Kamis, 03 November 2011

Keluarkan Izin Perkebunan di KEL Gubernur Aceh Disomasi

Banda Aceh, (Analisa). Sejumlah aktivis lingkungan di Aceh yang tergabung dalam Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tata Ruang Sumatera (For Trust) mesomasi Gubernur Aceh Irwandi Yusuf sehubungan pemberian izin usaha perkebunan di lokasi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Surat somasi ini dikeluarkan sehubungan dengan terbitnya Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di kawasan hutan rawa gambut Tripa yang juga termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser tanggal 25 Agustus 2011.

"Atas terbitnya surat tersebut, kami TKPRT dan For Trust sebagai perwakilan lembaga lingkungan di Aceh menyampaikan keberatan kepada gubernur," ujar Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar kepada wartawan, Senin (31/10) di Banda Aceh.

Surat somasi tersebut ditandatangani sepuluh lembaga yakni TM. Zulfikar Direktur Eksekutif Walhi-Aceh, Irsadi Aristora Transparency International-Indonesia, Jes Putra Kluet dari PeNA Foundation, Halim Gurning dari Yayasan Ekosistem Lestari, Efendi Isma (Uno-Itam), Evi Narti Zein (Koalisi NGO HAM), Budi Ariyanto (Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh), Afijal, S.Kom (Koordinator Jaringan Kuala), Azhar (Forum orangutan) dan Firman Hidayat (Green Journalist).

Kawasan Dilindungi

Menurut aktivis lingkungan ini, surat izin Gubernur Aceh tersebut bertentangan dengan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang telah mengamanatkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menjadi kawasan yang dilindungi dan pemanfaatannya mengacu pada aturan-aturan yang ditentukan berdasarkan pasal 150 dan pasal 147 tentang pedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, kemanfaatan, dan keadilan.

Surat izin Gubernur Aceh tersebut juga bertentangan dengan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Di samping itu juga bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gabut.

Selain itu, tambahnya, surat izin tersebut tidak mengacu kepada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004, tentang Perlindungan Hutan.

"Banyak peraturan yang dikangkangi gubernur dengan memberi surat izin tersebut," ungkap TM Zulfikar sambil menyebutkan beberapa peraturan pemerintah dan UU lainnya.

Berdasarkan hal tersebut, ujarnya, gubernur sebagai Kepala Pemerintahan Aceh, seharusnya dalam tindakan administrasi penuh pengkajian, ketelitian dan kehati-hatian, saat menerbitkan sebuah keputusan.

"Karena akibat kelalaian tersebut masyarakat merasa hukum tidak pernah ada dan keputusan ini menjadi kontroversi yang akhirnya membawa pertentangan hukum," ujarnya.

Dikatakan, semestinya gubernur meneliti kembali keputusannya sehingga tidak menjadi preseden buruk dalam pelaksanaan berbagai peraturan yang ada maupun komitmen Pemerintah Aceh yang ingin mewujudkan Green Aceh Vision.

Karenanya, untuk tegaknya supremasi dan kapastian hukum, kepada pihak gubernur diberikan waktu 7 x 24 jam setelah surat somasi ini diterima dan jika dalam waktu tersebut di atas tidak adanya itikat baik dari Gubernur Aceh untuk mencabut surat izin tersebut, maka para lembaga peduli lingkugan ini akan melakukan upaya hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Ini untuk kemaslahatan lingkungan di Aceh masa kini dan masa mendatang," tegas TM Zulfikar.(irn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar