Kasus Rawa Tripa, Pemerintah Dinilai Abaikan Keterbukaan
Oleh: NH/REL - 29/02/2012 - 18:16 WIB
Link:http://www.acehkita.com/berita/kasus-rawa-tripa-pemerintah-dinilai-abaikan-keterbukaan/
Link:http://www.acehkita.com/berita/kasus-rawa-tripa-pemerintah-dinilai-abaikan-keterbukaan/
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Sidang gugatan Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Aceh melawan Gubernur Aceh terkait penerbitan
surat izin perkebunan di kawasan Rawa Tripa, Nagan Raya, Rabu (29/2),
kembali digelar di PTUN Banda Aceh dengan agenda mendengarkan keterangan
saksi ahli.
Salah satu poin yang disampaikan saksi ahli itu adalah Pemerintah
Aceh dalam menerbitkan keputusan telah mengabaikan asas keterbukaan.
Demikian diungkapkan dalam rilis yang dikirim Walhi Aceh ke redaksi
acehkita.com.
Dalam persidangan itu, WALHI Aceh menghadirkan seorang saksi dan dua
ahli untuk didengarkan keterangannya. Saksi pertama ialah Koordinator
Wilayah (Korwil) III Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL),
Istafan Nazmi. Ia membawahi tiga daerah yang bersinggungan dengan KEL
yaitu Aceh Barat, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.
Istafan menceritakan tentang keberatan warga terhadap pembukaan lahan
oleh PT Kalista Alam. “Pembukaan lahan telah merubah bentang alam
sehingga merugikan masyarakat sekitarnya,” ujarnya.
Dia sempat dicecar pertanyaan berbagai regulasi menyangkut KEL dan
Rawa Tripa oleh pengacara tergugat. Namun kuasa hukum penggugat, Nurul
Ikhsan meminta hakim menolak pertanyaan itu mengingat saksi bukan ahli
hukum. Hakim yang memimpin persidangan, Marbawi mengabulkan permintaan
tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya dihadirkan ahli hukum dari Universitas
Syiah Kuala, Iskandar Gani. Dia menjelaskan tentang hukum Tata Negara
dan Administrasi Negara sesuai keahliannya.
Menurut Iskandar, pemerintah dalam mengeluarkan sebuah keputusan
harus memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik. Pengeluaran izin harus
sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan mendengarkan
pertimbangan-pertimbangan dari pihak terkait, katanya.
Kuasa hukum Walhi Aceh, Kamaruddin, memperlihatkan bukti surat
pertimbangan teknis BPKEL yang ditujukan kepada Gubernur Aceh berisikan
saran untuk tidak mengeluarkan izin kepada PT Kalista Alam di Rawa
Tripa. Selain itu, dia juga memperlihatkan petisi keberatan masyarakat
yang diteken 21 keuchik desa-desa di sekitar objek sengketa.
Dia mempertanyakan, apakah keputusan yang dikeluarkan dengan
mengabaikan pertimbangan yang diberikan oleh instansi teknis terkait dan
masyarakat dapat dianggap telah menjalankan asas pemerintahan yang
baik?
“Menurut saya Pemerintah Aceh melakukan hal kurang baik karena
mengabaikan pertimbangan teknis dari lembaga yang dibentuknya. Selain
memperhatikan UU, pemerintah harus memperhatikan aspirasi masyarakat,”
jawab Iskandar.
Ahli kedua yang dihadirkan dalam sidang adalah staf Bakorsutanal
Jakarta, Nurwajadi, seorang pakar dalam bidang pemetaan dan GIS. Ia
lebih banyak menjelaskan posisi objek sengketa sesuai peta Rawa Tripa
yang pernah dibuatnya.
Nurwajadi mengatakan bahwa PT Kalista Alam benar berada di Rawa Tripa
dan di atas tanah gambut. Ia juga menyampaikan konversi lahan gambut
saat ini sudah dilarang Pemerintah Indonesia, tidak peduli berapa
kedalamannya.
Sidang akan dilanjutkan kembali dua minggu mendatang tepatnya 14
Maret 2012, dengan agenda mendengarkan keterangan dari saksi tergugat
sebanyak empat orang. Hakim Marbawi berencana menuntaskan perkara ini
sebelum Pemilukada. Makanya, dia berharap kedua pihak dapat menghadirkan
saksi pada sidang ke depan.
Pengacara WALHI Aceh telah meminta kepada majelis untuk diadakan
sidang lapangan, tapi pengacara tergugat menolak hal itu dengan alasan
bahwa objek perkara adalah masalah administrasi negara, sehingga tak
perlu ke lapangan. Hingga kini, hakim belum memutuskan apakah perlu
dilakukan persidangan lapangan atau tidak.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar