Kesaksian Saksi Tergugat Dinilai Bertolak Belakang
Firman Hidayat | The Globe Journal
Rabu, 14 Maret 2012 20:14 WIB
Banda
Aceh - Sidang kasus gugatan WALHI Aceh terhadap Gubernur Aceh perihal
pemberian izin pembukaan lahan di kawasan Ekosistem Leuser hari ini,
Rabu (14/3) dilaksanakan dengan agenda mendengar kesaksian dari para
tergugat. Dari kesaksian yang ada, Pengacara Walhi Aceh menilai
pernyataan saksi tergugat bertolak belakang dari fakta yang ada.
Ada empat saksi yang dihadirkan dalam persidangan tersebut. Satu di antaranya merupakan PNS dari Dishutbun Aceh dan tiga orang lainnya dari masyarakat sekitar objek sengketa yang berlokasi di Nagan Raya. Saksi pertama yang diberikan kesempatan untuk berbicara usai disumpah yakni M. Zulhanzusyah (40). Pegawai Dishutbun Aceh ini mengatakan, dirinya mengetahui kasus Rawa Tripa dari media massa. Ia diminta menjadi saksi pemerintah dan selanjutnya baru mempelajari kasus ini. Menurutnya, PT Kalista Alam membuka perkebunan di Areal Penggunaan Lain (APL). Anehnya ketika ditanyakan apakah diperbolehkan membuka kebun sawit di APL, Zulhanzusyah, tidak bisa menjawab secara tegas.
“Untuk membuka kebun sawit tidak bisa dibilang boleh atau tidak karena menyangkut kawasan ekosistem,”jawabnya.
Zulhansyah yang menjabat sebagai Kasie Perencanaan Hutan dan ahli dibidang Planologi mengaku tidak pernah mengunjungi lokasi perkebunan milik PT Kalista Alam yang menjadi objek sengketa. “Saya cuma melihat lokasinya dari peta saja,”ujarnya dalam rilis Walhi Aceh yang diterima The Globe Journal.
Pengacara WALHI Aceh yang terdiri dari Nurul Ikhsan SH, Jehalim Bangun SH, dan Kamaruddin SH, sempat mencecar Zulhanzusyah dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai regulasi kehutanan yang cenderung dijawabnya berputar-putar.
“Menurut kami saksi ini tidak mempunyai kompetensi dalam hal kasus Rawa Tripa,” ucap Jehalim Bangun SH secara keras di ruang sidang.
Saksi kedua, ketiga dan keempat, nyaris senada dalam memberikan kesaksian. Ketiga saksi tersebut Ismail (39), Usman (45) dan Elfis (33) mengatakan bahwa tidak ada masyarakat sekitar yang menolak dan berkonflik dengan PT. Kalista Alam. Ketiganya juga mengakui tidak pernah mengenal istilah “Rawa Tripa”.
“Yang ada desa Kuala Tripa setahu saya,”ujar Elfis, yang juga merupakan kontraktor mitra perkebunan sawit.
Kendati demikian, ketiganya mengakui mengetahui keberadaan rawa-rawa di kawasan tersebut. “Saya melihat semak belukar, tempat tersebut sudah menjadi lalu lalang masyarakat, ada tampak bekas-bekas pohon ditebang masyarakat. Tapi saya tidak pernah melihat hewan seperti Beruang Madu, paling cuma monyet,”ujar Elfis yang tinggal sekitar 25 km dari lokasi perkebunan PT Kalista Alam yang disengketakan.
“Darul Makmur sudah maju, rata-rata masyarakat punya kebun 2 hektare,” ucapnya lagi.
Saksi dari masyarakat ini mengetahui adanya kanal yang dibangun oleh PT Kalista Alam dan sering memancing di kanal-kanal tersebut. Tetapi mereka mengaku tidak mengetahui pasti kegunaan dari kanal-kanal tersebut.
Ketika ditanya tentang ukuran pohon-pohon sawit yang saksi lihat di objek sengketa, saksi Usman menjawab bahwa Ia melihat ada pohon sawit setinggi 15 meter, yang menurutnya kira-kira sudah berumur 15 tahun.
Pengacara WALHI Aceh, Kamaruddin SH, meragukan kebun sawit yang dilihat Usman tersebut adalah lokasi sengketa mengingat lokasi sengketa merupakan lahan yang baru saja dibuka sekitar tahun 2010 lalu. Saksi Usman juga menjawab tidak pernah melihat kanal di lokasi yang didatanginya tersebut.
“Kami meminta kepada hakim agar diadakan sidang lapangan mengingat banyak keterangan saksi yang bertolak belakang,”kata Kamaruddin SH pada akhir persidangan.
Sayangnya, majelis hakim dan pengacara tergugat menolak permintaan tersebut dengan alasan bahwa materi gugatan adalah persoalan tata usaha atau administrasi semata. [005]
Ada empat saksi yang dihadirkan dalam persidangan tersebut. Satu di antaranya merupakan PNS dari Dishutbun Aceh dan tiga orang lainnya dari masyarakat sekitar objek sengketa yang berlokasi di Nagan Raya. Saksi pertama yang diberikan kesempatan untuk berbicara usai disumpah yakni M. Zulhanzusyah (40). Pegawai Dishutbun Aceh ini mengatakan, dirinya mengetahui kasus Rawa Tripa dari media massa. Ia diminta menjadi saksi pemerintah dan selanjutnya baru mempelajari kasus ini. Menurutnya, PT Kalista Alam membuka perkebunan di Areal Penggunaan Lain (APL). Anehnya ketika ditanyakan apakah diperbolehkan membuka kebun sawit di APL, Zulhanzusyah, tidak bisa menjawab secara tegas.
“Untuk membuka kebun sawit tidak bisa dibilang boleh atau tidak karena menyangkut kawasan ekosistem,”jawabnya.
Zulhansyah yang menjabat sebagai Kasie Perencanaan Hutan dan ahli dibidang Planologi mengaku tidak pernah mengunjungi lokasi perkebunan milik PT Kalista Alam yang menjadi objek sengketa. “Saya cuma melihat lokasinya dari peta saja,”ujarnya dalam rilis Walhi Aceh yang diterima The Globe Journal.
Pengacara WALHI Aceh yang terdiri dari Nurul Ikhsan SH, Jehalim Bangun SH, dan Kamaruddin SH, sempat mencecar Zulhanzusyah dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai regulasi kehutanan yang cenderung dijawabnya berputar-putar.
“Menurut kami saksi ini tidak mempunyai kompetensi dalam hal kasus Rawa Tripa,” ucap Jehalim Bangun SH secara keras di ruang sidang.
Saksi kedua, ketiga dan keempat, nyaris senada dalam memberikan kesaksian. Ketiga saksi tersebut Ismail (39), Usman (45) dan Elfis (33) mengatakan bahwa tidak ada masyarakat sekitar yang menolak dan berkonflik dengan PT. Kalista Alam. Ketiganya juga mengakui tidak pernah mengenal istilah “Rawa Tripa”.
“Yang ada desa Kuala Tripa setahu saya,”ujar Elfis, yang juga merupakan kontraktor mitra perkebunan sawit.
Kendati demikian, ketiganya mengakui mengetahui keberadaan rawa-rawa di kawasan tersebut. “Saya melihat semak belukar, tempat tersebut sudah menjadi lalu lalang masyarakat, ada tampak bekas-bekas pohon ditebang masyarakat. Tapi saya tidak pernah melihat hewan seperti Beruang Madu, paling cuma monyet,”ujar Elfis yang tinggal sekitar 25 km dari lokasi perkebunan PT Kalista Alam yang disengketakan.
“Darul Makmur sudah maju, rata-rata masyarakat punya kebun 2 hektare,” ucapnya lagi.
Saksi dari masyarakat ini mengetahui adanya kanal yang dibangun oleh PT Kalista Alam dan sering memancing di kanal-kanal tersebut. Tetapi mereka mengaku tidak mengetahui pasti kegunaan dari kanal-kanal tersebut.
Ketika ditanya tentang ukuran pohon-pohon sawit yang saksi lihat di objek sengketa, saksi Usman menjawab bahwa Ia melihat ada pohon sawit setinggi 15 meter, yang menurutnya kira-kira sudah berumur 15 tahun.
Pengacara WALHI Aceh, Kamaruddin SH, meragukan kebun sawit yang dilihat Usman tersebut adalah lokasi sengketa mengingat lokasi sengketa merupakan lahan yang baru saja dibuka sekitar tahun 2010 lalu. Saksi Usman juga menjawab tidak pernah melihat kanal di lokasi yang didatanginya tersebut.
“Kami meminta kepada hakim agar diadakan sidang lapangan mengingat banyak keterangan saksi yang bertolak belakang,”kata Kamaruddin SH pada akhir persidangan.
Sayangnya, majelis hakim dan pengacara tergugat menolak permintaan tersebut dengan alasan bahwa materi gugatan adalah persoalan tata usaha atau administrasi semata. [005]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar