Senin, 20 Juni 2011

WALHI Aceh : Raqan Pengelolaan Lingkungan Masih Copy-paste

WALHI Aceh : Raqan Pengelolaan Lingkungan Masih Copy-paste
Jum`at, 17 Desember 2010
 
Banda Aceh - Rancangan Qanun tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Raqan Pengelolaan Lingkungan) ternyata masih memakai sistem kopi-paste dari Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang hal yang sama. Hal ini mengakibatkan penyusuan Raqan menjadi tidak konstektual dan tidak memuat isu-isu lingkungan secara komprehensif.
Demikian disampaikan oleh Direktur WALHI Aceh, T.M. Zulfikar dalam rilisnya yang diterima The Globe Journal, Jumat (17/12). Zulfikar menyampaikan hal tersebut dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) yang berlangsung di aula Serba Guna Sekretariat DPRA, pada hari yang sama di Banda Aceh. Acara dihadiri oleh masyarakat dari kalangan akademisi, LSM, tokoh masyarakat dan pemerintahan tersebut membahas Raqan Pengelolaan Lingkungan yang terdiri dari 21 Bab dan 54 pasal. Dibandingkan dengan UU No.32 tahun 2009 yang bernama sama, namun lebih banyak bagian yaitu 27 Bab dan 127 pasal.
"Raqan Pengelolaan Lingkungan tidak secara komprehensif memuat persoalan-persoalan lingkungan seperti kelautan, pesisir, kehutanan, tambang dan sebagainya. Sedangkan dalam Raqan lebih banyak memuat persoalan tentang limbah semata. Padahal secara sederhana yang dimaksudkan dengan lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang berada di luar manusia,"jelasnya.
Selain menilai Raqan tersebut tidak komprehensif, WALHI Aceh juga memberikan masukan terhadap aturan yan diharapkan dapat melindungi lingkungan hidup di Aceh. Beberapa masukan untuk Raqan Pengelolaan Lingkungan tersebut antara lain :
1. Pasal 1 point (9), tidak disebutkan secara spesifik apa yang dimaksud limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Seharusnya ada definisi spesifik tentang hal ini sesuai dengan peraturan pemerintah yang ada. Jika tidak, maka akan ada multitafsir terhadap apa saja yang dimaksud dengan limbah B3. 
2. Pada pasal 3 point (j) disebutkan tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup salah satunya adalah untu mengantisipasi isu lingkungan hidup global. WALHI Aceh berpendapat persoalan pengelolaan lingkungan bukan karena merespon isu global tetapi memang kebutuhan dasar kita sendiri.
3. Penyebutan "Setiap orang bertanggung jawab" dalam banyak pasal seolah-olah mereduksi pihak yang berkepentingan terhadap lingkungan. Seharusnya bukan individu saja bertanggung jawab tetapi lebih luas lagi adalah lembaga pemerintah dan badan usaha.
4. Pada pasal 42 terdapat kalimat "pemerintah Aceh yang bertanggung jawab dibidangnya...." kalimat ini sangat bersayap dan tidak tegas. Seharusnya disebutkan saja langsung,"pemerintah Aceh melalui Badan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup...". Langsung menunjuk secara tegas badan/lembaga yang bertanggung jawab, agar tidak terjadi adanya lembaga yang "buang badan" nantinya.
"Raqan Pengelolaan Lingkungan ini sangat penting untuk dibahas secara komprehensif. Apalagi aktivitas yang berdampak lingkungan yang besar dan penting banyak terjadi di Aceh. Jika sistem yang dijalankan tidak baik, sudah bisa dipastikan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah,"urai Zulfikar.
Raqan Pengelolaan Lingkungan juga mengusulkan perubahan nama Badan Pengendali Dampak Lingkungan dirubah menjadi Badan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sesuai dengan nama Qanun. WALHI Aceh mendukung perubahan nama tersebut karena mengingat nama tersebut sudah mencerminkan apa yang harus dilakukan badan tersebut nantinya. WALHI Aceh berharap badan ini nantinya lebih agresif dalam melindungi lingkungan, bukan sekedar mengendalikan dampak yang sudah terjadi saja.[REL]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar