Selasa, 14 Juni 2011

Melindungi Sumber Daya Alam Sebagai Sumber Kehidupan Rakyat (1)

Melindungi Sumber Daya Alam Sebagai Sumber Kehidupan Rakyat (1)
Aceh dikenal sebagai Wilayah di Indonesia  yang kaya dengan sumberdaya alam. Sumberdaya mineral minyak dan gas bumi, bijih besi, emas,  sumber daya laut dan pesisir, sumber daya hutan, dan lain-lain adalah sumber kekayaan alam yang diberikan Allah SWT kepada rakyat Aceh. Karena itu, ungkapan bahwa Aceh secara khusus ataupun Indonesia pada umumnya, diibaratkan seperti untaian zamrud di daerah khatulistiwa, atau kolam susu di Negara kepulauan Nusantara merupakan ekspresi yang menggambarkan keindahan dan kekayaan alam yang dimiliki negeri tercinta ini. Tetapi, apakah kekayaan alam tersebut membawa nikmat dan telah mengantarkan rakyat Aceh atau rakyat dan bangsa Indonesia ke tingkat kesejahteraan dan kemakmuran seperti yang dicita-citakan dalam Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945?
Rezim orde baru memang sudah berlalu, namun rezim-rezim penggantinya masih terus melanggengkan warisan kebijakan sebelumnya, obral murah dan keruk habis sumberdaya alam yang ada. Inilah kesesatan berfikir pemerintah yang memaknai era globalisasi dan pasar bebas hanya dari sudut pandang ekonomi. Sementara bayang-bayang krisis energi yang sudah menghantui dunia saat ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting dan serius.
Tidak aneh jika pemerintah hari ini pun lebih sibuk mengurusi soal bagaimana investor asing mau menanamkan modal sebesar-besarnya, tapi melupakan nasib rakyat banyak yang tidak pernah memperoleh tetesan dollar karena diangkut oleh para pemodal ke negaranya masing-masing. 
“Perampokan” Sumberdaya Alam yang Tak Mengubah Nasib Rakyat Apa yang kemudian diperoleh oleh rakyat dari berbagai ekplorasi dan ekploitasi sumberdaya alam yang dari waktu ke waktu makin menunjukkan kecenderungan yang negatif. Berbagai persoalan pun kemudian muncul. Mulai dari masalah kemiskinan, kehancuran lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), rubuhnya sistem sosial budaya masyarakat dan kearifan lokal masyarakat, marginalisasi kaum perempuan dan berbagai dampak buruk lainnya selalu mewarnai kehadiran berbagai industri ekstraktif. Sayangnya tak satupun dari merasa bertanggungjawab atas semua dampak yang telah ditimbulkan tersebut.
Istilah “perampokan” mungkin terlalu sarkastis (kasar), tapi itulah kenyataan yang ada. Eksploitasi sumberdaya alam yang dimulai hampir bersamaan dengan berdirinya Republik ini ternyata tak pernah bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik. Namun pemerintah kita sepertinya cukup puas dengan memperoleh keuntungan yang tak lebih dari 10 persen bahkan lebih kecil lagi dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan yang berdalih atas nama “investasi”.
Pemasukan dari sektor tambang misalnya, yang masuk ke kas negara/daerah setiap tahunnya hanya berkisar antara 3-4 persen. Sebuah angka yang terlalu kecil jika dibandingkan dengan biaya sosial dan biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh rakyat.  Di semua tempat, kehadiran berbagai industri yang eksploitatif justru telah menciptakan enclave ekonomi. Ada jurang yang begitu lebar antara perusahaan disatu sisi dengan masyarakat adat/lokal di sisi lain yang seharusnya berhak untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alamnya sebagai sumber-sumber kehidupan mereka.
Masyarakat seolah cuma jadi penonton atas eksploitasi yang dilakukan oleh berbagai industri yang ada (“Buya krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki”). Lebih miris lagi bisa kita saksikan, dilokasi-lokasi dimana eksploitasi sumberdaya alam dilakukan, di situlah kantong-kantong kemiskinan ditemukan. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar