Kamis, 22 Desember 2011

Walhi Aceh Luncurkan 'Dosa-Dosa' Irwandi-Nazar

Walhi Aceh Luncurkan 'Dosa-Dosa' Irwandi-Nazar
Firman Hidayat | The Globe Journal | Sabtu, 03 Desember 2011
Link:http://www.theglobejournal.com/kategori/feature/walhi-aceh-luncurkan-dosa-dosa-irwandi-nazar.php
Tak terasa waktu terus berlalu dan kini sudah hampir sampai pada pergantian tahun 2011 ke 2012. Hari ini di Media Lokal Aceh ditulis banjir dimana-mana, air sungai meluap entah kemana dan ternyata masih banyak “pekerjaan rumah” (PR) bagi pemerintah untuk membenahi persoalan lingkungan di Aceh.

Ada sebuah catatan kecil yang mengkritisi lingkungan di Aceh tahun 2011. Direktur Walhi Aceh, TM. Zulfikar meluncurkan catatan krisis lingkungan 2011 di Aceh yang bertajuk “Menebar Bencana Ekologi Di Tanoh Aceh”.

Hingga tahun 2011, Wahana Lingkungan Hidup Aceh mencatat ada 201 izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan dengan luasan mencapai 540.839,95 hektar dan ada 120 izin pertambangan yang terdaftar di Dinas Pertambangan Aceh dengan luas wilayah konsesi kurang lebih 484.505 hektar. "Data tersebut masih bersifat sementara dan ada kemungkinan bertambah," sebut TM. Zulfikar. 

Wilayah Aceh terkenal dengan potensi sumber daya alam yang melimpah. Namun sumber daya alam sebagai sumber penting penghidupan, banyak dikuasai oleh investor baik asing maupun dalam negeri yang dijadikan sebagai komoditas unggulan pemerintah daerah yang sedang gencar dipromosikan.

Dari luas wilayah (land area) lebih kurang 57.365 Km atau 5.736.500 hektar, 58 persen luas Aceh merupakan kawasan hutan atau seluas kurang lebih 30.924,76 km. Sedangkan sisanya 26,440,24 km atau 2.644.024 hektar adalah bukan kawasan hutan.

Sebagian HGU yang ada di Aceh merupakan perkebunan kepala sawit. Tercatat luas izin HGU untuk perkebunan kepala sawit di Aceh seluas 465.976 hektar yang dikuasai oleh 155 pemegang izin HGU.

Walhi mencatat sejak tahun 1969 hingga tahun 1999 tercatat sebanyak 25 perusahaan HPH telah beroperasi di Aceh. Jumlah ini kemudian menyusut secara perlahan hingga saat sebelum diberlakukannya moratorium logging Aceh, Juni 2007 sudah menjadi 8 perusahaan HPH.

Berdasarkan data Tim Penyusun Rencana Strategis Hutan Aceh (Tipereska) di tahun 2008, jumlah HTI yang beroperasi di Aceh berjumlah 6 perusahaan, dengan wilayah Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Timur dan Aceh Tamiang.

Luas HTI di Aceh akan terus bertambah seiring dikeluarkannya rekomendasi oleh Gubernur Aceh pada Juli 2008 kepada PT. Aceh Rencong Pulp and Paper Industri. Rekomendasi kepada perusahaan tersebut diberikan seluas 150.000 hektar pada lokasi eks HPH PT. APPI di tiga kabupaten yaitu, Bener Meriah, Aceh Timur, Gayo Luwes.

Kondisi Hutan Aceh

Upaya pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia sepertinya masih jauh panggang dari api.

Pembangunan perkebunan kayu monokultur yang pada awalnya ditujukan untuk percepatan penyediaan bahan baku industri kehutanan dan harusnya dibangun diatas kawasan hutan yang sudah terdegradasi justru menjadi salah satu penyebab kerusakan dan penghilangan hutan alam serta penghancuran ruang hidup bagi masyarakat dan satwa-satwa di kawasan hutan.

Pembukaan lahan perkebunan oleh pemegang izin HGU juga menjadi ancaman serius bagi kelestarian kawasan hutan rawa di Aceh. kawasan yang seharusnya menjadi peyangga bagi kawasan disekitarnya seperti lahan manggrove dan lahan gambut pun dialih-fungsikan menjadi lahan perkebunan.

Pada sepanjang rawa dibuat kanal-kanal drainase untuk mengeringkan rawa sehingga lahan yang sebelumnya berfungsi mengendalikan iklim, pencegah interupsi, pencegah banjir dan kekeringan beralih fungsi menjadi lahan perkebunan.

Kondisi hutan Aceh saat ini membuat Walhi bersama pegiat lingkungan “berkoar-koar” agar segera hentikan pemberian izin untuk pengembangan dan pembangunan kebun-kebun kayu baru. “Pemerintah sebaiknya melakukan audit terhadap kebun-kebun kayu yang ada serta melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang telah diberikan,” sebut Zulfikar, Sabtu (03/12).

Pemerintah harus mengembalikan hak masyarakat adat serta menjamin kepastian peruntukan kawasan kelola rakyat. Memastikan berlangsungnya moratorium penebangan kayu hutan alam dan pemberian izin-izin baru dikawasan hutan.

REDD dan Kondisi Masyarakat Aceh

REDD dikembangkan dari sebuah proposal tahun 2005 oleh sekelompok negara yang menamakan dirinya sebagai Koalisi Negara-Negara Hutan Hujan. Dua tahun kemudian, proposal itu diambil pada konferensi para pihak untuk UNFCCC di Bali (COP-13). Kesepakatan mengenai REDD tersebut rencananya akan dilakukan COP-15 yang berlangsung di Kopenhagen.

Perdagangan Karbon adaah salah satu upaya memberikan jalan tengah bagi dilema yang dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Meluasnya deforestasi dan pemanasan global mendorong negara-negara yang masih memiliki hutan alami untuk diberi konsesi terhadap perlindungan hutan alami.

Kemudian mekanisme karbon kredit dikembangkan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan yang dikenal dengan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD).

Konsepnya adalah negara maju membeli stock karbon (karbon yang tertambat di pohon/vegetasi atau karbon yang tertambat di lahan gambut) di negara-negara yang memiliki hutan tropis terbesar untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan.

Banyak pihak kemudian mengartikan bahwa kondisi itu merupakan momentum terbaik untuk menyelamatkan hutan. Menurut Greenomics Indonesia, potensi devisa dari perdagangan karbon tanpa merusak hutan bernilai minimal US$200 juta setara Rp1,8 triliun pertahun.

Aceh memiliki hutan tropis seluas 3,25 juta hektar yang diperkirakan memiliki kandungan karbon sebesar 415 juta ton. Aceh membuka peluang untuk menyatakan bahwa secara legislasi KEL tak boleh lagi dieksploitasi. Kawasan seluas 2,7 juta hektar di KEL menjadi modal lingkungan sangat menentukan bagi pembangunan di Aceh.

Bahkan catatan Greenomics mengungkapkan lebih dari 3.000 industri kecil, menengah dan besar yang beroperasi di Aceh dan Sumatera Utara bergantung pada pasokan air dari KEL. Kawasan itu juga menjadi penyuplai utama air bersih bagi lebih 4 juta penduduk Aceh dan Sumatera Utara. Pasal 150 UU PA tegas melarang pemberian izin untuk penguasaan hutan dikawasan yang menjadi benteng ekologi Aceh itu.

Kondisi Pertambangan Di Aceh

Munculnya konflik, kerusakan lingkungan dan persoalan sosial di Aceh tidak terlepas dari adanya aktifitas pertambangan. Meskipun perusahaan tambang itu dapat menambah investasi untuk daerah, pengaruh perusahaan tambang juga tak terlepas sebagai pemicu konflik untuk Aceh.

Sejarah adanya tambang di Aceh sejak tahun 1862 silam. Sejak Belanda membebaskan Deli dari Tanah Rencong. Pembebasan Deli tersebut dilakukan Belanda untuk menguasai minyak di Telaga Said, Pangkalan Brandan.

Sejak saat itu konsesi tambang berbagai level terus bermunculan, terlebih setelah konflik di Aceh mampu diredam pasca perundingan damai RI-GAM di Helsinki, 15 Agustus 2005. Tercatat sejak Agustus sampai tahun 2011, ada 120 perusahaan tambang yang mendapat izin dari Pemerintah dengan berbagai macam izin galian.

Hak Rakyat

Dalam perjalanannya, konsesi tambang ini sering melupakan hak-hak rakyat. Sehingga konflik terus sosial terus menerus terjadi seiring berkembanganya perusahaan itu sendiri. Padahal, dalam konstitusi, amandemen -2 UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) ditegaskan,  setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tingal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Dari catatan krisis lingkungan tahun 2011 ini, Walhi Aceh melahirkan beberapa rekomendasi kepada Pemerintah Aceh  untuk mengembalikan pengelolaan ruang dan sumber daya alam kepada rakyat Aceh. Hal ini dilakukan dengan rasionalisasi penguasaan ruang 42,61 persen dari luas wilayah Aceh yang dikuasai pemodal swasta kepada rakyat Aceh.

Intensitas bencana ekologis yang terjadi disepanjang tahun di Aceh diperlukan upaya sistematis untuk mempertahankan kawasan hutan yang masih tersisa. Walhi mencatat ada 7 bentuk bencana yang rawan terjadi di Aceh sejak tahun 2007-2011, meliputi Abrasi terjadi sebanyak 233 kasus, Banjir 695 kasus, Longsor 161 kasus, Gempa Bumi 118 kasus, Konflik Satwa 224 kasus, Angin Ribut 171 kasus dan kebakaran hutan 1.116 kasus.

Kebijakan pemberian insentif dan disentif dilakukan sebagai salah satu alternatif solusi pembangunan kepada kabupaten kota yang mempertahankan kawasan hutan atau dengan keterbatasan wilayah budidayanya tidak dapat mengembangkan wilayah atau melaksanakan pembangunan seperti kabupaten yang memilikikawasan budidaya yang lebih luas.

Terakhir adalah peningkatan tata pemerintahan yang baik untuk sektor kebijakan pengelolaan sumber daya alam Aceh sebagau proses perizinan dan analisis mengenai dampak lingkunan yang transparan dan partisipatif.[003]

Foto : Dok. Herman RN Blog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar