Banjir Agara Bukti Kurangnya Pengawasan Negara Terhadap Lingkungan
Link:http://www.himpalaunas.com/artikel/lingkungan/2012/04/16/banjir-agara-bukti-kurangnya-pengawasan-negara-terhadap-lingkungan
16 April 2012 oleh Redaksi di:
HIMPALAUNAS.COM, BANDA ACEH - Tiga desa di Aceh Tenggara (Agara) yang diterjang banjir bandang dua hari lalu adalah bukti nyata bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sama sekali belum berpihak pada usaha pelestarian lingkungan.
Direktur Eksekutif Walhi Aceh Teuku Muhammad Zulfikar menyatakan bahwa pemerintah Indonesia, Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota sangat rajin membuat berbagai program dan kebijakan, namun tidak mampu melakukan pengawasan di lapangan.
"Apa yang terjadi di Aceh Tenggara sebenarnya jauh-jauh hari sudah kita ingatkan," ujar TM Zulfikar kepada wartawan di Banda Aceh, Sabtu (14/4).
Katanya lagi, wilayah bencana tersebut merupakan kawasan hutan lindung Serbolangit yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang dilindungi. Jelas sekali di kawasan itu telah terjadi alih fungsi lahan sangat tinggi akibat kebijakan pemerintah yang salah urus, sehingga justru membuka peluang kepada masyarakat untuk membuka lahan perkebunan kakao sebanyak 5 juta batang.
Wilayah ini awalnya adalah hutan kemiri yang kemiringannya sebesar 25 sampai 45 derajat, karenanya sangat tidak cocok dikonversi atau dialihfungsikan dengan tanaman kakao. Walhi pada tahun 2006 bersama lembaga anggotanya Yayasan RMTM Aceh Tenggara telah melakukan riset terhadap kondisi titik rawan bencana (longsor dan banjir bandang) dan hasilnya telah diserahkan kepada Pemkab Aceh Tenggara, namun berbagai hasil dan rekomendasi yang diberikan itu tidak diindahkan.
Hasil riset tersebut mengungkapkan, ditemukan sebanyak 19 titik wilayah rawan longsor dan banjir di kawasan dimaksud dan hingga saat ini sebanyak 13 titik sudah terjadi berbagai bencana banjir dan dan tanah longsor.
Waspadai Titik Longsor
Walhi Aceh berharap kepada pemerintah khususnya PemkabAceh Tenggara dan masyarakat sekitar agar terus mewaspadai titik longsor dan bencana tersebut. Beberapa titik bencana yang perlu diwaspadai, di antaranya pada Desa Lawe Sigala-gala, Lawe Dua dan Lawe Mantik Kecamatan Babul Makmur.
Mengingat semakin tingginya kemungkinan bencana di Aceh, seperti gempa bumi, tsunami, banjir bandang dan tanah longsor serta berbagai bencana lainnya, diharapkan Pemprov Aceh serius dan konsisten mengevaluasi berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan terdahulu.
Pantauan Walhi Aceh selama ini, lanjut Zulfikar, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, namun tidak mampu diimplementasikan secara baik di lapangan. Untuk itu diharapkan ke depan agar kebijakan Moratorium Logging terus dipertahankan, tetapi perlu ada gebrakan di lapangan secara nyata.
Menurut Zulfikar, dua hal penting yang menjadi pertimbangan dikeluarkan kebijakan moratorium logging adalah bagaimana mengatasi dan megurangi kerusakan hutan yang ada di Aceh dan selanjutnya bagaimana mengurangi berbagai bencana lingkungan akibat degradasi dan deforestasi hutan. (abd)
Direktur Eksekutif Walhi Aceh Teuku Muhammad Zulfikar menyatakan bahwa pemerintah Indonesia, Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota sangat rajin membuat berbagai program dan kebijakan, namun tidak mampu melakukan pengawasan di lapangan.
"Apa yang terjadi di Aceh Tenggara sebenarnya jauh-jauh hari sudah kita ingatkan," ujar TM Zulfikar kepada wartawan di Banda Aceh, Sabtu (14/4).
Katanya lagi, wilayah bencana tersebut merupakan kawasan hutan lindung Serbolangit yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang dilindungi. Jelas sekali di kawasan itu telah terjadi alih fungsi lahan sangat tinggi akibat kebijakan pemerintah yang salah urus, sehingga justru membuka peluang kepada masyarakat untuk membuka lahan perkebunan kakao sebanyak 5 juta batang.
Wilayah ini awalnya adalah hutan kemiri yang kemiringannya sebesar 25 sampai 45 derajat, karenanya sangat tidak cocok dikonversi atau dialihfungsikan dengan tanaman kakao. Walhi pada tahun 2006 bersama lembaga anggotanya Yayasan RMTM Aceh Tenggara telah melakukan riset terhadap kondisi titik rawan bencana (longsor dan banjir bandang) dan hasilnya telah diserahkan kepada Pemkab Aceh Tenggara, namun berbagai hasil dan rekomendasi yang diberikan itu tidak diindahkan.
Hasil riset tersebut mengungkapkan, ditemukan sebanyak 19 titik wilayah rawan longsor dan banjir di kawasan dimaksud dan hingga saat ini sebanyak 13 titik sudah terjadi berbagai bencana banjir dan dan tanah longsor.
Waspadai Titik Longsor
Walhi Aceh berharap kepada pemerintah khususnya PemkabAceh Tenggara dan masyarakat sekitar agar terus mewaspadai titik longsor dan bencana tersebut. Beberapa titik bencana yang perlu diwaspadai, di antaranya pada Desa Lawe Sigala-gala, Lawe Dua dan Lawe Mantik Kecamatan Babul Makmur.
Mengingat semakin tingginya kemungkinan bencana di Aceh, seperti gempa bumi, tsunami, banjir bandang dan tanah longsor serta berbagai bencana lainnya, diharapkan Pemprov Aceh serius dan konsisten mengevaluasi berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan terdahulu.
Pantauan Walhi Aceh selama ini, lanjut Zulfikar, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, namun tidak mampu diimplementasikan secara baik di lapangan. Untuk itu diharapkan ke depan agar kebijakan Moratorium Logging terus dipertahankan, tetapi perlu ada gebrakan di lapangan secara nyata.
Menurut Zulfikar, dua hal penting yang menjadi pertimbangan dikeluarkan kebijakan moratorium logging adalah bagaimana mengatasi dan megurangi kerusakan hutan yang ada di Aceh dan selanjutnya bagaimana mengurangi berbagai bencana lingkungan akibat degradasi dan deforestasi hutan. (abd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar