Walhi Aceh:
Seulawah Berpotensi Banjir Bandang
BANDA ACEH - Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Ir TM Zulfikar mengingatkan Pemerintah Aceh bahwa kawasan Seulawah di Aceh Besar berpotensi dilanda banjir bandang seperti yang terjadi di Tangse, Pidie, jika tidak segera dilakukan upaya pemulihan ekologis. Prediksi itu dilontarkan Walhi karena kondisi Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan yang terletak di Saree, Aceh Besar, seluas 6.220 hektare (ha), 50 persen di antaranya sudah rusak akibat perambahan liar.
“Data yang kami dapatkan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh pada September 2010 bahwa 50 persen hutan Tahura di Seulawah sudah rusak. Bisa saja kerusakan itu makin melebar eskalasi dan bertambah persentasenya pada tahun ini, jika Pemerintah Aceh tidak cepat tanggap menyelamatkan Seulawah. Terutama dengan mencegah terjadinya penebangan liar di sana,” kata Zulfikar didampingi Kadiv Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, M Nizar Abdurrani. Menurut TM Zulfikar, kondisi Seulawah saat ini memang mengenaskan. Secara kasat mata saja, katanya, tiap kali kita melewati jalan Banda Aceh-Medan, langsung dapat dilihat dengan mudah perambahan hutan secara nyata terjadi di kaki-kaki dan lereng Gunung Seulawah.
“Itu baru yang kita lihat sambil lalu, bagaimana lagi yang tak terlihat dari pinggir jalan? Dulu perambah masih ‘malu-malu kucing’ merambah hutan. Paling, hanya di bagian dalam saja yang mereka rambah, sehingga tak langsung terlihat dari luar. Tapi kini mereka terang-terangan merambah hutan. Sepertinya tak ada lagi yang berani mencegah,” ucapnya. Menurut Zulfikar, jikapun dirambah dengan alasan pengalihan fungsi lahan untuk perkebunan, tapi pohon-pohon yang ditanam sebaiknya pohon-pohon yang berbatang keras, seperti durian, karet, atau kemiri, bukannya pohon-pohon atau tanaman yang tidak mampu menahan air.
“Memang dampak negatifnya bukan sekarang terasa. Namun, kalau hutan sudah rusak, otomatis butuh waktu puluhan tahun untuk merehabilitasinya. Oleh karena itu kami coba mengingatkan, bukan menakut-nakuti, sehingga apa yang terjadi di Tangse jangan terjadi lagi di daerah lain,” ucap Zulfikar. Prediksi Walhi Aceh, jika banjir bandang terjadi, maka daerah sekitar Seulawah, Saree, Seulimuem, Pidie hingga Laweung, Krueng Raya, dan Banda Aceh, akan menerima banjir kiriman, jika hulu sungai yang dipenuhi material kayu dan batu yang tak mampu lagi menahan.
Menurut Zulfikar, kawasan-kawasan yang dia sebutkan itu tergolong padat penduduk. Untuk itu, perlu instansi terkait membentuk tim agar turun ke lapangan melihat hulu sungai mana yang parah rusaknya. “Kita tak tahu daerah mana yang duluan terkena banjir bandang, tapi potensi itu memang ada,” kata alumnus Fakultas Teknik Unsyiah ini.
Zulfikar menambahkan, jika dilihat dari jumlah kerusakan hutan di Aceh pada 2006-2009 yang mencapai 23.124.41 ha dan beberapa daerah di wilayah Aceh sering dilanda banjir besar dan longsor, maka bukan tidak mungkin di kawasan-kawasan itu juga berpotensi terulangnya banjir bandang. “Bisa saja potensi banjir bandang terjadi di Nagan dan Teunom, jika kita lihat dua daerah ini sering kali dilanda banjir besar,” pungkas TM Zulfikar. (c47)
“Data yang kami dapatkan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh pada September 2010 bahwa 50 persen hutan Tahura di Seulawah sudah rusak. Bisa saja kerusakan itu makin melebar eskalasi dan bertambah persentasenya pada tahun ini, jika Pemerintah Aceh tidak cepat tanggap menyelamatkan Seulawah. Terutama dengan mencegah terjadinya penebangan liar di sana,” kata Zulfikar didampingi Kadiv Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, M Nizar Abdurrani. Menurut TM Zulfikar, kondisi Seulawah saat ini memang mengenaskan. Secara kasat mata saja, katanya, tiap kali kita melewati jalan Banda Aceh-Medan, langsung dapat dilihat dengan mudah perambahan hutan secara nyata terjadi di kaki-kaki dan lereng Gunung Seulawah.
“Itu baru yang kita lihat sambil lalu, bagaimana lagi yang tak terlihat dari pinggir jalan? Dulu perambah masih ‘malu-malu kucing’ merambah hutan. Paling, hanya di bagian dalam saja yang mereka rambah, sehingga tak langsung terlihat dari luar. Tapi kini mereka terang-terangan merambah hutan. Sepertinya tak ada lagi yang berani mencegah,” ucapnya. Menurut Zulfikar, jikapun dirambah dengan alasan pengalihan fungsi lahan untuk perkebunan, tapi pohon-pohon yang ditanam sebaiknya pohon-pohon yang berbatang keras, seperti durian, karet, atau kemiri, bukannya pohon-pohon atau tanaman yang tidak mampu menahan air.
“Memang dampak negatifnya bukan sekarang terasa. Namun, kalau hutan sudah rusak, otomatis butuh waktu puluhan tahun untuk merehabilitasinya. Oleh karena itu kami coba mengingatkan, bukan menakut-nakuti, sehingga apa yang terjadi di Tangse jangan terjadi lagi di daerah lain,” ucap Zulfikar. Prediksi Walhi Aceh, jika banjir bandang terjadi, maka daerah sekitar Seulawah, Saree, Seulimuem, Pidie hingga Laweung, Krueng Raya, dan Banda Aceh, akan menerima banjir kiriman, jika hulu sungai yang dipenuhi material kayu dan batu yang tak mampu lagi menahan.
Menurut Zulfikar, kawasan-kawasan yang dia sebutkan itu tergolong padat penduduk. Untuk itu, perlu instansi terkait membentuk tim agar turun ke lapangan melihat hulu sungai mana yang parah rusaknya. “Kita tak tahu daerah mana yang duluan terkena banjir bandang, tapi potensi itu memang ada,” kata alumnus Fakultas Teknik Unsyiah ini.
Zulfikar menambahkan, jika dilihat dari jumlah kerusakan hutan di Aceh pada 2006-2009 yang mencapai 23.124.41 ha dan beberapa daerah di wilayah Aceh sering dilanda banjir besar dan longsor, maka bukan tidak mungkin di kawasan-kawasan itu juga berpotensi terulangnya banjir bandang. “Bisa saja potensi banjir bandang terjadi di Nagan dan Teunom, jika kita lihat dua daerah ini sering kali dilanda banjir besar,” pungkas TM Zulfikar. (c47)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar