Terkait Kasus Rawa Tripa, Pemerintah Abaikan Asas Keterbukaan
Link:http://atjehlink.com/terkait-kasus-rawa-tripa-pemerintah-abaikan-asas-keterbukaan/
Dalam persidangan di PTUN Banda Aceh tersebut, WALHI Aceh
menghadirkan satu orang saksi dan dua orang ahli untuk didengarkan
keterangannya. Saksi pertama adalah Koordinator Wilayah (Korwil) III
Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) yang bernama Istafan
Nazmi. Ia membawahi tiga wilayah yang bersinggungan dengan KEL yaitu
Aceh Barat, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.
Istafan sudah bekerja sebagai Korwil sejak tahun 2010 dan melakukan
tugas membuat laporan dan menganalisi dampak yang ditimbulkan oleh suatu
aktivitas dalam KEL. Ia melaksanakan monitoring rutin di tiga kabupaten
tersebut dan mendapati berbagai aktivitas dalam kawasan KEL antara
lain pembukaan jalan, illegal logging dan pembukaan lahan.
Istafan juga menceritakan tentang keberatan masyarakat terhadap
pembukaan lahan oleh PT Kalista Alam. “Pembukaan lahan telah merubah
bentang alam sehingga merugikan masyarakat sekitarnya,”ujar Istafan.
Istafan sempat dicecar pertanyaan tentang berbagai regulasi yang
menyangkut KEL dan Rawa Tripa oleh pengacara tergugat. Namun kuasa hukum
penggugat, Nurul Ikhsan, SH meminta hakim menolak pertanyaan tersebut
mengingat saksi bukanlah ahli hukum. Hakim yang memimpin sidang Marbawi,
SH, mengabulkan permintaan tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya dihadirkan ahli hukum dari Universitas
Syiah Kuala Banda Aceh, DR. Iskandar Gani, SH. Ia menjelaskan tentang
hukum Tata Negara dan Administrasi Negara sesuai dengan keahliannya.
Iskandar mengatakan pemerintah dalam mengeluarkan sebuah keputusan
harus memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik. Pengeluaran izin harus
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan mendengarkan
pertimbangan-pertimbangan dari pihak terkait.
Salah satu anggota kuasa hukum WALHI Aceh, Kamaruddin SH,
memperlihatkan bukti surat pertimbanga teknis dari BPKEL yang ditujukan
kepada Gubernur Aceh berisikan saran untuk tidak mengeluarkan izin
kepada PT Kalista Alam di Rawa Tripa. Selain itu ia juga memperlihatkan
petisi keberatan dari masyarakat yang diteken oleh 21 keuchik desa-desa
di sekitar objek sengketa.
Kamaruddin mempertanyakan, apakah keputusan yang dikeluarkan dengan
mengabaikan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh instansi
teknis terkait dan masyarakat dapat dianggap telah menjalankan asas
pemerintahan yang baik?
“Menurut saya pemerintah Aceh melakukan hal kurang baik karena
mengabaikan pertimbangan teknis dari lembaga yang dibentuknya. Selain
memperhatikan UU, pemerintah juga harus memperhatikan aspirasi
masyarakat,”jawab Iskandar.
Hukum mempunyai fungsi sosial, aturan formal bisa dikesampingkan demi kemaslahan orang banyak jika diperlukan, tambahnya.
Hukum mempunyai fungsi sosial, aturan formal bisa dikesampingkan demi kemaslahan orang banyak jika diperlukan, tambahnya.
Partisipasi masyarakat merupakan penerapan dari prinsip-prinsip asas
keterbukaan yang harus dijalankan pemerintahan agar masyarakat tahu apa
yang sedang dijalankan oleh pemerintah.
“Satu saja asas diabaikan maka pemerintah dianggap telah melanggar
pemerintahan yang baik,”ucap mantan Sekretaris Dewan DPR Aceh tersebut.
Iskandar juga mengatakan bahwa kasus ini sudah tepat disidangkan oleh
PTUN karena menyangkut pemberian izin yang merupakan objek tata usaha
negara. WALHI Aceh juga berhak dan berkepentingan dalam kasus pembukaan
Rawa Tripa sebagaimana yang telah diatur dalam UU No.32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pernyataan ini
merupakan jawaban dari pertanyaan kuasa hukum tergugat intervensi (PT
Kalista Alam) yang mempertanyaan keabsahan WALHI Aceh sebagai penggugat
kasus Rawa Tripa.
Ahli kedua yang dihadirkan dalam sidang adalah staf Bakorsutanal
Jakarta, DR.Nurwajadi, seorang ahli dalam bidang pemetaan dan GIS. Ia
lebih banyak menjelaskan posisi objek sengketa sesuai dengan peta Rawa
Tripa yang pernah dibuatnya.
Nurwajadi mengatakan bahwa PT Kalista Alam benar berada dikawasan Rawa Tripa dan diatas tanah gambut. Ia juga menyampaikan bahwa konversi lahan gambut saat ini sudah dilarang oleh pemerintah Indonesia, tidak peduli berapa kedalamannya.
Nurwajadi mengatakan bahwa PT Kalista Alam benar berada dikawasan Rawa Tripa dan diatas tanah gambut. Ia juga menyampaikan bahwa konversi lahan gambut saat ini sudah dilarang oleh pemerintah Indonesia, tidak peduli berapa kedalamannya.
Sidang yang berakhir pada pukul 14.00 yang dilanjutkan kembali dua
minggu mendatang tepatnya tanggal 14 Maret 2012, dengan agenda
mendengarkan keterangan dari saksi tergugat sebanyak empat orang. Hakim
Marbawi SH berencana menuntaskan perkara ini sebelum Pemilukada oleh
karenanya ia berharap kedua belah pihak dapat menghadirkan saksi pada
sidang ke depan.
Pengacara WALHI Aceh meminta diadakan sidang lapangan namun pengacara
tergugat menolak hal itu dengan alasan bahwa objek perkara adalah
masalah administrasi negara, tidak perlu ke lapangan. Hakim akan belum
memutuskan apakah perlu sidang lapangan atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar