Gubernur Tolak Kedaulatan Mukim
21 Imum Mukim WO dari GCF
Banda Aceh-Keberadaan 23 Imum Mukim pada pertemuan Governor's Climate and Forest (GCF) meeting di Hermes Falace Hotel Banda Aceh, tidak memiliki kapasitas. Bahkan, Gubernur menolak kedaulatan para Imum Mukim.
Alhasil, 21 dari 23 Imum Mukim walk out (WO).
“Kami tidak ikut lagi, karena kami melihat keberadaan mukim tidak memiliki kapasitas apapun dari pertemuan itu.
Belum lagi, kami dihadirkan hanya pada acara diskusi side event (pertunjukan sampingan) dan bukan di main event bersama para gubernur dari beberapa Negara yang hadir di sana," kata Aiyub Yusuf, Wakil Ketua Majelis Duk Pakat Mukim Aceh Besar mewakili 21 Imum Mukim dari lima kabupaten/kota kepada koran ini, Rabu (19/5) di Banda Aceh.
Selama ini para Imum Mukim menuntut kepada Gubernur Aceh agar diberi kewenangan sepenuhnya atas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat Mukim. Hanya saja, tuntutan yang mereka perdengarkanya dianggap angin lalu oleh orang nomor satu di Aceh itu.
Bukan itu saja, malah para Imum Mukim menegaskan tidak akan membiarkan siapapun memasuki wilayah hutan yang berada di kawasan mereka. Pasalnya, yang mengetahui seluk beluk tentang hutan itu adalah para Imum Mukim, namun peran mereka dalam pertemuan tersebut seolah dikesampingkan.
Memang, diakui para Imum Mukim, sangat berat mempertanggungjawabkan kepada masyarakat di daerah mereka, tentang peran serta masyarakat di Mukim itu, terkait jual karbon. Apalagi, ketika ditanya kepada masyarakat, tidak semuanya tahu dan mengerti, apa itu REDD.
Apalagi tentang kompensesi seperti yang dijanjikan pemerintah.Sementara itu, Asnawi Zain, Imum Mukim Siem, Aceh Besar menambahkan, tuntutan mereka tidak digubris Gubernur Irwandi Yusuf.
“Gubernur hanya mengatakan nanti-nanti dulu dan tidak mau membuat kesepakatan tertulis tetang memberikan kedaulatan mukim atas wilayah dan sumber daya alam, dimana kejelasan tata batas wilayah antar mukim, tata ruang mukim, pengakuan hak masyarakat atas tanah, dan pengakuan kewenagnan mukim atas sumber daya alam dan harta mukim lainnya,” tukasnya.
Tolak REDD
Menurut puluhan Imum Mukim, mereka tetap bertahan menolak REDD, apabila kejelasan tentang tata batas juga kedaulatan mukim tidak diperjelas.
“Padahal, tanpa REDD pun, kami telah berjuang mengurangi emisi pemanasan global sejak dari dulu.
Jadi, kami tidak membutuhkan REDD,” tukasnya.
Adapun puluhan imum mukim yang diundang, meliputi 17 orang dari Mukim di Aceh Besar, Aceh Barat,Pidie Jaya, Aceh Jaya, dan Aceh Pidie.
Ketika disinggung mengapa dua mukim dari Aceh Jaya dan Pidie, tidak ikutan WO, Aiyub Yusuf mengaku tidak tahu sebab musababnya.
Hanya saja, dia mendengar informasi kalau dua orang itu dipanggil Gubernur Aceh, kemarin malam.
Namun, Aiyub menegaskan, permasalahan kedua Imum Mukim yang kemungkinan membelot itu, akan disampaikan kepada Geuchik mereka masing-masing.
Karena bagaimana pun, imum mukim ini, diangkat berdasarkan musyawarah masyarakat desa masing-masing dan tentu saja, seharusnya dapat memperjuangkan kedaulatan mukim untuk kepentingan masyarakat desa.
Sementara itu, Zulfikar Muhammad, Direktur Koalisi NGO HAM mengungkapkan, sekira pukul 14.00 WIB, sejumlah Imum Mukim dipanggil Gubernur Aceh ke salah satu ruangan di Hotel Hermes Falace.
Pembicaraan seputar tuntutan pendemo tentang memberikan kedaulatan mukim terkait REDD. Setelah 30 menit, gubernur tidak mau menuruti tuntutan para imum mukim.
Pembicaraan bubar, karena tidak ada titik temu. Imum Mukim yang dipanggil Gubernur pun, menyampaikan ketiadaan hasil pembicaraan dengan Irwandi kepada ratusan pendemo di pintu gerbang hotel tersebut, yang juga menuntut hal yang sama terhadap kepala daerah provinsi Aceh ini.
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM.Zulfikar mengungkapkan, pengurangan emisi karbon merupakan pengalihan resiko dari Negara maju kepada Negara miskin.
Negara maju terus saja, mempertahankan corak produksi mereka yang memang mengeluarkan emisi karbon dari berbagai jenis industri.
Dia menilai, hal tersebut tidak adil, padahal upaya mengurangi emisi bukan hanya tanggungjawab masyarakat di negara miskin notabene masih memiliki hutan, melainkan tanggungjawab bersama.
"Sedangkan kompensasi melalui proyek REDD, bukan solusi, mekanisme ini tidak adil,"akhirinya. (ian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar