Kamis, 22 Desember 2011

Gubernur Diminta Cabut Izin PT Kalista Alam

Aceh Bisnis Rabu, 21 Des 2011 07:40 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, diminta segera mencabut izin usaha perkebunan budidaya PT Kalista Alam, tanpa menunggu keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh.
Juru Bicara Partai Aceh, Jufri Hasanuddin, menyesalkan kebijakan Pemerintah Aceh dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang kontradiktif seperti penerbitan izin pembukaan lahan perkebunan sawit kepada PT Kalista Alam di hutan lindung gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya.

Padahal, sebelumnya Gubernur Aceh telah melakukan moratorium logging dan program Aceh Green yang tujuannya menyelamatkan sumber daya alam Aceh untuk kesejahteraan rakyat.

“Pemberian izin usaha perkebunan budi daya tersebut  jelas melanggar Undang-Undang Pemerintah Aceh pasal 148, 149 dan 150, serta Inpres Nomor 10 Tahun  2011. Hal ini jelas lari dari komitmen Pemerintah Aceh yang bercita-cita mewujudkan Aceh Green dalam rangka menciptakan lingkungan yang asri dan hijau,” kata Jufri pada rapat paripurna DPRA tentang pendapat akhir fraksi terhadap laporan Gubernur Aceh tentang perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2010, Senin (19/12).

Selain itu, pihak kepolisian diminta sesegera mungkin mengusut dugaan pelanggaran hukum dalam proses pemberian izin kepada PT Kalista Alam, apalagi kenyataannya laporan atau pengaduan masyarakat juga sudah pernah disampaikan ke Mabes Polri.
Selain menyorot tajam kondisi hutan gambut Rawa Tripa, Fraksi Partai Aceh dan Fraksi PPP-PKS juga memberikan tanggapan terkait pemberian berbagai izin kuasa pertambangan.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, apa yang disampaikan Fraksi PPP-PKS sejalan dengan realita di lapangan, bahwa benar ada aktivitas penambangan berbagai mineral yang terkandung dalam sumber daya alam Aceh.

“Selama ini dilakukan tanpa adanya pengendalian dan pengawasan yang memadai dari pemerintah. Padahal setiap kegiatan mulai dari eksplorasi dan eksploitasi tambang diwajibkan melalui proses berdasarkan tahapan-tahapan dan studi Amdal,” kata Eksekutif Daerah Walhi Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar.

Walhi seprinsip dengan Fraksi PPP-PKS, bahwa saat ini sudah ada sekitar 120 jenis izin tambang yang justru akan menambah dan memperparah kerusakan lingkungan di Aceh.
Secara nyata Fraksi Partai Aceh juga memberikan gambaran bahwa pemberian izin kuasa pertambangan kepada pemilik modal atau pihak swasta yang mengancam sejumlah kawasan hutan lindung akibat eksploitasi hasil pertambangan, seperti yang dilakukan PT Lhoong Setia Mining di Kecamatan Lhoong, dan PT Pinang Sejati Utama di Manggamat.

“Untuk itu kepada Pemerintah Aceh agar segera mengevaluasi seluruh izin kuasa pertambangan yang ada serta membatalkan izin kuasa pertambangan tersebut, sampai disahkannya qanun tentang pengelolaan pertambangan umum,” tegas Zulfkar. ( dedi irawan)

Kegiatan Pelestarian Belum Efektif Hempang Kerusakan Hutan

Kilas
MedanBisnis – Banda Aceh. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyatakan, upaya pelestarian hutan yang dilakukan pemerintah daerah melalui sejumlah program pengawasan hingga rehabilitasi belum mampu menghempang laju kerusakan hutan.
“Upaya pencegahan kerusakan hutan yang dilakukan Pemerintah Aceh hanya sebagian kecil dibandingkan kerusakan hutan yang masih terjadi. Apalagi pemerintah masih memberikan izin kepada pengusaha tambang untuk melakukan eksploitasi dan juga memberikan izin alih fungsi  lahan menjadi lahan perkebunan sawit,” kata  Direktur Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar, kemarin di Banda Aceh.

Walhi memperkirakan, kerusakan hutan di Propinsi Aceh hingga 2011 mencapai 900.000 hektar lebih. Kerusakan tersebut disebabkan pencurian kayu (illegal logging), alih fungsi lahan, pertambangan dan pembangunan jalan di kawasan hutan lindung.

Zulfikar menuturkan, kerusakan hutan di Aceh mencapai 20.000 hingga 32.000 hektar setiap tahun.  Dari jumlah tersebut, sekitar 80% disebabkan tambang, baik pertambangan yang diberikan izin maupun yang ilegal.

“Seharusnya pemerintah mencari solusi mengatasi kerusakan hutan yang semakin mengkhawatirkan. Salah satunya mencabut seluruh izin pertambangan yang telah dikeluarkan.  Karena selama ini program pemerintah dalam mengatasi kerusakan hutan gagal, karena kerusakan lebih banyak dari penyelamatannya,” demikian kata Zulfikar. (dedi irawan)

Walhi: Pemerintah Kurang Tanggap Atasi Kerusakan Hutan

Aceh Bisnis Kamis, 24 Nov 2011 06:55 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai Pemerintah Propinsi Aceh sampai saat ini belum mampu mencari solusi mengatasi kerusakan hutan yang semakin mengkhawatirkan.
“Diperkirakan kerusakan hutan di Aceh per tahun bisa mencapai 20.000 hingga 32.000 hektare lebih. Kalau kerusakan totalnya sudah mencapai di atas  900.000,” kata Direktur Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar, di Banda Aceh, Selasa (22/11).

Kerusakan hutan sebesar itu disebabkan hutan telah diperuntukkan untuk kepentingan komersial, seperti perkebunan sawit, dan pertambangan. Selain itu juga diperparah dengan adanya aktivitas pencurian kayu (illegal logging) yang marak dilakukan dalam beberapa tahun ini.

Zulfikar juga mengungkapkan, kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan, misalnya pemerintah berkeinginan sekali membuka jalan di kawasan hutan lindung.

“Kita tahu fungsi hutan lindung bukan hanya untuk sumber air, tetapi juga untuk ekosistemnya supaya lebih seimbang,” imbuhnya.

Kemudian pemerintah juga sering memberikan izin-izin untuk perubahan fungsi lahan, hutan diberikan izin diganti dengan kebun sawit. Kebijakan ini juga mendorong kerusakan lingkungan hutan yang cukup tinggi.

“Kita ketahui Aceh Green mempuyai mimpi untuk menciptakan Aceh lestari rakyat sejatera, berarti kalau bicara hutan lestari hutan yang rusak dikembalikan atau direhabilitasi supaya baik.  Tetapi kenyataan di lapangan, rehabilitasi tidak berjalan sesuai, malah kerusakan hutan semakin bertambah, berarti minpi itu tidak tercapai,” paparnya. (n dedi irawan)
Aceh Bisnis Kamis, 24 Nov 2011 06:55 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai Pemerintah Propinsi Aceh sampai saat ini belum mampu mencari solusi mengatasi kerusakan hutan yang semakin mengkhawatirkan.
“Diperkirakan kerusakan hutan di Aceh per tahun bisa mencapai 20.000 hingga 32.000 hektare lebih. Kalau kerusakan totalnya sudah mencapai di atas  900.000,” kata Direktur Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar, di Banda Aceh, Selasa (22/11).

Kerusakan hutan sebesar itu disebabkan hutan telah diperuntukkan untuk kepentingan komersial, seperti perkebunan sawit, dan pertambangan. Selain itu juga diperparah dengan adanya aktivitas pencurian kayu (illegal logging) yang marak dilakukan dalam beberapa tahun ini.

Zulfikar juga mengungkapkan, kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan, misalnya pemerintah berkeinginan sekali membuka jalan di kawasan hutan lindung.

“Kita tahu fungsi hutan lindung bukan hanya untuk sumber air, tetapi juga untuk ekosistemnya supaya lebih seimbang,” imbuhnya.

Kemudian pemerintah juga sering memberikan izin-izin untuk perubahan fungsi lahan, hutan diberikan izin diganti dengan kebun sawit. Kebijakan ini juga mendorong kerusakan lingkungan hutan yang cukup tinggi.

“Kita ketahui Aceh Green mempuyai mimpi untuk menciptakan Aceh lestari rakyat sejatera, berarti kalau bicara hutan lestari hutan yang rusak dikembalikan atau direhabilitasi supaya baik.  Tetapi kenyataan di lapangan, rehabilitasi tidak berjalan sesuai, malah kerusakan hutan semakin bertambah, berarti minpi itu tidak tercapai,” paparnya. (n dedi irawan)

Akibat Galian C Kerusakan DAS Krueng Aceh Berlanjut

Aceh Bisnis Hari ini Pkl. 07:28 WIB
Akibat Galian C
MedanBisnis – Banda Aceh. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menyatakan daerah aliran sungai (DAS) Krueng Aceh yang membentang dari hutan Seulawah, Jantho, hingga Banda Aceh saat ini mengalami ancaman serius. Ancaman berasal dari kerusakan di daerah hilir (hutan) dan daerah hulu (pengambilan galian C).
"Apalagi mengingat DAS Krueng Aceh menjadi sumber baku  air bersih warga Banda Aceh dan Aceh Besar, jika tidak segera dilindungi maka akan berdampak pada ribuan orang," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar, di Banda Aceh, Rabu (21/12).

Walhi menilai pernyataan kepala Bapedal Aceh, Husaini Syamaun, di media yang menyatakan kerusakan DAS Krueng Aceh tidak begitu parah, sebagai pernyataan yang kurang tepat. Karena dalam konteks perlindungan lingkungan, seharusnya sekecil apapun kerusakan harus ditanggapi dengan serius.

Walhi sudah turun ke beberapa titik, melihat kerusakan yang terjadi sangat parah akibat galian C yang tidak terkontrol.

Tim Walhi Aceh yang turun ke lapangan menemukan  berbagai sungai dengan kondisi rusak parah yang merupakan sub DAS Krueng Aceh di Aceh Besar. Sungai-sungai tersebut hancur-lebur, dikeruk untuk diambil material pasir dan kerikilnya, menyebabkan dinding sungai ambruk.

Beberapa titik galian C liar yang ada di sub DAS Krueng Keumireu, dan sub DAS Krueng Jreu menyebabkan sungai tampak sudah dangkal, gundukan kerikil di mana-mana, di beberapa tempat abrasi dinding sungai bahkan memakan lahan pertanian milik masyarakat.

"Namun sayangnya para pengusaha galian C liar yang ditemui bersikap acuh tak acuh terhadap fenomena ini dan menolak menutup usahanya. Sehingga ancaman kerusakan hutan juga dihadapi DAS Krueng Aceh terutama di kawasan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Seulawah, Hutan Lindung Jantho dan daerah Ulu Masen,"paparnya.

Zulfikar menjelaskan, daerah itu merupakan habitat berbagai ekosistem dan mengandung kekayaan biodiversity yang tinggi, namun sedang marak penebangan liar. Hal itu bisa dilihat langsung di sepanjang jalan Banda Aceh - Medan, apalagi hutan di sepanjang jalan Seulawah yang sudah tandus.

"Untuk itu, Pemerintah Aceh harus lebih serius dalam penyelamatan DAS Krueng Aceh, yang merupakan salah satu dari 15 DAS besar yang ada di Aceh," ujarnya.

Dia mengharapkan Pemprop Aceh segera membentuk program atau kegiatan misalnya Save Our Seulawah, untuk menyelamatkan hutan yang tersisa. "Tidak perlu menunggu sampai benar-benar hutan yang tersisa tinggal secuil, air minum susah didapat dan bencana melanda, baru sibuk dengan berbagai program," demikian kata Zulfikar. (dedi irawan)

Gubernur Diminta Cabut Izin PT Kalista Alam

Aceh Bisnis Rabu, 21 Des 2011 07:40 WIB
MedanBisnis – Banda Aceh. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, diminta segera mencabut izin usaha perkebunan budidaya PT Kalista Alam, tanpa menunggu keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh.
Juru Bicara Partai Aceh, Jufri Hasanuddin, menyesalkan kebijakan Pemerintah Aceh dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang kontradiktif seperti penerbitan izin pembukaan lahan perkebunan sawit kepada PT Kalista Alam di hutan lindung gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya.

Padahal, sebelumnya Gubernur Aceh telah melakukan moratorium logging dan program Aceh Green yang tujuannya menyelamatkan sumber daya alam Aceh untuk kesejahteraan rakyat.

“Pemberian izin usaha perkebunan budi daya tersebut  jelas melanggar Undang-Undang Pemerintah Aceh pasal 148, 149 dan 150, serta Inpres Nomor 10 Tahun  2011. Hal ini jelas lari dari komitmen Pemerintah Aceh yang bercita-cita mewujudkan Aceh Green dalam rangka menciptakan lingkungan yang asri dan hijau,” kata Jufri pada rapat paripurna DPRA tentang pendapat akhir fraksi terhadap laporan Gubernur Aceh tentang perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2010, Senin (19/12).

Selain itu, pihak kepolisian diminta sesegera mungkin mengusut dugaan pelanggaran hukum dalam proses pemberian izin kepada PT Kalista Alam, apalagi kenyataannya laporan atau pengaduan masyarakat juga sudah pernah disampaikan ke Mabes Polri.
Selain menyorot tajam kondisi hutan gambut Rawa Tripa, Fraksi Partai Aceh dan Fraksi PPP-PKS juga memberikan tanggapan terkait pemberian berbagai izin kuasa pertambangan.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, apa yang disampaikan Fraksi PPP-PKS sejalan dengan realita di lapangan, bahwa benar ada aktivitas penambangan berbagai mineral yang terkandung dalam sumber daya alam Aceh.

“Selama ini dilakukan tanpa adanya pengendalian dan pengawasan yang memadai dari pemerintah. Padahal setiap kegiatan mulai dari eksplorasi dan eksploitasi tambang diwajibkan melalui proses berdasarkan tahapan-tahapan dan studi Amdal,” kata Eksekutif Daerah Walhi Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar.

Walhi seprinsip dengan Fraksi PPP-PKS, bahwa saat ini sudah ada sekitar 120 jenis izin tambang yang justru akan menambah dan memperparah kerusakan lingkungan di Aceh.
Secara nyata Fraksi Partai Aceh juga memberikan gambaran bahwa pemberian izin kuasa pertambangan kepada pemilik modal atau pihak swasta yang mengancam sejumlah kawasan hutan lindung akibat eksploitasi hasil pertambangan, seperti yang dilakukan PT Lhoong Setia Mining di Kecamatan Lhoong, dan PT Pinang Sejati Utama di Manggamat.

“Untuk itu kepada Pemerintah Aceh agar segera mengevaluasi seluruh izin kuasa pertambangan yang ada serta membatalkan izin kuasa pertambangan tersebut, sampai disahkannya qanun tentang pengelolaan pertambangan umum,” tegas Zulfkar. ( dedi irawan)

Walhi Aceh: PT PIM Bisa Digugat

Sumber:http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=24711&tit=Berita%20Utama%20-%20Walhi%20Aceh:%20PT%20PIM%20Bisa%20Digugat

BANDA ACEH- Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Aceh, TM Zulfikar mengatakan korban keracunan PT PIM di Lhokseumawe, Aceh Utara, berhak menggugat perusahan itu, dikarenakan lalai.
Pasalnya, kebocoran itu, bukan hanya sekali ini, saja. Dan korbannya juga tidak satu atau dua orang, melainkan belasan dan hitungan puluhan. “Cuma, apakah warga sekitar atau korbannya, mau melaporkan ke polisi atau menggugatnya. Mana tahu, sudah dikasih ‘susu’ atau biaya pengobatan atau ganti rugi. Akibatnya, korban pun kemudian diam dan tidak jadi lapor,” kata TM Zulfikar, kepada koran ini, Rabu (21/12) di Banda Aceh.

Ia mengungkapkan gugatan pun, bisa versi class action atau langsung melaporkan ke kepolisian. Apalagi pihak perusahaan ini, disebutkannya, telah melakukan pembohongan publik. Dimana humas PT PIM, pernah memberikan statement ke media, kalau awal November tidak akan lagi ada kebocoran, karena mereka sudah memasangkan alat yang dipesan dari Jepang.

Apa lacur, kata Zulfikar, janji perusahaan hanya tinggal janji dan bocornya salah satu katup pipa, kembali memakan korban. Menurutnya, dalam undang-undang Lingkungan hidup nomor 32 tahun 2009, ada mencantumkan bahwa masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup diperbolehkan menggugat. (ian)

Krueng Aceh Hadapi Ancaman Serius

Krueng Aceh Hadapi Ancaman Serius

Sumber:http://harian-aceh.com/2011/12/22/krueng-aceh-hadapi-ancaman-serius
Banda Raya - 22 December 2011 | 0 Komentar
Banda Aceh | Harian Aceh - Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh yang membentang mulai dari hutan Seulawah, Jantho hingga Banda Aceh, saat ini mengalami ancaman serius. Kerusakan di daerah hilir dan daerah hulu ini diyakini karena maraknya aktifitas pembalak liar dan galian C liar.
“Akibatnya, ribuan orang terancam akan kekurangan air bersih, karena Krueng Aceh adalah sumber baku air bersih warga Banda Aceh dan Aceh Besar,” kata Direktur Eksekutif WALHI Aceh T. Muhammad Zulfikar dalam siaran persnya yang diterima Harian Aceh, Rabu (21/12).
Pemerintah, kata Zulfikar, semetinya harus cepat merespon ini. Tapi celakanya, Kepala Bapedal Aceh, Husaini Syamaun justru mengatakan, kerusakan DAS Krueng Aceh tidaklah parah.
“Dalam konteks perlindungan lingkungan, seharusnya sekecil apapun kerusakan, apalagi yang besar seperti DAS Krueng Aceh harus ditanggapi serius,” kata Zulfikar.
Walhi Aceh, lanjutnya, sudah turun ke beberapa titik melihat kerusakan yang terjadi. Hasilnya, kerusakan sangat parah akibat penambangan galian C yang tidak terkontrol.
Di lapangan ditemukan kondisi mengenaskan di sejumlah sungai yang merupakan Sub DAS Krueng Aceh di Aceh Besar. Sungai-sungai tersebut hancur-lebur, dikeruk untuk diambil material pasir dan kerikilnya, hingga menyebabkan dinding sungai ambruk.
Sub DAS Krueng Keumireu dan Sub DAS Krueng Jreu adalah contoh nyata. Sungai-sungai itu kini tampak sudah dangkal, abrasi dinding sungai, bahkan memakan lahan pertanian milik masyarakat.
“Sayangnya, para pengusaha galian C liar yang ditemui bersikap acuh tak acuh terhadap fenomena ini dan menolak menutup usahanya,” kata Zulfikar.
Ancaman kerusakan hutan juga dihadapi DAS Krueng Aceh terutama di kawasan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Seulawah, Hutan Lindung Jantho dan daerah Ulu Masen.
Daerah-daerah yang merupakan habitat berbagai ekosistem dan mengandung kekayaan biodiversity yang tinggi, ini sedang marak penebangan liar. “Tak susah untuk melihatnya, cobalah lewat jalan lintas Banda Aceh – Medan akan mudah dilihat hutan yang sudah tandus,” katanya.
Itulah sebabnya, Pemerintah Aceh harus lebih serius lagi melakukan penyelamatan DAS Krueng Aceh, yang merupakan salah satu dari 15 DAS besar yang ada di Aceh.
“Tak perlu menunggu sampai benar-benar hutan yang tersisa tinggal secuil, air minum susah didapat dan bencana melanda, baru sibuk dengan berbagai program,” katanya.(dad)

Bencana Longsor Ancam DAS Krueng Aceh

Bencana Longsor Ancam DAS Krueng Aceh
Firman Hidayat | The Globe Journal | Rabu, 21 Desember 2011
Sumber: http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/bencana-longsor-ancam-das-krueng-aceh.php
Banda Aceh — Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh, Husaini Syamaun kepada The Globe Journal, Rabu (21/12) sore tadi mengatakan kondisi krueng Aceh sudah sangat parah karena pengambilan pasir dan batu-batu sungai sudah melebihi daya dukung. Bencana yang akan mengancam adalah longsor.

Menurutnya selama ini justru pengambilan pasir dan galian C di sepanjang sungai Krueng Aceh sudah sangat memprihatinkan. Kondisi sungai dibeberapa lokasi sudah semakin dalam dan ada beberapa titik yang sudah dangkal. Untuk ancaman banjir tidak mengkhawatirkan karena sungainya sudah dalam tapi untuk ancaman longsor yang akan meresahkan masyarakat.

Upaya yang harus dilakukan menurutnya adalah penertiban usaha penambangan Galian C dan pengambilan pasir disepanjang krueng Aceh tersebut. “Pemerintah Kabupaten Aceh Besar harus lebih tegas menertibkan usaha-usaha Galian C yang bisa menimbulkan bencana bagi masyarakat disepanjang Krueng Aceh itu,” kata Husaini Syamaun.

Jika dibandingkan dengan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh dari hulu sampai ke hilir masih lumayan baik. Namun ada beberapa lokasi di kawasan hulu yang rusak karena perambahan hutan di Gunung Seulawah. Artinya sepanjang DAS Krueng Aceh itu banyak yang harus dilakukan upaya rehabilitasi.

Menanggapi kondisi Krueng Aceh saat ini, Direktur Walhi Aceh, T. Muhammad Zulfikar kepada The Globe Journal siang tadi mengatakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh yang membentang mulai dari hutan Seulawah, Jantho hingga Banda Aceh saat ini mengalami ancaman serius. Ancaman serius berasal dari kerusakan di daerah hilir dan daerah hulu.

“Apalagi mengingat DAS Krueng Aceh menjadi sumber baku  air bersih warga Banda Aceh dan Aceh Besar, jika tidak segera dilindungi maka akan berdampak pada ribuan orang,” kata TM Zulfikar.

Tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh yang turun ke lapangan menemukan kondisi mengenaskan berbagai sungai yang merupakan Sub DAS Krueng Aceh di Aceh Besar. Sungai-sungai tersebut hancur-lebur, dikeruk untuk diambil material pasir dan kerikilnya, menyebabkan dinding sungai ambruk.

Ancaman kerusakan hutan juga dihadapi DAS Krueng Aceh terutama dikawasan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Seulawah, Hutan Lindung Jantho dan daerah Ulu Masen. “Daerah-daerah ini merupakan habitat berbagai ekosistem dan mengandung kekayaan biodiversity yang tinggi sedang marak penebangan liar,” demikian TM. Zulfikar.

DAS Krueng Aceh Terancam: Walhi

DAS Krueng Aceh Terancam: Walhi

Sumber:http://www.acehkita.com/berita/das-krueng-aceh-terancam-walhi/

Oleh: REL/NH - 21/12/2011 - 15:46 WIB
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh yang membentang dari hutan Seulawah, Jantho, hingga ke Banda Aceh mengalami ancaman serius akibat kerusakan hutan di hilir dan pengambilan galian C.
Direktur Eksekutif WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar, dalam siaran pers yang diterima ACEHKITA.COM, Rabu (21/12), menyatakan, apabila tidak segera dilindungi akan berdampak kepada ribuan orang sebab DAS Krueng Aceh merupakan sumber baku air bersih warga Banda Aceh dan Aceh Besar.
Ditambahkan, tim Walhi Aceh yang turun ke lapangan beberapa waktu lalu menemukan kondisi mengenaskan. Sejumlah sungai yang merupakan sub DAS Krueng Aceh di Aceh Besar, telah hancur akibat dikeruk untuk diambil material pasir dan kerikil, menyebabkan dinding sungai ambruk.
Sedangkan, ancaman kerusakan hutan di DAS Krueng Aceh ada di kawasan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan, Seulawah, Hutan Lindung Jantho dan daerah Ulu Masen, katanya.
Daerah-daerah ini merupakan habitat berbagai ekosistem dan mengandung kekayaan biodiversiti yang tinggi sedang marak penebangan liar. “Tak susah untuk melihatnya. Coba lewat jalan Banda Aceh – Medan, akan dengan mudah terlihat hutan sudah tandus,” tambah Zulfikar.
Walhi mengharapkan Pemerintah Aceh lebih serius lagi menyelamatkan DAS Krueng Aceh. Jika perlu bentuk program atau kegiatan ‘Save Our Seulawah’ untuk menyelamatkan hutan yang tersisa, karena dalam konteks perlindungan lingkungan sekecil apapun kerusakan harus ditanggapi serius.
“Tak perlu menunggu sampai benar-benar hutan yang tersisa tinggal secuil, air minum susah didapat dan bencana melanda baru sibuk dengan berbagai program,” katanya.[]

Pemerintah Aceh Tidak Konsisten Dalam Mengawal Isu Lingkungan

Pemerintah Aceh Tidak Konsisten Dalam Mengawal Isu Lingkungan

20 December 2011
HMINEWS, Banda Aceh — Menyikapi dan Mengapresiasi Pendapat Akhir Fraksi Partai Aceh dan Fraksi PPP-PKS dalam Rapat Paripurna Ke-7 DPR Aceh, Senin 19 Desember 2011, WALHI Aceh mengkritik Pemerintah Aceh tidak konsisten dalam mengawal isu lingkungan hidup.
Dalam pendapat akhir fraksi yang telah disampaikan, WALHI Aceh menyambut baik pendapat yang disampaikan oleh Fraksi Partai Aceh dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan – Partai Keadilan Sejahtera (PPP-PKS) pada sidang paripurna ketujuh DPRA yang berlangsung senin pagi hingga siang tersebut.
WALHI Aceh sangat sependapat dengan Pendapat Fraksi Partai Aceh sebagaimana yang dibacakan oleh Ir. Jufri Hasanuddin, MM, selaku Juru bicara partai Aceh yang mengatakan bahwa sangat menyesali kebijakan Pemerintah Aceh di satu sisi melakukan moratorium logging dan program Aceh Green yang tujuannya dalam rangka menyelamatkan sumberdaya alam Aceh untuk kesejahteraan rakyat.
Di sisi lain justru Gubernur Aceh melakukan kegiatan-kegiatan yang kontradiktif seperti menerbitkan izin pembukaan lahan perkebunan sawit kepada PT Kalista Alam di hutan lindung gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya. Pemberian izin usaha perkebunan budi daya tersebut jelas-jelas telah melanggar Undang-Undang yang berlaku di NKRI, yakni UU Pemerintah Aceh pasal 148, 149 dan 150, serta Inpres No. 10 tahun  2011.
Hal ini jelas-jelas telah lari dari komitmen Pemerintah Aceh yang bercita-cita ingin mewujudkan Aceh Green dalam rangka mewujudkan lingkungan alam yang asri dan hijau, sebagaimana yang disampaikan oleh Drs. H. Anwar Idris, Juru Bicara Fraksi PPP-PKS.
Dari pendapat kedua Fraksi tersebut selayaknya Gubernur Aceh untuk segera mencabut izin usaha perkebunan budidaya kepada PT Kalista Alam, tanpa harus menunggu lebih lanjut hasil keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh, yang saat ini sedang dalam proses, dan sudah menjalani masa sidang yang kedua. Selain itu juga kepada pihak kepolisian untuk sesegera mungkin mengusut dugaan pelanggaran hukum dalam proses pemberian izin kepada PT Kalista Alam, apalagi kenyataannya laporan/pengaduan dari masyarakat juga sudah pernah disampaikan ke Mabes POLRI.
Selain menyorot secara tajam kondisi hutan gambut Rawa Tripa, Fraksi Partai Aceh dan Fraksi PPP-PKS juga memberikan tanggapan terkait pemberian izin berbagai izin Kuasa Pertambangan. Menurut WALHI Aceh, apa yang disampaikan oleh Fraksi PPP-PKS sejalan dengan realita lapangan, bahwa benar aktifitas penambangan berbagai mineral yang terkandung dalam sumberdaya alam Aceh selama ini dilakukan tanpa adanya pengendalian dan pengawasan yang memadai dari Pemerintah. Padahal setiap kegiatan mulai dari eksplorasi dan eksploitasi tambang diwajibkan melalui proses berdasarkan tahapan-tahapan dan studi AMDAL. WALHI Aceh seprinsip seperti apa yang ditegaskan oleh Juru Bicara Fraksi PPP-PKS, bahwa saat ini sudah ada sekitar 120 jenis izin tambang, yang justru akan menambah dan memperparah terjadinya berbagai kerusakan lingkungan di Aceh.
Secara nyata Fraksi Partai Aceh juga memberikan gambaran bahwa pemberian izin kuasa pertambangan kepada pemilik modal atau pihak swasta yang mengancam sejumlah kawasan hutan lindung akibat eksploitasi hasil pertambangan seperti yang dilakukan oleh PT. Lhoong Setia Mining di Kecamatan Lhoong dan PT. Pinang Sejati Utama di Manggamat, Aceh Selatan jelas sekali sudah menyebabkan kondisi hutan disekelilingnya sudah rusak dan bahkan rentan terjadinya konflik sosial di kalangan masyarakat. Untuk itu kepada Pemerintah Aceh untuk segera mengevaluasi kembali seluruh izin kuasa pertambangan yang ada serta membatalkan izin kuasa pertambangan tersebut sampai disahkannya qanun tentang pengelolaan pertambangan umum.
WALHI Aceh sependapat dengan apa yang disampaikan kedua Fraksi tersebut. Tentunya kita semua tidak bisa menerima kebijakan-kebijakan Gubernur Aceh yang inkonsistens (tidak konsisten) dalam hal mengawal hutan dan lingkungan yang menjadi sumber penghidupan dan kelangsungan hidup segala apa yang mendiami negeri Aceh yang kita cintai ini.  Sudah selayaknya masyarakat Aceh menikmati hasil sumberdaya alam nya sendiri, dan semestinya semua kita bertanggungjawab untuk menjaga keselamatan hutan dan lingkungan yang akan diwariskan kepada anak cucu kita kelak. [] lara

Artikel Terkait

Ancaman Serius untuk DAS Krueng Aceh

Ancaman Serius untuk DAS Krueng Aceh

Sumber:http://hminews.com/news/ancaman-serius-untuk-das-krueng-aceh/

21 December 2011
Banda Aceh – Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh yang membentang mulai dari hutan Seulawah, Jantho hingga Banda Aceh saat ini mengalami ancaman serius. Ancaman serius berasal dari kerusakan di daerah hilir (hutan) dan daerah hulu (pengambilan galian C). Apalagi mengingat DAS Krueng Aceh menjadi sumber baku  air bersih warga Banda Aceh dan Aceh Besar, jika tidak segera dilindungi maka akan berdampak pada ribuan orang.
Wahana Lingkungan Hidup Aceh (WALHI) Aceh, menilai pernyataan kepala Bapedal Aceh, Ir. Husaini Syamaun di media yang menyatakan kerusakan DAS Krueng Aceh tidak parah kurang tepat. Dalam konteks perlindungan lingkungan seharusnya sekecil apapun kerusakan, apalagi yang besar seperti DAS Krueng Aceh, harus ditanggapi dengan serius. WALHI Aceh sendiri yang sudah turun ke beberapa titik melihat kerusakan yang terjadi sangat parah akibat penambangan galian C yang tidak terkontrol.
Tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh yang turun ke lapangan menemukan kondisi mengenaskan berbagai sungai yang merupakan Sub DAS Krueng Aceh di Aceh Besar. Sungai-sungai tersebut hancur-lebur, dikeruk untuk diambil material pasir dan kerikilnya, menyebabkan dinding sungai ambruk.
WALHI Aceh yang ikut turun ke berbagai titik galian C liar yang ada di Sub DAS Krueng Keumireu, dan Sub DAS Krueng Jreu beberapa waktu lalu, melihat sungai tampak sudah dangkal, gundukan kerikil dimana-mana, di beberapa tempat abrasi dinding sungai bahkan memakan lahan pertanian milik masyarakat. Namun sayangnya para pengusaha Galian C liar yang ditemui bersikap acuh tak acuh terhadap fenomena ini dan menolak menutup usahanya.
Ancaman kerusakan hutan juga dihadapi DAS Krueng Aceh terutama dikawasan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Seulawah, Hutan Lindung Jantho dan daerah Ulu Masen. Daerah-daerah ini merupakan habitat berbagai ekosistem dan mengandung kekayaan biodiversity yang tinggi sedang marak penebangan liar. Tak susah untuk melihatnya, cobalah lewat jalan lintas Banda Aceh – Medan, akan dengan mudah dilihat hutan yang sudah tandus.
Pemerintah Aceh harus lebih serius lagi dalam penyelamatan DAS Krueng Aceh, yang merupakan salah satu dari 15 DAS besar yang ada di Aceh. Kalau perlu bentuk program atau kegiatan misalnya SAVE OUR SEULAWAH, untuk menyelamatkan hutan yang tersisa. Tak perlu menunggu sampai benar-benar hutan yang tersisa tinggal secuil, air minum susah di dapat dan bencana melanda baru sibuk dengan berbagai program. [] lk

Kasus Rawa Tripa, Polda Aceh Diminta Gelar Perkara

Kasus Rawa Tripa, Polda Aceh Diminta Gelar Perkara
Sumber:http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1810060/kasus-rawa-tripa-polda-aceh-diminta-gelar-perkara
Headline
inilah.com/Agus Priatna
Oleh: Harian Aceh
Sindikasi - Rabu, 21 Desember 2011 | 02:20 WIB
INILAH.COM, Banda Aceh - Mabes Polri meminta Polda Aceh segera melakukan gelar perkara untuk mengetahui delik kasus dalam pemberian izin perkebunan di lahan gambut rawa Tripa dengan terlapor Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.
Polda juga diminta melaporkan perkembangan penanganan kasus itu ke Bareskrim Mabes Polri.

Hal tersebut tertuang dalam surat pelimpahan penangan kasus itu dari Mabes Polri ke Polda Aceh No.B/4472/Ops/XI/2011/Bareskrim. Dalam surat tertanggal 25 November 2011 itu, pihak Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Drs Acmad Hidayat menyatakan agar Polda Aceh melaksanakan gelar perkara intern.

Gelar perkara dimaksudkan untuk menentukan apakah kasus yang dilaporkan lembaga peduli rawa Tripa dengan terlapor Irwandi Yusuf dan kawan-kawan itu masuk dalam delik pidana atau bukan. Untuk pelaksanaan gelar perkara tersebut, Mabes Polri juga mengirimkan sejumlah dokumen atau barang bukti ke Polda Aceh.

Di antaranya, foto copy Surat Izin Gubernur atas lahan tersebut, surat keputusan Bupati Nagan Raya yang juga berkaitan dengan lahan ini, serta beberapa surat lainnya. Dalam surat pelimpahan juga disebutkan agar Polda Aceh melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut.

Sementara itu, Kapolda Aceh Irjen Pol Iskandar Hasan yang kembali dikonfirmasiterkait pelimpahan penyelidikan kasus rawa Tripa dari Mabes Polri ke Polda Aceh, Selasa (20/12), menyatakan belum begitu mengetahuinya.
Dia hanya mengatakan semua laporan yang masuk ke Polda Aceh tetap ditindaklanjuti, termasuk jika ada pelimpahan dari Mabes Polri.

“Saya belum mengetahui secara rinci, nanti saya akan tanyakan dulu ke bagian penyidik. Kalau nanti sudah mendapat keterangan, akan saya beritahukan,” kata Kapolda Aceh kepada Harian Aceh.

Sebelumnya diberitakan, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dilaporkan oleh Tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa ke Mabes Polri terkait penerbitan Izin Budi Daya Perkebunan seluas 1.605 hektare, yang berada di dalam kawasan ekosistem Leuser, Nagan Raya, Aceh. Laporan itu didaftarkan Rabu 23 November 2011.

Menurut pihak peduli tripa, kebijakan Irwandi Yusuf mengeluarkan izin itu melawan hukum yakni Instruksi Presiden No’10/2011 tentang Penundaan Izin Baru di Kawasan Gambut. Pasalnya, izin konsesi kelapa sawit yang diterbitkan, lokasinya berada di dalam daerah rawa Tripa.

Penerbitan izin tersebut juga bertentangan dengan PP No 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Berdasarkan PP tersebut, kawasan ekosistem Leuser telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan berstatus sebagai kawasan strategis nasional.

Belakangan Mabes Polri melimpahkan kasus itu ke Polda Aceh melalui surat No.B/4432/Ops/XI/2011/Bareskrim. Pelimpahan itu mengingat objek perkara atau TKP dan para pihak terkait berdomisili di Aceh. [lal]

Gubernur Siap Cabut Izin Perambahan Rawa Tripa

Gubernur Siap Cabut Izin Perambahan Rawa Tripa
Sumber:http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1810062/gubernur-siap-cabut-izin-perambahan-rawa-tripa
Headline
Oleh: Harian Aceh
Sindikasi - Rabu, 21 Desember 2011 | 03:20 WIB
INILAH.COM, Banda Aceh - Gubernur Aceh Irwandi Yusuf siap mencabut izin budi daya perkebunan seluas 1605 hektar milik PT Kalista Alam di kawasan Rawa Tripa, Nagan Raya, jika terbukti bermasalah. Kasus itu kini sedang ditangani PTUN Aceh dan Mabes Polri.

“Jika putusan hukum menyatakan hal tersebut salah, gubernur akan mencabut izin perambahan hutan tersebut. Saat ini, operasional PT Kalista Alam di kawasan Rawa Tripa juga sudah kami minta menghentikan sementara hingga kasus ini selesai,” kata Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Setda Aceh Muhammad Yahya, Selasa(20/12).

Jika merujuk pada peraturan yang ada, kata dia, Izin Hak Guna
Usaha (HGU) yang dikeluarkan untuk PT Kalista Alam telah sesuai
prosedur.
“Sebelum izin tersebut diterbitkan pada 25 Agustus 2011, tim gabungan yang terdiri perwakilan BP2T Setda Aceh, Dinas Kehutanan, serta pihak Badan Pengelolaan Ekosistem Leuser (BPKEL) telah terlebih dahulu turun ke lapangan,” katanya.

Saat itu, lanjut dia, pihaknya meminta BPKEL untuk menjelaskan batas-batas Ekosistem Leuser dan tanah yang memiliki HGU. “Namun, pihak BPKEL tidak mampu menjelaskan hal ini,” katanya.

Atas dasar tersebut, kata dia, akhirnya izin budi daya perkebunan seluas 1605 hektar diterbitkan kepada PT Kalista Alam.
”Apalagi HGU PT Kalista Alam berbatasan dengan HGU lama milik PT Agra Para Citra. Hal ini salah satu alasan mengapa HGU PT Kalista Alam diterbitkan. Menurut kami area tersebut di luar Ekosistem Leuser,” papar Muhammad Yahya didampingi stafnya, Saiful.

Dia menjelaskan, Kalista Alam telah memohon penerbitan izin itu setahun lalu. Kasus itu juga sudah pernah dilaporkan ke Polda Aceh serta gelar perkara yang akhirnya dimenangkan oleh PT Kalista Alam.
”Sekarang kami malah digugat Walhi dan Tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa. Kami masih tunggu putusan akhir, kalau salah ya dicabut,” ujar M Yahya.

Sementara itu, Koordinator Bagian Perizinan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) Aceh Bambang Antariksa membantah tudingan pihak BP2T yang mengatakan pihaknya tidak mengetahui batas kawasan Leuser sehingga terbitkan izin budi daya perkebunan PT Kalista Alam di kawasan Rawa Tripa.
”Kami sudah ingatkan Pemerintah Aceh bahwa itu wilayah KEL, tetapi tidak dipertimbangkan,” kata Bambang Antariksa.

Ia mengakui, sebelum dikeluarkannya izin terhadap PT Kalista Alam di kawasan Rawa Tripa, pihak BP2T Setda Aceh memang pernah menyurati pihaknya mengenai Rawan Tripa.
Kemudian surat telaah BPKEL menyimpulkan bahwa area yang diminta izin budi daya perkebunan tersebut merupakan area KEL sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Kementerian Kehutanan No.190/KPTS(2)/2001 tentang pengesahan batas KEL di Aceh.

”Jadi, kalau sekarang mereka mengatakan keluarnya izin budi daya
perkebunan PT Kalista Alam di kawasan Rawa Tripa karena BPKEL
tidak tahu batas wilayah, itu salah. Kalau seandainya mereka (BP2T) mempertimbangkan hasil telaah BPKEL, tidak akan jadi begini,” lanjut Bambang. [lal]

Walhi Tuding PT PIM Lakukan Kebohongan Publik

Walhi Tuding PT PIM Lakukan Kebohongan Publik

Sumber:http://id.berita.yahoo.com/walhi-tuding-pt-pim-lakukan-kebohongan-publik-022610735.html
Antara –  2 jam 7 menit lalu
Walhi Tuding PT PIM Lakukan Kebohongan Publik
Banda Aceh (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menuding pihak PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) Krueng Geukuh, Kabupaten Aceh Utara, telah melakukan kebohongan publik, karena dinilai tidak serius mengatasi kebocoran tabung amonia.
"Ini bukan kali pertama terjadi, sebelumnya perusahaan tersebut telah berjanji kepada masyarakat sekitar lokasi bahwa pada awal November 2011, mereka akan mendatangkan alat dari Jepang untuk mengatasi kebocoran, dan peristiwa kebakaran ini memperlihatkan mereka bohong," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Rabu.
Ia mengatakan hal itu menanggapi peristiwa kebakaran salah satu tabung PT PIM, sehingga menyebabkan kebocoran amonia, pada Minggu (18/12) malam. Akibat peristiwa itu, sekitar 46 orang mengalami gangguan pernapasan, karena menghirup bahan kimia tersebut.
Menurut Zulfikar, seharusnya PT PIM sebagai sebuah perusahaan nasional memperhatikan aspek keselamatan warga dalam menjalankan pabrik.
"Kebakaran kali ini semakin memperlihatkan arogansi perusahaan tersebut dengan tidak memperhatikan aspek keselamatan warga dalam menjalankan aktivitasnya," katanya.
Dijelaskannya, PT PIM pasti sangat faham dan mengetahui mengenai kerentanan terjadinya kebocoran ataupun kebakaran pabrik amonia mereka, namun tetap saja perusahaan tersebut tidak pernah melakukan upaya nyata untuk memperbaikinya.
Ditambahkannya, peristiwa kebakaran dan kebocoran gas amonia yang terjadi kemarin seharusnya segera ditindak oleh aparat penegak hukum dikarenakan sudah jatuh korban dari masyarakat.
"Polisi harus bertindak untuk mengusut persoalan ini, karena peristiwa sebelumnya polisi tidak pernah menetapkan tersangka," ungkapnya.
Selama ini perusahaan hanya memberikan kompensasi yang tidak adil bagi masyarakat korban, tambahnya.
Untuk itu, Zulfikar memberikan alternatif kepada Pemerintah Aceh untuk mengantisipasi agar peristiwa serupa tidak lagi terulang, yakni menutup perusahaan atau melakukan relokasi warga.
"Pilihan ada pada pemerintah, kita ingin menyelamatkan warga atau menyelamatkan perusahaan, karena berdasarkan catatan Walhi Aceh, selama periode 2011 ini artinya PT PIM telah mengalami kebocoran gas amonia sebanyak tiga kali, yakni pada 29 April 2011, 22 September 2011 dan terakhir 30 September 2011," tegasnya.

Walhi: Aceh Diancam Bencana Ekologis

Walhi: Aceh Diancam Bencana Ekologis

Sumber:http://id.berita.yahoo.com/walhi-aceh-diancam-bencana-ekologis-072615659.html

Antara –  21 jam yang lalu
"Kami mencatat puluhan malapraktik pertambangan terjadi di Aceh. Ini akibat eksploitasi besar-besaran sumber daya alam Aceh," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh Teuku Muhammad Zulfikar di Banda Aceh, Selasa.
Pernyataan tersebut disampaikannya di sela-sela peluncuran buku Walhi Aceh berjudul "Sumber Daya Alam Dikuras, Bumi Aceh Menjerit, Rakyat Sengsara".
Buku setebal 128 halaman mengungkap eksploitasi sumber daya alam Aceh dilakukan secara serampangan dengan mengabaikan lingkungan hidup.
Hingga saat ini, kata dia, tercatat sekitar 120 perusahaan sudah mengantongi izin eksplorasi dan eksploitasi sumber mineral di Provinsi Aceh dengan luas areal tambang keseluruhannya mencapai 750 ribu hektare.
"Sekitar 80 persen areal tambang tersebut berada di kawasan hutan. Jika 120 perusahaan tambang ini beroperasi, bayangkan ancaman kerusakan kawasan hutan tersebut," katanya.
Akibat penambangan tersebut, kata dia, ekologi di sekitar pertambangan dipastikan tidak seimbang lagi. Habitat satwa liar yang semula di kawasan hutan bergeser ke tempat lain.
Bahkan, lanjut dia, satwa liar itu akan memasuki pemukiman penduduk karena posisi mereka terdesak karena habitat mereka berubah menjadi lokasi tambang.
"Karena itu, kami terus mengampanyekan moratorium tambang. Moratorium tambang tersebut diyakini mampu memberi waktu bagi pemulihan ekologi di provinsi ujung barat Pulau Sumatra tersebut," katanya.
Selain itu, kata dia, perlindungan terhadap alam dan sumber dayanya akan lebih efektif apabila masyarakat mengetahui seluk beluk eksploitasi tambang tersebut.
"Rakyat juga perlu mengetahui bahwa praktik pertambangan tersebut mengakibatkan hak-hak mereka terampas oleh investor. Selain itu, rakyat juga perlu tahu bahwa pertambangan itu mengakibatkan bencana," ujar Teuku Muhammad Zulfikar.

Aceh Terancam Bencana Ekologi

Aceh Terancam Bencana Ekologi
Sumber:http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/20/285644/126/101/Aceh-Terancam-Bencana-Ekologi
Selasa, 20 Desember 2011 16:28 WIB     
Komentar: 0


BANDA ACEH--MICO:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan Aceh saat ini sedang terancam bencana ekologi akibat terjadinya malapraktik di sektor pertambangan.

"Kami mencatat puluhan malapraktik pertambangan terjadi di Aceh. Ini akibat eksploitasi besar-besaran sumber daya alam Aceh," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh Teuku Muhammad Zulfikar di Banda Aceh, Selasa (20/12).

Pernyataan tersebut disampaikannya di sela-sela peluncuran buku Walhi Aceh berjudul Sumber Daya Alam Dikuras, Bumi Aceh Menjerit, Rakyat Sengsara.

Buku setebal 128 halaman mengungkap eksploitasi sumber daya alam Aceh dilakukan secara serampangan dengan mengabaikan lingkungan hidup.

Hingga saat ini, kata dia, tercatat sekitar 120 perusahaan sudah mengantongi izin eksplorasi dan eksploitasi sumber mineral di Provinsi Aceh dengan luas areal tambang keseluruhannya mencapai 750 ribu hektare.

"Sekitar 80% areal tambang tersebut berada di kawasan hutan. Jika 120 perusahaan tambang ini beroperasi, bayangkan ancaman kerusakan kawasan hutan tersebut," katanya.

Akibat penambangan tersebut, kata dia, ekologi di sekitar pertambangan dipastikan tidak seimbang lagi. Habitat satwa liar yang semula di kawasan hutan bergeser ke tempat lain.

Bahkan, lanjut dia, satwa liar itu akan memasuki pemukiman penduduk karena posisi mereka terdesak karena habitat mereka berubah menjadi lokasi tambang.

"Karena itu, kami terus mengampanyekan moratorium tambang. Moratorium tambang tersebut diyakini mampu memberi waktu bagi pemulihan ekologi di provinsi ujung barat Pulau Sumatra tersebut," katanya.

Selain itu, kata dia, perlindungan terhadap alam dan sumber dayanya akan lebih efektif apabila masyarakat mengetahui seluk beluk eksploitasi tambang tersebut.

"Rakyat juga perlu mengetahui bahwa praktik pertambangan tersebut mengakibatkan hak-hak mereka terampas oleh investor. Selain itu, rakyat juga perlu tahu bahwa pertambangan itu mengakibatkan bencana," ujar Teuku Muhammad Zulfikar. (Ant/Ol-3)

WALHI Aceh Luncurkan Bumi Aceh Menjerit

WALHI Aceh Luncurkan Bumi Aceh Menjerit
Firman Hidayat | The Globe Journal | Selasa, 20 Desember 2011
Sumber:http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/walhi-aceh-luncurkan-bumi-aceh-menjerit.php
Banda Aceh — Bertempat di Petua Toe kafe Ulee Kareng Banda Aceh, hari ini Selasa (20/12) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh meluncurkan buku yang berjudul “SDA Dikuras, Bumi Aceh Menjerit, Rakyat Sengsara”. Buku ini sendiri ditulis oleh dua jurnalis senior dan seorang budayawan Aceh yaitu Muhammad Hamzah (wartawan Suara Pembaruan) dan Mukhtaruddin Yakob (Ketua AJI Banda Aceh) dan Nab Bahany As.

Direktur Walhi Aceh, TM. Zulfikar kepada The Globe Journal mengatakan buku setebal 128 halaman yang dieditori oleh Dian Gucci dan M. Nur ini menggambarkan betapa eksploitasi sumber daya alam Aceh dilakukan secara serampangan dengan mengabaikan lingkungan sekitar. Alih-alih ingin meningkatkan pendapatan ekonomi daerah yang terjadi malah rakyat sekitar menjadi termiskinkan alias sengsara.

Selama belasan tahun, WALHI Aceh mendasarkan gerakan serta advokasinya pada data dan fakta yang dikumpulkan dari lapangan. Investigasi dan observasi langsung ke lokasi yang tengah dililit masalah telah menjadi trade mark WALHI dalam melakukan misi advokasi terhadap kebijakan dan/atau investasi yang merusak lingkungan.

Bersama 38 lembaga anggotanya, WALHI Aceh juga membangun sinergi dan aliansi strategis dengan berbagai pihak terkait, untuk memperjuangkan tetap terpeliharanya sumber-sumber kehidupan rakyat.

Usaha advokasi yang dilakukan WALHI Aceh menjadi kontrol dari kebijakan yang merugikan. Namun tidak semua kasus pelanggaran atas hak rakyat atau pengelolaan sumber kehidupan dapat diselesaikan secara memuaskan.

WALHI Aceh mencatat puluhan malpraktik yang masih terjadi, terutama di sektor pertambangan. Aceh sedang diancam bencana ekologis, yang diakibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam. Untuk menghindari terjadinya kerugian lebih lanjut, WALHI Aceh mengkampanyekan Moratorium Tambang. Penghentian kegiatan eksploitasi tambang diharapkan dapat memberikan waktu bagi lingkungan hidup untuk memulihkan diri.

Perlindungan terhadap alam dan sumberdayanya akan lebih efektif bila masyarakat awam mengetahui seluk beluk eksploitasi. Juga akibat serta hak-hak rakyat yang dapat hilang, terampas pemodal besar. WALHI Aceh mendokumentasikan segala kerusakan dan kerugian yang disebabkan eksploitasi berlebihan ini sebagai pembelajaran.

Buku ini merupakan gabungan data yang dikumpulkan WALHI Aceh dan lembaga-lembaga anggotanya. Data tersebut tentunya hanya akan berupa angka yang kering bila disajikan apa adanya. Semoga kehadiran buku ini dapat menambah perbendaharaan pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, Aceh khususnya.

Bedah Buku Sumber Daya Alam

Bedah Buku Sumber Daya Alam
Muhammad Furqan | The Globe Journal | Selasa, 20 Desember 2011
Sumber:http://www.theglobejournal.com/kategori/foto/bedah-buku-sumber-daya-alam.php
Direktur Eksekutif Walhi Aceh T. Muhammad Zulfikar (baju biru) dan Direktur Pugar (duduk) dalam acara peluncuran buku di Cafe Petua Toe Ulee Kareng Banda Aceh, Selasa (20/12). Buku yang dibedah yakni "Bumi Aceh Menjerit dan Potret Pengelolaan Hutan Aceh".

Mabes Perintahkan Polda Aceh Usut Kasus Rawa Tripa

Mabes Perintahkan Polda Aceh Usut Kasus Rawa Tripa
Link:http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1809647/mabes-perintahkan-polda-aceh-usut-kasus-rawa-tripa
Headline
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf - Foto : Ist
Oleh: Harian Aceh
Sindikasi - Selasa, 20 Desember 2011 | 07:10 WIB
INILAH.COM, Banda Aceh - Mabes Polri memerintahkan Polda Aceh mengusut kasus penerbitan izin perkebunan di kawasan hutan rawa gambut Tripa di Nagan Raya dengan terlapor Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Perintah itu disampaikan melalui surat No.B/1432/Ops/XI/2011/Bareskrim.
Dalam surat Kapolri melalui Dirreskrimsus yang dikirim ke Polda Aceh November 2011 menyebutkan, berdasarkan rujukan laporan polisi Nomor LP/748/XI/2011/ Bareskrim Tanggal 23 November 2011 atas nama pelapor Kepala Desa Sumber Bhakti, Ibduh tentang tindak pidana izin perkebunan kepada PT Kalista Alam di lokasi ekosistem Lauser (BPKEL).
Pelanggaran itu sebagaimana dimaksud pasal 73 UU tentang penataan ruang dan atau pasal 424 KUHPidana dan Pasal 69 serta pasal 71 jo 72 jo pasal 74 UU No26 tahun 2008 tentang penataan ruang yang diduga dilakukan terlapor Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh) dan kawan-kawan.
Sehubungan dengan rujukan di atas, mengingat objek perkara atau TKP dan para pihak terkait berdomisili di Aceh, pasal yang disangkakan dikaitkan dengan bukti-bukti yang ada sudah memenuhi unsur dan perlu pendalaman.
Kapolda Aceh Iskandar Hasan melalui Kabid Humas AKBP Gustav Leo yang dikonfirmasi terkait surat perintah tersebut mengatakan belum mengetahuinya.
“Sepertinya belum ada surat perintah dari Mabes Polri terkait hal itu,” kata Gustav Leo, Senin (19/12).
Dia mengatakan, kalaupun pihaknya sudah menerima tapi untuk pemeriksaan Irwandi Yususf juga harus meminta izin terlebih dahulu ke presiden.
“Pejabat negara dapat diperiksa setelah turun izin dari presiden,” jela Gustav.
Seperti diberitakan sebelumnya, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dilaporkan oleh Tim Advokasi Masyarakat Peduli Tripa ke Mabes Polri terkait penerbitan Izin Budi Daya Perkebunan seluas 1.605 hektare, yang berada di dalam kawasan ekosistem Leuser, Nagan Raya, Aceh. Laporan itu didaftarkan Rabu 23 November 2011.
Menurut pihak peduli tripa, kebijakan Irwandi Yusuf mengeluarkan izin itu melawan hukum yakni Instruksi Presiden No’10/2011 tentang Penundaan Izin Baru di Kawasan Gambut. Pasalnya, izin konsesi kelapa sawit yang diterbitkan, lokasinya berada di dalam daerah rawa Tripa.
Penerbitan izin tersebut juga bertentangan dengan PP No 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Berdasarkan PP tersebut, kawasan ekosistem Leuser telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan berstatus sebagai kawasan strategis nasional.
Bersamaan dengan laporan ke Mabes Polri itu, di Banda Aceh melalui Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga mendaftarkan gugatan perdata terhadap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ke PTUN Banda Aceh.
Pendaftaran gugatan perdata itu dihadiri Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T M Zulfikar bersama kuasa hukum Walhi Aceh, Syafruddin SH serta beberapa anggota Tim Koalisi Penyelamat Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tataruang Sumatera (For Trust).
“Dalam perkara ini Walhi bertindak mewakili TKPRT dan For Trust. Materi gugatan kami, terkait surat izin Gubernur Aceh No.525/BP2T/5322/2011, tanggal 25 Agustus 2011 tentang izin usaha perkebunan budidaya kepada PT Kalista Alam di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, Aceh, seluas 1.605 Ha,” kata T M Zulfikar.
Menurut Zulfikar, kebijakan Gubernur Aceh mengeluarkan surat izin perkebunan di kawasan hutan rawa gambut terhadap PT Kalista Alam merupakan kebijakan melawan hukum. Karena lahan itu berada dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) Aceh.
KEL, kata Zulfikar, telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional.
“Nah, dalam surat izin Gubernur Aceh itu disebutkan lahan seluas 1.605 Ha itu tidak dalam KEL. Dari fakta ini sudah menyalahi hukum,” sebut Zulfikar.
Kebijakan Gubernur Aceh itu, tambah Zulfikar, berdampak negatif bagi lingkungan hidup yang ditimbulkan dari pembukaan lahan gambut rawa Tripa. Diantaranya, hilangnya habitat satwa yang dilindungi, misalnya, Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Ikan Lele dan jenis ikan lainnya dalam kawasan rawa Tripa. [mor]

Aceh Terancam Bencana Ekologi

Aceh Terancam Bencana Ekologi

BANDA ACEH-- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan Aceh saat ini sedang terancam bencana ekologi akibat terjadinya malapraktik di sektor pertambangan. 
"Kami mencatat puluhan malapraktik pertambangan terjadi di Aceh. Ini akibat eksploitasi besar-besaran sumber daya alam Aceh," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh Teuku Muhammad Zulfikar di Banda Aceh, Selasa (20/12). 
Pernyataan tersebut disampaikannya di sela-sela peluncuran buku Walhi Aceh berjudul Sumber Daya Alam Dikuras, Bumi Aceh Menjerit, Rakyat Sengsara.

WALHI Aceh Luncurkan 'Bumi Aceh Menjerit'

    WALHI Aceh Luncurkan 'Bumi Aceh Menjerit'

Bertempat di Petua Toe kafe Ulee Kareng Banda Aceh, hari ini Selasa (20/12/2011) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh meluncurkan buku yang berjudul "SDA Dikuras, Bumi Aceh Menjerit, Rakyat Sengsara". Buku ini sendiri ditulis oleh dua jurnalis senior dan seorang budayawan Aceh yaitu Muhammad Hamzah (wartawan Suara Pembaruan) dan Mukhtaruddin Yakob (Ketua AJI Banda Aceh) dan Nab Bahany As.
Buku setebal 128 halaman yang dieditori oleh Dian Gucci dan M. Nur ini menggambarkan betapa eksploitasi sumber daya alam Aceh dilakukan secara serampangan dengan mengabaikan lingkungan sekitar. Alih-alih ingin meningkatkan pendapatan ekonomi daerah yang terjadi malah rakyat sekitar menjadi termiskinkan alias sengsara.

http://www.berita8.com/read/2011/12/20/12/51065/WALHI-Aceh-Luncurkan-'Bumi-Aceh-Menjerit'

Alih Fungsi Lahan Penyebab Keringnya Sungai Ineung

Alih Fungsi Lahan Penyebab Keringnya Sungai Ineung

Link:http://www.antara-aceh.com/alih-fungsi-lahan-penyebab-keringnya-sungai-ineung.html
Meulaboh, 19/12 (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)  memprediksikan keringnya Krueng (sungai) Ineung di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, selama 8,5 jam, akibat adanya kegiatan alih fungsi lahan.
Direktur Walhi Aceh T M Zulfikar yang dihubunggi dari Meulaboh, Senin mengatakan, alih fungsi lahan dari rawa gambut menjadi lahan sawit merupakan pemicu borosnya penyerapan air di kawasan itu.
"Kalau lahan sudah dialih fungsi, pasti akan ada banyak pengerjaan di sana seperti pembangunan kanal atau got besar. Nah air sungai yang dialiri ke dalam kanal tentunya akan mempengaruhi kondisi air sungai," jelasnya.
Ia menyatakan, menyangkut adanya mitos yang dipercayai warga
setempat keringnya sungai terbesar di Nagan Raya dengan lebar 40 meter itu oleh adanya ganguan ular raksasa belum dapat dibenarkan karena semua itu dapat terjadi karena faktor alam.
Lebih lanjut dikatakan, kondisi demikian dapat terjadi kapanpun dan dimanapun apabila ditemukan adanya alih fungsi lahan terlebih adanya pembangunan kanal ataupun drainase untuk mengaliri air ke lahan perkebunan.
Menurut dia, daya serap air di kawasan setempat begitu kuat karena rawa gambut sudah mulai krisis ditambah lagi adanya aktivitas pengerukan, sehingga debit air tidak mampu mengimbangi.
"Meskipun sungai besar, tetap saja tidak mampu mengaliri air ke kawasan pembangunan kanal itu meskipun ditambah air hujan, kondisi ini pastinya tidak berlangsung lama, apabila kanal sudah penuh kondisi air akan normal kembali," tegasnya.
Terlepas dari adanya pengahalau keluarnya debit air ke sungai oleh benda apapun itu, tidak mungkin dapat menghentikan debit air secara menyeluruh dengan kondisi sungai begitu besar dan panjang.
Lanjutnya, daya serap air akibat perkebunan kelapa sawit adalah pemicu utama terserapnya air sungai yang dialiri ke sejumlah kanal yang memanjang menuju ke perkebunan sawit yang sedang digarap.
Karenanya dimintakan masyarakat tidak terlalu berprasangka yang diluar kontek logika dengan kejadian keringnya Krueng Ineung, karena fenomena alam dapat terjadi kapanpun meskipun dimusim penghujan saat ini.
"Keruhnya air itu kemungkinan besar karena riak air yang sudah normal, tiba-tiba bercampur dengan lumpur ataupun air sungai yang dihantarkan saat hujan digunung," katanya.

WALHI Beri Apresiasi Kepada DPRA

Selasa, 20 Desember 2011 9:54

WALHI Beri Apresiasi Kepada DPRA

Link:http://www.antara-aceh.com/walhi-beri-apresiasi-kepada-dpra.html
Banda Aceh, 19/12 (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memberi apresiasi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Aceh terkait isu penyelamatan lingkungan hidup di Provinsi Aceh.
"Kami patut memberikan apresiasi kepada fraksi-fraksi DPRA karena merespons berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi di Aceh," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Senin.
Ia mengatakan, respons tersebut patut diberikan kepada Fraksi Partai Aceh dan Fraksi PPP/PKS karena menyuarakan isu penyelamatan lingkungan dalam sidang paripurna DPRA.
Fraksi Partai Aceh, kata dia, dalam pendapat akhir fraksinya di sidang paripurna tersebut menyatakan penyesalannya terhadap kebijakan Pemerintah Aceh yang mengeluarkan konversi hutan menjadi perkebunan sawit.
"Fraksi Partai Aceh juga menyoroti masalah izin eksploitasi sejumlah perusahaan tambang di Provinsi Aceh, yang masih belum berpihak kepada lingkungan dan masyarakat," sebut TM Zulfikar.
Hal senada, kata dia, juga disampaikan Fraksi PPP/PKS. Juru bicara Fraksi PPP/PKS Anwar Idris dalam pendapat akhir fraksinya mendesak Gubernur Aceh menertibkan izin perusahaan tambang.
"Ada 120 izin pertambangan dikeluarkan Gubernur Aceh. Praktik pertambangan tersebut jelas-jelas mengancam kerusakan lingkungan," kata dia mengutip pernyataan Fraksi PPP/PKS.
Menurut dia, apa yang disampaikan Fraksi PPP-PKS sejalan dengan realita di lapangan. Aktivitas penambangan mineral selama ini dilakukan tanpa terkendali dan pengawasan memadai.
Padahal, sebut dia, setiap kegiatan mulai eksplorasi hingga eksploitasi tambang wajib melalui proses berdasarkan tahapan-tahapan dan studi analisa mengenai dampak lingkungan.
"Dari pendapat akhir kedua Fraksi tersebut selayaknya Gubernur Aceh segera mencabut izin perkebunan sawit dan eksploitasi tambang guna menyelamatkan lingkungan hidup dari kehancuran," tegas TM Zulfikar.

Walhi Aceh Apresiasi DPRA

Walhi Aceh Apresiasi DPRA
Firman Hidayat | The Globe Journal | Senin, 19 Desember 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/walhi-aceh-apresiasi-dpra.php
Banda Aceh - Setelah menyimak dan mengikuti Pendapat Akhir berbagai Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), terhadap Laporan Gubernur Aceh Tentang Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2010 Senin (19/12), Walhi Aceh memberikan apresiasi kepada DPRA.

Direktur Walhi Aceh, TM. Zulfikar kepada The Globe Journal, Senin (19/12) mengatakan Walhi memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada fraksi-fraksi DPRA yang secara tegas merespon berbagai kasus-kasus lingkungan hidup yang seharusnya menjadi perhatian bersama karena menyangkut kehidupan masyarakat banyak dan telah mengancam sumber-sumber kehidupan rakyat Aceh.

Walhi Aceh sangat sependapat dengan pendapat Fraksi Partai Aceh sebagaimana yang dibacakan oleh Ir. Jufri Hasanuddin, MM, selaku Juru bicara partai Aceh yang mengatakan bahwa sangat menyesali kebijakan Pemerintah Aceh di satu sisi melakukan moratorium logging dan program Aceh Green yang tujuannya dalam rangka menyelamatkan sumberdaya alam Aceh untuk kesejahteraan rakyat.

Di sisi lain justru Gubernur Aceh melakukan kegiatan-kegiatan yang kontradiktif seperti menerbitkan izin pembukaan lahan perkebunan sawit kepada PT Kalista Alam di hutan lindung gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya.

Pemberian izin usaha perkebunan budi daya tersebut jelas-jelas telah melanggar Undang-Undang yang berlaku di NKRI, yakni UU Pemerintah Aceh pasal 148, 149 dan 150, serta Inpres No. 10 tahun  2011.

Hal ini jelas-jelas telah lari dari komitmen Pemerintah Aceh yang bercita-cita ingin mewujudkan Aceh Green dalam rangka mewujudkan lingkungan alam yang asri dan hijau, sebagaimana yang disampaikan oleh Drs. H. Anwar Idris, Juru Bicara Fraksi PPP-PKS.

“Dari pendapat kedua Fraksi tersebut selayaknya Gubernur Aceh untuk segera mencabut izin usaha perkebunan budidaya kepada PT Kalista Alam, tanpa harus menunggu lebih lanjut hasil keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh, yang saat ini sedang dalam proses, dan sudah menjalani masa sidang yang kedua,” pungkas Zulfikar.

Selain itu juga kepada pihak kepolisian untuk sesegera mungkin mengusut dugaan pelanggaran hukum dalam proses pemberian izin kepada PT Kalista Alam, apalagi kenyataannya laporan pengaduan dari masyarakat juga sudah pernah disampaikan ke Mabes Polri.

Selain menyorot secara tajam kondisi hutan gambut Rawa Tripa, Fraksi Partai Aceh dan Fraksi PPP-PKS juga memberikan tanggapan terkait pemberian izin berbagai izin Kuasa Pertambangan.

Menurut Walhi Aceh, apa yang disampaikan oleh Fraksi PPP-PKS sejalan dengan realita lapangan, bahwa benar aktifitas penambangan berbagai mineral yang terkandung dalam sumberdaya alam Aceh selama ini dilakukan tanpa adanya pengendalian dan pengawasan yang memadai dari Pemerintah. Padahal setiap kegiatan mulai dari eksplorasi dan eksploitasi tambang diwajibkan melalui proses berdasarkan tahapan-tahapan dan studi Amdal.

Walhi Aceh seprinsip seperti apa yang ditegaskan oleh Juru Bicara Fraksi PPP-PKS, bahwa saat ini sudah ada sekitar 120 jenis izin tambang, yang justru akan menambah dan memperparah terjadinya berbagai kerusakan lingkungan di Aceh.

Secara nyata Fraksi Partai Aceh juga memberikan gambaran bahwa pemberian izin kuasa pertambangan kepada pemilik modal atau pihak swasta yang mengancam sejumlah kawasan hutan lindung akibat eksploitasi hasil pertambangan seperti yang dilakukan oleh PT. Lhoong Setia Mining di Kecamatan Lhoong dan PT. Pinang Sejati Utama di Manggamat, Aceh Selatan jelas sekali sudah menyebabkan kondisi hutan disekelilingnya sudah rusak dan bahkan rentan terjadinya konflik sosial di kalangan masyarakat.

Pemerintah Aceh segera mengevaluasi kembali seluruh izin kuasa pertambangan yang ada serta membatalkan izin kuasa pertambangan tersebut sampai disahkannya qanun tentang pengelolaan pertambangan umum.[003]

Perihal Izin Kelapa Sawit di Rawa Tripa, Irwandi Bersalah

Perihal Izin Kelapa Sawit di Rawa Tripa, Irwandi Bersalah
Firman Hidayat | The Globe Journal | Senin, 19 Desember 2011
Link: http://www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/perihal-izin-kelapa-sawit-di-rawa-tripa-irwandi-bersalah.php
Banda Aceh — Pendapat akhir Fraksi Partai Aceh (PA) terhadap Laporan Gubernur Tentang Perhitungan APBA 2010 pada Masa Persidangan III Paripurna VII 2011 memberi penilaian terhadap kinerja Pemerintahan Aceh dibawah kepemimpinan Irwandi Yusuf adalah sangat buruk.

Salah satu sudah pandang Fraksi Partai Aceh (PA) yang dibacakan oleh Jufri Hasanuddin sangat menyesali kebijakan Pemerintah Aceh. Disatu sisi melakukan moratorium logging dan program Aceh Green tapi disisi lain menerbitkan izin pembukaan lahan perkebunan sawit kepada PT. Kalista Alam di hutan lindung gambut Rawa Tripa, Gampong Pulot Kruet Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya.

Menurut Fraksi PA, pemberian izin usaha perkebunan budi daya kepada PT. Kalista Alam dengan izin Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf nomor 525/BP2T/5322/2011 merupakan pelanggaran yang nyata terhadap Undang-Undang yang berlaku di NKRI.

"Secara tegas pemberian izin ini telah melanggar pasal 148, 149 dan 150 UU PA serta melanggar Inpres No.10 tahun 2011," kata Jufri, Senin (19/12) Di Kantor DPRA Aceh.

Padahal Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh melalui surat nomor 525/7-031-VII tertanggal 26 Oktober 2010 tentang pertimbangan teknis izin usaha perkebunan budidaya (IUB-P) PT. Kalista Alam secara jelas menyatakan bahwa areal yang diberikan izin tersebut seluas 1.981 Hektar berada dalam kawasan ekosistem leuser yang seharusnya dilindungi oleh Pemerintah Aceh.

Selain mendesak Gubernur Aceh untuk mencabut izin tersebut, Fraksi Partai Aceh meminta kepolisian untuk mengusut dugaan pelanggaran hukum dalam proses pemberian izin kepada PT. Kalista Alam.

Jufri melanjutkan Fraksi Partai Aceh tidak bisa menerima kebijakan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang inkonsisten dalam hal mengawal hutan dan lingkungan yang menjadi sumber penghidupan dan kelangsungan hidup.

Kemudian Fraksi PPP dan PKS juga berpendapat yang sama. Fraksi PPP dan PKS meminta agar Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf untuk melakukan upaya pengendalian, penertiban dan pengawasan terhadap kegiatan pengunaan hutan gambut rawa tripa.

Sebagaimana yang dipaparkan Anwar Idris, Inpres No 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru bagi penggunaan hutan rawa gambut. Hal ini seharusnya merupakan salah satu komitmen pemerintah untuk mewujudkan Aceh Green dalam rangka menyelamatkan lingkungan.[003]

ALIH FUNGSI LAHAN Ada Indikasi Keterlibatan Orang Kuat

ALIH FUNGSI LAHAN

Ada Indikasi Keterlibatan Orang Kuat

Kompas, 16 Desember 2011
Banda Aceh, Kompas - Ada indikasi campur tangan orang kuat lokal dalam pemberian izin pembukaan lahan perkebunan sawit seluas 1.605 hektar di hutan lindung gambut Rawa Tripa, Desa Pulo Kruet, Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, oleh Pemerintah Provinsi Aceh untuk PT Kalista Alam.
Hal itu dikatakan Ketua Satuan Tugas (Satgas) Reduced Emission from Deforestation and Degradation (REDD) Aceh Fadmi Ridwan, Kamis (15/12), di Banda Aceh. Hal itu menanggapi gugatan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lingkungan Aceh terhadap kebijakan pemberian izin pembukaan perkebunan untuk PT Kalista Alam.
Fadmi menuturkan, sebelum pemberian izin untuk PT Kalista Alam keluar, Satgas REDD Aceh dimintai rekomendasi oleh Pemprov Aceh. Dalam rekomendasinya, Satgas menegaskan, pemberian izin tidak bisa dilakukan karena lahan berada di Kawasan Ekosistem Leuser.
”Ada indikasi campur tangan orang kuat lokal sehingga izin keluar. Padahal, sudah jelas itu menyalahi aturan,” ujar Fadmi.
Keterlibatan orang kuat bisa masuk saat pembahasan di tingkat Badan Pelayanan dan Perizinan Terpadu serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh sebelum masuk ke Gubernur Aceh. Namun, Fadmi enggan menyebutkan orang kuat yang dimaksud.
Sampai saat ini tidak pernah ada analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) terkait hal itu.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Fahkruddin Polem mengakui, izin pembukaan lahan sawit untuk PT Kalista Alam berada di lahan hutan gambut di Rawa Tripa. Saat ditanya mengapa izin pembukaan lahan sawit tetap diberikan, Fahkruddin menyatakan akan cek ke lapangan lebih dulu. ”Saya tak banyak tahu tentang hal itu karena baru pulang dari naik haji,” ia berkilah.
Pembukaan lahan sawit di atas lahan hutan lindung tanpa amdal dapat memengaruhi program REDD untuk hutan di Aceh. Karena itu, dalam waktu dekat akan ada peninjauan ulang terhadap izin perkebunan bermasalah.
Terkait indikasi orang kuat dalam pemberian izin itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh TM Zukfikar mengatakan, siapa pun yang dimaksud, semestinya Gubernur Aceh tak terpengaruh.
Gugatan terhadap Gubernur Aceh terkait pemberian izin pembukaan lahan sawit untuk PT Kalista Alam, Rabu lalu, memasuki persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam sidang itu, PTUN menerima gugatan tersebut. (HAN)