Rabu, 25 April 2012

Analisis:
Banjir Tangse, Harga Sebuah Kelalaian
Mohamad Burhanudin | Marcus Suprihadi | Kamis, 1 Maret 2012 | 11:24 WIB
Link:http://regional.kompas.com/read/2012/03/01/11242326/Banjir.Tangse.Harga.Sebuah.Kelalaian.

KOMPAS.com — Banjir Bandang kembali menggelontor Tangse, Pidie Aceh, pekan lalu. Sontak, peristiwa tersebut kembali membawa memori publik pada kisah pilu kurang dari setahun silam di tempat yang sama. Cerita sedih banjir bandang pun seakan berulang. Sebuah kisah mahal yang tertoreh oleh kegagalan belajar dari kelalaian bersahabat dengan alam.
Di sepanjang DAS Tangse nyaris sulit menemukan tegakan keras. Bukit-bukit telah beralih fungsi menjadi ladang perkebunan dan pertanian.
Oleh M Burhanudin
Senin (27/2), di Desa Blang Maloe, Tangse, Pidie. Senja menggelayut kelam. Gerimis datang. Lumpur yang menutup jalan pun kembali basah, membentuk lapisan becek menutup aspal. Berkubik-kubik kayu gelondongan yang terbawa banjir dua malam sebelumnya masih berserak memakan sebagian badan jalan.
Di sebuah tenda pengungsian belakang bangunan puskesmas di Desa Blang Maloe, Nurbaiti (52), duduk resah berimpit bersama sekitar 20 pengungsi lain yang umumnya anak-anak dan perempuan. Tikar plastik lusuh yang mulai basah menjadi alas. Hawa dingin pegunungan kian terasa menggigit dalam rinai gerimis senja itu.
"Kami sudah dua hari di sini. Tak ada selimut, tapi mau ke mana lagi. Rumah kami sudah hilang. Saya dan empat anggota keluarga saya mengungsi hanya membawa baju yang tersisa. Semuanya sudah hilang," tutur Nurbaiti.
Nurbaiti tak sendiri, ada 18 keluarga di sejumlah desa di Kecamatan Tangse yang kehilangan rumah terseret banjir Sabtu malam itu. Sebanyak 19 rumah rusak berat. Selain itu, ada ratusan rumah yang rusak ringan.
Kota Tangse sempat terisolasi karena putusnya jembatan Blang Maloe. Tak hanya kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Puluhan keluarga harus merelakan sebagian kebun kakao dan sawahnya hancur diterjang banjir. Padahal, Maret nanti mereka siap untuk panen.
Ratusan warga kehilangan mata pencaharian. Bencana banjir bandang di Tangse bak de javu. Kurang dari setahun silam, lima desa di kacamatan tersebut pun nyaris luluh lantak dihantam banjir. Sembilan orang tewas, belasan luka-luka, 328 rumah rusak, 210 hektar kebun dan sawah hancur.
Kedua peristiwa itu hanya berjarak sekitar 1 kilometer, pada alur yang sama, yaitu sepanjang Sungai Tangse. Dengan pola kerusakan yang hampir mirip, hancurnya daerah aliran sungai, gelontoran kayu-kayu gelondongan, yang mengalir bersama lumpur, pasir, dan ribuan meter kubik bebatuan gunung.
Hampir setahun silam, Gubernur Aceh kala itu, Irwandi Yusuf, usai banjir di Tangse Maret 2011, mengatakan akan menindak tegas pelaku pembalakan liar di Tangse. Banjir kala itu diyakini sebagai bagian dari akibat kerusakan hutan di hulu DAS Tangse.
Namun, janji tinggal janji. Jangankan penegakan hukum atas pelaku pembalakan, kerusakan hulu tetap berlanjut. Penebangan hingga alih fungsi lahan di kawasan perbukitan di pegunungan Tangse dan Geumpang nyaris tak terhalang.
Pengamatan Kompas di sepanjang DAS Tangse menunjukkan, nyaris sulit menemukan tegakan keras yang utuh. Bukit-bukit dengan kemiringan hingga 30 derajat sebagian telah beralih fungsi menjadi ladang perkebunan dan pertanian. Kegundulan dari tegakan keras mengupas kulit perbukitan.
Memang, menyebut kerusakan lingkungan sebagai penyebab tunggal banjir Tangse masih terlalu dini. Aceh sejak lama dikenal sangat rentan dengan berbagai jenis bencana alam massif, mulai banjir, longsor, hingga gempa bumi. Namun, tumpukan kayu gelondongan yang terbawa banjir, hancurnya tanggul DAS Tangse, serta banjir bandang yang berulang pada lokasi yang sama rasanya menjadi fakta yang sulit terbantahkan betapa eratnya banjir Tangse dengan fakta kerusakan di hulu.
Jafarudin (35), warga di Kebun Nilam, Tangse, mengungkapkan, pembalakan liar bukan hal yang rahasia bagi warga di Tangse. Namun, tindakan tersebut seperti aman-aman saja. Ratusan kilang kayu di wilayah Pidie masih beroperasi secara umum. Tanpa diketahui secara jelas dari mana mereka sebenarnya mengambil kayu.
Logika pasar lebih mengemuka. Selama modal dari para tauke-tauke pemilik modal berkuasa, pembabatan kayu-kayu hutan Tangse seakan wajar. Ini ironis.
Rentetan bencana alam di Aceh dengan kerugian massif justru terjadi pada masa kebijakan moratorium pembalakan hutan dicanangkan lima tahun silam. Wahana Lingkungan Hidup Aceh mencatat, tahun 2007 terjadi 46 banjir di Aceh, 2008 meningkat 170 kejadian, 2009 naik menjadi 213 kejadian, 2010 bertambah lagi menjadi 250 kejadian.
"Itu belum termasuk kebakaran hutan, konflik satwa, dan longsor," ujar Direktur Walhi TM Zulfikar.
Tangse hanyalah satu potret betapa lingkungan yang rusak berpotensi besar menghadirkan bencana besar. Walhi Aceh mencatat, tingkat deforestasi hutan di wilayah Pidie dan Pidie Jaya dalam lima tahun terakhir sudah cukup tinggi, yaitu mencapai diatas 1.000 hektar (rata-rata bisa mencapai 200 hingga 400 hektar per-tahunnya).
"Kerusakan ini bisa terjadi oleh berbagai faktor, di antaranya illegal logging, perambahan hutan, konversi lahan hutan menjadi perkebunan, dan juga akibat proses eksplorasi dan eksploitasi tambang yang sangat marak di sana," kata Zulfikar.
Di pihak lain, peran pemerintah baik pusat dan daerah terlalu lemah untuk mengatasi problem tersebut. Sebaliknya, justru di tengah meningkatnya ancaman bencana alam karena kerusakan lingkungan itu, ratusan izin perkebunan dan pertambangan dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
Pemerintah Provinsi  Aceh melalui Kepala Bappeda Aceh, Iskandar, mengakui masih adanya kendala penataan lingkungan di Aceh. Hal ini tak terlepas dari belum adanya tata ruang wilayah yang disepakati antara pemerintah provinsi dan kabupaten. "Kami berharap dalam enam bulan ke depan sudah tuntas semua," kata dia.
Tata ruang wilayah memang sangat penting. Namun, bukankah pemerintah daerah dan aparat hukum juga mempunyai serangkaian mekanisme kewenangan lain untuk tetap menjaga hutan dari kerusakan? Mereka seakan lalai. Sayangnya, kelalaian itu harus dibayar mahal dengan terulangnya penderitaan rakyat dalam impitan bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar