Tanggapan Walhi Aceh atas Pembukaan Tambang di Subulussalam
Lampiran : 1 (satu) eks
Hal : Tanggapan atas kegiatan Studi AMDAL Penambangan Bijih Besi di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam
Kepada Yth,
1. Komisi Penilai AMDAL Aceh
2. PT. Rimbaka Mining Makmur
di -
Tempat
Dengan Hormat
Sehubungan dengan pengumuman yang dikeluarkan oleh Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Aceh nomor : 02/IV/AMDAL/2011 tentang rencana Studi AMDAL Penambangan Bijih Besi di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam, maka Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh memberikan beberapa tanggapan sebagai berikut :
- Walhi Aceh menolak terhadap keterangan kondisi lingkungan meliputi Hutan Sekunder dan perkebunan penduduk, karena menurut pengamatan kami dan SK Menhut No. 170/Kpts-II/2000, tentang arahan fungsi hutan, kawasan tersebut berstatus Hutan Produksi yang sebahagiannya sudah berubah fungsi menjadi kebun campuran masyarakat. Pernyataan kondisi lingkungan meliputi Hutan Sekunder dan perkebunan masyarakat menurut dugaan kami adalah sebuah upaya untuk mengaburkan status hukum terhadap daerah tersebut.
- Rencana pembukaan tambang bijih besi seluas 1.500 Ha dengan metode penambangan terbuka (Open pit mining) di dalam kawasan hutan menurut kami mencederai semangat moratorium logging yang sudah dituangkan dalam Instruksi Gubernur Nomor. 5/INSTR/2007, yang beberapa mandatnya antara lain menghentikan semua kegiatan terhadap hak pengusahaan hutan, mengkaji kebutuhan kayu bagi penggunaan lokal dan mendorong penggunaan kayu yang berasal dari wilayah Area Penggunaan Lain (APL), dengan harapan kawasan hutan Aceh dapat pulih kembali.
- Rencana lokasi penambangan terletak di daerah perbukitan dengan banyak hulu sungai di sana. Dilihat secara umum rencana pembukaan tambang bijih besi menurut kami berdampak luas bagi kelestarian lingkungan hidup dan juga kualitas hidup masyarakat yang tinggal bagian hilir dalam jangka panjang terutama pada saat musim kemarau dan musim penghujan. Jika kita melihat secara makro ternyata ada beberapa kegiatan penambangan lain yang berada berdekatan dengan rencana lokasi tambang dan dampak yang ditimbulkan akan saling mempengaruhi secara massif.
- WALHI Aceh menolak pernyataan dampak positif seperti dicantumkan dalam pengumuman yaitu “mendorong percepatan pengembangan wilayah serta peningkatan pendapatan asli daerah (PAD)”. Pernyataan ini tidak lebih daripada mitos semata karena menurut kenyataan wilayah tersebut berada di kawasan hutan yang menurut Undang-Undang dilarang untuk dilakukan pembangunan kecuali pembangunan di bidang kehutanan. Demikian halnya dengan peningkatan PAD sampai saat ini “bagai pungguk merindukan bulan”. Peningkatan PAD dari sektor tambang di Aceh saat ini belum dapat mengimbangi biaya perbaikan sejumlah infrastruktur yang rusak karena digunakan untuk mobilisasi dan pengangkutan hasil tambang oleh perusahaan, dengan kata lain Belanja Daerah selama ini lebih banyak habis untuk memperbaiki sarana infrastruktur yang rusak tersebut contoh seperti yang terjadi di Aceh Selatan. Bahkan perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh nyata-nyata melakukan manipulasi untuk mengurangi kewajiban pembayaran pajak, seperti yang disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh, Muhammad Haniv, (Serambi Indonesia, 9 Maret 2011).
- WALHI Aceh mempertegas dan meyakini akan terjadi dampak negatif terhadap kerusakan dan penyusutan keragaman flora dan fauna karena kawasan tersebut merupakan habitat daripada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatranensis) dan beberapa jenis mamalia dan burung yang dilindungi. Harap diketahui bahwa kecamatan Penanggalan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara dan di wilayah Sumatera Utara sudah banyak dibuka penambangan serupa sehingga jika rencana tambang-tambang di kecamatan ini dilaksanakan maka habitat untuk hewan-hewan yang dilindungi itu akan habis dan bukan tidak mungkin akan berpindah ke wilayah APL yang sudah pasti berdekatan dengan pemukiman penduduk sehingga potensi konflik satwa dikemudian hari dipastikan akan tinggi.
- WALHI Aceh juga meyakini akan terjadinya dampak negatif yang ditimbulkan berupa keresahan masyarakat bahkan konflik horizontal di kalangan masyarakat baik yang diciptakan oleh perusahaan maupun yang timbul karena perselisihan mereka sendiri, contohnya di Aceh Besar dan Aceh Selatan. Hal ini terjadi karena pada saat sosialisasi perusahaan dan tim penyusun Studi AMDAL tidak memaparkan secara gamblang dampak positif dan negatifnya. Menurut pengalaman yang kami temukan, perusahaan dan tim penyusun Studi AMDAL lebih banyak memberikan janji-janji surga yang tidak pernah terealisasi dikemudian hari. Selain itu persetujuan masyarakat hanya didapatkan dari beberapa wakil masyarakat yang sebetulnya tidaklah benar-benar mewakili masyarakat, selain itu dampak akibat sebuah penambangan tidak bisa diwakilkan jadi seharusnya semua masyarakat yang berpotensi terkena dampak dimintakan persetujuan tertulisnya.
- WALHI Aceh meminta agar segera diberlakukan Moratorium Atas Seluruh izin-izin tambang yang baru di seluruh Aceh.
Demikian surat tanggapan ini kami sampaikan, semoga menjadi pertimbangan bagi Komisi Penilai Amdal Provinsi dalam mengambil keputusan yang berpihak kepada lingkungan dan masyarakat.
Salam Adil & Lestari!,
Banda Aceh, 26 April 2011
WALHI Aceh
Teuku Muhammad Zulfikar, M.P.
Direktur Eksekutif
Tembusan :
1. Presiden Republik Indonesia
2. Menteri Negara Lingkungan Hidup, R.I.
3. Menteri Kehutanan, R.I.
4. Menteri Energi & Sumberdaya Mineral, R.I.
5. Gubernur Aceh
6. Ketua DPR Aceh
7. Kepala Bapedal Provinsi Aceh
8. Kepala Dinas Pertambangan & Energi Provinsi Aceh
9. Eksekutif Nasional WALHI
10. Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar