Kamis, 30 Juni 2011

PELESTARIAN MENUJU MASA DEPAN BUMI

PELESTARIAN MENUJU MASA DEPAN BUMI


Oleh: Ade Oktiviyari
Tragedi banjir bandang Tangse baru saja terjadi, dan belum berlalu. Sembilan orang tewas, 3 lainnya belum ditemukan. Delapan jembatan putus, jalan sepanjang 6 kilometer hancur, 2 bendungan jebol, 2 sekolah rusak, 751 rumah rusak, dan 311 unit di antaranya hilang. Sebanyak 3.016 keluarga mengungsi. Rentetan masalah ini belum selesai dan masih memerlukan fase rehabilitasi yang panjang. Belum lagi ancaman penyakit menular pasca bencana seperti ISPA, kolera, dan diare.
Dari sejumlah situs dilansir bahwa penyebabnya adalah pembalakan hutan. Tak heran, fakta menunjukkan, ribuan meter kubik kayu gelondongan terhampar di sepanjang alur banjir. Pada ujung batang kayu itu masih terlihat bekas gergajian dengan diameter 10 cm-75 cm. meski pendapat seperti curah hujan yang tinggi dan faktor kemiringan tanah tetap disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir bandang ini. Lepas dari itu semua, tidak ada yang menyangkal bahwa perusakan lingkungan adalah faktor penyebab terbesar bencana Tangse.
Inilah potret suramnya pelestarian lingkungan di Aceh.
Sebenarnya isu deforestasi hutan Aceh yang terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama pasca tsunami, bukanlah isu baru. Walhi Aceh mencatat dari tahun 1980 hingga 2008, luas hutan Aceh telah berkurang hingga 914.422 hektar dari total luas 5.675.850 hektar. Artinya, 32.657 hektar hutan dibabat tiap tahun. Pada tahun 2006, setahun sebelum dilakukan memorium, tingkat deforestasi dan degradasi hutan Aceh telah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Deforestasi kawasan hutan Aceh selama 2002-2004 mencapai angka hampir 200.000 hektar. Hampir 60% praktik deforestasi tersebut terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung, termasuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Deforestasi di luar kawasan hutan ini menyumbang sebesar 45% dari total deforestasi di Aceh. Secara total, deforestasi hutan Aceh mencapai angka lebih dari 350.000 hektar selama 2002-2004, setara lebih dari 5 kali lipat luas Singapura. Deforestasi tersebut menyebabkan degradasi hutan Aceh semakin parah, mencapai angka 1,87 juta hektar, yang di antaranya tersebar pada 75% kawasan konservasi dan hutan lindung (Greenomics, 2006).
Keberadaan moratorium logging yang dicanangkan sejak tahun 2007, yang intinya mencabut perizinan illegal dan legal kehutanan di Aceh, seolah nyaris tanpa gaung. Tahun 2008, luas hutan Aceh tinggal 61,42 persen. Hasil penelitian Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) pada tahun 2009, menyebutkan kehilangan hutan di Aceh rata-rata 0,9 persen per tahun.
Suatu ironi bahwa peringatan akan kerusakan lingkungan ini telah terjadi sejak lama. Isu tentang kerusakan lingkungan Aceh telah banyak dibeberkan saat tahun 2006, karena tingginya aktivitas illegal logging pasca tsunami. Namun tetap saja, isu dan penerapan memorium hanya menjadi wacana, hingga bencana sebesar ini-yang juga bukan pertama kalinya-terjadi dan memakan korban.
Seolah menjadi bukti nyata, isu perusakan lingkungan memang memerlukan banyak pembuktian untuk menyatakan bahwa suatu bencana memang merupakan efek dari kerusakan lingkungan, bukan suatu proses alam yang alami. Lihat saja saat bencana Wasior, bahkan pemerintah awalnya juga memaklumatkan mengenai tingginya curah hujan dan kemiringan tanah sebagai penyebab utama dari terjadinya banjir bandang, sehingga seolah menutup mata dari kesaksian korban bencana yang menyatakan bahwa gelondongan-gelondongan besar kayu turun dari gunung menyapu rumah mereka. Ada begitu banyak kepentingan ekonomi dan politik yang menjadikan lambannya respon pemerintah dan perangkat kemasyarakatan dalam merespon isu lingkungan.
Tidak hanya di dalam negeri, dalam tatanan dunia global pun reaksi yang timbul tak jauh berbeda, saat lubang ozon pertama kali terdeteksi di atas Antartika awal tahun 1975. Tahun 1977, rencana tindakan diambil. Tahun 1987, dikeluarkan Protokol Montreal. Protokol ini memperkenalkan serangkaian kapasitas, termasuk jadwal tindakan, mengawasi produksi dan pembebasan CFC ke alam sekitar. Ini memungkinkan tingkat penggunaan dan produksi terkait CFC untuk turun ke tingkat semasa 1986 pada tahun 1989, dan pengurangan sebanyak 50% pada 1999. Ada jeda hingga 10 tahun lebih untuk pengambilan tindakan.
Tahun 1978, sebuah buku yang berjudul Hari yang Keduapuluh Sembilan diterbitkan. Isinya menyangkut segala macam permasalahan lingkungan, mulai dari ancaman krisis pangan, energi, pencemaran laut dan sumber air, pencemaran lingkungan, hingga pemanasan global. Artinya, saat itu saja sudah cukup banyak aktivis lingkungan yang sudah menyadari ancaman dan efek dari kerusakan lingkungan secara kompleks. Hanya saja, mengapa reaksinya begitu lambat? Mengenai isu pemanasan global misalnya, komitmen bersama baru ditunjukkan di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, saat 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat.
Memang ada suatu alasan bahwa lambatnya penanganan isu-isu lingkungan disebabkan oleh fluktuatifnya perubahan lingkungan. Seperti isu pemanasan global, banyak ilmuwan meragukannya sebab pemanasan global dipercaya sebagai suatu bentuk perubahan lingkungan yang normal, juga karena beberapa alasan yang relevan.
Selain itu, adanya kepentingan politik dan ekonomi juga menghambat proses recovery lingkungan. Seperti pasal pengurangan emisi di Protokol Kyoto yang bervariasi di tiap negara-negara berkembang tidak diminta untuk berpartisipasi dalam pengurangan emisi dan bahkan Amerika pada tahun 2001 menyatakan mundur dari perjanjian ini karena pengurangan emisi ini menelan biaya yang sangat besar.
Dilema antara kepentingan lingkungan dan kepentingan ekonomi memang sangat besar. Lihat saja banyaknya keraguan dalam pembatasan penebangan disandingkan dengan besarnya pendapatan negara dari ekspor kayu dan hasil hutan. Juga upaya mensubsitusi bahan bakar fosil dengan biofuel yang selain mahal juga menimbulkan dampak krisis pangan.
Namun bagaimanapun, lepas dari ada tidaknya pemanasan global sebagai suatu isu lingkungan terbesar, kenyataan bahwa kerusakan lingkungan, terutama deforestasi memang benar terjadi. Penyangkalan dan upaya mencari terlalu banyak bukti hanya akan melahirkan suatu keterlambatan penanganan, yang akan memperburuk situasi.
Demikian juga dalam menanggapi dilema kepentingan politik ekonomi versus kepentingan lingkungan. Memang bukan pilihan yang mudah, untuk meninggalkan cara-cara primitif yang praktis dan murah menuju alternatif lain yang rumit dan mahal. Tapi pada akhirnya, kita semua akan melangkah ke masa depan bukan? Tentu saja diperlukan upaya keras tidak hanya untuk menghasilkan uang, tapi juga untuk memastikan bahwa bumi ini masih bisa ditempati umat manusia. Masih ingat ini bukan?
“Ketika pohon terakhir telah dicabut, ketika ikan terakhir telah ditangkap, ketika sungai terakhir telah dicemari, manusia akan sadar bahwa mereka tidak dapat memakan uang.” (Semboyan Konservasi Alam Dunia)
*telat dimuat di Aceh Institute

Dilema Hutan Aceh


PEMBERDAYAAN ekonomi warga korban konflik dan bencana tsunami di satu sisi, dan kelestarian lingkungan di sisi lain, menjadi problem dilematis di Nanggroe Aceh Darussalam saat ini. Ribuan hektar lahan hutan dibuka untuk menampung kegiatan ekonomi baru bagi mereka. Ketidakjelasan aturan dan penataan ruang membuat alih fungsi lahan kian tak terkendali. Jika Anda melalui jalur utama Jalan Banda Aceh-Medan KM 87-88 yang melintas di Desa Laweung, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, deretan tandan pisang di lapak, gubuk, dan warung pisang dengan mudah ditemui. Keramaian pedagang pisang dan pembeli bahkan sampai malam hari. Itulah pisang barangan. Pisang khas Pidie yang sejak tiga tahun terakhir menjadi komoditas andalan wilayah tersebut.
Pisang juga telah mengangkat kesejahteraan ribuan warga di Muara Tiga. Saat ini sedikitnya terdapat 1.500 hektar ladang pisang di kecamatan ini, yang diusahakan sekitar 750 petani. Selain pemilik lahan, banyak pula warga yang bekerja sebagai buruh dan penjual pisang.
Pada masa konflik atau bahkan sebelum tragedi bencana tsunami, keramaian pedagang pisang di jalur ini nyaris hanya mimpi. Jalur ini termasuk wilayah konflik. Hampir setiap malam ada operasi keamanan. Jalur selalu sepi karena di pinggir jalan hanyalah hutan pinus berjajar.
"Dulu hanya ada 10 keluarga yang tinggal di sini. Sekarang ramai. Ada ratusan rumah. Mereka umumnya mempunyai warung dan kebun pisang di sini, termasuk saya," kata Tarmudi (40), warga setempat.
Kini, banyak petani yang sudah dapat berhaji karena menanam pisang. Para petani ini sebagian adalah eks-kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), warga korban konflik, korban tsunami, dan sebagian petani asli warga desa setempat.
Deretan kebun pisang yang diusahan petani di Laweung ini sebagian besar adalah dulunya hutan pinus. Berawal dari pilot project pemberdayaan warga eks-kombatan, korban tsunami, dan korban konflik tahun 2007, lahan hutan seluas 20 hektar dibuka untuk lahan pisang.
Wakil Ketua Komisi A DPR Kabupaten Pidie, Suadi Sulaiman, menuturkan, proyek percontohan itu mendapat bantuan Rp 7 juta per hektar dari Pemerintah Kabupaten Pidie. Dalam setahun, ladang pisang percontohan itu terbilang sukses. Hampir 100 persen pisang dapat di panen.
Tahun berikutnya, lahan yang dibuka bertambah menjadi 150 hektar dan ada 120 petani yang terlibat. Dengan luasan itu, 70.0000 hingga 90.000 tandan pisang pun dihasilkan setiap hari dengan kapitalisasi hingga 200 juta per hari.
Ladang pisang pun meluas. Tak hanya hutan rakyat yang ditebang untuk perluasan kebun pisang, hutan lindung pun dibabat. Bahkan, tak hanya pisang yang ditanam, tapi jagung dan cabe pun ikut ditanam. Alih fungsi hutan secara liar kian sulit dikendalikan. "Mungkin ada 500 hektar lahan hutang lindung yang sekarang jadi kebun pisang," kata Suadi.
Kepemilikan lahan pisang pun semakin tak jelas apakah mereka eks-kombatan atau warga korban konflik. Pemerintah daerah setempat pun tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, pisang telah menjadi sumber ekonomi potensial, namun di sisi lain ancaman lingkungan mengemuka.
Hutan menyusut
Sebenarnya, kebijakan pembukaan sebagian lahan hutan untuk pertanian dan perkebunan ini memang dilakukan Pemerintah Provinsi NAD. Awalnya, langkah ini untuk memberi kesempatan ekonomi bagi warga eks-kombatan, korban tsunami, dan korban konflik. Tak hanya pisang, di sejumlah daerah juga dikembangkan kakao, karet, dan tanaman produksi lainnya.
Sayangnya, langkah bijak tersebut tak disertai dengan aturan yang jelas. Akibatnya, pembukaan lahan tak terkendali.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, TM Zulfikar mengungkapkan, saat ini tak ada kejelasan mengenai siapa saja eks-kombatan, korban konflik, dan korban tsunami yang dapat diizinkan memanfaatkan lahan hutan. Banyak pihak yang ikut memanfaatkan sehingga sulit dideteksi.
Semestinya semua ini disiapkan dulu aturannya dan ada kejelasan wilayah hutan mana yang bisa dimanfaatkan dana mana yang tidak. Selain itu, siapa saja yang diperbolehkan, dan tanaman apa yang sesuai dengan kelestarian lingkungan, kata dia.
Walhi mencatat, antara tahun 1980 hingga 2008 saja, luas hutan Aceh telah berkurang hingga 914.422 hektar dari total luas 5.675.850 hektar. Artinya, 32.657 hektar hutan dibabat setiap tahun. Tahun 2008, luas hutan Aceh tinggal 61,42 persen. Dengan alih fungsi lahan yang terus terjadi belakangan, diperkirakan luasan itu kian menyusut.
"Apalagi, sampai saat ini pemerintah masih saja memberikan 200 lebih hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan, dan 108 izin penambangan," ungkap Zulfikar.

Alih fungsi lahan merupakan penyebab utama lahan kritis di Aceh. Alih fungsi ini disertai pembalakan liar, pembakaran hutan, dan diikuti kegiatan pembukaan perkebunan dan pertanian yang tak mengikuti teknik konservasi tanah. Total luas lahan kritis di Aceh mencapai 1, 6 juta hektar.
"Sudah selayaknya pemerintah menyetop ini semua dan mulai menanam tanaman produksi yang sesuai dengan kebutuhan kelestarian hutan," ujar Zulfikar.

Direktur Bina Usaha Hutan Alam pada Kementerian Kehutanan, M Awriya Ibrahim mengemukakan, solusi untuk mengatasi problem kehutanan di Aceh saat ini adalah segera diterbitkannya rencana tata ruang wilayah (RTRW). Dalam RTRW tersebut harus mencakup kejelasan mengenai mana saja hutan produksi, hutan rakyat, dan hutan lindung.
Masing-masing juga harus ada kejelasan fungsi. Misalnya, hutan lindung diperuntukan untuk apa, dan hutan produksi untuk apa saja. Selanjutnya, perlu disosialisasikan kepada masyarakat.
teks: kompas.com

Aceh Besar tutup tambang galian C

Thursday, 30 June 2011 21:08    PDF Print E-mail
Aceh Besar tutup tambang galian C
Warta
HENDRO KOTO
Koresponden Aceh
WASPADA ONLINE

Link: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=203091:aceh-besar-tutup-tambang-galian-c&catid=13:aceh&Itemid=26

BANDA ACEH – Bupati Aceh Besar secara resmi menutup lokasi tambang galian C yang terletak diareal kawasan Glee Biluy. Ketetapan ini dituangkan Bupati dalam surat bernomor 545/3579 tanggal 24 Juni 2011 yang salinannya diterima oleh Waspada Online.

Dalam surat ketetapan tersebut, dijelaskan bahwa penambangan galian C dikawasan Glee Biluy telah menimbulkan dampak berupa kenyamanan masyarakat dalam berkebun, bersekolah dan bertempat tinggal. Selain itu telah terjadinya tingkat kerusakan lingkungan yang luar biasa, sepertinya hilangnya sumber air dan kerusakan hutan diarel lokasi pertambangan. Kerusakan situs makam bersejarah dan juga kerusakan infrastruktur jalan pemerintah sebagai akibat proses pengangkutan material galian C.

Sementara itu, terbitnya surat bupati tentang penutupan tambang galian C ini, disambut positif oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh. Direktur Eksekutif WALHI Aceh kepada Waspada Online mengatakan bahwa WALHI Aceh memberikan apresiasi yang tinggi kepada Bupati Aceh besat dalam kepeduliannya menjaga dan mencegah kerusakan lingkungan sebagai akibat penambangan galian C dikawasan Aceh besar.
                                                                                                               
Menurutnya, pasca keputusan bupati ini, Pemerintah Kabupaten Aceh besar harus segera melakukan langkah-langkah reklamasi dan rehabilitasi wilayah bekas tambang dan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kerusakan yang ada, termasuk mengembalikan fungsi-fungsi lingkungan agar menjadi lebih baik dan ini merupakan tanggungjawab seluruh instansi dan dinas terkait dengan dibantu sepenuhnya oleh masyarakat setempat.

Selain itu, disarankannya, kepada masyarakat Aceh Besar lainnya yang sumber-sumber kehidupan dan lingkungannya telah rusak agar tidak segan-segan dan takut untuk melaporkan dan menyampaikan keinginannya kepada Pemerintah setempat melalui Kepada Desa (Keuchik), sehingga bisa secara bersama-sama dan sinergi untuk menjaga lingkungan hidup menjadi lebih baik dan masyarakat bisa lebih nyaman dalam mencari nafkah tanpa harus terganggunya sumber-sumber kehidupan mereka. Karena tidak mungkin masyarakat bisa nyaman bekerja jika kebun, tempat tinggal, sekolah, sumber air, hutan sekitar dan seluruh infrastruktur rusak akibat galian C.

Editor: PRAWIRA SETIABUDI
(dat06/wol)
_

Walhi Sesalkan Penembakan Pengungsi Aceh


BANDA ACEH - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menyesalkan tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian dalam operasi pengosongan areal yang diklaim masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) siang tadi. Operasi itu mengakibatkan dua warga tertembak peluru karet.
"Kami menyesalkan tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan dan pemerintah setempat. Harusnya dicarikan jalan yang lebih bijaksana untuk menyelesaikan persoalan itu," ujar Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar kepada The Atjeh Post, Senin, 27 Juni 2011.

Seperti diberitakan sebelumnya, dua warga Sei Minyak Tower, Kecamatan Besitang, Sumatera Utara, terluka akibat bentrok saat operasi penertiban di hutan Leuser dan evakuasi eks pengungsi Aceh, Senin 27 Juni 2011.

Menurut Kepala Polisi Sektor Besitang Ajun Komisaris Sugino, bentrok dipicu penolakan warga eks pengungsi Aceh dikeluarkan secara paksa dari areal Taman Nasional Gunung Leuser. "Saat 200 polisi akan masuk ke Sei Minyak Tower, ratusan warga melempari polisi dengan batu dan kayu. Polisi terpaksa melepaskan tembakan ke udara menghalau warga yang anarkis," kata Sugino melalui hubungan telepon kepada Tempo.

Menurut Zulfikar, jika memang para pengungsi itu bersalah dan dituduh sebagai perambah hutan, seharusnya sejak dulu pemerintah mencari tempat lain yang lebih layak untuk mereka. "Ini kan mereka sudah 10 tahun tinggal di sana, kenapa baru sekarang dipermasalahkan?," ujar Zulfikar.

Soal tudingan warga pengungsi konflik Aceh itu ikut merambah hutan, Zulfikar mengatakan hal itu tidak sepenuhnya benar. Sebab, kata dia, sebelum pengungsi masuk ke sana, hutan di kawasan itu sudah terlebih dahulu rusak oleh perusahaan HPH yang beroperasi di sana. "Jadi, kalau dipindahkan harusnya sangat hari-hati. Jangan menganggap rendah nyawa masyarakat," gugat Zulfikar. Itu sebabnya, Walhi Aceh akan berkoordinasi dengan Walhi Sumatera Utara untuk membantu mencarikan solusi bagi warga di sana.

Rencana penggusuran warga pengungsi konflik itu sudah muncul beberapa waktu lalu.Namun, warga menolak dan meminta pemerintah membatalkan rencana itu.

"Sangat tidak mungkin mereka digusur, karena mereka sudah membangun kehidupan disana, mesjid, sekolah hingga tingkat MTsN sudah ada,” Ujar Saed Zainal, Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembah Tari yang ikut mendampingi warga di sana, kepada The Atjeh Post beberapa waktu lalu.

Menurut Zainal, lahan seluas 47.000 Hektar yang diklaim masuk sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Lauser itu sebenarnya adalah lahan bekas Hak penguasaan Hutan (HPH) PT Mulia Jaya Karya. Sejak tahun 2000, 700 kepala keluarga transmigran korban konflik Aceh memamfaatkan lahan itu untuk tempat tinggal.  "Jadi kalo ada HPH kan bukan wilayah TNGL, sekarang mereka semua resah," ujarnya.

Di lokasi itu, kata Saed Zainal, juga banyak ditemukan bekas pertapakan  kilang kayu. Bahkan beberapa waktu lalu warga juga sempat mengusir beberapa kilang kayu liar yang coba beroperasi kembali di kawasan itu."Sangat disayangkan kalau TNGL baru mempermasalahkan mereka pada saat ini, kok nggak dari dulu-dulu," katanya.[]


Sabtu, 25 Juni 2011

Galian C Biluy Ditutup

ACEH BESAR – Sebuah penambangan pasir (Galian C) di Biluy, Aceh Besar ditutup. Keputusan itu diambil untuk menyelamatkan lingkungan.
Keputusan penutupan Galian C di Biluy diambil setelah Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan Muspika Kecamatan Darul Imarah, serta para Geusyik mengadakan rapat. Pihak Polsek dan Koramil Darul Imarah siap mengamankan keputusan ini mengingat dampak yang ditimbulkan oleh usaha galian C sudah sangat parah.
Pertemuan yang berlangsung di Balai Kantor Camat Darul Imarah, Kamis, (23/06) ikut dihadiri oleh Sekdakab Aceh Besar, Zulkifli Ahmad, Kapolsek Darul Imarah Ipda Pol Machfud, Danramil Darul Imarah Letda TNI Rasudin, dan Direktur WALHI Aceh, TM Zulfikar dan tokoh masyarakat.
Zulkifli Ahmad menyampaikan harapannya agar pertemuan ini menghasilkan satu keputusan yang dapat dipegang erat oleh semua pihak. “Jika masyarakat mengingkan tutup tambang, maka tambang galian C yang sudah ada izin pun akan kita tutup. Sedangkan yang tidak ada izin memang harus ditutup sejak dulu,” ujar Zulkifli Ahmad.
Keuchik Biluy, Syarwani M Nur, mengatakan bahwa dampak galian C sudah sangat merusak dan mengganggu kehidupan masyarakat gampong. “Hancur sekali sudah alam ini, terlebih sekarang musim kemarau, air kering dan debu ada dimana-mana. Orang-orang terkena debu yang berterbangan dari truk yang lalu-lalang tanpa henti,” ujarnya.
Ia menambahkan dirinya selalu menampung keluhan dari warga. Bahkan ada warga yang meminta melakukan aksi demonstrasi.
Ipda Pol Machfud dalam pertemuan tersebut menegaskan pihaknya siap mengamankan keputusan yang diambil dalam musyawarah tersebut. “Kalau tutup ya kami tutup, saya minta keputusan yang permanen, artinya berlaku untuk semua pengusaha galian C. Jangan ada pilih kasih, yang sana boleh kok yang sini tidak boleh,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut , Direktur WALHI Aceh, TM Zulfikar menjelaskan bahwa permintaan masyarakat menutup tambang sudah tepat, karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. “Keinginan masyarakat sudah jelas yaitu menutup galian C, tidak ada jalan lain. Jangan sampai atas nama pembangunan lingkungan hidup menjadi rusak. Kita harus berpegang pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan,” ujarnya. []

Minggu Depan, Galian C di Biluy Ditutup

Minggu Depan, Galian C di Biluy Ditutup

BANDA ACEH - Minggu depan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar akan menutup usaha penambangan galian C di Mukim Biluy, Kecamatan Darul Kamal. Keputusan itu diambil berdasarkan hasil kesepakatan pada pertemuan antara keuchik, mukim, unsur muspika, Walhi Aceh, dan unsur pemerintah, di kantor camat setempat, Kamis (23/6). Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, T M Zulfikar Jumat (24/6) mengatakan, keputusan penutupan itu setelah Pemkab dan Muspika Darul Imarah mendapat masukan dari para keuchik yang mewakili aspirasi masyarakat Biluy dan Walhi.

“Pihak kepolisian dan TNI siap mengamankan penutupan galian C. Keputusan ini diambil mengingat dampak yang ditimbulkan oleh usaha galian C sudah sangat parah di Mukim Biluy,” kata Zulfikar. Seperti diberitakan, warga Biluy meminta Pemkab Aceh Besar menutup semua usaha galian C di Biluy karena aktivitasnya sudah meresahkan. Perbukitan di kawasan itu rusak, gundul, air ke sawah tidak mengalir, dan jalan rusak parah. (c47)

Pemkab Aceh Besar Sepakat Tutup Galian C Biluy

Pemkab Aceh Besar Sepakat Tutup Galian C Biluy
Biluy, Aceh Besar — Pertemuan antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar dan pihak Muspika Kecamatan Darul Kamal Aceh Besar menghasilkan keputusan penutupan usaha galian C di Mukim Biluy. Penutupan yang paling lambat dilakukan minggu depan ini dilakukan Pemkab setelah mendapat masukan dari para keuchik yang mewakili aspirasi masyarakat Biluy dan WALHI Aceh. Pihak Polsek dan Koramil Darul Kamal siap mengamankan keputusan ini mengingat dampak yang ditimbulkan oleh usaha galian C sudah sangat parah.

Pertemuan yang berlangsung di Balai Kantor Camat Darul Kamal pihak Pemkab diwakili oleh Sekdakab Aceh Besar, Drs. Zulkifli Ahmad, Assisten II Pemkab Zulkifli HS beserta jajarannya. Sedangkan dari masyarakat diwakili oleh seluruh keuchik dalam Mukim Biluy, Camat Darul Kamal Erliana, S.Sos, Kapolsek Darul Kamal Ipda Pol Machfud, Danramil Darul Kamal Letda TNI Rasudin, Direktur WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar dan sejumlah tokoh masyarakat.

Dalam pertemuan yang berlangsung dalam suasana penuh kekeluargaan tersebut, Zulkifli Ahmad menyampaikan harapannya agar pertemuan ini menghasilkan satu keputusan yang dapat dipegang erat oleh semua pihak.

“Jika masyarakat mengingkan tutup tambang, maka tambang galian C yang sudah ada izin pun akan kita tutup. Sedangkan yang tidak ada izin memang harus ditutup sejak dulu,”ujar Zulkifli Ahmad.

Erliana S.Sos dalam kesempatan tersebut memaparkan bahwa dirinya sempat mendapat ancaman perihal tuntutan penutupan tambang galian C tersebut. “Saya dapat sms, isinya “untuk apa juga camat kalau keuchik Biluy saja ga sanggup atur”. Tapi sms ini tidak saya hiraukan,”ujar Camat perempuan ini.

Erliana mengaku sudah tidak tahu mau bilang apa lagi perihal kasus galian C di wilayahnya. Ia mengharapkan pertemuan ini bisa menghasilkan titik temu yang dipatuhi semua pihak. “Saya kini tinggal menunggu perintah atasan saja,”tegasnya.

Keuchik Biluy, Syarwani M. Nur, ketika diberikan kesempatan bicara mengatakan bahwa dampak galian C sudah sangat merusak dan mengganggu kehidupan masyarakat gampong. “Hancur sekali sudah alam ini, terlebih sekarang musim kemarau, air kering dan debu ada dimana-mana. Orang-orang terkena debu yang berterbangan dari truk yang lalu-lalang tanpa henti,”ujarnya.

Ia menambahkan dirinya selalu menampung keluhan dari warga. Bahkan ada warga yang meminta melakukan aksi demonstrasi. “Tapi saya meminta jangan dulu demo, biar kita sampaikan dulu ke pihak terkait,”katanya. Menurutnya para penggali tersebut sangat arogan, tidak disiplin dan tidak mematuhi adat sekitar. Misalnya saja tetap bekerja pada hari Jumat, menggali bukan pada lokasi yang ditentukan dan mengadu domba antar keuchik dalam mukim Biluy.

Ipda Pol Machfud dalam pertemuan tersebut menegaskan pihaknya siap mengamankan keputusan yang diambil dalam musyawarah tersebut. “Kalau tutup ya kami tutup, saya minta keputusan yang permanen, artinya berlaku untuk semua pengusaha galian C. Jangan ada pilih kasih, yang sana boleh kok yang sini tidak boleh,”demikian ia menjelaskan.

Ia berharap tuntutan masyarakat ini tidak sampai menimbulkan masalah sosial baru. “Kalau besok dibilang tutup maka besok akan saya tutup dan segel semua beko yang beroperasi,”kata perwira polisi ini. Ia meminta dukungan dari Satpol PP dan Koramil untuk penutupan usaha galian C di Biluy.

Direktur WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar secara singkat menjelaskan bahwa permintaan masyarakat menutup tambang sudah tepat. Selain kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, UUD 1945 juga telah menjamin bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu dalam UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup  disebutkan bahwa setiap orang berhak membuat pengaduan atas dugaan pencemaran dan orang tersebut tidak boleh dituntut atas laporannya.

“Keinginan masyarakat sudah jelas yaitu menutup galian C, tidak ada jalan lain. Jangan sampai atas nama pembangunan lingkungan hidup menjadi rusak. Kita harus berpegang pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan,”ujar T. Muhammad Zulfikar.

Usaha galian C di Mukim Biluy menurut pendapat masyarakat dan kajian WALHI Aceh lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Dampak negatif galian C ini sangat luar biasa. Lapisan tanah atas (top soil) yang sudah terbuka menyebabkan air mengalir cepat di permukaannya. Dimusim hujan akan menyebabkan banjir dan tanah longsor, dimusim kemarau akan menyebabkan kekeringan karena tidak ada cadangan air yang tersimpan.

Selama ini banyak pihak hanya menghitung keuntungan ekonomi semata dari usaha galian C tanpa pernah menghitung kerugian yang ditimbulkan. Misalnya saja berapa hektar sawah mengering tak bisa dikerjakan, masyarakat yang jatuh sakit, jalanan yang hancur dan sebagainya.

Setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, Sekdakab Aceh Besar, Zulkifli Ahmad berjanji akan menutup sementara usaha galian C tersebut paling lambat minggu depan sampai keluarnya keputusan permanen. Namun untuk menghasilkan keputusan permanen maka pihaknya akan mengajak DPRK Aceh Besar bermusyawarah dan menurunkan tim dari Bapedalda Aceh Besar ke lapangan.[REL]

Rapat Penutupan Galian C

Rapat Penutupan Galian C

Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Besar Drs. Zulkifli Ahmad (tengah)  beserta jajarannya sedang berbicara dalam acara pertemuan dengan masyarakat Mukim Biluy Aceh Besar, Kamis (23/6) di kantor Camat Darul Kamal, Aceh Besar. Pertemuan yang dihadiri juga oleh Camat Darul Imarah Erliana, S.Sos, Kapolsek Darul Imarah Ipda Pol Machfud, Danramil Darul Imarah Letda TNI Rasudin dan  Direktur WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar menyepakati penutupan usaha galian C di Biluy.

Rabu, 22 Juni 2011

120 Tambang di Aceh Tidak Layak Operasi

120 Tambang di Aceh Tidak Layak Operasi

Perusahaan tambang di Aceh mengabaikan syarat kelayakan operasi. Dampak yang diakibatkan bisa berkali lipat, mengingat kondisi Aceh yang rawan bencana.
  • Alaidin Ikrami / Rosmi Julitasari
  • 2 Juni 2011 - 9:46 WIB
 
VHRmedia, Banda Aceh – 120 tambang di Provinsi Aceh dinilai tidak layak beroperasi. Padahal, seluruh perusahaan tersebut telah mendapat izin operasi dari pemerintah provinsi.
Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar mengatakan, pemberian izin pengoperasian tambang tanpa pemenuhan syarat kelayakan operasi bisa memberi dampak buruk bagi lingkungan.
Menurut Zulfikar, ada banyak kajian yang menyatakan korelasi negative antara pembukaan tambang dan lingkungan. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi Aceh yang rawan bencana, dampak yang diakibatkan oleh tambang bisa berkali lipat.
“Dari survey dan kajian Walhi, perusahaan tambang mulai meresahkan dan sudah menimbulkan konflik sosial. Sepertinya, cuma mimpi jika ada perusahaan tambang yang bisa menerapkan prinsip-prinsip good mining practices. Saya belum pernah lihat,” jelas Zulfikar, Rabu (1/6).
Saat ini, 120 perusahaan tambang telah mengantongi izin beroperasi dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh. 51 perusahaan pertambangan yang menguasai lebih dari 686 ribu hektar tanah di Aceh telah aktif melakukan kegiatan eksplorasi sejak mendapat izin usaha tambang  (IUP) tahun 2006-2009. Sementara, empat perusahaan lainnya mengantongi izin eksploitasi. (E3)
Foto: VHRmedia/ File

Terkait Tambang Bijih Besi Jangan Lecehkan Aspirasi Rakyat

Judul : Terkait Tambang Bijih Besi
Jangan Lecehkan Aspirasi Rakyat
Sumber : serambinews.com
09 Mei 2010
BANDA ACEH - Pro kontra soal usaha penambangan bijih besi yang dilakukan PT Pinang Sejati Utama (PSU) di pedalaman Manggamat, Aceh Selatan masih terus terjadi. Sikap Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang menegaskan tidak akan menutup usaha penambangan tersebut karena telah memiliki izin yang sah, malah dinilai oleh sejumlah pegiat LSM sebagai bentuk melecehkan aspirasi rakyat.

Tanggapan terhadap sikap tegas Gubernur Irwandi Yusuf disampaikan secara tertulis oleh Koordinator LBH Banda Aceh Hospinovizal Sabri SH, Koodinator KontraS Aceh Hendra Fadli SH, Pj Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh Evi Narti Zain SE, Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani SHi, dan Walhi Aceh TM Zulfikar.

Para aktivis tersebut, dalam pernyataannya menulis, sikap Gubernur Irwandi Yusuf yang menandaskan tidak akan menutup usaha penambangan karena sudah mengantongi izin sulit diterima akal sehat. “Apapun kebijakan pemerintah setiap saat tentu dapat dievaluasi jika kebijakannya dinilai pincang dan pelaksanaannya menimbulkan dampak negatif”, kata Koordinator LBH Banda Aceh Hospinovizal Sabri.

Pihak LBH Banda Aceh menunjuk contoh kasus PT LSM (Lhoong Setia Mining) di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Menurut LBH Banda Aceh, PT LSM baru dilengkapi dengan Amdal pada 2007 (SK Nomor  660.46/54/AMDAL/07) atau satu tahun setelah izin dikeluarkan oleh Bupati Aceh Besar yaitu pada 2006 (SK No. 540/03/02 Tahun 2006).

“Dengan demikian izin yang dikeluarkan untuk PT LSM cacat secara hukum, jadi penutupan PT LSM memiliki kekuatan yuridis untuk dilakukan,” tegasnya. Koordinator KontraS Aceh, Hendra Fadli juga menyayangkan penegasan Gubernur Aceh. Menurut Hendra, berdasarkan UUPA, Dewan Perwakilan Rakyat jelas-jelas memiliki hak untuk mengajukan pernyataan pendapat dan berwenang melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh. “Pernyataan Irwandi juga melecehkan tugas mulia anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengawasi implementasi izin usaha pertambangan oleh Gubernur Aceh yang dinilai memunculkan dampak negatif terhadap kehidupan dan penghidupan rakyat sekitar pertambangan,” kata Hendra Fadli.

Pj Koordinator Gerak Aceh, Askhalani juga mengkritik statemen Irwandi. Harusnya, kata Askhalani, Pemerintah Aceh tidak berpikir sempit yang hanya mempertimbangkan keuntungan jangka pendek seperti target PAD yang tidak seberapa dibanding ancaman bencana lingkungan yang akan ditimbulkan. “Kami mencemaskan eksploitasi yang dilakukan kedua perusahaan pertambangan itu (PT LSM dan PT PSU) akan berefek pada hilangnya lahan produksi rakyat. Jadi akan banyak dana yang dikeluarkan pemerintah untuk recovery lingkungan dan recovery ekonomi di masa mendatang. Ini tidak seberapa dibanding pendapatan yang diterima 15 persen per tahun” lanjutnya.

Lain lagi penilaian Evi Narti Zain dari Koalisi NGO HAM Aceh. Menurut Evi, statemen Irwandi Yusuf yang dipublikasi secara luas oleh berbagai media tersebut semakin menunjukkan watak Pemerintah Aceh yang tidak berperspektif HAM dalam implementasi program pembangunan.

Ketakutan gubernur
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar juga menanggapi sikap tegas Gubernur Irwandi Yusuf yang tidak akan menutup usaha penambangan bijih besi. Zulfikar menilai statetmen Gubernur Irwandi terkesan ada ketakutan terhadap perusahaan pertambangan. “Ada kesan ia (gubernur) takut akan di-PTUN oleh perusahaan pertambangan itu,” ujarnya.

Jika masalah ini yang ditakutkan, katanya, justru sebaliknya Gubernur Aceh nantinya yang akan di-PTUN-kan oleh masyarakat jika tetap melindungi perusahaan yang jelas-jelas aktivitasnya telah merusak lingkungan. “Jadi mana sebenarnya yang mau dibela, perusahaan atau masyarakat? Gubernur itu dipilih oleh siapa ya?  Saya yakin masyarakat juga tidak perlu investor jika sama sekali tidak meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, justru yang meningkat adalah ekonomi bagi investor itu sendiri. Masyarakat cuma dapat dampak negatifnya saja,” tegas Zulfikar.

Menurut Walhi, perusahaan pertambangan bijih besi tersebut telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hasil penyelidikan Walhi Aceh ke lokasi penambangan di Manggamat menunjukkan telah terjadi kerusakan lingkungan seperti tercemarnya air sungai oleh lumpur dari lubang penggalian tambang, rusaknya jalan oleh truk pengangkut hasil tambang, debu yang ditimbulkan oleh truk, dan tersisihnya kehidupan sosial masyarakat setempat.

Secara lebih khusus Zulfikar menjelaskan, penambangan yang dilakukan PT PSU telah melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terutama pasal 3 yang berbunyi “Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup (poin b) dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat (poin e),” demikian TM Zulfikar.

Awal sorotan
Sorotan terhadap usaha penambangan bijih besi tersebut menggelinding pertama sekali dari sidang paripurna DPR Aceh, Senin 3 Mei 2010. Sejumlah anggota DPR Aceh meminta Gubernur Irwandi Yusuf meninjau ulang atau mencabut izin perusahaan pertambangan bijih besi di Aceh Besar dan Aceh Selatan. Karena, perusahaan tambang itu sampai kini belum memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, malah sebaliknya membuat rusak lingkungan.

Suara dari Gedung DPRA mendapat dukungan sejumlah elemen sipil yang juga mendesak Gubernur Aceh mencabut izin penambangan bijih besi di Aceh Besar dan Aceh Selatan. Desakan itu disampaikan antara lain oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK), dan Komite Masyarakat Lhoong (KML), Kamis 6 Mei 2010.

Menanggapi berbagai desakan itu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (6/5) memastikan tidak akan menutup usaha penambangan bijih besi yang dilakukan PT Pinang Sejati Utama (PSU) di pedalaman Manggamat, Aceh Selatan. “Sebagai sebuah usaha pertambangan yang memiliki izin yang sah, tidak mungkin Pemerintah Aceh menutup usaha tersebut seenaknya,” kata Irwandi.

Menurut Irwandi, jika pihaknya menutup usaha pertambangan yang sudah memiliki izin sah, pihak perusahaan bisa-bisa memperkarakan Pemerintah Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan itu sekaligus akan menutup peluang investasi pihak investor luar di Aceh. “Kalau sebuah usaha yang sudah memiliki izin sah saja masih dihambat beroperasi, jelas investor lain akan meninggalkan Aceh,” tegas Irwandi.(sup/nas)

WALHI ACEH DESAK GUBERNUR HENTIKAN PT. LSM

WALHI ACEH DESAK GUBERNUR HENTIKAN PT. LSM Print
Written by HELB   
Sunday, 21 March 2010 21:09
 
DIREKTUR WALHI ACEH, TM ZULFIKAR
BANDA ACEH - ACEHINSTITUTE.ORG | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh mendesak Pemerintah Aceh agar segera mengambil langkah dan tindakan serius terhadap kegiatan yang dilakukan oleh PT Lhoong Setia Mining (PT LSM) yang menurut warga telah melecehkan Pemerintah Aceh dan masyarakat Lhoong. Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Walhi Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar dalam siaran persnya yang disampaikan kepada redaksi situs Aceh Institut www.acehinstitute.org menyikapi unjukrasa yang dilakukan masyarakat Lhoong yang tergabung dalam Komite Masyarakat Lhoong (KML) Kamis (18/03) terkait aktivitas PT. LSM. Untuk itu, Walhi Aceh menuding bahwa PT LSM telah jelas-jelas mengkhianati keputusan yang telah disepakati bersama dan mendesak Pemerintah Aceh agar segera menghentikan aktivitas penambangan yang dilakukan PT LSM.
Menurut TM Zulfikar, Walhi Aceh sejak awal telah mencium aroma tidak wajar pada proses penambangan PT LSM di Lhoong, Aceh Besar. “Dari segi perizinan saja sudah merisaukan, bayangkan saja bagaimana mungkin hanya dalam tempo empat bulan saja pihak PT LSM sudah mendapatkan izin dari eksplorasi ke tahapan eksploitasi. Bahkan tidak tanggung-tanggung izin yang diberikan seluas 500 hektar selama 20 tahun masuk ke wilayah Desa Jantang, Blang Mee, Geunteut Baroh dan Geunteut Tunong di Kecamatan Lhoong. Ada satu keanehan lainnya adalah pada proses pembahasan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dimana tokoh masyarakat Lhoong tidak diperkenankan hadir, padahal berdasarkan pasal 34 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa “Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, dan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pematauan lingkungan hidup. Bahkan celakanya lagi, PT LSM tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait aktivitas yang akan dkerjakan, padahal dalam PP 27 Tahun 199 tentang AMDAL Pasal 33 ayat 1 berbunyi “Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diumumkan sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai dampak ligkungan hidup.Beber TM Zulfikar kepada pers.

Lebih lanjut Walhi Aceh menjelaskan bahwa selain proses perizinan yang tidak wajar dan proses penyusunan AMDAL yang tidak terbuka
tersebut, kekhawatiran lainnya adalah pelaksanaan penambangan di Lhoong sangat berpotensi besar terjadinya bencana lingkungan yang lebih besar setelah tsunami. Walhi membeberkan dokumen AMDAL PT LSM, dimana sistem penambangan dilakukan dengan proses tambang terbuka (surface mining). Sistem ini sebut TM Zulfikar akan mengubah bentuk lahan dan bentang alam melalui proses pengerukan. Akibatnya lahan yang ada disekitar kawasan akan terganggu kesuburannya. “Mau menanam apalagi petani di Lhoong jika lahannya sudah tidak subur lagi” Tanya Direktur Walhi yang baru dipilih ini pula.

Hasil Investigasi WALHI Aceh menyimpulkan bahwa tak hanya pemilik tanah yang merasa dirugikan, warga desa lainnya juga akan terganggu oleh aktivitas PT LSM, misalnya kerap sekali warga dikejutkan oleh suara-suara ledakan yang ditimbulkan oleh aktivitas peledakan yang dilakukan perusahaan. Debu-debu hasil ledakan juga beterbangan hingga mencemari pemukiman warga serta sumur-sumur warga. Dampak besar lainnya dari aktivitas tersebut
terhadap lingkungan adalah tercemarnya sungai yang ada disekitar, misalnya Krueng Geunteut, yang merupakan satu-satunya sungai yang masuk dalam areal konsesi. Kemudian debit air Krueng Geunteut pasti akan mengecil dan berkurang. Selain itu pembukaan hutan untuk pengambilan material bijih besi di Daerah Aliran Sungai (DAS) akan merusak wilayah tangkapan air. Karena selain dipakai untuk sumber air bersih, juga dipakai sebagai irigasi untuk mengairi sawah warga seluas 450 hektar. Aktivitas penambangan juga dikhwatirkan akan menimbulkan bencana seperti banjir dan konflik antar satwa dengan manusia.

Dari sekian banyak persoalan lingkungan yang akan timbul
di Lhoong, Walhi Aceh mendesak Pemerintah Aceh agar segera mengambil sikap dan tindakan tegas untuk segera menghentikan aktivitas penambangan PT LSM. Walhi Aceh meminta Gubernur agar segera mencabut kembali Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 29 Tahun 2008 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup  Penambangan Bijih Besi PT Lhoong Setia Mining secepatnya, atau bencana lingkungan yang lebih besar akan menimpa. | Copy Rights by WWW.ACEHINSTITUTE.ORG | HOT NEWS | helb/2103010 |

Tahura Cut Nyak Dhien Kritis

Tahura Cut Nyak Dhien Kritis

PDF Print E-mail
BANDA ACEH - Taman Hutan Raya (Tahura) Cut Nyak Dhien yang terletak di kawasan Saree, Aceh Besar, kondisinya semakin kritis karena maraknya perambahan liar. Dari total luas 6.220 hektare, yang tersisa kini hanya tinggal 50 persennya saja. Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh kemudian berencana membuat pagar pembatas agar pengelolaan Tahura dapat dilaksanakan dengan baik. Demikian diungkapkan Kepala Dishutbun Aceh, Ir Fakhruddin Panglima Polem, dalam pertemuan dengan pengurus Walhi Aceh, Kamis (30/9). Dalam pertemuan itu, turut hadir Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar beserta sejumlah pengurus lainnya.

“Dishutbun telah berupaya untuk melindungi Tahura tersebut dengan berbagai program, di antaranya pembuatan pagar kawat. Pagar ini maksudnya bukan supaya masyarakat tidak bisa melewati kawasan itu tapi untuk memperjelas batas kawasan,” kata Fakhruddin seperti disampaikan dalam siaran pers Walhi, kemarin.

Hanya sayangnya upaya pembuatan pagar itu sepertinya mendapat gangguan dari oknum-oknum tertentu. Patok pembatas banyak yang dicabuti, sehingga menghambat pembuatan. Pemasangan kawat pembatas direncanakan sepanjang 10,2 kilometer. Saat ini menurut Fakhruddin, pihaknya sedang mengadakan sosialiasi kepada masyarakat tentang perlunya menjaga Tahura Cut Nyak Dhien tersebut.

“Bukannya tidak boleh masyarakat berkebun di sana, tapi cabai, jagung atau tanaman kecil lainnya dapat merusak struktur tanah. Saya menyarankan masyarakat menanam tanaman keras seperti durian, karet atau kemiri, yang tak perlu pengolahan,” ujarnya.

Tahura Cut Nya Dien terletak di Saree, Aceh Besar dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 1/Kpts-II/1998 Tanggal 5 Januari 1998. Selanjutnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.95 /Kpts-II/2001 Tanggal 15 Maret 2001.

Sementara Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar dalam kesempatan itu mengatakan bahwa Walhi ingin memastikan proses penyelamatan lingkungan hidup bisa tercapai terutama dalam sektor kehutanan. “Persoalan kehutanan harus didiskusikan bersama. Apalagi ditingkat nasional, Menteri Kehutanan sudah setuju hutan Aceh menjadi stressing hutan Indonesia,” katanya.

Kondisi hutan Seulawah saat ini memang sangat mengenaskan. Setiap pelintas yang melewati jalan nasional di gunung Seulawah dapat dengan mudah melihat perambahan hutan secara nyata. “Jika dulu para perambah masih malu-malu merambah hutan dan hanya di bagian dalam yang tak terjangkau pandangan mata, kini terang-terangan terjadi persis di pinggir jalan raya,” imbuhnya.

Ironisnya, pihak berwenang sepertinya tak mampu berbuat banyak melihat kenyataan tersebut. Padahal, sambung Zulfikar, di tengah-tengah hutan Seulawah tersebut ada markas Brimob yang berdiri dengan megah.(yos)

Program Aceh Green Tidak Sinkron

 
LINGKUNGAN HIDUP

Program Aceh Green Tidak Sinkron
Oleh : Muhammad Nizar | 30-Nov-2010, 22:33:44 WIB

KabarIndonesia - Walhi Aceh menilai konsep Aceh Green yang dicanangkan pemerintah tidak sinkron dengan kebijakan mengeluarkan rekomendasi pembukaan tambang. Kemudian lagi tidak ada ada alat ukur yang jelas dalam program sehingga timbul kesan program dijalankan tidak serius. Perkembangan moratorium logging, pun sampai sekarang belum ada kelanjutan yang jelas walau pemerintah mengklaim telah menyelamatkan 500.000 hektar hutan.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh, T.M. Zulfikar, Senin (29/11) menyatakan, sebenarnya ia memberikan apresiasi terhadap program-program yang telah dirancang oleh Aceh Green karena sudah bisa menekan dan mengurangi penebangan hutan Aceh, walau cuma baru 500.000 hektar seperti yang diklaim pemerintah. Sayang, moratorium logging yang sudah berjalan dari 6 Juni 2007 sampai sekarang belum ada perkembangan signifikan.

“Hari ini bisa kita lihat ada banjir di mana-mana dikarenakan hutan hancur. Ini sangat mengganggu pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Padahal pemerintah sudah menganggarkan 42 miliar untuk hutan namun cuma 8 persen untuk pelestarian hutan selebihnya 92 persen untuk gaji Pamhut (Pengamanan Hutan-red),” jelasnya.

Celakanya lagi, masih ada oknum Pamhut yang melakukan ilegal logging seperti yang terjadi belum lama ini di sebuah kabupaten/kota di Aceh.

Program Aceh Green tidak sinkron dengan kebijakan Gubernur Aceh yang terus saja memberikan rekomendasi pembukaan hutan. Fakta baru ketidaksinkronan Aceh Green tersebut adalah Gubernur Aceh mengeluarkan surat Persetujuan Pencadangan Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) bagi PT. Rencong Pulp & Paper Industry.

Lahan yang yang disetujui ini berlokasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Tamiang seluas 31.472 hektar dan berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser.

Belum lagi rekomendasi yang dikeluarkan Gubernur untuk pembukaan tambang di Kawasan hutan dan sekitarnya sehingga membuat kawasan tersebut mengalami kerusakan bentang alam yang cukup parah.

“Pemerintah propinsi ketika ditanya kenapa memberikan izin tambang berkilah bahwa itu kerjaan kabupaten/kota. Seharusnya pemerintah jangan melepas tanggung jawab, Gubernur kan berhak menolak memberi rekom, apalagi dia punya Aceh Green,” kata TM Zulfikar.

Melihat keadaan ini banyak masyarakat bertanya-tanya apa yang dikehendaki oleh Gubernur Aceh sebenarnya. Banyak yang “tidak nyambung” antara program penyelamatan hutan dengan “kengototan” pemerintah memberikan izin tambang. Bahkan Gubernur Irwandi mati-matian menolak menutup tambang, yang telah membuat banyak lubang raksasa, dengan alasan tidak ada mereka tidak ada kesalahan.

“Saya pikir di Aceh ini perlu diberlakukan dulu moratorium mining (penghentian tambang sementara-red). Supaya sumber daya alam yang ada dapat disimpan dulu dan pemerintah mengkaji ulang keberadaan tambang,” kata TM Zulfikar.

Di masa mendatang pemanfaatan sumber daya alam bisa haruslah mampu mensejahterakan rakyat banyak. Banyak pihak yang menentang pembukaan tambang di Aceh apalagi masyarakat Aceh dari dulu hidup pertanian. Masih ada sekitar 2 juta hektar hutan budidaya yang masih bisa di manfaatkan untuk pertanian.

Aceh Green sendiri sebenarnya bukanlah program yang berkutat pada masalah-masalah hutan semata. “Hijau” dalam pengertian Aceh Green juga berarti adanya pelestarian segala sumber daya alam seperti air, pangan, energi dan lingkungan. Di mana semuanya itu memberikan kenyamanan hidup bagi manusia dan mencegah kerusakan lingkungan di muka bumi. (*)

Pencemaran Air Dan Udara Di Aceh

Pencemaran Air Dan Udara Di Aceh

11 Jun 2011 18:44
Tanpa disadari pencemaran udara , dan pencemaran air semakin mengkhawatirkan di Aceh
KBRN,Banda Aceh : Akibat galian C, Kota Banda Aceh dan Aceh Besar telah terjadi pencemaran air dan rusaknya sejumlah daerah aliran sungai.

Tidak hanya galian C, pembukaan lahan penambangan juga menjadi penyebab pencemaran air disekitar lokasi,  apalagi kalau lokasi proyek penambangan tersebut bermuara ke sungai-sungai terdekat, dipastikan akan menimbulkan pencemaran terhadap sumber air, terutama sumber air tanah masyarakat sekitar.

Demikian dikatakan direktur Walhi Aceh, Ir.T.M Zulfikar, kepada RRI Sabtu (11/5) menanggapi tentang kemungkinan terjadinya pencemaran baik udara maupun pencemaran air di kota Banda Aceh dan Aceh Besar.

Pencemaran air terlihat banyaknya aliran sungai dengan warna air yang keruh di beberapa lokasi, akibatnya masyarakat kewalahan mendapatkan air yang bersih di saat kemarau, apalagi pada Daerah Aliran Sungai yang penduduknya padat.

Sedangkan mengenai pencemaran udara, Walhi berpendapat, secara umum ketika melihat kekuatan  angin yang sering terjadi baik dikota Banda Aceh dan Aceh Besar, dan setelah banyaknya pembangunan drainase yang meninggalkan tumpukan debu, ini juga menjadi sumber penyebab pencemaran udara.

Tingginya kondisi pencemaran udara juga terjadi karena jumlah kendaraan yang terus meningkat dan bertambahnya aktifitas penambangan baik biji besi maupun penambangan emas di Aceh juga menjadi penyebab tingginya pencemaran air.

(Mismar Mustafa/Luberto/AKS)

Duh, Hutan Penelitian Juga Terus Dibabat

Duh, Hutan Penelitian Juga Terus Dibabat

 K25-11
Belasan hektar hutan di kecamatan Binuang Polewali Mandar terbakar sejak Minggu (8/0/2011. warga cemas lantaran titik api hanya berjarak beberapa meter dari lokasi pemukiman mereka.
Senin, 9 Mei 2011 | 16:10 WIB
 
MUARA TEBO, KOMPAS.com – Hutan penelitian Southeast Asia Regional Centre for Tropical Biology terus dibakar dan dirambah secara liar. Aktivitas itu dilakukan setiap hari, tapi oleh pelaku dinilai sebagai tindakan legal.
Pantauan Kompas di hutan Seameo Biotrop, Desa Pasir Mayang, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, seluas 2.700 hektar, pada 6-7 Mei 2011, pembakaran berlangsung di sejumlah titik dengan luas lebih dari 20 hektar.
Api membubung tinggi dan cepat meluas karena suhu normal pada siang itu—dalam radius 700 meter dari lokasi—mencapai 40 derajat celsius dan angin bertiup kencang.
Pembakaran lahan juga marak terjadi di hutan sekitarnya, seperti hutan produksi eks hak pemanfaatan hutan PT Industries et Forest Asiatiques, hutan tanaman industri PT Lestari Asri Jaya, dan sebagian areal milik masyarakat.
Peneliti lokal di Biotrop, Miswandi, mengatakan, lahan yang dibakar telah diklaim pelaku dengan membayar sejumlah uang kepada oknum desa. Lahan dibeli dari oknum perangkat desa sekitar Rp 2 juta per hektar. Setelah dikapling, lahan dibakar untuk ditanami sawit atau karet.
Kepala Seksi Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Tebo Sumarjo membenarkan maraknya aktivitas pembakaran dan perambahan hutan di Tebo. “Namun, sulit menindak pelaku karena aktivitas itu berlangsung di banyak lokasi,” ujarnya.
Biotrop pada 1990-an merupakan hutan hujan dataran rendah dengan koleksi vegetasi serta satwa sangat lengkap. Hutan primer ini dilengkapi laboratorium penelitian alam untuk analisis vegetasi dan laboratorium kultur jaringan. Pada masa itu, banyak peneliti asing memanfaatkan hutan Biotrop untuk penelitian.
Biotrop rusak sejak penjarahan pada 2003. Tidak sedikit hutan yang gundul karena dicuri kayunya. Laboratorium penelitian yang dibangun sejak 1984 itu kini hanya menyisakan tonggak-tonggak penyangga.
Seameo Biotrop seluas 2.700 hektar merupakan hutan dan laboratorium penelitian yang dibangun PT Industries et Forest Asiatiques selaku pemilik HPH. Penelitian untuk menumbuhkan model dinamika pertumbuhan hutan hujan dataran rendah mengkaji aspek iklim mikro hutan sebagai parameter lingkungan yang memengaruhi kondisi pertumbuhan vegetasi dan hewan, serta mencermati perubahan jangka panjang berupa suksesi atau degradasi hutan. Kini penelitian sulit dilakukan karena hutan hampir habis.
Segera hentikan
Walhi Aceh mendesak skema pengurangan karbon dalam pengelolaan hutan di Aceh dihentikan. Skema ini hanya jadi lahan permainan guna mencari keuntungan pihak yang terlibat di dalamnya. Kasus transaksi saham oleh Carbon Conservation dengan East Asia Minerals Corporation dan hutan Aceh sebagai asetnya adalah salah satu bukti permainan dalam urusan karbon hutan.
“Walhi sejak awal sudah menduga bakal seperti ini. Apa pun bentuk skema pengurangan karbon hutan selalu berujung pada permainan bisnis yang menguntungkan pihak tertentu. Jadi, kami meminta semua skema karbon dihentikan,” ujar Direktur Walhi Aceh Zulfikar. (ITA/HAN)

Gubernur Tolak Kedaulatan Mukim 21 Imum Mukim WO dari GCF

Gubernur Tolak Kedaulatan Mukim
21 Imum Mukim WO dari GCF

Banda Aceh-Keberadaan 23 Imum Mukim pada pertemuan Governor's Climate and Forest (GCF) meeting di Hermes Falace Hotel Banda Aceh, tidak memiliki kapasitas. Bahkan, Gubernur menolak kedaulatan para Imum Mukim.

Alhasil, 21 dari 23 Imum Mukim walk out (WO).
“Kami tidak ikut lagi, karena kami melihat keberadaan mukim tidak memiliki kapasitas apapun dari pertemuan itu.

Belum lagi, kami dihadirkan hanya pada acara diskusi side event (pertunjukan sampingan) dan bukan di main event bersama para gubernur dari beberapa Negara yang hadir di sana," kata Aiyub Yusuf, Wakil Ketua Majelis Duk Pakat Mukim Aceh Besar mewakili 21 Imum Mukim dari lima kabupaten/kota kepada koran ini, Rabu (19/5) di Banda Aceh.

Selama ini para Imum Mukim menuntut kepada Gubernur Aceh agar diberi kewenangan sepenuhnya atas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat Mukim. Hanya saja, tuntutan yang mereka perdengarkanya dianggap angin lalu oleh orang nomor satu di Aceh itu.

Bukan itu saja, malah para Imum Mukim menegaskan tidak akan membiarkan siapapun memasuki wilayah hutan yang berada di kawasan mereka. Pasalnya, yang mengetahui seluk beluk tentang hutan itu adalah para Imum Mukim, namun peran mereka dalam pertemuan tersebut seolah dikesampingkan.

Memang, diakui para Imum Mukim, sangat berat mempertanggungjawabkan kepada masyarakat di daerah mereka, tentang peran serta masyarakat di Mukim itu, terkait jual karbon. Apalagi, ketika ditanya kepada masyarakat, tidak semuanya tahu dan mengerti, apa itu REDD.

Apalagi tentang kompensesi seperti yang dijanjikan pemerintah.Sementara itu, Asnawi Zain, Imum Mukim Siem, Aceh Besar menambahkan, tuntutan mereka tidak digubris Gubernur Irwandi Yusuf.

“Gubernur hanya mengatakan nanti-nanti dulu dan tidak mau membuat kesepakatan tertulis tetang memberikan kedaulatan mukim atas wilayah dan sumber daya alam, dimana kejelasan tata batas wilayah antar mukim, tata ruang mukim, pengakuan hak masyarakat atas tanah, dan pengakuan kewenagnan mukim atas sumber daya alam dan harta mukim lainnya,” tukasnya.

Tolak REDD
Menurut puluhan Imum Mukim, mereka tetap bertahan menolak REDD, apabila kejelasan tentang tata batas juga kedaulatan mukim tidak diperjelas.
“Padahal, tanpa REDD pun, kami telah berjuang mengurangi emisi pemanasan global sejak dari dulu.

Jadi, kami tidak membutuhkan REDD,” tukasnya.
Adapun puluhan imum mukim yang diundang, meliputi 17 orang dari Mukim di Aceh Besar, Aceh Barat,Pidie Jaya, Aceh Jaya, dan Aceh Pidie.

Ketika disinggung mengapa dua mukim dari Aceh Jaya dan Pidie, tidak ikutan WO, Aiyub Yusuf mengaku tidak tahu sebab musababnya.

Hanya saja, dia mendengar informasi kalau dua orang itu dipanggil Gubernur Aceh, kemarin malam.
Namun, Aiyub menegaskan, permasalahan kedua Imum Mukim yang kemungkinan membelot itu, akan disampaikan kepada Geuchik mereka masing-masing.

Karena bagaimana pun, imum mukim ini, diangkat berdasarkan musyawarah masyarakat desa masing-masing dan tentu saja, seharusnya dapat memperjuangkan kedaulatan mukim untuk kepentingan masyarakat desa.

Sementara itu, Zulfikar Muhammad, Direktur Koalisi NGO HAM mengungkapkan, sekira pukul 14.00 WIB, sejumlah Imum Mukim dipanggil Gubernur Aceh ke salah satu ruangan di Hotel Hermes Falace.

Pembicaraan seputar tuntutan pendemo tentang memberikan kedaulatan mukim terkait REDD. Setelah 30 menit, gubernur tidak mau menuruti tuntutan para imum mukim.

Pembicaraan bubar, karena tidak ada titik temu. Imum Mukim yang dipanggil Gubernur pun, menyampaikan ketiadaan hasil pembicaraan dengan Irwandi kepada ratusan pendemo di pintu gerbang hotel tersebut, yang juga menuntut hal yang sama terhadap kepala daerah provinsi Aceh ini.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM.Zulfikar mengungkapkan, pengurangan emisi karbon merupakan pengalihan resiko dari Negara maju kepada Negara miskin.

Negara maju terus saja, mempertahankan corak produksi mereka yang memang mengeluarkan emisi karbon dari berbagai jenis industri.

Dia menilai, hal tersebut tidak adil, padahal upaya mengurangi emisi bukan hanya tanggungjawab masyarakat di negara miskin notabene masih memiliki hutan, melainkan tanggungjawab bersama.

"Sedangkan kompensasi melalui proyek REDD, bukan solusi, mekanisme ini tidak adil,"akhirinya. (ian)

PN Banda Aceh Periksa Novum Ladia Galaska

Tue, May 31st 2011, 09:27

PN Banda Aceh Periksa Novum Ladia Galaska

BANDA ACEH -  Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, Senin (30/5) memeriksa berkas-berkas bukti baru (novum) yang diajukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh atas kasus Ladia Galaska.

Pengacara Walhi Aceh, M Zuhri Hasibuan SH MH dan Syafruddin SH, menyatakan sidang yang dipimpin hakim Abu Hanifah, SH,MH, hanya memeriksa berkas, tidak memeriksa perkara atau materil. “Sidang hanya memperlihatkan bukti kepada pihak pemohon dan termohon,” ujar Zuhri.

Usai sidang ini, semua berkas yang diajukan Walhi Aceh akan dikirim ke Mahkamah Agung (MA) untuk diperiksa dan diambil keputusan. Pada sidang itu, Pemerintah Aceh diwakili Husni Bahri M TOB SH MH, yang juga mantan Sekda Aceh. Selain itu juga hadir pengacara mewakili Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, DPRA, Bapedal Aceh dan pihak perusahaan kontraktor jalan Ladia Galaska CV Cipta Puga.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar, kepada Serambi menyatakan bahwa pengajuan Peninjauan Kembali (PK) kasus Ladia Galaska menjadi warning bagi pemerintah agar taat aturan dalam menjalankan pembangunan. Dalam kasus Ladia Galaska ini, banyak aturan yang harus ditaati seperti UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan Ruang, UU Penanggulangan Bencana dan banyak lagi lainnya. Harus diadakan kajian mendalam sebelum buat jalan di Leuser itu,” jelasnya.

Proses pengajuan PK
Zulfikar menambahkan WALHI telah memasukan berkas Peninjauan Kembali (PK) keputusan Mahkamah Agung (MA) RI atas kasus pembangunan jalan Ladia Galaska melalui Pengadilan Negeri pada tanggal 31 Maret 2011 lalu. Walhi Aceh sebagai pemohon meminta kepada MA agar meninjau kembali atas putusan perkara perdata No. 27/ Pdt.G/2003/PN-BNA Jo No.43/Pdt/2004/PT-BNA Jo No.1343 K/Pdt/2007 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheiddaad).

Sedangkan bukti-bukti baru yang diajukan oleh WALHI Aceh antara lain, PP Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan yang menyatakan kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang dikerjakan atau diduduki tanpa izin Menteri Kehutanan. Selain itu juga diajukan sejumlah Peraturan Pemerintah (PP), Keppres, serta SK Menteri Kehutanan.

Selain bukti-bukti formal yang telah disebutkan di atas, tim pengacara juga telah mengumpulkan bukti-bukti kerusakan di beberapa ruas jalan Ladia Galaska melui kliping-kliping surat kabar.

Karena itu, WALHI Aceh, kata TM Zulfikar memohon kepada MA agar dapat memerintahkan kepada para tergugat (Pemerintah RI dan Aceh)  untuk menghentikan semua aktifitas pembangunan proyek Ladia Galaska yang memotong ataupun melalui kawasan hutan dan pegunungan Leuser.(sir)

Rafly Patarana Band Meriahkan Temu Sahabat WALHI

Rafly Patarana Band Meriahkan Temu Sahabat WALHI

Rafly Patarana Band Meriahkan Temu Sahabat WALHI
HMINEWS – Ratusan anggota Sahabat Walhi yang hadir dalam acara Temu Sahabat Walhi antusias saat penyanyi asal Aceh, Rafli yang berkolaborasi dengan Patarana Band membawakan lagu Saleum Aneuk Nanggroe sebagai pembuka dalam acara tersebut. Acara pentas seni Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh juga dimeriahkan oleh beberapa seniman Aceh lain yang tergabung dalam Komunitas Drummer dan Perkusi Aceh (KODA), serta Made People (nama musisi-red) juga yang berkolaborasi dengan Patarana Band.
Malam Temu Sahabat Walhi diadakan oleh Walhi Aceh di Atjeh Kupi Setui, Jum’at malam (15/4) ini bertemakan “Menggalang Sinergi dan Mendorong Generasi Muda untuk Sadar Lingkungan”. Begitulah yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM. Zulfikar dalam acara pembukaan acara temu sahabat Walhi tersebut. “Ini merupakan upaya yang sangat strategis untuk sama-sama menyelamatkan bumi dan lingkungan yang makin hari makin kritis, makin rusak dan makin tua. Untuk mendorong ini semua, kita berkolaborasi dengan seniman-seniman, wartawan, LSM, NGO, jalinan persahabatan yang kami namakan Sahabat Walhi,” jelasnya.
Tujuan dari sahabat Walhi ini sendiri adalah untuk memperkuat dan membangun solidaritas masyarakat untuk saling menjaga lingkungan. “Kita bukan sekedar menjaga Sahabat Walhi, tapi juga sahabat hutan. Satu pepatah yang harus kita ingat bahwa hutan ini bukan milik kita tapi milik anak cucu kita yang dipinjamkan untuk kita sekarang,” demikian yang disampaikan oleh Azhari, SE., mewakili Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) saat memberikan sambutan.
Temu Sahabat Walhi ini tidak hanya dihadiri olh anggota Walhi Aceh semata namun turut ikut serta para aktivis, seniman-seniman Aceh, wartawan, dan Ketua Badan Penanggulangan Bencana Aceh. “Kita pastikan kita bersinergi dan kita pastikan lingkungan di Aceh bisa kita jaga dan kita wariskan kepada anak cucu yang akan datang,” tegas Zulfikar.
Sebelum Rafly tampil, panggung “dipanaskan” oleh penampilan menghentak dari KODA, yang membuat penonton riuh menyambut atraksi perkusi mereka. Musik menghentak yang dinamis, tampilan personil dengan kaos berwarna hitam menambah mistis malam itu.Gendang telinga seakan pecah mendengar pukulan di atas berbagai drum, tambur, rapa’i dan alat perkusi itu.
Patarana mengisi sesi selanjutnya dengan berkolaborasi dengan Made People. Sebuah nama yang unik, sesuai dengan penampilannya yang kocak dan menghibur. Gaya bergoyang Made mengingatkan kita pada kelompok musik SKA. Made membawakan beberapa lagu yang bertemakan alam, pemimpin dan ajakan untuk hidup sederhana.
Akhirnya penampilan yang ditunggu-tunggu tiba yaitu Rafly. Tampil dengan pakain putih-putih, mengenakan kupiah, Rafly berhasil membangkitkan antusias penonton. Penonton beramai-ramai mengikuti syair dan lirik yang dinyanyikan oleh Rafly. Nyaris semua tembang-tembang yang dinyanyikan Rafly sudah  sangat akrab di telinga masyarakat Aceh. Komunikasi Rafly dengan penonton pun berlangsung dinamis.
Acara pentas seni juga dimeriahkan oleh seniman dari Simeulu dan tanah gayo.[nurul fajri]

2010, Aceh diterjang 624 bencana

Friday, 31 December 2010 07:16    PDF Print E-mail
2010, Aceh diterjang 624 bencana
Warta - Aceh
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat 624 kali terjadi berbagai bencana di Provisi Aceh sepanjang 2010.

"Kami prihatin, 2010 ini merupakan tahun duka bagi masyarakat Aceh karena ditimpa bencana alam ratusan kali," kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Kamis (30/12).

Berdasarkan data yang dirangkum Walhi Aceh dari berbagai sumber, kata dia, bencana banjir terjadi banjir 250 kali. Kemudian konflik satwa 124 kali, abrasi pantai 97 kali, angin ribut 60, longsor 47 kali, kebakaran hutan 24 kali, dan 22 kali terjadi gempa bumi.

Ia mengatakan dari jumlah tersebut seolah-olah bencana alam yang menimpa rakyat Aceh terjadi tanpa akhir. Jika total bencana tersebut dirata-ratakan, maka dua kali sehari terjadi bencana alam.

Menurut dia, bencana tersebut dominan terjadi karena kerusakan ekologis akibat ulah manusia, seperti konvensi hutan maupun eksploitasi tambang yang tidak ramah lingkungan.

Ia menyebutkan konvensi lahan menjadi pertambangan maupun perkebunan telah menggerus 540,839 ribu hektare dari total 3,549 hektare luas hutan Aceh hingga 2010.

"Akibat konvensi hutan ini menyebabkan terjadi banjir bandang maupun tanah longsor. Kerugian yang ditimbulkan akibat bencana ini sudah tidak terhitung lagi," katanya.

TM Zulfikar menyebutkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh ada 105 izin pertambangan dengan luas lahan konsesi mencapai 484,5 ribu hektare.

Ironisnya, kata dia, lahan konsesi tersebut umumnya berada di kawasan hutan lindung, sehingga mengancam ekologi lingkungan karena akan terjadi pembabatan hutan secara besar-besaran,

"Izin-izin tambang tersebut harus dihentikan. Selain mengancam ekologi, pertambangan juga telah melahirkan berbagai konflik sosial di tengah masyarakat. Apalagi sektor pertambangan belum mampu menggerakkan ekonomi masyarakat setempat," ketus TM Zulfikar.

Ia mengatakan, pembabatan hutan merupakan faktor penyebab terjadinya ratusan kali bencana alam. Kawasan hutan tidak mampu lagi menampung debit air hujan.

Akibat lainnya, kata dia, satwa liar kehilangan mata rantai makanan, sehingga hewan buas tersebut terpaksa merambah ke pemukiman penduduk mencari sumber penghidupan.

"Walhi mendesak pemerintah Aceh tegas soal kerusakan ekologis ini. Jika terus dibiarkan, rakyat Aceh menjadi sengsara karena bencana alam akibat ulah manusia," demikian TM Zulfikar.
(dat08/antara)

Qanun Penanggulangan Bencana Harus Diprioritaskan

Qanun Penanggulangan Bencana Harus Diprioritaskan
Kamis, 15 April 2010 08:34:07 WIB
 

BANDA ACEH - Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf menyatakan, Rancangan Qanun Aceh atau Perda tentang penanggulangan bencana harus menjadi prioritas pembahasan antara eksekutif dan legislatif untuk diselesaikan pada tahun 2010.
Bencana tsunami Desember 2004 silam dan gempa bumi berkekuatan 7,2 SR pada 7 April lalu, menandakan Aceh masih menjadi wilayah rawan bencana alam gempa dan tsunami serta tidak menutup kemungkinan akan terjadi gempa-gempa susulan yang tidak diketahui waktunya.
Karenanya, perlu adanya suatu upaya dari pemerintah daerah setempat untuk mencegah dan memperkecil dampak dari bencana serta melindungi masyarakat dengan penyusunan mekanisne penanggulangan bencana yang akurat serta adanya satu kesatuan kerja perangkat Aceh yang profesional menangani masalh bencana.
"Aceh harus sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi, salah satunya adalah kita mengharapkan agar Rancangan Qanun Penanggulangan Bencana menjadi prioritas tahun ini," ujar Irwandi Yusuf kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (14/4).
Gubernur juga menyebutkan, visi Aceh Green yang digagasnya juga merupakan salah satu upaya dalam rangka mengurangi risiko bencana akibat ulah manusia. Mengurangi resiko bencana alam dengan konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui strategi investasi hijau untuk Aceh.
Selain itu, Irwandi menyatakan upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim menjadi penting dalam proses pembangunan kedepan, termasuk bagaimana tata kelola pemerintahan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan mitigasi bencana secara keseluruhan.
"Hingga saat ini, Pemerintah Aceh dan mitra baik lokal maupun internasional, telah melakukan beberapa upaya terkait dengan mitigasi bencana," katanya.
Saat ini sedang disusun struktur kelembagaan penanggulangan bencana Aceh, dan dalam proses baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota serta penyusunan prosedur standar operasi (SOP) kebencanaan.
"Kami juga sedang mengintegrasikan konsep mitigasi bencana dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RTJP) dan dokumen kebijakan turunannya," ujar Irwandi Yusuf.
Tidak Ramah Lingkungan
Sementara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai pembangunan di provinsi itu tidak ramah lingkungan, sehingga daerah itu kini menjadi rawan bencana.
"Bencana alam banjir dan tanah longsor sering melanda daerah ini karena pembangunannya tidak ramah lingkungan," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar.
Pembangunan yang dilaksanakan mengabaikan keberadaan pelestarian lingkungan seperti pembangunan jalan, dimana pemerintah rela membuka kawasan hutan yang mestinya dijaga.
Demikian juga pembukaan kawasan hutan untuk proyek perkebunan kerap mengabaikan fungsi kawasan, padahal kawasan hutan mampu menyeimbangkan lingkungan, sehingga bencana tidak terjadi.
"Bencana alam terjadi akibat kesalahan manusia, termasuk peran serta pemerintah yang membangun kawasan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip pembangunan berwawasan lingkungan," kata Zulfikar.
Seharusnya, Pemerintah Aceh menganut konsep ramah lingkungan untuk meminimalisir risiko bencana. Namun ini masih diabaikan, sehingga masyarakat mendapat imbasnya.
Masyarakat menjadi korban bencana manakala konsep pembangunan ramah lingkungan diabaikan, terutama di daerah-daerah berdekatan dengan kawasan hutan.
Kebijakan pembangunan Aceh selama ini dinilai belum pro rakyat. Rakyat hanya menjadi objek pembangunan, sementara kearifan lokal terabaikan hanya semata-mata memenuhi target.
"Pemerintah Aceh seharusnya melaksanakan pembangunan dengan mempertimbangkan resiko bencana. Ini sudah diamanatkan dalam aturan tata ruang nasional," jelasnya. (Analisa)

RTRW Aceh Belum Rampung 10 Tahun

RTRW Aceh Belum Rampung 10 Tahun

BANDA ACEH - Proses pembahasan dan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh sudah berlangsung sejak 10 tahun silam, namun sampai saat ini belum kelar.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh T.M. Zulfikar mengatakan, proses pembahasan RTRW Aceh pernah dilakukan pada 2000. Pembahasan itu dilanjutkan enam tahun kemudian, saat Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias berada di Aceh. "Terus berlarut-larut hingga saat ini, tapi belum dapat dihasilkan sebuah produk RTRW Aceh yang baru," ujarnya kemarin.
Menurut Zulfikar, saat ini RTRW masih dalam proses penyelesaian setelah draf yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh menjadi prioritas untuk dibahas di parlemen Aceh ta-hun ini. Artinya, kata dia, sampai saat ini belum ada perencanaan strategis pembangunan di Aceh.
Sejauh ini, Zulfikar menilai, proses penyusunan draf RTRW Aceh belum melibatkan masyarakat secara baik dan partisipatif. Sebab, masih sebatas pertemuan sosialisasi hasil penyusunannya. Selain itu, koordinasi antar -birokrasi yang ada di level pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota masih sangat lemah.
Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Iskandar berjanji akan terus mengawal proses pembahasan RTRW Aceh. Saat ini pembahasan rancangan itu sudah menjadi salah satu draf qa-nun (peraturan daerah) prioritas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). "Diharapkan, paling lambat akhir Desember 2010 qanun tersebut akan disahkan oleh DPRA," ujarnya. a *sdi