Banda Aceh - Konflik di wilayah pertambangan yang muncul di Manggamat Aceh Selatan telah memicu konflik sosial dan dikhawatirkan merusak perdamaian di daerah tersebut. Konflik yang dipicu oleh beroperasinya perusahaan penggali bahan tambang PT Pinang Sejati Utama (PSU) terjadi sejak April 2010, dimana masyarakat mulai melakukan aksi demonstrasi menuntut kompensasi, perjanjian antara perusahaan dan masyarakat, perjanjian antara Pemkab Aceh Selatan dan masyarakat hingga pembentukan Pansus Tambang oleh DPRK Aceh Selatan. Semua permintaan masyarakat tidak diindahkan oleh perusahaan hingga muncul konflik baru.
Koalisi Advokasi Tambang Aceh (KATAM Aceh) menyampaikan hal tersebut dalam siaran pers yang diterima Kamis (24/2). Menurut anggota KATAM dari WALHI Aceh, T.M. Zulfikar, konflik terbaru antara masyarakat desa Koto Manggamat dengan Kelompok Kluet Raya Motor (KRM) pada Selasa (15 Februari 2011) yang menyebabkan beberapa masyarakat mengalami cidera fisik dan kerugian harta benda merupakan benang merah dari segala persoalan pertambangan.
Pemerintah baik tingkat kabupaten Aceh Selatan maupun Propinsi Aceh harus mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan pertambangan yang telah berkali-kali melanggar Undang-undang, peraturan dan kesepakatan dengan masyarakat. Tindakan tegas berupa pencabutan izin pertambangan merupakan solusi yang efektif dan abadi mengingat inti persoalan adalah Pertambangan. Apalagi mengingat DPRK Aceh Selatan telah mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati Aceh Selatan agar mencabut segera seluruh izin usaha pertambangan batu bijih besi di Kabupaten Aceh Selatan.
Ada beberapa “Dosa Besar” yang dilakukan oleh PSU dan kelompok-kelompok yang bekerja sama dengan mereka, yaitu :
  1. Beroperasinya pelabuhan bongkar muat bijih besi berlokasi berdampingan dengan SDN 1 Ujong Pulo Kecamatan Bakongan Timur telah menimbulkan dampak terganggunya proses belajar para siswa di wilayah itu.
  2. Beroperasinya armada angkutan bijih besi KRM yang menggunakan fasilitas jalan dalam perkampungan penduduk berdampak kepada kerusakan jalan, pencemaran udara, terganggunya kesehatan dan keselamatan masyarakat.
  3. Terjadi penurunan debit serta kualitas air sungai dan air alur sungai, sebagai imbas eksploitasi tambang bijih besi di pegunungan Menggamat.
“Kami lihat aktivitas-aktivitas tersebut telah melanggar berbagai peraturan seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang AMDAL , UU No.11 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang telah diubah menjadi UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara serta peraturan-peraturan teknis lainnya terkait dengan pertambangan dan pelestarian lingkungan,”jelas T.M Zulfikar.
Berangkat dari fakta-fakta yang telah dikemukan diatas, kami dari KATAM Aceh menyampaikan sikap sebagai berikut :
  1. Mendukung rekomendasi Ketua Tim Pansus DPRK Aceh Selatan bersama Wakil Ketua dan 14 anggota DPRK Aceh Selatan yang meminta kepada Eksekutif, dalam hal ini Bupati Aceh Selatan agar mencabut segera seluruh izin usaha pertambangan batu bijih besi di kawasan Desa Simpang Dua Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.
  2. Permintaan pencabutan izin sebagaimana yang disampaikan Tim Pansus DPRK Aceh Selatan sangat sesuai dengan hasil investigasi beberapa waktu lalu yang menemukan banyak terjadi kerusakan lingkungan dan rentannya konflik sosial pada daerah penambangan.
  3. Perlu kami sampaikan bahwa usaha penambangan yang selama ini oleh PT Pinang Sejati Utama (PSU) dan KSU Tiega Manggis ternyata belum memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar lokasi tambang, disamping itu pengerukan lahan untuk tambang terbukti nyata telah merusak lingkungan hidup, terganggunya ekosistem, sumber air dan infrastruktur publik, apalagi jika perusahaan tambang tersebut tidak melakukan perbaikan terhadap lahan bekas galiannya.
  4. Sangat penting bagi DPRK Aceh Selatan untuk terus konsisten berjuang melestarikan lingkungan melalui kewenangan yang dimilikinya sehingga alam dan lingkungan Aceh Selatan bisa tetap lestari dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat luas.
  5. Membantah pernyataan Gubernur Aceh Irwandi yang menyatakan persoalan-persoalan yang muncul terkait penambangan di Manggamat adalah persoalan perebutan lahan bisnis. Pernyataan gubernur tersebut sama sekali tidak benar dan sangat jauh dari inti persoalan sebenarnya, dimana persoalan sebenarnya adalah telah terjadinya kerusakan lingkungan dan terganggunya kehidupan sosial masyarakat setempat yang disebabkan dari keberadaan perusahaan-perusahaan tambang di daerah tersebut.
KATAM Aceh merupakan kumpulan organisasi yang peduli terhadap persoalan-persoalan yang muncul akibat kegiatan pertambangan. Beberapa lembaga yang tergabung dalam KATAM Aceh antara lain Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI), WALHI Aceh, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, Koalisi NGO-HAM Aceh, Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), YADESA, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh, dan Kontras Aceh.(rel)
Sumber : www.theglobejournal.co.id