Kasus Rawa Tripa Bukti Skandal Karbon Indonesia
Muhammad
Link:http://www.theglobejournal.com/lingkungan/kasus-rawa-tripa-bukti-skandal-karbon-indonesia/index.php
Link:http://www.theglobejournal.com/lingkungan/kasus-rawa-tripa-bukti-skandal-karbon-indonesia/index.php
Selasa, 03 April 2012 15:50 WIB
Banda Aceh – Hari ini Selasa (3/4) majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh telah mengeluarkan putusan terhadap gugatan Walhi Aceh atas terbitnya Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha.
WALHI Aceh menganggap putusan hakim sebagai tindakan “buang badan” karena menolak mengadili perkara yang sudah bergulir lima bulan belakangan ini. Direktur WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar menganggap hakim PTUN Banda Aceh sedang mempermainkan proses hukum. Putusan ini menunjukkan betapa hakim jelas tidak berpihak kepada rakyat dan pelestarian lingkungan.
“Jika memang proses hukum tidak layak diajukan ke pengadilan, lalu mengapa tidak dari awal ditolak?”gugatnya.
Majelis hakim yang membacakan keputusan sekitar satu jam lebih itu memutuskan tiga hal penting yaitu mengatakan bahwa PTUN Banda Aceh tidak berwenang memeriksa perkara gugatan WALHI Aceh, menolak gugatan dari penggugat dan meminta penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp.162.000,-.
Hakim berpendapat bahwa penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak berperkara harus terlebih dahulu ditempuh jalan musyawarah diluar pengadilan. Hal ini menurut hakim sesuai dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
WALHI Aceh sudah pernah menempuh proses di luar jalur pengadilan. Sebelum mengajukan gugatan WALHI Aceh telah memberikan somasi. “Tapi somasi ini tidak pernah ditanggapi Gubernur Aceh,”kata T. Muhammad Zulfikar.
Sedangkan menurut peraturan, jika ada pihak-pihak yang berkeberatan atas administrasi tata usaha negara, dalam hal ini Surat Izin Gubernur, maka gugatan harus dimasukan ke PTUN dalam jangka waktu 90 hari atau tiga bulan. Selama masa ini, somasi dari WALHI Aceh tidak pernah mendapat tanggapan dari Pemerintah Aceh.
WALHI Aceh menganggap keputusan hakim PTUN Banda Aceh ini tidak tepat. “Ini mengungkap skandal karbon Indonesia di mata internasional, dimana Indonesia menggembar-gemborkan penurunan emisi melalui moratorium di depan mata komunitas internasional tetapi fakta di lapangan tidak ada fakta pendukungnya,”ujar T. Muhammad Zulfikar. WALHI Aceh akan mengajukan banding atas keputusan ini.
Ketua Satgas REDD, Kuntoro, berkali-kali didepan forum internasional memastikan akan menjadikan moratorium logging sebagai cara untuk mengurangi emisi. SBY pun menetapkan pengurangan emisi sebesar 26 persen. “Kalau seperti ini mengelola hutan, target itu hanya menjadi lelucon saja,”kata T. Muhammad Zulfikar.
Putusan PTUN ini juga akan mengancam dana sebesar 1 miliar USD dari pemerintah Norwegia yang dijanjikan untuk Indonesia. Masyarakat internasional sudah terbuka matanya bahwa Indonesia ternyata tidak memenuhi komitmen moratorium logging. Sebanyak 25.205 orang dari seluruh dunia telah meneken petisi penyelamatan hutan Rawa Tripa dalam kurun waktu kurang dari seminggu, tempat terakhir Orangutan Sumatera berada. “Jika memang proses hukum tidak layak diajukan ke pengadilan, lalu mengapa tidak dari awal ditolak?”gugatnya.
Majelis hakim yang membacakan keputusan sekitar satu jam lebih itu memutuskan tiga hal penting yaitu mengatakan bahwa PTUN Banda Aceh tidak berwenang memeriksa perkara gugatan WALHI Aceh, menolak gugatan dari penggugat dan meminta penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp.162.000,-.
Hakim berpendapat bahwa penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak berperkara harus terlebih dahulu ditempuh jalan musyawarah diluar pengadilan. Hal ini menurut hakim sesuai dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
WALHI Aceh sudah pernah menempuh proses di luar jalur pengadilan. Sebelum mengajukan gugatan WALHI Aceh telah memberikan somasi. “Tapi somasi ini tidak pernah ditanggapi Gubernur Aceh,”kata T. Muhammad Zulfikar.
Sedangkan menurut peraturan, jika ada pihak-pihak yang berkeberatan atas administrasi tata usaha negara, dalam hal ini Surat Izin Gubernur, maka gugatan harus dimasukan ke PTUN dalam jangka waktu 90 hari atau tiga bulan. Selama masa ini, somasi dari WALHI Aceh tidak pernah mendapat tanggapan dari Pemerintah Aceh.
WALHI Aceh menganggap keputusan hakim PTUN Banda Aceh ini tidak tepat. “Ini mengungkap skandal karbon Indonesia di mata internasional, dimana Indonesia menggembar-gemborkan penurunan emisi melalui moratorium di depan mata komunitas internasional tetapi fakta di lapangan tidak ada fakta pendukungnya,”ujar T. Muhammad Zulfikar. WALHI Aceh akan mengajukan banding atas keputusan ini.
Ketua Satgas REDD, Kuntoro, berkali-kali didepan forum internasional memastikan akan menjadikan moratorium logging sebagai cara untuk mengurangi emisi. SBY pun menetapkan pengurangan emisi sebesar 26 persen. “Kalau seperti ini mengelola hutan, target itu hanya menjadi lelucon saja,”kata T. Muhammad Zulfikar.
Petisi ini dikirimkan langsung kepada Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto, Pimpinan Satgas REDD+ dan working group Mas Ahmad Santosa, Dubes Norwegia untuk Indonesia, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Menhut Zulkifly Hasan, Menlu Dr. R.M. Marty M. Natalegawa dan Tim Investigasi World Bank.
Pembacaan keputusan diwarnai dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Forum Mahasiswa dan Masyarakat Penyelamat Rawa Tripa Nagan Raya mendapat penjagaan dari aparat kepolisian. Mereka menuntut hakim menggunakan hati nurani dalam memberikan keputusan. [rel]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar