Senin, 21 November 2011

Nonton Kampanye Lingkungan Lewat Rongsokan

Nonton Kampanye Lingkungan Lewat Rongsokan
Alfan Raykhan Pane | The Globe Journal | Senin, 21 November 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/feature/nonton-kampanye-lingkungan-lewat-rongsokan.php
Banda Aceh - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Minggu (20/11) menggelar kegiatan bertajuk Gelar Seni dan Kampanye Penyelamatan Lingkungan bertema " Selamatkan Bumi Aceh dari Bencana Tambang". Acara berlangsung di Taman Putroe Phang, Banda Aceh bertujuan mengkampanyekan persoalan pertambangan di Aceh ini, mendapat antusiasme positif dari warga kota Banda Aceh.

Teater Rongsokan dari IAIN Ar-Raniry menjadi penampil perdana kegiatan ini, membawakan lakon berjudul "Roti! atau Koin? " karya sutradara Muzaimun. Lakon bercerita tentang masyarakat di lokasi tambang yang bertanya dimana air, tanah, udara dan sumber bahan makanan mereka yang menghilang.

Lakon ini bercerita bagaimana seorang pengusaha berkemeja hitam bertuliskan 'pemilik tambang' datang dengan arogannya, memanggil pelakon lain, masyarakat sekitar areal tambang, sambil berkata dan mencampakkan air dari botol mineral, roti dan uang koin serta memecahkan plastik yang berisi udara!

Kepada mereka dikatakan, " Ini air, makanan, tanah dan udara kalian..." sergahnya. Lantas datang seorang aktor lainnya, berkemeja dan dasi bertuliskan 'perizinan' maju mendatangi masyarakat sambil coba bernegosiasi, lalu plot-pun bertambah dengan datangnya pemilik tambang dan asistennya yang memberikan kertas bertuliskan uang kepada 'pejabat' perizinan yang kemudian mencoba membungkam masyarakat dengan lembaran uang tersebut.

Pada akhir episode, si aktor perizinan-tambang, diseret keluar panggung oleh masyarakat dan mendapat applaus meriah dari warga Banda Aceh beragam usia dan latar belakang yang menonton pertunjukan sore itu.

Herman RN, penulis muda Aceh, selanjutnya hadir membacakan puisi berjudul "Kepada Kau yang Kami Pilih Setelah Musim Berganti", dilanjutkan pembacaan orasi lingkungan oleh, Andrie S Wijaya dari JATAM Nasional. Penampilan grup musik bergenre reggae Aceh Made In Made, Pembacaan Petisi Anti Tambang Aceh oleh T.M Zulfikar, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, serta penampilan penutup dari Hip Hop Aceh Movement yang menampilkan atraksi breakdance diiringi celoteh 2 orang Rapper.

Andrie S Wijaya, yang ditemui The Globe Journal disela kegiatan, mengatakan kegiatan pagelaran seni dan kampanye penyelamatan lingkungan yang dilakukan hari ini, harus di apresiasi bukan hanya penampilan seninya semata.

Namun sebuah pesan moral harus disampaikan dari masyarakat Aceh, kepada pemerintah pusat/daerah bahkan masyarakat dunia bahwa ada kerusakan yang terjadi sekarang dan tambang sesungguhnya tidak memiliki nilai ekonomis yang besar bagi kesejahteraan rakyat.

"Bahkan menghambat konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Banyak yang sudah dilakukan teman-teman di pulau Jawa, tapi masyarakat yang menolak tambang secara langsung (Masyarakat Anti Tambang-red) di Aceh ini, dan saya yakin gerakan moral ini akan segera menjadi pilot project bagi para aktivis lingkungan di Indonesia bahkan dunia,"tegas aktivis lingkungan Jatam  Nasional ini penuh optimis.

Masyarakat Aceh juga harus jeli memilih pemimpin dalam pelaksanaan Pemilukada di Aceh tahun ini. Pertama tidak memilih calon/kandidat yang melakukan kebijakan-kebijakan berdampak terhadap pengrusakan lingkungan, kedua kepada para kandidat Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota yang berkompetisi di pesta demokrasi ini agar tidak lagi menjadikan potensi Sumber Daya Alam sebagai lahan basah guna mengembalikan modal kampanye politik mereka dan ketiga mendengarkan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat bahwa tambang adalah bom waktu yang bisa menjadi 'Tsunami kedua bagi Aceh' bila terus di eksplorasi dan eksploitasi.

Meskipun Qanun tentang lingkungan hidup di Aceh sudah disahkan, intinya bagaimana praktek pelaksanaannya? Sebagaimana halnya implementasi UU No.32 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang paradoks dalam pelaksanaannya, artinya qanun lingkungan hidup Aceh harus tegas dan menjadi rujukan hukum yang jelas dalam mengatur pengelolaan hidup di Provinsi Aceh, bukankah UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) juga mengatur hal-hal kewenangan lingkungan hidup di Aceh? bagaimana prosesnya?"gugatnya serius.

Roy (32 Tahun) warga yang datang menonton pagelaran tersebut mengatakan, " Kegiatan ini menjadi teramat penting bagi rakyat Aceh, di saat persoalan merkuri dan sianida yang digunakan dalam proses pengolahan emas di beberapa kabupaten di Aceh mulai mencuat kepermukaan. Saya pribadi sangat mendukung kegiatan seperti ini, artinya tidak hanya pagelaran seni teater, musik".
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar