Selasa, 14 Juni 2011

Menuai Bencana Berkelanjutan di Aceh (2)

Menuai Bencana Berkelanjutan di Aceh (2)
OPINI | Teuku Muhammad Zulfikar | Selasa, 15 Februari 2011

Aceh mengalami perubahan kondisi lingkungan hidup dan ekosistem yang sangat cepat dan masif. Pola pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pengurasan dan pengerukan sumberdaya alam dan mengabaikan faktor kelestarian ekosistem mengakibatkan perubahan bentang alam dalam skala besar.
Berbagai data dan catatan WALHI, setiap tahunnya Aceh kehilangan 20.000 hektar hingga 32.000 hektar lebih hutan alam akibat penebangan yang merusak, yang dilakukan baik secara legal maupun ilegal. Kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem mengakibatkan peningkatan kerentanan wilayah-wilayah yang secara natural dikarenakan kondisi geografis Aceh seperti tersebut di atas memang memiliki potensi untuk mengalami bencana. 
Fakta Bencana di Aceh  
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh, telah dirumuskan tujuh  agenda pembangunan Aceh Tahun 2007 — 2012, antara lain; Penguatan pemerintahan, politik dan hukum; Pemberdayaan ekonomi, kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan;  Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur investasi; Pembangunan pendidikan yang bermutu dan merata; Peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas; Pembangunan agama, sosial dan budaya, serta Penanganan dan Pengurangan Risiko Bencana.
Jika dilihat dari dari jabaran RPJM Provinsi Aceh tersebut, ternyata rencana kebijakan yang telah disusun belum mampu menjamin proses pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta belum mampu mengurangi berbagai risiko bencana yang ada.  Buruknya sistem pemanfaatan lahan dan hutan di Aceh telah menyebabkan turunnya daya dukung lingkungan yang berakibat pada terjadinya bencana yang silih berganti.
Catatan WALHI Aceh tentang intensitas bencana terjadi peningkatan cukup tajam, dari tahun 2006 hingga Oktober 2010 saja telah terjadi banjir sebanyak 698 kali, belum lagi tanah longsor yang sudah mencapai lebih dari 90 kali, serta berbagai bencana lainnya seperti gempa bumi, konflik satwa, angin ribut/kencang, abrasi, kekeringan dan epidemi berbagai penyakit.
Bahkan hingga saat ini berbagai rumah masih terendam banjir di berbagai penjuru wilayah di Aceh. Simak saja bagaimana banjir begitu ganasnya merendam ratusan rumah di sejumlah Kecamatan di Kota Langsa akibat meluapnya Kreung Langsa. Sedangkan di Aceh Utara puluhan desa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Kreung Keureuto dan Kreung Pase terendam. Begitu juga musibah serupa terjadi di Kabupaten Aceh Timur dan Kota Lhokseumawe (Serambi Indonesia, Timur-Utara Banjir, 5/12/2010).
Dari berbagai bencana ini sudah bisa dipastikan terjadinya berbagai kerusakan sarana dan prasarana baik milik masyarakat maupun fasilitas publik lainnya yang mengakibatkan kerugian masyarakat dan pemerintah yang sangat besar. Rasanya tidak sebanding antara investasi yang diterima oleh Pemerintah dengan jumlah dana yang dikeluarkan untuk penanggulangan bencana yang setiap saat terjadi di Aceh.
Rusaknya kawasan hulu dan tengah DAS di sejumlah lokasi di Aceh yang telah memicu terjadinya banjir, umumnya terjadi akibat kegiatan perambahan hutan liar (encroachment) dan penebangan kayu yang melanggar hukum dan merusak (destructive logging). Kedua hal tersebut berlangsung pesat karena adanya celah kekosongan pengawasan aparatur negara sebagai akibat diberikannya ijin konversi lahan hutan untuk usaha perkebunan dan perkayuan serta rencana-rencana pembangunan infrastruktur di dan sekitar kawasan hutan lindung dan konservasi yang menjadi hulu di sejumlah DAS di Aceh.
Jika direkapitulasi, pada enam DAS utama yang membentang di sepuluh Kabupaten/Kota di Aceh yang memiliki luas 1.537.528.12 Ha, sekitar 46,50% areal DAS tersebut telah mengalami kerusakan atau setara dengan 714.724,38 Ha. Dari data tersebut, tingkat kerusakan kawasan DAS yang amat besar dan mengkhawatirkan telah terjadi pada DAS Krueng Aceh,  DAS Krueng Peusangan, dan DAS Krueng Tamiang, dimana kerusakan sudah mencapai angka di atas 50%. Selanjutnya adalah pada DAS Krueng Tripa dan DAS Krueng Jambo Aye yang angka kerusakannya sudah berada di atas 30%.
Sebuah bencana tentunya bisa disebkan oleh  banyak faktor, diantaranya faktor alamiah dan faktor karena ulah manusia. Adanya subsistem dalam siklus hidrologi yang dilakukan oleh manusia, diantaranya adalah penebangan hutan (illegal logging) dan destructive logging yang mengakibatkan lapisan vegetasi alami dan terangkatnya tanah dari gerakan tanah alami  yang tidak bisa tertahan akar. Menurunnya daya dukung lingkungan hidup, khususnya daerah aliran sungai (DAS).
Terutama oleh karena rusaknya kawasan hulu dan tengah DAS disejumlah lokasi. Kerusakan tersebut umumnya akibat kegiatan perambahan liar dan penebangan kayu yang melanggar hukum. Hal ini makin marak kerana lemahnya pengawasan aparatur negara yan tidak mampu berhadapan dengan para cukong atau pengusaha.
Pembangunan di area resapan air menyebabkan tanah tidak mampu ditembus oleh kelembaban karena dipenuhi oleh beton-beton menyebabkan hilangnya daerah resapan air sehingga air memperbesar air larian (run-off) dan genangan. Selain itu dampak berbagai kebijakan yang tidak ramah lingkungan seperti pengerukan bahan tambang dan  mineral, tingginya penimbunan kawasan gambut atau rawa-rawa yang dipergunakan untuk pemukiman dan perkebunan besar seperti kelapa sawit juga semakin memperbesar risiko terjadinya bencana secara berkelanjutan di Aceh.
Kini saatnya semua pihak bersinergi dan bersatupadu untuk ambil peran dalam mengurangi risiko bencana. Karena lingkungan memang tidak membutuhkan kita, tetapi sebaliknya kita sangat membutuhkan lingkungan yang lestari demi keberlangsungan hidup kita dan generasi mendatang. Begitu juga kepada Pemerintah, mulailah bersikap pro lingkungan, buatlah regulasi atau kebijakan yang ramah lingkungan dan melindungi lingkungan dari kerusakan, bukan justru sebaliknya.

Penulis Direktur Eksekutif WALHI Aceh/Kontributor The Globe Journal  
(tmzulfikar@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar