Kamis, 30 Juni 2011

Dilema Hutan Aceh


PEMBERDAYAAN ekonomi warga korban konflik dan bencana tsunami di satu sisi, dan kelestarian lingkungan di sisi lain, menjadi problem dilematis di Nanggroe Aceh Darussalam saat ini. Ribuan hektar lahan hutan dibuka untuk menampung kegiatan ekonomi baru bagi mereka. Ketidakjelasan aturan dan penataan ruang membuat alih fungsi lahan kian tak terkendali. Jika Anda melalui jalur utama Jalan Banda Aceh-Medan KM 87-88 yang melintas di Desa Laweung, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, deretan tandan pisang di lapak, gubuk, dan warung pisang dengan mudah ditemui. Keramaian pedagang pisang dan pembeli bahkan sampai malam hari. Itulah pisang barangan. Pisang khas Pidie yang sejak tiga tahun terakhir menjadi komoditas andalan wilayah tersebut.
Pisang juga telah mengangkat kesejahteraan ribuan warga di Muara Tiga. Saat ini sedikitnya terdapat 1.500 hektar ladang pisang di kecamatan ini, yang diusahakan sekitar 750 petani. Selain pemilik lahan, banyak pula warga yang bekerja sebagai buruh dan penjual pisang.
Pada masa konflik atau bahkan sebelum tragedi bencana tsunami, keramaian pedagang pisang di jalur ini nyaris hanya mimpi. Jalur ini termasuk wilayah konflik. Hampir setiap malam ada operasi keamanan. Jalur selalu sepi karena di pinggir jalan hanyalah hutan pinus berjajar.
"Dulu hanya ada 10 keluarga yang tinggal di sini. Sekarang ramai. Ada ratusan rumah. Mereka umumnya mempunyai warung dan kebun pisang di sini, termasuk saya," kata Tarmudi (40), warga setempat.
Kini, banyak petani yang sudah dapat berhaji karena menanam pisang. Para petani ini sebagian adalah eks-kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), warga korban konflik, korban tsunami, dan sebagian petani asli warga desa setempat.
Deretan kebun pisang yang diusahan petani di Laweung ini sebagian besar adalah dulunya hutan pinus. Berawal dari pilot project pemberdayaan warga eks-kombatan, korban tsunami, dan korban konflik tahun 2007, lahan hutan seluas 20 hektar dibuka untuk lahan pisang.
Wakil Ketua Komisi A DPR Kabupaten Pidie, Suadi Sulaiman, menuturkan, proyek percontohan itu mendapat bantuan Rp 7 juta per hektar dari Pemerintah Kabupaten Pidie. Dalam setahun, ladang pisang percontohan itu terbilang sukses. Hampir 100 persen pisang dapat di panen.
Tahun berikutnya, lahan yang dibuka bertambah menjadi 150 hektar dan ada 120 petani yang terlibat. Dengan luasan itu, 70.0000 hingga 90.000 tandan pisang pun dihasilkan setiap hari dengan kapitalisasi hingga 200 juta per hari.
Ladang pisang pun meluas. Tak hanya hutan rakyat yang ditebang untuk perluasan kebun pisang, hutan lindung pun dibabat. Bahkan, tak hanya pisang yang ditanam, tapi jagung dan cabe pun ikut ditanam. Alih fungsi hutan secara liar kian sulit dikendalikan. "Mungkin ada 500 hektar lahan hutang lindung yang sekarang jadi kebun pisang," kata Suadi.
Kepemilikan lahan pisang pun semakin tak jelas apakah mereka eks-kombatan atau warga korban konflik. Pemerintah daerah setempat pun tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, pisang telah menjadi sumber ekonomi potensial, namun di sisi lain ancaman lingkungan mengemuka.
Hutan menyusut
Sebenarnya, kebijakan pembukaan sebagian lahan hutan untuk pertanian dan perkebunan ini memang dilakukan Pemerintah Provinsi NAD. Awalnya, langkah ini untuk memberi kesempatan ekonomi bagi warga eks-kombatan, korban tsunami, dan korban konflik. Tak hanya pisang, di sejumlah daerah juga dikembangkan kakao, karet, dan tanaman produksi lainnya.
Sayangnya, langkah bijak tersebut tak disertai dengan aturan yang jelas. Akibatnya, pembukaan lahan tak terkendali.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, TM Zulfikar mengungkapkan, saat ini tak ada kejelasan mengenai siapa saja eks-kombatan, korban konflik, dan korban tsunami yang dapat diizinkan memanfaatkan lahan hutan. Banyak pihak yang ikut memanfaatkan sehingga sulit dideteksi.
Semestinya semua ini disiapkan dulu aturannya dan ada kejelasan wilayah hutan mana yang bisa dimanfaatkan dana mana yang tidak. Selain itu, siapa saja yang diperbolehkan, dan tanaman apa yang sesuai dengan kelestarian lingkungan, kata dia.
Walhi mencatat, antara tahun 1980 hingga 2008 saja, luas hutan Aceh telah berkurang hingga 914.422 hektar dari total luas 5.675.850 hektar. Artinya, 32.657 hektar hutan dibabat setiap tahun. Tahun 2008, luas hutan Aceh tinggal 61,42 persen. Dengan alih fungsi lahan yang terus terjadi belakangan, diperkirakan luasan itu kian menyusut.
"Apalagi, sampai saat ini pemerintah masih saja memberikan 200 lebih hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan, dan 108 izin penambangan," ungkap Zulfikar.

Alih fungsi lahan merupakan penyebab utama lahan kritis di Aceh. Alih fungsi ini disertai pembalakan liar, pembakaran hutan, dan diikuti kegiatan pembukaan perkebunan dan pertanian yang tak mengikuti teknik konservasi tanah. Total luas lahan kritis di Aceh mencapai 1, 6 juta hektar.
"Sudah selayaknya pemerintah menyetop ini semua dan mulai menanam tanaman produksi yang sesuai dengan kebutuhan kelestarian hutan," ujar Zulfikar.

Direktur Bina Usaha Hutan Alam pada Kementerian Kehutanan, M Awriya Ibrahim mengemukakan, solusi untuk mengatasi problem kehutanan di Aceh saat ini adalah segera diterbitkannya rencana tata ruang wilayah (RTRW). Dalam RTRW tersebut harus mencakup kejelasan mengenai mana saja hutan produksi, hutan rakyat, dan hutan lindung.
Masing-masing juga harus ada kejelasan fungsi. Misalnya, hutan lindung diperuntukan untuk apa, dan hutan produksi untuk apa saja. Selanjutnya, perlu disosialisasikan kepada masyarakat.
teks: kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar