Perkebunan:
Warga Tripa Kian Terjepit Sawit
Mohamad Burhanudin | Agus Mulyadi | Rabu, 22 Februari 2012 | 19:27 WIB
Link:http://regional.kompas.com/read/2012/02/22/19271773/Warga.Tripa.Kian.Terjepit.Sawit.
Link:http://regional.kompas.com/read/2012/02/22/19271773/Warga.Tripa.Kian.Terjepit.Sawit.
BANDA ACEH, KOMPAS.com — Pembukaan
lahan hutan rawa gambut Tripa di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, untuk
penanaman sawit telah merusak keseimbangan lingkungan sekitarnya.
Hewan-hewan
dilindungi yang selama ini menghuni hutan kawasan lindung itu, seperti
orangutan, beruang, dan harimau, kerap masuk ke permukiman warga. Alih
fungsi lahan juga membuat warga kian kesulitan air bersih, kehilangan
mata pencarian, dan terancam bencana alam.
Hal tersebut
diungkapkan sejumlah warga sekitar hutan gambut itu saat memberi
kesaksiannya di hadapan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) Banda Aceh, dalam sidang kasus gugatan atas pemberian izin
pembukaan lahan oleh PT Kalista Alam di Rawa Tripa, Rabu (22/2/2012).
Samsinar
(46), warga Desa Sumber Bekti, Kecamatan Darul Makmur, Tripa, Nagan
Raya, mengungkapkan, sejak pembukaan lahan di rawa gambut dekat desanya,
hampir setiap hari dia terganggu kehadiran binatang-binatang liar,
seperti urangutan dan beruang. Hewan-hewan itu tak hanya mengancam jiwa,
tetapi juga merusakkan tanaman pertanian, bahkan masuk ke dalam rumah.
"Sebelum
hutan gambut itu ditanami sawit dan dibuat kanal-kanal air, hal seperti
itu tak terjadi. Sekarang, sering tiba-tiba ada mawas (orangutan) atau
beruang masuk ke rumah, kadang mereka mencuri nasi. Ini karena mereka
tak punya makanan lagi di hutan yang sudah ditanami sawit itu," papar
Samsinar.
Dalam kesaksiannya, Ibduh, Keuchik (kepala desa) Desa
Sumber Bakti, mengungkapkan, lahan hutan yang kini dibuka untuk
perkebunan sawit PT Kalista Alam seluas 1.605 hektar tersebut dahulu
merupakan hutan rawa lebat yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar.
Namun sejak tahun 2009 lahan itu telah menjadi kebuh sawit.
"Sejak
itu, ikan lele, lokan, madu, dan lain-lain yang biasa kami dapatkan di
hutan Rawa Tripa sudah sangat susah dicari," katanya.
Sebelum
pembukaan lahan, masyarakat bisa mendapat 20-50 kg ikan lele, kini
seharian mencari hanya diperoleh setengah kilogram saja. Kini lokasi itu
nyaris kering dan tidak ada hutan lagi. Banyak binatang yang
menghilang, antara lain orangutan, harimau, dan beruang.
Beberapa
waktu lalu, Ibduh bersama keuchik dari 21 desa di Nagan Raya telah
menandatangani petisi penolakan pembukaan lahan oleh PT Kalista Alam di
Rawa Tripa. "Kami membuat petisi ini atas kesadaran masing-masing
tanpa ada paksaan dari pihak mana pun," ujar Ibduh.
Menurut dia,
kini di musim hujan sangat mudah terjadi banjir dan di musim kemarau
terjadi kekeringan yang berkepanjangan. Selain itu, intensitas
hewan-hewan liar masuk ke kampung pun semakin tinggi sehingga sering
terjadi konflik dengan satwa.
Indrianto, warga sekitar hutan yang
juga menjadi aktivis pemantau lingkungan di Rawa Tripa, mengungkapkan,
"Kini saya jarang menemui orangutan di hutan Rawa Tripa. Malah saya
pernah mendengar cerita dari masyarakat adanya orangutan yang dibunuh
untuk dimakan, tetapi saya tidak tahu lebih lanjut," kata Indrianto.
"Perekonomian warga pun kini telah rusak. Dulu toke-toke
(pedagang) dari Blang Pidie, Meulaboh, dan berbagai daerah lain datang
kemari untuk membeli ikan. Sekarang tak ada lagi," ujarnya.
Seperti
diketahui, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mengajukan gugatan
kepada Gubernur Aceh karena dianggap telah melawan hukum dengan
mengeluarkan Surat Izin Gubernur Aceh No 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25
Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT Kalista
Alam di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, seluas
1.605 hektar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar