Analisis:
Banjir Tangse, Harga Sebuah Kelalaian
Mohamad Burhanudin | Marcus Suprihadi | Kamis, 1 Maret 2012 | 11:24 WIB
Link:http://regional.kompas.com/read/2012/03/01/11242326/Banjir.Tangse.Harga.Sebuah.Kelalaian.
Link:http://regional.kompas.com/read/2012/03/01/11242326/Banjir.Tangse.Harga.Sebuah.Kelalaian.
KOMPAS.com — Banjir
Bandang kembali menggelontor Tangse, Pidie Aceh, pekan lalu. Sontak,
peristiwa tersebut kembali membawa memori publik pada kisah pilu kurang
dari setahun silam di tempat yang sama. Cerita sedih banjir bandang pun
seakan berulang. Sebuah kisah mahal yang tertoreh oleh kegagalan belajar
dari kelalaian bersahabat dengan alam.
Di sepanjang DAS Tangse
nyaris sulit menemukan tegakan keras. Bukit-bukit telah beralih fungsi
menjadi ladang perkebunan dan pertanian.
Oleh M Burhanudin
Senin
(27/2), di Desa Blang Maloe, Tangse, Pidie. Senja menggelayut kelam.
Gerimis datang. Lumpur yang menutup jalan pun kembali basah, membentuk
lapisan becek menutup aspal. Berkubik-kubik kayu gelondongan yang
terbawa banjir dua malam sebelumnya masih berserak memakan sebagian
badan jalan.
Di sebuah tenda pengungsian belakang bangunan
puskesmas di Desa Blang Maloe, Nurbaiti (52), duduk resah berimpit
bersama sekitar 20 pengungsi lain yang umumnya anak-anak dan perempuan.
Tikar plastik lusuh yang mulai basah menjadi alas. Hawa dingin
pegunungan kian terasa menggigit dalam rinai gerimis senja itu.
"Kami
sudah dua hari di sini. Tak ada selimut, tapi mau ke mana lagi. Rumah
kami sudah hilang. Saya dan empat anggota keluarga saya mengungsi hanya
membawa baju yang tersisa. Semuanya sudah hilang," tutur Nurbaiti.
Nurbaiti
tak sendiri, ada 18 keluarga di sejumlah desa di Kecamatan Tangse yang
kehilangan rumah terseret banjir Sabtu malam itu. Sebanyak 19 rumah
rusak berat. Selain itu, ada ratusan rumah yang rusak ringan.
Kota
Tangse sempat terisolasi karena putusnya jembatan Blang Maloe. Tak
hanya kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Puluhan keluarga harus
merelakan sebagian kebun kakao dan sawahnya hancur diterjang banjir.
Padahal, Maret nanti mereka siap untuk panen.
Ratusan warga kehilangan mata pencaharian. Bencana banjir bandang di Tangse bak de javu.
Kurang dari setahun silam, lima desa di kacamatan tersebut pun nyaris
luluh lantak dihantam banjir. Sembilan orang tewas, belasan luka-luka,
328 rumah rusak, 210 hektar kebun dan sawah hancur.
Kedua
peristiwa itu hanya berjarak sekitar 1 kilometer, pada alur yang sama,
yaitu sepanjang Sungai Tangse. Dengan pola kerusakan yang hampir mirip,
hancurnya daerah aliran sungai, gelontoran kayu-kayu gelondongan, yang
mengalir bersama lumpur, pasir, dan ribuan meter kubik bebatuan gunung.
Hampir
setahun silam, Gubernur Aceh kala itu, Irwandi Yusuf, usai banjir di
Tangse Maret 2011, mengatakan akan menindak tegas pelaku pembalakan liar
di Tangse. Banjir kala itu diyakini sebagai bagian dari akibat
kerusakan hutan di hulu DAS Tangse.
Namun, janji tinggal janji.
Jangankan penegakan hukum atas pelaku pembalakan, kerusakan hulu tetap
berlanjut. Penebangan hingga alih fungsi lahan di kawasan perbukitan di
pegunungan Tangse dan Geumpang nyaris tak terhalang.
Pengamatan Kompas di
sepanjang DAS Tangse menunjukkan, nyaris sulit menemukan tegakan keras
yang utuh. Bukit-bukit dengan kemiringan hingga 30 derajat sebagian
telah beralih fungsi menjadi ladang perkebunan dan pertanian. Kegundulan
dari tegakan keras mengupas kulit perbukitan.
Memang, menyebut
kerusakan lingkungan sebagai penyebab tunggal banjir Tangse masih
terlalu dini. Aceh sejak lama dikenal sangat rentan dengan berbagai
jenis bencana alam massif, mulai banjir, longsor, hingga gempa bumi.
Namun, tumpukan kayu gelondongan yang terbawa banjir, hancurnya tanggul
DAS Tangse, serta banjir bandang yang berulang pada lokasi yang sama
rasanya menjadi fakta yang sulit terbantahkan betapa eratnya banjir
Tangse dengan fakta kerusakan di hulu.
Jafarudin (35), warga di
Kebun Nilam, Tangse, mengungkapkan, pembalakan liar bukan hal yang
rahasia bagi warga di Tangse. Namun, tindakan tersebut seperti aman-aman
saja. Ratusan kilang kayu di wilayah Pidie masih beroperasi secara
umum. Tanpa diketahui secara jelas dari mana mereka sebenarnya mengambil
kayu.
Logika pasar lebih mengemuka. Selama modal dari para
tauke-tauke pemilik modal berkuasa, pembabatan kayu-kayu hutan Tangse
seakan wajar. Ini ironis.
Rentetan bencana alam di Aceh dengan
kerugian massif justru terjadi pada masa kebijakan moratorium pembalakan
hutan dicanangkan lima tahun silam. Wahana Lingkungan Hidup Aceh
mencatat, tahun 2007 terjadi 46 banjir di Aceh, 2008 meningkat 170
kejadian, 2009 naik menjadi 213 kejadian, 2010 bertambah lagi menjadi
250 kejadian.
"Itu belum termasuk kebakaran hutan, konflik satwa, dan longsor," ujar Direktur Walhi TM Zulfikar.
Tangse
hanyalah satu potret betapa lingkungan yang rusak berpotensi besar
menghadirkan bencana besar. Walhi Aceh mencatat, tingkat deforestasi
hutan di wilayah Pidie dan Pidie Jaya dalam lima tahun terakhir sudah
cukup tinggi, yaitu mencapai diatas 1.000 hektar (rata-rata bisa
mencapai 200 hingga 400 hektar per-tahunnya).
"Kerusakan ini bisa terjadi oleh berbagai faktor, di antaranya illegal logging,
perambahan hutan, konversi lahan hutan menjadi perkebunan, dan juga
akibat proses eksplorasi dan eksploitasi tambang yang sangat marak di
sana," kata Zulfikar.
Di pihak lain, peran pemerintah baik pusat
dan daerah terlalu lemah untuk mengatasi problem tersebut. Sebaliknya,
justru di tengah meningkatnya ancaman bencana alam karena kerusakan
lingkungan itu, ratusan izin perkebunan dan pertambangan dikeluarkan
oleh pemerintah daerah.
Pemerintah Provinsi Aceh melalui Kepala
Bappeda Aceh, Iskandar, mengakui masih adanya kendala penataan
lingkungan di Aceh. Hal ini tak terlepas dari belum adanya tata ruang
wilayah yang disepakati antara pemerintah provinsi dan kabupaten. "Kami
berharap dalam enam bulan ke depan sudah tuntas semua," kata dia.
Tata
ruang wilayah memang sangat penting. Namun, bukankah pemerintah daerah
dan aparat hukum juga mempunyai serangkaian mekanisme kewenangan lain
untuk tetap menjaga hutan dari kerusakan? Mereka seakan lalai.
Sayangnya, kelalaian itu harus dibayar mahal dengan terulangnya
penderitaan rakyat dalam impitan bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar