Rakyat Aceh harus berdaulat atas SDA
BANDA ACEH – Sejarah Aceh mencatat bahwa kearifkan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Aceh merupakan bagian dari kultur rakyat Aceh yang dulunya menjadi sub sistem dalam system pemerintahan kerjaaan Aceh. Pemangku adat pada zaman kerajaan Sultan Iskandar Muda memiliki peran dan tanggungjawab yang besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti aktivitas ekonomi, menjaga keamanan, menjaga huta dan lingkungan dan aktivitas ekonomi masyarakat.
Hal ini dikatakan oleh Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, ketika tampil sebagai salah satu narasumber pada seminar tentang "Peran Pemangku Adat dalam Pelestarian, Pengelolaan serta Penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) di Aceh" yang berlangsung hari ini di Aula Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.
Ditambahkannya, pemangku adat pada era kerajaan Aceh memiliki otoritas yang kuat, karena ada pendelegasian fungsi dan tugas kerajaan kepada para pemengku adat pada masa itu.
Lebih lanjut dijelaskannya, seiring perjalanan, ketika orde baru berkuasa, semua lembaga adat dikebiri dan dipaksa mandul setelah munculnya kebijakan sentralistik yang ditetapkan Jakarta. Berlakunya UU Nomor 5 tahun 1979 mengenai Pemerintahan Desa memberi kontribusi terhadap “hancurnya” peran lembaga adat dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Seharusnya, tambah Nazar, Lembaga adat ini bisa saja menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah Aceh, karena itu, sudah pasti bahwa lembaga adat merupakan mitra strategis pemerintah Aceh dalam menjalankan berbagai kebijakan di tingkat gampong, terutama dalam pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam’
Sementara itu Direktur Eksekutif WALHI Aceh (T.M. Zulfikar) mengatakan bahwa Aceh dikenal sebagai wilayah di Indonesia yang kaya dengan sumberdaya alam. Sumberdaya mineral minyak dan gas bumi, bijih besi, emas, sumber daya laut dan pesisir, sumber daya hutan, dan lain-lain adalah sumber kekayaan alam yang diberikan Allah SWT kepada rakyat Aceh. Karena itu, ungkapan bahwa Aceh secara khusus ataupun Indonesia pada umumnya, diibaratkan seperti untaian jamrud didaerah khatulistiwa, atau kolam susu dinegara kepulauan nusantara merupakan ekspresi yang menggambarkan keindahan dan kekayaan alam yang dimiliki Aceh.
Dijelaskannya, namun SDA yang dimiliki oleh Aceh, tidak serta merta membawa dampak positif bagi rakyat Aceh itu sendiri. Hal ini dikarenakan proses ekplorasi dan ekploitasi SDA Aceh yang dari waktu ke waktu makin menunjukkan kecenderungan yang negatif. Dan bahkan memunculkan persoalan kemudian. Beberapa dampak buruk dari eksplorasi SDA tersebut berupa kemiskinan, kehancuran lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), rubuhnya sistem sosial budaya masyarakat dan kearifan lokal masyarakat, marginalisasi kaum perempuan.
Ditambahkannya, istilah perampokan mungkin terlalu sarkastis (kasar), tapi itulah kenyataan yang ada. Eksploitasi sumberdaya alam yang dimulai hampir bersamaan dengan berdirinya Republik ini ternyata tak pernah bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik. Namun pemerintah kita sepertinya cukup puas dengan memperoleh keuntungan yang tak lebih dari 10 persen bahkan lebih kecil lagi dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut.
Untuk itu, sebut TM Zulfikar, Pelaksanaan pembangunan di Aceh sudah seharusnya memenuhi setidaknya dua syarat utama, yaitu pertama mampu menyejahterakan rakyat banyak, baik rakyat yang berada disekitar wilayah sumberdaya alam, yang selama ini menjadi korban berbagai aktivitas eksploitasi sumberdaya alam, maupun seluruh rakyat di Aceh. Kedua, pengelolaan sumberdaya alam yang ada haruslah memperhatikan daya dukung dan pelayanan ekologis setempat, sehingga lingkungan tidak ditempatkan sebagai obyek dari kegiatan manusia semata, tetapi juga dilihat sebagai satu kesatuan ekologi dengan manusia, karena kerusakan terhadapnya akan membawa bencana bagi manusia. ‘ Tentu kita masih ingat dahsyatnya peristiwa banjir bandang di Tangse beberapa waktu yang lalu’ ungkapnya.
Sumber : Waspada.co.id