Mewujudkan Banda Aceh Menjadi Kota Hijau (Green City)
Teuku Muhammad Zulfikar | Kontributor
Selasa, 20 Maret 2012 10:01 WIB
Link:http://www.theglobejournal.com/opini/mewujudkan-banda-aceh-menjadi-kota-hijau-green-city/index.php
Jembatan penyeberangan dibangun, tapi tidak dimanfaatkan. Lahan-lahan produktif sudah semakin kecil, sebagian besar sudah disulap menjadi kompleks perumahan, gedung perkantoran dan pusat-pusat perbelanjaan. Pedagang tradisional semakin terjepit, tak tau mau berdagang apa lagi karena semuanya sudah diambil-alih oleh para toke dan pemodal berkantong tebal dengan membuat berbagai pusat perbelanjaan modern yang serba lengkap.
Tempat-tempat penyerapan air dan cadangan air bersih sudah semakin sempit. Sumur, sungai dan laut sudah mengalami pendangkalan dan tercemar berbagai limbah. Mulai dari limbah rumah tangga hingga industri. Bahkan sumber air bersihpun semakin hari semakin terancam, sehingga tidak mengherankan jika pada musim kemarau masyarakat kota akan sulit sekali mendapatkan air.
Kota hijau (Green city), merupakan sebuah konsep penataan kota yang merespon dampak pemanasan global sehingga terciptanya keseimbangan ekosistem yang dapat menyelamatkan peradaban. Pemanasan global (global warming) yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim bukan lagi sekedar issue, tapi sudah terjadi dan mengancam peradaban manusia.
Green city adalah sebuah tempat yang toleran dan terbuka, inklusif dan aman, dimana setiap pendatang baru merasa diterima, dan setiap warga negara dapat memanfaatkan sepenuhnya ruang publik dan pelayanan, memiliki perasan seperti masyarakat setempat dan mampu mengubah sekelilingnya.
Perkotaan, yaitu wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan berbagai kegiatan ekonomi. Sehingga dapat disimpulkan dari berbagai penjabaran di atas, bahwa terdapat beberapa elemen yang sangat dominan dan penting dalam definisi kota, yakni manusia dan ruang. (Das Albantani, 2011).
Lingkungan perkotaan yang baik diwujudkan dengan mengembangkan kota hijau melalui aksi nyata. Imam Santoso, Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan bahwa sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan, kota hijau dapat dipahami sebagai kota ramah lingkungan dan memuat delapan atribut. Kedelapan atribut tersebut meliputi perencanaan dan perancangan kota ramah lingkungan; ruang terbuka hijau; konsumsi energi yang efisien; pengelolaan air; pengelolaan limbah dan sampah dengan prinsip 3R (Reuse, Reduce, dan Recycle); bangunan hemat energi; penerapan sistem transportasi berkelanjutan; dan peningkatan peran masyarakat sebagai komunitas hijau.
Dapat dikatakan bahwa kota hijau adalah kota yang mengupayakan terwujudnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30%, adanya partisipasi masyarakat, dan tersedianya infrastruktur yang memadai. Ketentuan mewujudkan kota hijau dengan penyediaan RTH 30% di perkotaan harus secara eksplisit termuat dalam setiap peraturan daerah/qanun tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Namun sayang seribu sayang, RTH Kota Banda Aceh yang ada saat ini baru seluas 610 ha atau 9,85% dari luas total Kota Banda Aceh sebesar 61,36 km2. (Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota Banda Aceh, 2009). Dan angka ini masih jauh dari harapan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, yang mewajibkan setiap Kota harus memiliki sedikitnya 30% RTH dan 20% harus berupa ruang terbuka publik.
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh pasal 3 menyebutkan bahwa Lingkup wilayah perencanaan tata ruang Kota Banda Aceh adalah seluas 6.136 Ha (61,36 km2) yang terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan, 20 (dua puluh) kelurahan dan 70 (tujuh puluh) desa/gampong. Lingkup materi perencanaan tata ruang kota sebagaimana disebutkan dalam pasal 5, terdiri dari: a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang kota; b. rencana struktur ruang wilayah kota; c. rencana pola ruang wilayah kota; d. penetapan kawasan strategis kota; e. arahan pemanfaatan ruang;dan f. pengendalian pemanfaatan ruang.
Pelaksanaan penataan ruang, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5, RTRW Kota Banda Aceh, bertujuan untuk mewujudkan ruang kota sebagai kota jasa yang Islami, tamaddun, modern dan berbasis mitigasi bencana. Tapi sepertinya cita-cita tersebut masih sulit sekali untuk diwujudkan. Lihat saja salah satu programnya untuk mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai Bandar Wisata Islami saja, hingga saat ini masih jalan di tempat.
Sebagai ibukota Provinsi, Kota Banda Aceh memang banyak masalah. Sebagai kota dan masyarakat yang baru bangkit kembali setelah hantaman mahabencana gempa bumi dan tsunami, pemerintah kota Banda Aceh memang harus sangat hati-hati membenahi serta menatanya kembali.
Beberapa hal yang menjadi keluhan warga antara lain soal drainase yang macet, masalah sampah, persoalan penertiban pedagang kaki lima, termasuk pedagang bermobil yang justru semakin menambah kemacetan dalam Kota Banda Aceh. Karenanya jika Walikota berbicara penataan Kota Banda Aceh untuk jangka panjang, tapi banyak warga kota lebih menginginkan Pak Walikota memprioritaskan penyelesaian masalah jangka pendek, seperti mengatasi kemacetan arus lalu lintas yang makin lama makin parah. (Tata Kota; Uruslah yang Lebih Mendesak. Editorial Serambi Indonesia, 16/09/2011).
Sebagai upaya mewujudkan kota hijau, Pemerintah Kota Banda Aceh sudah selayaknya segera menginisiasi program pengembangan kota hijau yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kota yang responsif terhadap perubahan iklim dan ramah lingkungan, sekaligus merupakan implementasi dari qanun RTRW yang telah disusun. Selain itu untuk menjaga agar seluruh proses pembangunan Kota Banda Aceh memenuhi prinsip pembangunan yang berkelanjutan, maka kepada Pemerintah Kota Banda Aceh, diharapkan agar segera menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Sebagai sebuah kewajiban Pemerintah Daerah (Pasal 15 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. KLHS yang disusun nantinya diharapkan dapat diintegrasikan dalam berbagai kebijakan yang ada, selain Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh, juga dapat diintegrasikan dengan berbagai kebijakan yang ada seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), serta Kebijakan, Rencana dan berbagai Program Pemerintah Kota Banda Aceh lainnya yang berpotensi menimbulkan dampak atau risiko terjadinya kerusakan lingkungan. Mari kita dukung Kota Banda Aceh menjadi Kota Hijau. Semoga.
Penulis adalah Kontributor The Globe Journal/Direktur Eksekutif WALHI Aceh dan Dosen Teknik Kimia dan Lingkungan, Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar