan telah rusak, sehingga saat musim penghujan, salah satu fungsi hutan untuk menyerap air tidak berjalan lagi. Alhasil, air pun meluap dan terjadi banjir atau banjir bandang ataupun tanah longsor.
Walhi melihat dari 12 kabupaten/kota yang disebutkan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) terancam banjir bandang, itu masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Padahal diluar itu, seperti kawasan Geumpang dan Ulu Masen, tidak menutup kemungkinan terjadi juga, meski tidak bisa diprediksikan kapan terjadinya, akibat telah rusaknya hutan.
Tetapi, ujarnya, melihat kondisi hutan yang telah rusak, hal itu, tidak lama lagi bencana ‘datang’. Dan seharusnya, pemerintah dapat menindaklanjutinya atau menyikapinya dan bukan mengeluarkan ijin terhadap perusahaan yang tidak ramah lingkungan. “Kami berharap pengawasan dan pengontrolan yang ketat diperlukan untuk meminimalisir agar bencana tidak terjadi, walaupun tidak dapat dihindari bencana itu,” ia menyebutkan.
Aceh Utara Siaga 24 Jam
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bersama tim Search And Rescue (SAR) Aceh Utara, menyatakan siap siaga 24 jam, dalam menghadapi kemungkinan bencana banjir bandang di bulan November dan Desember 2011. Sementara dari 27 kecamatan di Aceh Utara, yang dianggap rawan banjir bandang hanya 7 kecamatan. Seperti Kecamatan Langkahan, Matang Kuli, Pirak Timu, Paya Bakong, Sawang, Kuta Makmur, dan Kecamatan Geureudong Pase. Sedangkan, yang anggap rawan tanah longsor di Kecamatan Langkahan dan Kecamatan Pirak Timu.
Tentunya, masyarakat di 7 kecamatan itu juga harus lebih siaga dan mewaspadai setiap terjadi hujan deras pada malam hari dan kemungkinan terjadi banjir bandang. “Kami tidak dapat memprediksi kapan akan terjadi banjir bandang, karena itu kehendak Allah SWT, sehingga kami dari BPBD dan tim SAR selalu waspada dan siaga 24 jam serta masyarakat juga harus siaga,”kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Utara, Drs. Iskandar Majid, saat dikonfirmasi Rakyat Aceh, Kamis (17/11).
Sebut dia, sebenarnya pemberitahuan tentang kesiagaan bencana di Aceh Utara, bukanlah untuk menakuti masyarakat. Melainkan, supaya masyarakat lebih waspada dan selalu berhati-hati terhadap kemungkinan terjadinya banjir bandang baik dipagi hari maupun dimalam hari.“Jika dari sekarang sudah kita beritahukan maka nantinya warga tidak panik lagi jika terjadi bencana,”tandas Iskandar Majid, (ian/arm)
Ijin yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan tambang, sawit, dan HGU, juga lemahnya atau kurangnya pengontrolan dan pengawasan, dianggap Walhi Aceh sebagai pemicu kerusakan hutan. Artinya, dengan rusaknya hutan, maka potensi terjadinya bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor, semakin cepat. “Kami nilai, ada potensi kesengajaan dari pihak terkait, akibat kebijakan yang tidak ramah lingkungan. Karena pemerintah mengetahui kalau sebagian besar kawasan Aceh ini, sangat berpotensi terjadi bencana. Sudah tahu, tetapi masih mengeluarkan ijin yang tidak ramah lingkungan. Ini sama dengan mendua ‘hati’,” tukas Zulfikar.
Menurutnya, diluar 12 daerah yang ditetapkan terancam banjir bandang, kabupaten/kota lainnya di Aceh, juga termasuk berpotensi. Misalnya, Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. “Banda, memang tidak memiliki hutan, sehingga tidak dianggap berpotensi. Namun perlu diwaspadai bencana kiriman dari Aceh Besar yang kami lihat hutannya sudah mulai rusak,” tegasnya.
Selain itu, daerah-daerah lain yang memiliki hutan, termasuk yang berpotensi terjadi bencana. Seperti daerah di hilir sungai, karena di kawasan hulunya, hutan telah rusak, sehingga saat musim penghujan, salah satu fungsi hutan untuk menyerap air tidak berjalan lagi. Alhasil, air pun meluap dan terjadi banjir atau banjir bandang ataupun tanah longsor.
Walhi melihat dari 12 kabupaten/kota yang disebutkan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) terancam banjir bandang, itu masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Padahal diluar itu, seperti kawasan Geumpang dan Ulu Masen, tidak menutup kemungkinan terjadi juga, meski tidak bisa diprediksikan kapan terjadinya, akibat telah rusaknya hutan.
Tetapi, ujarnya, melihat kondisi hutan yang telah rusak, hal itu, tidak lama lagi bencana ‘datang’. Dan seharusnya, pemerintah dapat menindaklanjutinya atau menyikapinya dan bukan mengeluarkan ijin terhadap perusahaan yang tidak ramah lingkungan. “Kami berharap pengawasan dan pengontrolan yang ketat diperlukan untuk meminimalisir agar bencana tidak terjadi, walaupun tidak dapat dihindari bencana itu,” ia menyebutkan.
Aceh Utara Siaga 24 Jam
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bersama tim Search And Rescue (SAR) Aceh Utara, menyatakan siap siaga 24 jam, dalam menghadapi kemungkinan bencana banjir bandang di bulan November dan Desember 2011. Sementara dari 27 kecamatan di Aceh Utara, yang dianggap rawan banjir bandang hanya 7 kecamatan. Seperti Kecamatan Langkahan, Matang Kuli, Pirak Timu, Paya Bakong, Sawang, Kuta Makmur, dan Kecamatan Geureudong Pase. Sedangkan, yang anggap rawan tanah longsor di Kecamatan Langkahan dan Kecamatan Pirak Timu.
Tentunya, masyarakat di 7 kecamatan itu juga harus lebih siaga dan mewaspadai setiap terjadi hujan deras pada malam hari dan kemungkinan terjadi banjir bandang. “Kami tidak dapat memprediksi kapan akan terjadi banjir bandang, karena itu kehendak Allah SWT, sehingga kami dari BPBD dan tim SAR selalu waspada dan siaga 24 jam serta masyarakat juga harus siaga,”kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Utara, Drs. Iskandar Majid, saat dikonfirmasi Rakyat Aceh, Kamis (17/11).
Sebut dia, sebenarnya pemberitahuan tentang kesiagaan bencana di Aceh Utara, bukanlah untuk menakuti masyarakat. Melainkan, supaya masyarakat lebih waspada dan selalu berhati-hati terhadap kemungkinan terjadinya banjir bandang baik dipagi hari maupun dimalam hari.“Jika dari sekarang sudah kita beritahukan maka nantinya warga tidak panik lagi jika terjadi bencana,”tandas Iskandar Majid, (ian/arm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar