Senin, 21 November 2011

Hentikan Izin Tambang

Hentikan Izin TambangMAT Keluarkan Petisi
Link:http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=24026&tit=Headline%20-%20Hentikan%20Izin%20Tambang

BANDA ACEH – Masyarakat Anti Tambang (MAT-Aceh) kian prihatin dengan kondisi alam di Provinsi paling ujung Indonesia. Hal ini semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah baik tingkat provinsi maupun Kabupaten yang mengeluarkan izin usaha pertambangan.
Guna menghimbau, sekaligus menyadarkan para pengambil kebijakan di daerah ini, Masyarakat Anti Tambang Aceh mengeluarkan lima poin petisi, Jumat (11/11), yang ditujukan kepada Pemerintah Aceh. Baik provinsi maupun Kabupaten/kota segera mengambil langkah–langkah strategis menyelamatkan sumber daya alam Aceh.

Lima petisi yang dikeluarkan yakni, mendesak Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota menghentikan seluruh Izin pertambangan. Serta mendorong untuk mengkaji kembali investasi di sektor pertambangan. Memulihkan kembali lahan-lahan yang rusak akibat pertambangan dan menjamin keberlanjutan ekonomi masyarakat melalui pengeloaan sumber daya alam yang terbaharukan. Bukan hanya itu, aparat kepolisian juga didesak mengusut tuntas seluruh tindakan kekerasan yang terjadi di wilayah pertambangan.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh , Teuku Muhammad Zulfikar, Jumat (11/11), mengatakan, lima petisi tersebut rencananya akan disampaikan pada Hari Aksi tentang Penolakan Tambang di Aceh yang akan dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Nopember 2011 di Taman Putroe Phang, Banda Aceh.
“Petisi ini akan kita sampaikan kepada seluruh pengambil kebijakan di negeri ini,”ungkapnya.

Namun demikian, sebelum lima petisi tersebut disampaikan kepada para pengambil kebijakan mulai dari Presiden dan jajarannya hingga ketingkatan pemerintahan di daerah seperti bupati dan walikota. Pihaknya terlebih dahulu mencari dukungan dari masyarakat anti tambang via email yang sebelumnya telah dipersiapkan.

“Kita berharap dukungan masyarakat maupun lembaga bisa mencapai angka seribuan lebih,”tandasnya.
Zulfikar melanjutkan, dalam beberapa tahun terakhir arus investasi tambang di Aceh meningkat pesat, tahun 2002 hanya 1 (satu) perusahaan kemudian bertambah menjadi 120 (seratus dua puluh) pada pertengahan tahun 2011.

Fakta selama ini, kata dia, Investasi pertambangan telah menciptakan konflik baru bagi masyarakat sekitar tambang, belum lagi tingkat laju kerusakan lingkungan akibat pengerukan dan meninggalkan lubang-lubang besar yang menganga. Anehnya, kejahatan koorporasi – genocida – tidak pernah tersentuh oleh hukum Indonesia. Newmont, Lapindo dan Freeport adalah contoh paling populer bagaimana fakta hukum dapat dipermainkan. Setali tiga uang, pemerintah sebagai pemilik kebijakan justru membiarkan dan berpihak kepada pelaku kejahatan.

ExxonMobile yang telah dinyatakan bersalah dan terbukti terlibat dalam pelanggaran HAM di Aceh oleh Pengadilan Federal, 2006 dan Mahkamah Agung Washington, 2008 lalu, pelakunya tetap dibiarkan beroperasi di Indonesia. “Ini sama saja memelihara penjahat. Exxon Mobile bukanlah satu-satunya dilindungi negara, yang lain misalnya Newmont, KEM, Freeport, Lapindo, dll”tandasnya.

Sementara itu, dari 120 izin usaha pertambangan (IUP) baik eksplorasi maupun eksploitasi di Aceh, yang luas konsesi lahan mencapai ± 750.000 hektar dimana sebagian besarnya berada dalam wilayah hutan lindung.
Belum lagi, ditambah dengan izin hak guna usaha (HGU) yang sudah mencapai 236 jenis izin dengan luas tidak kurang dari 351.232,816 hektar. Kerusakan lahan yang ditimbulkan akibat pertambangan sudah nampak nyata dimata kita, konflik sosial di masyarakat juga semakin tinggi, baik antara masyarakat dengan pemerintah (konflik vertikal), masyarakat dengan pertambangan, maupun masyarakat dengan masyarakat itu sendiri.

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga terjadi di wilayah pertambangan dengan merebut hak-hak masyarakat, perampasan lahan, intimidasi, dan pembodohan masyarakat. Pertambangan juga termasuk lumbung Korupsi.Korupsi ini terjadi baik sebelum melakukan pertambangan sampai pertambangan itu beroperasi.

Proses perizinan yang banyak terjadi kejanggalan terjadi di lapangan juga setoran pertambangan ke pemerintah Aceh seperti dana Pendapat Asli Daerah (PAD), Royalti, dana reklamasi dan dana-dana lainnya yang sampai sekarang belum jelas bagaimana proses pembayarannya dan kemana dana tersebut disalurkan. (slm)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar