Rabu, 22 Juni 2011

Program Aceh Green Tidak Sinkron

 
LINGKUNGAN HIDUP

Program Aceh Green Tidak Sinkron
Oleh : Muhammad Nizar | 30-Nov-2010, 22:33:44 WIB

KabarIndonesia - Walhi Aceh menilai konsep Aceh Green yang dicanangkan pemerintah tidak sinkron dengan kebijakan mengeluarkan rekomendasi pembukaan tambang. Kemudian lagi tidak ada ada alat ukur yang jelas dalam program sehingga timbul kesan program dijalankan tidak serius. Perkembangan moratorium logging, pun sampai sekarang belum ada kelanjutan yang jelas walau pemerintah mengklaim telah menyelamatkan 500.000 hektar hutan.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh, T.M. Zulfikar, Senin (29/11) menyatakan, sebenarnya ia memberikan apresiasi terhadap program-program yang telah dirancang oleh Aceh Green karena sudah bisa menekan dan mengurangi penebangan hutan Aceh, walau cuma baru 500.000 hektar seperti yang diklaim pemerintah. Sayang, moratorium logging yang sudah berjalan dari 6 Juni 2007 sampai sekarang belum ada perkembangan signifikan.

“Hari ini bisa kita lihat ada banjir di mana-mana dikarenakan hutan hancur. Ini sangat mengganggu pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Padahal pemerintah sudah menganggarkan 42 miliar untuk hutan namun cuma 8 persen untuk pelestarian hutan selebihnya 92 persen untuk gaji Pamhut (Pengamanan Hutan-red),” jelasnya.

Celakanya lagi, masih ada oknum Pamhut yang melakukan ilegal logging seperti yang terjadi belum lama ini di sebuah kabupaten/kota di Aceh.

Program Aceh Green tidak sinkron dengan kebijakan Gubernur Aceh yang terus saja memberikan rekomendasi pembukaan hutan. Fakta baru ketidaksinkronan Aceh Green tersebut adalah Gubernur Aceh mengeluarkan surat Persetujuan Pencadangan Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) bagi PT. Rencong Pulp & Paper Industry.

Lahan yang yang disetujui ini berlokasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Tamiang seluas 31.472 hektar dan berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser.

Belum lagi rekomendasi yang dikeluarkan Gubernur untuk pembukaan tambang di Kawasan hutan dan sekitarnya sehingga membuat kawasan tersebut mengalami kerusakan bentang alam yang cukup parah.

“Pemerintah propinsi ketika ditanya kenapa memberikan izin tambang berkilah bahwa itu kerjaan kabupaten/kota. Seharusnya pemerintah jangan melepas tanggung jawab, Gubernur kan berhak menolak memberi rekom, apalagi dia punya Aceh Green,” kata TM Zulfikar.

Melihat keadaan ini banyak masyarakat bertanya-tanya apa yang dikehendaki oleh Gubernur Aceh sebenarnya. Banyak yang “tidak nyambung” antara program penyelamatan hutan dengan “kengototan” pemerintah memberikan izin tambang. Bahkan Gubernur Irwandi mati-matian menolak menutup tambang, yang telah membuat banyak lubang raksasa, dengan alasan tidak ada mereka tidak ada kesalahan.

“Saya pikir di Aceh ini perlu diberlakukan dulu moratorium mining (penghentian tambang sementara-red). Supaya sumber daya alam yang ada dapat disimpan dulu dan pemerintah mengkaji ulang keberadaan tambang,” kata TM Zulfikar.

Di masa mendatang pemanfaatan sumber daya alam bisa haruslah mampu mensejahterakan rakyat banyak. Banyak pihak yang menentang pembukaan tambang di Aceh apalagi masyarakat Aceh dari dulu hidup pertanian. Masih ada sekitar 2 juta hektar hutan budidaya yang masih bisa di manfaatkan untuk pertanian.

Aceh Green sendiri sebenarnya bukanlah program yang berkutat pada masalah-masalah hutan semata. “Hijau” dalam pengertian Aceh Green juga berarti adanya pelestarian segala sumber daya alam seperti air, pangan, energi dan lingkungan. Di mana semuanya itu memberikan kenyamanan hidup bagi manusia dan mencegah kerusakan lingkungan di muka bumi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar