Pemerintah Abaikan Asas Keterbukaan
Kamis, 01 Maret 2012 06:54 WIB
Link:http://www.theglobejournal.com/lingkungan/pemerintah-abaikan-asas-keterbukaan/index.php
Banda
Aceh – Sidang gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh
melawan Gubernur Aceh terhadap penerbitan surat izin perkebunan di Rawa
Tripa hari Rabu ini (29/2) pukul 10.00 WIB dilaksanakan dengan agenda
mendengarkan keterangan ahli. Salah satu poin penting yang disampaikan
ahli yang berbicara dalam sidang adalah pemerintah Aceh dalam
menerbitkan keputusan telah mengabaikan asas keterbukaan.
Link:http://www.theglobejournal.com/lingkungan/pemerintah-abaikan-asas-keterbukaan/index.php
Dalam persidangan di PTUN Banda Aceh tersebut, WALHI Aceh
menghadirkan satu orang saksi dan dua orang ahli untuk didengarkan
keterangannya. Saksi pertama adalah Koordinator Wilayah (Korwil) III
Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) yang bernama Istafan
Nazmi. Ia membawahi tiga wilayah yang bersinggungan dengan KEL yaitu
Aceh Barat, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.
Istafan sudah bekerja sebagai Korwil sejak tahun 2010 dan melakukan
tugas membuat laporan dan menganalisi dampak yang ditimbulkan oleh suatu
aktivitas dalam KEL. Ia melaksanakan monitoring rutin di tiga kabupaten
tersebut dan mendapati berbagai aktivitas dalam kawasan KEL antara
lain pembukaan jalan, illegal logging dan pembukaan lahan.
Istafan juga menceritakan tentang keberatan masyarakat terhadap
pembukaan lahan oleh PT Kalista Alam. “Pembukaan lahan telah merubah
bentang alam sehingga merugikan masyarakat sekitarnya,”ujar Istafan.
Istafan sempat dicecar pertanyaan tentang berbagai regulasi yang
menyangkut KEL dan Rawa Tripa oleh pengacara tergugat. Namun kuasa hukum
penggugat, Nurul Ikhsan, SH meminta hakim menolak pertanyaan tersebut
mengingat saksi bukanlah ahli hukum. Hakim yang memimpin sidang Marbawi,
SH, mengabulkan permintaan tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya dihadirkan ahli hukum dari Universitas
Syiah Kuala Banda Aceh, DR. Iskandar Gani, SH. Ia menjelaskan tentang
hukum Tata Negara dan Administrasi Negara sesuai dengan keahliannya.Iskandar mengatakan pemerintah dalam mengeluarkan sebuah keputusan harus memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik. Pengeluaran izin harus sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan mendengarkan pertimbangan-pertimbangan dari pihak terkait.
Salah satu anggota kuasa hukum WALHI Aceh, Kamaruddin SH, memperlihatkan bukti surat pertimbanga teknis dari BPKEL yang ditujukan kepada Gubernur Aceh berisikan saran untuk tidak mengeluarkan izin kepada PT Kalista Alam di Rawa Tripa. Selain itu ia juga memperlihatkan petisi keberatan dari masyarakat yang diteken oleh 21 keuchik desa-desa di sekitar objek sengketa.
Kamaruddin mempertanyakan, apakah keputusan yang dikeluarkan dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh instansi teknis terkait dan masyarakat dapat dianggap telah menjalankan asas pemerintahan yang baik?
“Menurut saya pemerintah Aceh melakukan hal kurang baik karena mengabaikan pertimbangan teknis dari lembaga yang dibentuknya. Selain memperhatikan UU, pemerintah juga harus memperhatikan aspirasi masyarakat,”jawab Iskandar.
Hukum mempunyai fungsi sosial, aturan formal bisa dikesampingkan demi kemaslahan orang banyak jika diperlukan, tambahnya.
Partisipasi masyarakat merupakan penerapan dari prinsip-prinsip asas keterbukaan yang harus dijalankan pemerintahan agar masyarakat tahu apa yang sedang dijalankan oleh pemerintah.
“Satu saja asas diabaikan maka pemerintah dianggap telah melanggar pemerintahan yang baik,”ucap mantan Sekretaris Dewan DPR Aceh tersebut.
Iskandar juga mengatakan bahwa kasus ini sudah tepat disidangkan oleh PTUN karena menyangkut pemberian izin yang merupakan objek tata usaha negara. WALHI Aceh juga berhak dan berkepentingan dalam kasus pembukaan Rawa Tripa sebagaimana yang telah diatur dalam UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pernyataan ini merupakan jawaban dari pertanyaan kuasa hukum tergugat intervensi (PT Kalista Alam) yang mempertanyaan keabsahan WALHI Aceh sebagai penggugat kasus Rawa Tripa.
Ahli ketiga yang dihadirkan dalam sidang adalah staf Bakorsutanal Jakarta, DR.Nurwajadi, seorang ahli dalam bidang pemetaan dan GIS. Ia lebih banyak menjelaskan posisi objek sengketa sesuai dengan peta Rawa Tripa yang pernah dibuatnya.
Nurwajadi mengatakan bahwa PT Kalista Alam benar berada dikawasan Rawa Tripa dan diatas tanah gambut. Ia juga menyampaikan bahwa konversi lahan gambut saat ini sudah dilarang oleh pemerintah Indonesia, tidak peduli berapa kedalamannya.
Sidang yang berakhir pada pukul 14.00 yang dilanjutkan kembali dua minggu mendatang tepatnya tanggal 14 Maret 2012, dengan agenda mendengarkan keterangan dari saksi tergugat sebanyak empat orang. Hakim Marbawi SH berencana menuntaskan perkara ini sebelum Pemilukada oleh karenanya ia berharap kedua belah pihak dapat menghadirkan saksi pada sidang ke depan.
Pengacara WALHI Aceh meminta diadakan sidang lapangan namun pengacara tergugat menolak hal itu dengan alasan bahwa objek perkara adalah masalah administrasi negara, tidak perlu ke lapangan. Hakim akan belum memutuskan apakah perlu sidang lapangan atau tidak.
WALHI Aceh sendiri dalam hal ini mewakili Tim Koalisi Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dan Forum Tataruang Sumatera (For Trust) mengajukan gugatan terhadap Gubernur Aceh karena menganggap Gubernur Aceh telah melawan hukum dengan mengeluarkan Surat Izin Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha.[004-rel]]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar