Rabu, 22 Juni 2011

Tahura Cut Nyak Dhien Kritis

Tahura Cut Nyak Dhien Kritis

PDF Print E-mail
BANDA ACEH - Taman Hutan Raya (Tahura) Cut Nyak Dhien yang terletak di kawasan Saree, Aceh Besar, kondisinya semakin kritis karena maraknya perambahan liar. Dari total luas 6.220 hektare, yang tersisa kini hanya tinggal 50 persennya saja. Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh kemudian berencana membuat pagar pembatas agar pengelolaan Tahura dapat dilaksanakan dengan baik. Demikian diungkapkan Kepala Dishutbun Aceh, Ir Fakhruddin Panglima Polem, dalam pertemuan dengan pengurus Walhi Aceh, Kamis (30/9). Dalam pertemuan itu, turut hadir Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar beserta sejumlah pengurus lainnya.

“Dishutbun telah berupaya untuk melindungi Tahura tersebut dengan berbagai program, di antaranya pembuatan pagar kawat. Pagar ini maksudnya bukan supaya masyarakat tidak bisa melewati kawasan itu tapi untuk memperjelas batas kawasan,” kata Fakhruddin seperti disampaikan dalam siaran pers Walhi, kemarin.

Hanya sayangnya upaya pembuatan pagar itu sepertinya mendapat gangguan dari oknum-oknum tertentu. Patok pembatas banyak yang dicabuti, sehingga menghambat pembuatan. Pemasangan kawat pembatas direncanakan sepanjang 10,2 kilometer. Saat ini menurut Fakhruddin, pihaknya sedang mengadakan sosialiasi kepada masyarakat tentang perlunya menjaga Tahura Cut Nyak Dhien tersebut.

“Bukannya tidak boleh masyarakat berkebun di sana, tapi cabai, jagung atau tanaman kecil lainnya dapat merusak struktur tanah. Saya menyarankan masyarakat menanam tanaman keras seperti durian, karet atau kemiri, yang tak perlu pengolahan,” ujarnya.

Tahura Cut Nya Dien terletak di Saree, Aceh Besar dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 1/Kpts-II/1998 Tanggal 5 Januari 1998. Selanjutnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.95 /Kpts-II/2001 Tanggal 15 Maret 2001.

Sementara Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar dalam kesempatan itu mengatakan bahwa Walhi ingin memastikan proses penyelamatan lingkungan hidup bisa tercapai terutama dalam sektor kehutanan. “Persoalan kehutanan harus didiskusikan bersama. Apalagi ditingkat nasional, Menteri Kehutanan sudah setuju hutan Aceh menjadi stressing hutan Indonesia,” katanya.

Kondisi hutan Seulawah saat ini memang sangat mengenaskan. Setiap pelintas yang melewati jalan nasional di gunung Seulawah dapat dengan mudah melihat perambahan hutan secara nyata. “Jika dulu para perambah masih malu-malu merambah hutan dan hanya di bagian dalam yang tak terjangkau pandangan mata, kini terang-terangan terjadi persis di pinggir jalan raya,” imbuhnya.

Ironisnya, pihak berwenang sepertinya tak mampu berbuat banyak melihat kenyataan tersebut. Padahal, sambung Zulfikar, di tengah-tengah hutan Seulawah tersebut ada markas Brimob yang berdiri dengan megah.(yos)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar