Link:http://atjehpost.com/nanggroe/daerah/9281-rawa-tripa-penyimpan-cadangan-karbon-dunia.html
Thursday, 24 November 2011 15:15
Thursday, 24 November 2011 15:15
Pada hari yang sama, ada juga gugatan dari Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa dan Forum Tataruang Sumatera untuk Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Banda Aceh.
Kedua Tim itu menilai izin gubernur untuk PT Kalista Alam itu ilegal dan untuk kepentingan ekonomi sesaat. Lalu, apa saja yang dimiliki oleh Rawa Tripa sehingga kawasan gambut hutan rawa gambut itu harus dilindungi?
Sebenarnya, Rawa Tripa merupakan satu dari tiga hutan rawa gambut di pantai barat Sumatera. Luasnya sekitar 59.701 hektare. Secara administratif, 60 persen Rawa Tripa berada di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya. Sisanya ada di Babahrot, Aceh Barat Daya.
Wilayah tersebut berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser atau KEL yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional untuk pelestarian lingkungan hidup.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Pemerintahan Aceh, di Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 1995, bagian tertentu dari Rawa Tripa yang ketebalan gambutnya lebih dari tiga meter ditetapkan sebagai kawasan lindung. Dan Rawa Tripa memiliki kedalaman gambut bervariasi dengan kedalaman maksimal antara tiga hingga lima meter.
Dalam catatan Tim Koalisi dan Forum Tataruang, ada empat hal yang membuat Rawa Tripa layak dilindungi. Pertama, Rawa Tripa berfungsi sebagai pengatur hidrologi.
Di musim hujan, kawasan rawa gambut itu seperti spon yang dapat menahan air dan melepaskannya ketika kemarau. Rawa gambut juga berfungsi mencegah perembesan atau pencampuran air laut ke daratan.
Saat tsunami menerjang pantai barat Aceh, rawa gambut di Tripa terbukti menjadi benteng alami yang mencegah kehancuran lebih parah di kawasan itu.
Fungsi kedua Rawa Tripa sebagai pusat keanekaragaman hayati yang penting di KEL. Beberapa jenis tumbuhan dan hewan ternyata hanya dapat hidup dengan baik di kawasan ini. Dikhawatirkan kehancuran Rawa Tripa akan memusnahkan keaneakaragaman hayati dunia.
Selain itu, Rawa Tripa juga terkenal memiliki kepadatan populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) tertinggi di dunia, seperti halnya di Rawa Singkil dan Rawa Kluet, yakni 7.6 individu per kilometer persegi.
Di Tripa juga ditemukan satwa langka seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Beruang Madu (Helarctos malayanus), atau Burung Rangkong (Buceros sp).
Dapat juga dijumpai lebih dari tiga ratus jenis tumbuhan sebagai makanan satwa dan bernilai ekonomis tinggi. Sebut saja Cemenggang (Nessia sp) dan Malaka (Tetrameristra glabra) yang merupakan tumbuhan khas dan sumber makanan utama Orangutan.
Fungsi ketiga Rawa Tripa adalah sebagai penjaga iklim global karena kemampuannya menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia.
Hutan rawa gambut memiliki kandungan unsur karbon yang sangat besar. Menurut perhitungan Matby dan Immirizi (1993), kandungan karbon yang terdapat dalam gambut di dunia sebesar 329-525 GT (1 GT = 109 ton) atau 35 persen dari total karbon dunia.
Gambut di Indonesia memiliki cadangan carbon sebesar 46 GT atau 14 persen dari karbon yang terdapat dalam gambut di dunia. Apabila lapisan gambut terbakar atau mengalami kerusakan, materi ini akan mengeluarkan gas terutama CO2, NO2, dan CH4 ke udara dan siap mengubah iklim dunia.
Fungsi lainnya Rawa Tripa ialah sebagai sumber ekonomi masyarakat. Kawasan rawa merupakan habitat terbaik berbagai jenis ikan air tawar bernilai komersil tinggi. Hingga kini, ditemukan sekitar empat puluh jenis ikan, di antaranya ikan Jurong, Lele, Belut, Paitan, dan Kerang. Begitu juga dengan hasil hutan nonkayu yang meliputi rotan dan madu alam.
Masih menurut catatan Tim Koalisi dan Forum Tataruang, sejak 1990 Rawa Tripa telah mengalami penurunan luas area hutan baik secara kualitas maupun kuantitas atau deforestasi akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh sejumlah perusahaan besar dan perambahan oleh masyarakat.
Saat ini, dari total kawasan Rawa Tripa seluas 63.228 hektare, hanya tersisa kurang 30 persen hutan (16.634 hektare) yang sudah menjadi konsesi Hak Guna Usaha. Sejak 2006, laju deforestasi per tahun adalah 11,98 persen.
Hingga sekarang, ada lima Hak Guna Usaha besar yang bekerja di Rawa Tripa. Mereka adalah PT. Kalista Alam, eks PT. SPS II anak PT. Astra Agro Lestari, PT. Gelora Sawit Makmur, PT. Cemerlang Abadi, dan PT. Patriot Guna Sakti.Luas Hak Guna Usaha kelima perusahaan tersebut adalah 38.150 hektar.
Tim Koalisi dan Forum Tataruang menilai, jika tidak dihentikan dan mulai diperbaiki, dalam waktu dekat, hutan yang tersisa akan segera hancur, rawa akan kering, sebagai dampak pembukaan kanal-kanal oleh perusahaan.
Selain itu, teknik pembukaan lahan dengan cara pembakaran kerap dilakukan perusahaan yang memperparah kerusakan di hutan Rawa Tripa.
Konsekuensi yang terjadi kemudian juga tak berhenti pada kerusakan hutan. Jika pemerintah dan masyarakat tetap mengkonversi hutan Rawa Gambut Tripa menjadi areal perkebunan atau penggunaan lainnya, maka paling lambat dua puluh tahun ke depan kawasan dataran rendah Tripa akan tenggelam. Kota Alue Bilie dan Babah Rot akan menjadi batas garis pantai Samudera Hindia.
Perkiraan ini, menurut Tim Koalisi dan Forum Tata Ruang, didasarkan pada hasil penelitian para ahli lingkungan yang menyatakan bahwa jika hutan rawa gambut dibuka, akan terjadi pencucian gambut dan penurunan permukaan tanah.
Jika penghancuran Rawa Tripa tidak dicegah, maka pada 2025 diperkirakan air laut menenggelamkan kawasan ini. Ancaman ini akan dipercepat oleh pemanasan global yang memicu naiknya permukaan air laut.
Tak hanya itu, pusat biodiversity pun akan punah, begitu juga 38.150 hektar perkebunan kelapa sawit akan tenggelam, dan 40 jenis ikan bernilai ekonomis tinggi akan hilang. Dan Pemerintah Aceh akan kehilangan 63.228 hektar wilayah daratan. SUMBER: LENTERATIMUR.COM
Berita Sebelumnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar