Judul : Terkait Tambang Bijih Besi
Jangan Lecehkan Aspirasi Rakyat
Sumber : serambinews.com
09 Mei 2010
Jangan Lecehkan Aspirasi Rakyat
Sumber : serambinews.com
09 Mei 2010
BANDA ACEH - Pro kontra soal usaha penambangan bijih besi yang dilakukan PT Pinang Sejati Utama (PSU) di pedalaman Manggamat, Aceh Selatan masih terus terjadi. Sikap Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang menegaskan tidak akan menutup usaha penambangan tersebut karena telah memiliki izin yang sah, malah dinilai oleh sejumlah pegiat LSM sebagai bentuk melecehkan aspirasi rakyat.
Tanggapan terhadap sikap tegas Gubernur Irwandi Yusuf disampaikan secara tertulis oleh Koordinator LBH Banda Aceh Hospinovizal Sabri SH, Koodinator KontraS Aceh Hendra Fadli SH, Pj Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh Evi Narti Zain SE, Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani SHi, dan Walhi Aceh TM Zulfikar.
Para aktivis tersebut, dalam pernyataannya menulis, sikap Gubernur Irwandi Yusuf yang menandaskan tidak akan menutup usaha penambangan karena sudah mengantongi izin sulit diterima akal sehat. “Apapun kebijakan pemerintah setiap saat tentu dapat dievaluasi jika kebijakannya dinilai pincang dan pelaksanaannya menimbulkan dampak negatif”, kata Koordinator LBH Banda Aceh Hospinovizal Sabri.
Pihak LBH Banda Aceh menunjuk contoh kasus PT LSM (Lhoong Setia Mining) di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Menurut LBH Banda Aceh, PT LSM baru dilengkapi dengan Amdal pada 2007 (SK Nomor 660.46/54/AMDAL/07) atau satu tahun setelah izin dikeluarkan oleh Bupati Aceh Besar yaitu pada 2006 (SK No. 540/03/02 Tahun 2006).
“Dengan demikian izin yang dikeluarkan untuk PT LSM cacat secara hukum, jadi penutupan PT LSM memiliki kekuatan yuridis untuk dilakukan,” tegasnya. Koordinator KontraS Aceh, Hendra Fadli juga menyayangkan penegasan Gubernur Aceh. Menurut Hendra, berdasarkan UUPA, Dewan Perwakilan Rakyat jelas-jelas memiliki hak untuk mengajukan pernyataan pendapat dan berwenang melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh. “Pernyataan Irwandi juga melecehkan tugas mulia anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengawasi implementasi izin usaha pertambangan oleh Gubernur Aceh yang dinilai memunculkan dampak negatif terhadap kehidupan dan penghidupan rakyat sekitar pertambangan,” kata Hendra Fadli.
Pj Koordinator Gerak Aceh, Askhalani juga mengkritik statemen Irwandi. Harusnya, kata Askhalani, Pemerintah Aceh tidak berpikir sempit yang hanya mempertimbangkan keuntungan jangka pendek seperti target PAD yang tidak seberapa dibanding ancaman bencana lingkungan yang akan ditimbulkan. “Kami mencemaskan eksploitasi yang dilakukan kedua perusahaan pertambangan itu (PT LSM dan PT PSU) akan berefek pada hilangnya lahan produksi rakyat. Jadi akan banyak dana yang dikeluarkan pemerintah untuk recovery lingkungan dan recovery ekonomi di masa mendatang. Ini tidak seberapa dibanding pendapatan yang diterima 15 persen per tahun” lanjutnya.
Lain lagi penilaian Evi Narti Zain dari Koalisi NGO HAM Aceh. Menurut Evi, statemen Irwandi Yusuf yang dipublikasi secara luas oleh berbagai media tersebut semakin menunjukkan watak Pemerintah Aceh yang tidak berperspektif HAM dalam implementasi program pembangunan.
Ketakutan gubernur
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar juga menanggapi sikap tegas Gubernur Irwandi Yusuf yang tidak akan menutup usaha penambangan bijih besi. Zulfikar menilai statetmen Gubernur Irwandi terkesan ada ketakutan terhadap perusahaan pertambangan. “Ada kesan ia (gubernur) takut akan di-PTUN oleh perusahaan pertambangan itu,” ujarnya.
Jika masalah ini yang ditakutkan, katanya, justru sebaliknya Gubernur Aceh nantinya yang akan di-PTUN-kan oleh masyarakat jika tetap melindungi perusahaan yang jelas-jelas aktivitasnya telah merusak lingkungan. “Jadi mana sebenarnya yang mau dibela, perusahaan atau masyarakat? Gubernur itu dipilih oleh siapa ya? Saya yakin masyarakat juga tidak perlu investor jika sama sekali tidak meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, justru yang meningkat adalah ekonomi bagi investor itu sendiri. Masyarakat cuma dapat dampak negatifnya saja,” tegas Zulfikar.
Menurut Walhi, perusahaan pertambangan bijih besi tersebut telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hasil penyelidikan Walhi Aceh ke lokasi penambangan di Manggamat menunjukkan telah terjadi kerusakan lingkungan seperti tercemarnya air sungai oleh lumpur dari lubang penggalian tambang, rusaknya jalan oleh truk pengangkut hasil tambang, debu yang ditimbulkan oleh truk, dan tersisihnya kehidupan sosial masyarakat setempat.
Secara lebih khusus Zulfikar menjelaskan, penambangan yang dilakukan PT PSU telah melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terutama pasal 3 yang berbunyi “Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup (poin b) dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat (poin e),” demikian TM Zulfikar.
Awal sorotan
Sorotan terhadap usaha penambangan bijih besi tersebut menggelinding pertama sekali dari sidang paripurna DPR Aceh, Senin 3 Mei 2010. Sejumlah anggota DPR Aceh meminta Gubernur Irwandi Yusuf meninjau ulang atau mencabut izin perusahaan pertambangan bijih besi di Aceh Besar dan Aceh Selatan. Karena, perusahaan tambang itu sampai kini belum memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, malah sebaliknya membuat rusak lingkungan.
Suara dari Gedung DPRA mendapat dukungan sejumlah elemen sipil yang juga mendesak Gubernur Aceh mencabut izin penambangan bijih besi di Aceh Besar dan Aceh Selatan. Desakan itu disampaikan antara lain oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK), dan Komite Masyarakat Lhoong (KML), Kamis 6 Mei 2010.
Menanggapi berbagai desakan itu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (6/5) memastikan tidak akan menutup usaha penambangan bijih besi yang dilakukan PT Pinang Sejati Utama (PSU) di pedalaman Manggamat, Aceh Selatan. “Sebagai sebuah usaha pertambangan yang memiliki izin yang sah, tidak mungkin Pemerintah Aceh menutup usaha tersebut seenaknya,” kata Irwandi.
Menurut Irwandi, jika pihaknya menutup usaha pertambangan yang sudah memiliki izin sah, pihak perusahaan bisa-bisa memperkarakan Pemerintah Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan itu sekaligus akan menutup peluang investasi pihak investor luar di Aceh. “Kalau sebuah usaha yang sudah memiliki izin sah saja masih dihambat beroperasi, jelas investor lain akan meninggalkan Aceh,” tegas Irwandi.(sup/nas)
Tanggapan terhadap sikap tegas Gubernur Irwandi Yusuf disampaikan secara tertulis oleh Koordinator LBH Banda Aceh Hospinovizal Sabri SH, Koodinator KontraS Aceh Hendra Fadli SH, Pj Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh Evi Narti Zain SE, Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani SHi, dan Walhi Aceh TM Zulfikar.
Para aktivis tersebut, dalam pernyataannya menulis, sikap Gubernur Irwandi Yusuf yang menandaskan tidak akan menutup usaha penambangan karena sudah mengantongi izin sulit diterima akal sehat. “Apapun kebijakan pemerintah setiap saat tentu dapat dievaluasi jika kebijakannya dinilai pincang dan pelaksanaannya menimbulkan dampak negatif”, kata Koordinator LBH Banda Aceh Hospinovizal Sabri.
Pihak LBH Banda Aceh menunjuk contoh kasus PT LSM (Lhoong Setia Mining) di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Menurut LBH Banda Aceh, PT LSM baru dilengkapi dengan Amdal pada 2007 (SK Nomor 660.46/54/AMDAL/07) atau satu tahun setelah izin dikeluarkan oleh Bupati Aceh Besar yaitu pada 2006 (SK No. 540/03/02 Tahun 2006).
“Dengan demikian izin yang dikeluarkan untuk PT LSM cacat secara hukum, jadi penutupan PT LSM memiliki kekuatan yuridis untuk dilakukan,” tegasnya. Koordinator KontraS Aceh, Hendra Fadli juga menyayangkan penegasan Gubernur Aceh. Menurut Hendra, berdasarkan UUPA, Dewan Perwakilan Rakyat jelas-jelas memiliki hak untuk mengajukan pernyataan pendapat dan berwenang melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh. “Pernyataan Irwandi juga melecehkan tugas mulia anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengawasi implementasi izin usaha pertambangan oleh Gubernur Aceh yang dinilai memunculkan dampak negatif terhadap kehidupan dan penghidupan rakyat sekitar pertambangan,” kata Hendra Fadli.
Pj Koordinator Gerak Aceh, Askhalani juga mengkritik statemen Irwandi. Harusnya, kata Askhalani, Pemerintah Aceh tidak berpikir sempit yang hanya mempertimbangkan keuntungan jangka pendek seperti target PAD yang tidak seberapa dibanding ancaman bencana lingkungan yang akan ditimbulkan. “Kami mencemaskan eksploitasi yang dilakukan kedua perusahaan pertambangan itu (PT LSM dan PT PSU) akan berefek pada hilangnya lahan produksi rakyat. Jadi akan banyak dana yang dikeluarkan pemerintah untuk recovery lingkungan dan recovery ekonomi di masa mendatang. Ini tidak seberapa dibanding pendapatan yang diterima 15 persen per tahun” lanjutnya.
Lain lagi penilaian Evi Narti Zain dari Koalisi NGO HAM Aceh. Menurut Evi, statemen Irwandi Yusuf yang dipublikasi secara luas oleh berbagai media tersebut semakin menunjukkan watak Pemerintah Aceh yang tidak berperspektif HAM dalam implementasi program pembangunan.
Ketakutan gubernur
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar juga menanggapi sikap tegas Gubernur Irwandi Yusuf yang tidak akan menutup usaha penambangan bijih besi. Zulfikar menilai statetmen Gubernur Irwandi terkesan ada ketakutan terhadap perusahaan pertambangan. “Ada kesan ia (gubernur) takut akan di-PTUN oleh perusahaan pertambangan itu,” ujarnya.
Jika masalah ini yang ditakutkan, katanya, justru sebaliknya Gubernur Aceh nantinya yang akan di-PTUN-kan oleh masyarakat jika tetap melindungi perusahaan yang jelas-jelas aktivitasnya telah merusak lingkungan. “Jadi mana sebenarnya yang mau dibela, perusahaan atau masyarakat? Gubernur itu dipilih oleh siapa ya? Saya yakin masyarakat juga tidak perlu investor jika sama sekali tidak meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, justru yang meningkat adalah ekonomi bagi investor itu sendiri. Masyarakat cuma dapat dampak negatifnya saja,” tegas Zulfikar.
Menurut Walhi, perusahaan pertambangan bijih besi tersebut telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hasil penyelidikan Walhi Aceh ke lokasi penambangan di Manggamat menunjukkan telah terjadi kerusakan lingkungan seperti tercemarnya air sungai oleh lumpur dari lubang penggalian tambang, rusaknya jalan oleh truk pengangkut hasil tambang, debu yang ditimbulkan oleh truk, dan tersisihnya kehidupan sosial masyarakat setempat.
Secara lebih khusus Zulfikar menjelaskan, penambangan yang dilakukan PT PSU telah melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terutama pasal 3 yang berbunyi “Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup (poin b) dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat (poin e),” demikian TM Zulfikar.
Awal sorotan
Sorotan terhadap usaha penambangan bijih besi tersebut menggelinding pertama sekali dari sidang paripurna DPR Aceh, Senin 3 Mei 2010. Sejumlah anggota DPR Aceh meminta Gubernur Irwandi Yusuf meninjau ulang atau mencabut izin perusahaan pertambangan bijih besi di Aceh Besar dan Aceh Selatan. Karena, perusahaan tambang itu sampai kini belum memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, malah sebaliknya membuat rusak lingkungan.
Suara dari Gedung DPRA mendapat dukungan sejumlah elemen sipil yang juga mendesak Gubernur Aceh mencabut izin penambangan bijih besi di Aceh Besar dan Aceh Selatan. Desakan itu disampaikan antara lain oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK), dan Komite Masyarakat Lhoong (KML), Kamis 6 Mei 2010.
Menanggapi berbagai desakan itu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (6/5) memastikan tidak akan menutup usaha penambangan bijih besi yang dilakukan PT Pinang Sejati Utama (PSU) di pedalaman Manggamat, Aceh Selatan. “Sebagai sebuah usaha pertambangan yang memiliki izin yang sah, tidak mungkin Pemerintah Aceh menutup usaha tersebut seenaknya,” kata Irwandi.
Menurut Irwandi, jika pihaknya menutup usaha pertambangan yang sudah memiliki izin sah, pihak perusahaan bisa-bisa memperkarakan Pemerintah Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan itu sekaligus akan menutup peluang investasi pihak investor luar di Aceh. “Kalau sebuah usaha yang sudah memiliki izin sah saja masih dihambat beroperasi, jelas investor lain akan meninggalkan Aceh,” tegas Irwandi.(sup/nas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar