Kekayaan Pesisir Aceh Menjanjikan, Tapi Kesejahteraan Masyarakat Menyedihkan
Benang merah ini terungkap dalam acara Dialog Lingkungan Hidup bertemakan Penyelamatan Kawasan Pesisir dan Lautan Aceh dari Kerusakan, Kamis (16/6) di sekretariat Walhi Aceh. Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup ini merupakan kerja sama antara WALHI Aceh, Muslim Aid Indonesia dan Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA).
Direktur Walhi Aceh, T. Muhammad Zulfikar menyampaikan kawasan pesisir Aceh yang meliputi 18 Kabupaten/kota merupakan anugerah yang luar biasa besar bagi Aceh. Sumber daya alam yang menjanjikan ini ternyata belum mampu mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir.
“Sumber daya alam menjanjikan, tapi belum menjanjikan kemakmuran masyarakat,”ungkapnya.
Hasil kajian WALHI memperlihatkan semua wilayah Aceh semakin rusak dimana kalau hal ini dibiarkan terjadi maka bisa terjadi situasi darurat ekologis. “Kerusakan ini memperburuk kesejahteraan masyarakat,”tambahnya.
T. Muhammad Zulfikar juga menyinggung mengenai berbagai peraturan, qanun dan regulasi lain yang mengatur lingkungan hidup termasuk pesisir. Berbagai peraturan yang sudah susah payah dibuat ini ternyata dilanggar begitu saja termasuk oleh pembuatnya. “Mereka yang buat aturan mereka yang langgar. Qanun-qanun ini masih terkubur (belum digunakan-red) mari kita bangkitkan dari kubur,”katanya.
Kerusakan pesisir tampak nyata kerusakannya di depan mata. Untuk kawasan kota Banda Aceh saja misalnya, hutan Mangrove yang ada sudah semakin rusak. Dulu kawasan Lampaseh merupakan hutan bakau yang lebat, sehingga menghalangi pemandangan ke arah pantai. Ini merupakan salah satu indikasi baik-buruknya kawasan pesisir. “75 persen hutan magrove di Aceh hancur,”ujar T. Muhammad Zulfikar.
Direktur WALHI Aceh ini kembali mengkritisi kebijakan pemerintah yang mengandalkan sektor pertambangan untuk pertumbuhan ekonomi. Seharusnya sektor lain seperti sektor perikanan bisa menjadi sektor andalan. “Tapi sayangnya sektor perikanan masih tertatih-tatih,”ujarnya. Ini semua terkait dengan lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang mengelolanya. SDM kelautan harus dioptimalkan agar kemiskinan akut masyarakat pesisir bisa dihilangkan.
Jika upaya penyelamatan lingkungan dapat dilakukan secara maksimal maka kesejahteraan manusia pun semakin terjamin.
Ancaman Kondisi Perikanan Aceh
Sementara itu, mewakili dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Abdus Syakur, yang juga adalah Kasi Pengelolaan Pesisir, Pulau-pulau Kecil dan Konservasi Taman Laut, memaparkan ancaman yang dihadapi oleh perikanan Aceh.
Provinsi Aceh memiliki garis pantai 2.666,27 km dan wilayah laut kewenangan 43.339,83 km2, merupakan wilayah pesisir terbesar di Pulau Sumatera. Jumlah nelayan Aceh saat ini diperkirakan 61.768 orang dengan 58 persen adalah nelayan tetap dan sisanya adalah nelayan paruh waktu. Abdus Syakur menambahkan 25 persen penduduk pesisir berada di bawah garis kemiskinan.
“Akibat dari kemiskinan ini masyarakat berusaha mencari nafkah dengan merusak, misalnya dengan menebang hutan mangrove atau menangkap ikan pakai bom dan sebagainya,”ujar Abdus Syakur.
Fakta lain yang disampaikannya adalah saat ini telah terjadi terjadi penurunan penutupan terumbu karang 7 persen dalam 3 tahun terakhir. Bila berlanjut terus dalam kurun waktu 15 tahun terumbu karang di Aceh akan habis.
“Ini akan berakibat pada penurunan produktifitas ikan dan hasil tangkapan laut lainnya,”ujar Abdus Syakur.
Kawasan yang memiliki terumbu karang paling baik adalah Aceh Selatan, sedangkan hutan bakau yang memiliki kerapatan tertinggi berada di Lhokseumawe dan Bireuen. Tapi semuanya kini berada dalam posisi terancam menjadi tambak.
Ancaman-ancaman ini muncul karena pertumbuhan penduduk dan aktifitas masyarakat. Keterlibatan banyak pihak sangat diharapkan dalam pengelolaan kawasan pesisir Aceh sehingga diharapkan pengelolaan yang baik akan memberikan dampak meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Akademisi dari Jurusan Kelautan Fakultas MIPA Universitas Syiahkuala, DR. Nurfadli, dalam kesempatan yang sama berpendapat bahwa masyarakat yang miskin menjadikan mereka merusak lingkungan.
“Hidup masyarakat kita terlalu miskin sehingga masyarakat melakukan kegiatan yang merusak lingkungan,”ujar Nurfadli.
Tidak ada negara berkembanga yang peduli lingkungan. Berbeda dengan masyarakat negara maju yang sudah sejahtera, kerusakan lingkungan relatif kecil.
“Tapi negara maju pun dulunya, sebelum kayak sekarang, juga merusak lingkungan,”sambung alumni Jerman ini.Ia menganjurkan agar dilakukan upaya-upaya mensejahterakan masyarakat atau pemberdayaan ekonomi. Terapkan teknologi untuk menambah nilai jual produk-produk perikanan Aceh.[]ian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar