MedanBisnis - Banda
Aceh. Pembukaan hutan Rawa Tripa oleh PT Kalista Alam di Desa Pulo
Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, telah mengganggu
perekonomian masyarakat setempat.
Hal itu disampaikan
Keuchik Desa Sumber Bakti, Ibduh, sebagai salah satu dari tiga saksi
yang dihadirkan pada sidang gugatan Walhi Aceh kepada Gubernur Aceh atas
pembukaan lahan hutan gambut tersebut, Rabu (22/2) di PTUN Banda Aceh.
Agenda sidang adalah pemeriksaan para saksi fakta.Walhi menghadirkan tiga orang saksi, selain Ibduh juga Syamsinar dan Indrianto, masyarakat setempat yang senada menyampaikan bahwa pembukaan lahan tersebut telah mengganggu mata pencaharian penduduk.
Sidang yang dimulai sekitar pukul 10.00 WIB dimulai dengan menghadirkan saksi Ibduh, yang desanya berdekatan dengan objek sengketa. Ibduh yang ditanya tentang lokasi objek sengketa menjelaskan, dahulu objek tersebut merupakan hutan rawa lebat yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. “Namun sejak tahun 2009 lahan tersebut telah menjadi kebuh sawit,” katanya.
Sejak itu, ikan lele, lokan, madu dan lain-lain yang biasa mereka dapatkan di hutan sudah sangat susah dicari. “Sebelum pembukaan lahan, masyarakat bisa mendapat 20 sampai 50 kg ikan lele, kini seharian mencari hanya diperoleh setengah kilogram saja,” papar Ibduh.
Ia menggambarkan, kini lokasi tersebut nyaris kering dan tidak ada hutan lagi. Banyak binatang yang menghilang, antara lain orangutan, harimau, beruang dan sebagainya.
Dia mengaku bersama keuchik-keuchik dari 21 desa telah menandatangani petisi penolakan pembukaan lahan oleh PT Kalista Alam. “Kami membuat petisi ini atas kesadaran masing-masing, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Selain itu, kami juga membantah pernyataan pengacara tergugat yang mengatakan masyarakat setempat tidak tahu menahu keluarnya izin dari gubernur,” tuturnya.
Ibdug juga mengungkapkan, mereka menolak pembukaan lahan tersebut, dan sudah mengadu ke mana-mana tapi tidak ada respon. “Baru kali inilah ada respon,” imbuhnya.
Menurutnya lagi, kini di daerah mereka pada musim hujan sangat mudah banjir, dan di musim kemarau terjadi kekeringan berkepanjangan. Selain itu intensitas hewan-hewan liar masuk ke kampung pun semakin tinggi, sehingga sering terjadi konflik dengan satwa.
Saksi kedua, Syamsinar, seorang perempuan petani penduduk Desa Sumber Bakti, menceritakan keadaan hutan sebelum dan sesudah dibukanya lahan seluas lebih kurang 1.605 hektare di Kecamatan Darul Makmur.
Dikatakanya, dulu di objek sengketa merupakan hutan yang penuh kayu. Sekarang yang ada hanya kebun sawit.
Saksi terakhir, Indrianto, seorang staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang bertugas melakukan pemantauan orangutan, menceritakan tentang tugas pemantauan orangutan yang sudah dilakukannya sejak tahun 2008.
“Kini sudah jarang saya menemui orangutan di Hutan Rawa Tripa. Malah saya pernah mendengar cerita dari masyarakat tentang adanya orangutan yang dibunuh untuk dimakan, tapi saya tidak tahu lebih lanjut,” kata Indrianto.
Hakim menanyakan apakah Hutan Rawa Tripa hanya memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat sekitar. Sebagai salah seorang penduduk setempat, Indrianto membantahnya.
“Dulu toke-toke dari Blang Pidie, Meulaboh dan berbagai daerah lain datang kemari untuk membeli ikan. Jadi keuntungan ekonomisnya untuk masyarakat lintas kabupaten,” ucapnya.
Direktur Walhi Aceh, T Muhammad Zulfikar, mengatakan pihaknya akan menghadirkan saksi ahli dari pihak yang sangat berkompeten. “Kami hadirkan saksi ahli tentang rawa gambut, tentang kehidupan satwa liar dan saksi ahli hukum administrasi negara,” katanya.
Sidang berakhir pada pukul 13.30 WIB dan akan dilanjutkan Rabu (29/2) masih dengan agenda pemeriksaan saksi ahli. (dedi irawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar