Selasa, 14 Juni 2011

Menuai Bencana Berkelanjutan di Aceh (1)

Menuai Bencana Berkelanjutan di Aceh (1)
OPINI | Teuku Muhammad Zulfikar | Senin, 14 Februari 2011
 
Konferensi Dunia Pengurangan Risiko Bencana di Kobe, Jepang, pada awal tahun 2005 melahirkan Kerangka Aksi Hyogo (KAH) yang ditandatangani oleh 168 negara, termasuk Indonesia. Konferensi itu juga menyarankan dibentuknya suatu Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (PLANAS PRB).
PLANAS PRB digambarkan sebagai suatu mekanisme nasional multi pemangku kepentingan yang bertindak sebagai penganjur pengurangan risiko bencana (PRB) di berbagai tataran. PLANAS PRB dapat melakukan koordinasi, analisis dan saran/nasehat tentang bidang-bidang prioritas yang memerlukan tindakan terpadu dalam rangka mengarusutamakan PRB ke dalam kebijakan-kebijakan, perencanaan dan program-program pembangunan sesuai dengan pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo.
Dalam tinjauan lingkungan hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dikeluarkan setiap tahun, WALHI selalu memprediksi dan memperingatkan akan terjadinya bencana lingkungan akibat kerusakan lingkungan hidup yang sudah sedemikian parahnya. Dari tahun ke tahun, frekuensi serta intensitas bencana mengalami peningkatan dengan dampak yang juga makin besar dan luas.
Posisi gerografis Aceh yang berada di jalur pertemuan lempeng Asia dan Australia, berada di bagian ujung patahan besar semangko yang membelah pulau Sumatera dari Aceh, menyebabkan Aceh termasuk daerah rawan terhadap kebencanaan. Kepulauan Indonesia,  termasuk  dalam wilayah Pacifik Ring of Fire (deretan gunung berapi Pasifik), yang bentuknya melengkung dari utara Pulau Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara hingga ke Sulawesi Utara.
Kepulauan Indonesia juga terletak di pertemuan dua lempeng tektonik di dunia dan dipengaruhi 3 gerakan bumi, yaitu Gerakan Sistem Sunda di bagian barat. Gerakan Sistem pinggiran Asia Timur dan Gerakan Sistem Sirkum Australia. Kedua faktor tersebut menyebabkan Indonesia, termasuk Aceh rentan terhadap gempa bumi dan letusan gunung berapi. 
Kejadian gempa bumi dan tsunami di Aceh pernah terjadi pada tahun 1797, 1891, 1907 dan terakhir di penghujung tahun 2004.  Kondisi geomorfologis Aceh sangat rentan menimbulkan bencana, dataran rendah di Pantai rawan terhadap tsunami dan banjir, sedangkan di dataran tinggi rawan terhadap tanah longsor dan kemungkinan letusan gunung berapi.
Aceh mengalami perubahan kondisi lingkungan hidup dan ekosistem yang sangat cepat dan masif. Pola pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pengurasan dan pengerukan sumberdaya alam dan mengabaikan faktor kelestarian ekosistem mengakibatkan perubahan bentang alam dalam skala besar.
Berbagai data dan catatan WALHI, setiap tahunnya Aceh kehilangan 20.000 hektar hingga 32.000 hektar lebih hutan alam akibat penebangan yang merusak, yang dilakukan baik secara legal maupun ilegal. Kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem mengakibatkan peningkatan kerentanan wilayah-wilayah yang secara natural dikarenakan kondisi geografis Aceh seperti tersebut di atas memang memiliki potensi untuk mengalami  bencana. (bersambung)

Penulis adalah Direktur Eksektutif Walhi Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar